Share

Bab 6 : Oktarian

Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri.

"Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu.

"Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas.

"Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng.

"Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.

Pernah sekali Bagas dan Okta mengajak kami untuk ikut programnya anak mapala, aku sebenarnya takut dengan semua yang berbau horor, tapi sialnya dua cecunguk ini berhasil menipuku mentah-mentah. Mereka mengiming-imingi aku dengan panorama alam yang luar biasa di kaki gunung Mahameru, tepatnya di ranu Kumbolo dan itu memang benar. Sangat bagus tapi juga angker, ada yang pingsan saat tengah malam karena penampakan pocong. Serius, aku tidak ingin bercerita horor atau bagaimana, hanya saja aku sedikit trauma dengan hal ini.

"Apa sih Bagas, lihat muka Dara pucat. Kamu tuh, emang nyebelin." Sandy pun memukul Bagas dengan tidak bertenaga. Bagas hanya menyengir tanpa rasa bersalah, aku sudah terbiasa dengan pasanga gresek ini.

"Kalian kenapa lama sekali?"

Suara itu, aku tentu mengetahuinya Oktarian, pria sejuta pesona yang akhir-akhir ini sangat mengesalkan, apa lagi saat ia tidak menunjukkan penolakakn saat tante Maya menjodohkannya dengan kak Disa. Aku hanya akan berpikir, sebentar lagi semuanya akan berlalu.

Saat ini, aku tidak bisa menutupi rasa kesalku dan sepertinya ia mengetahuinya. "Aku ditelpon Disa, jadi aku ke sini." Selalu saja kak Disa menjadi alasannya. Aku memang memiliki satu saudari yang selesih beberapa tahun denganku. Aku lebih mirip ayah dan kak Disa lebih mirip mama, selain itu kak Disa sering sakit-sakitan jadi ayah tidak memperbolehkannya untuk kuliah keluar kota.

Karena hal inilah, hubungan kita sedikit renggang. Jelas sekali kak Disa menyukai Oktasemenjak kecil dan selalu ingin menempel kepadanya. Padahal, ia lebih tua dari kami, mungkin karena tidak pernah keluar rumah, membuat kak Disa tidak banyak bergaul dengan anak lain. Sementara Okta, aku, Bagas dan Sandy sudah memutuskan untuk kuliah keluar kota dan tentu kak Disa marah karena ia tidak bisa pergi bersama kami. Kak Disa merasa kesepian karena kami kuliah diluar kota.

"Kalian sudah datang?" kak Disa keluar dengan tatapan yang sama. Tidak ada yang berubah, ia sangat tidak suka melihatku bertemu dengan Okta. Apa lagi saat ia merasa sekarang Okta adalah miliknya.

Seketika aku membenci drama serial berkepanjangan ini. Tolong jangan menambah beban pikiranku, aku butuh fokus pada memperbaiki perekonomian keluarga. Aku tidak dalam masa dimana aku harus memperjuangkan cinta kekakanakan seperti kak Disa. Mungkin, hidupnya hanya sebatas berkeliaran dalam rumah, kampus dan sosial media. Jujur saja, aku bahkan mengalami hal yang lebih pahit dari itu semua. Kehabisan uang bulanan, bekerja part time untuk membayar uang kos, listrik dan wifi dan berbagi beberapa makanan dengan Sandy yang meskipun begitu sangat mandiri.

"Hai Dis, makin cantik aja." Bagas menyapanya, sambil mengerlingkan matanya. Aku dan Sandy hanya tersenyum geli. Namun, realitanya kak Disa memang lebih cantik dari aku.

Kami pun masuk bersama dan aku harus menyiapkan beberapa camilan dadakan. Untung saja aku memiliki beberapa kentang yang bisa ku jadikan stik. Selama kami mengontrak, aku berkewajiban untuk memasak karena yang jago memasak di  rumah ini adalah aku dan ayah. Mama dan kak Disa hanya menunggu saja, tapi waktu kami masih memiliki segalanya ... Ayah mempekerjakan seorang pembantu.

"Mau aku bantu?" Aku menoleh dan mendapati Okta berdiri di sampingku. Apa dia gila? Setelah kemarin, ia masih berani mendekatiku?

"Nggak usah, kamu masuk aja. Duduk sama anak-anak sana," usirku yang tak mau terlibat drama yang akan terjadi jika aku, Okta dan kak Disa bertemu. Seolah seperti ritual yang harus ku hindari saja saat kami bertemu, padahal saat di luar kota, atau tanpa kak Disa kami akan berbicara lebih santai. Apa lagi setelah perjodohan telah dicetuskan, sepertinya kami tidak bisa sesantai ini sekarang.

Drett

Handphoneku pun berbunyi dan itu adalah tanda masuk email. Aku mengeceknya dengan terburu karena alamat email itu sama dengan perusahaan yang baru saja aku datangi dan aku sangat senang saat di dalamnya terdapat kata-kata lolos seleksi dan diharapkan untuk datang besok ke perusahaan untuk taken kontrak.

"Kok senyum-senyum gitu? Dapat lotre emang?" Aku lupa kalau Okta masih berada di sebelahku.

"Lebih dari lotre, aku diterima di Syahrend grup. Salah satu perusahaan terbesar di sini," sahutku dan wajah Okta terlihat terkejut.

"Seharusnya kamu terima tawaranku kemarin. Kamu tau nggak Syahrend Grup itu gimana?”

Aku mengangguk, jelas aku tahu bagaimana pekerjaan di sana. “Aku tahu semuanya, tapi seperti yang kamu tau tentang aku kan … aku bukan seseorang tanpa pertimbangan.” Untuk perkataan terakhirku ini, tentu saja seharusnya mampu membungkam segala argument yang akan Okta keluarkan.

"Aku tau, tapi di sana ketat dan banyak banget lemburnya," katanya yang sepertinya tidak ingin menyerah begitu saja.

"Nggak masalah, semakin banyak lembur ... Gaji aku semakin tinggi, ‘kan?" Targetku memang ini, masalah lelah dan keluhan? Aku tidak punya banyak waktu untuk itu. Setidaknya, tagihan bulanan dan belanja obat untuk sakit ayah bisa terpenuhi.

Keuangan dikeluarga kami memang sesekarat ini. Bahkan untuk makan sampai satu bulan, aku harus berhemat dari sisa tabungan. Belum lagi mama sama kak Disa yang sampai detik ini tidak sanggup menerima kalau kami jatuh miskin yang terkadang suka membeli beberapa barang yang tak perlu.

"Tapi kamu juga harus jaga kesehatan. Pokoknya jangan datang besok, ke perusahaanku saja," paksanya dan aku tentu saja tak akan mau.

"Ehem, ngapain kalian di sini?" Suara sinis itu, pasti suara kak Disa dan aku menoleh, membalasnya dengan senyum kaku.

Bagus, meskipun ini tidak baik karena kak Disa akan menaruh curiga kepada kami. Aku senang kak Disa datang dan menolongku untuk menghentikan segala paksaan yang Okta lakukan kepadaku.

"Aku masih ingin kalian bekerja diperusahanku,” katanya yang membuat kak Disa tidak senang.

Dasar idiot! Kenapa ia harus mengatakan itu? Kak Disa tentunya berharap bahwa ia adalah satu-satunya.

"Kan sudah ada aku, kenapa harus Dara?" tanyanya dengan ekspresi tidak senang dan aku lelah berada disituasi yang seperti ini berulang kali.

"Kak Disa, jago administrasi loh. Kan, lumayan bisa bantu kamu." Aku harus mencairkan suasana ini. Sebab, aku tidka memiliki pilihan lain kecuali melakukannya..

"Okay kalau gitu, besok kamu datang ke kantorku ya," ucap Okta yang akhirnya menyerah dan kak Disa pun terlihat senang. Aku tahu, Okta hanya melakukan ini karena tidak ingin aku kesulitan.

"Makasih ya Okta, kita bisa saling bertemu mulai dari sekarang." Bahkan dengan berani kak Disa memegang tangan Okta. Aku tahu, Okta sangat merasa tak nyaman. Untuk itu aku merasa bersimpatik kepadanya, tapi semua ini adalah sesuatu yang harus ia pertanggung jawabkan untuk setiap pilihannya.

"Ya uda, kamu bawa minuman ini ke anak-anak. Aku bantu Dara bentar," usir Okta dan kak Disa yang kelewat bahagia terlihat lupa dengan rasa cemburunya. Ia pun pergi tanpa mengatakan apa pun.

Kini hanya tinggal kami berdua. "Apa kamu benar-benar setuju aku sama Disa?"

Aku tidak mengerti, kenapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul saat ia seharusnya tahu jika semuanya adalah pilihannya. “Bukannya ini pilihanmu?”

"Tapi Dara ... Cuman kamu cewek satu-satunya yang aku pedulikan. Lebih dari siapa pun!" ungkapnya yang membuat aku kalang kabut.

Aku tahu, tapi ini semua sudah terlambat. Kita, hanya bisa berjalan sejauh ini.

“Kamu harus bertanggung jawab untuk pilihanmu,” kataku yang kali ini membawa beberapa camilan masuk, meninggalkan Okta sendiri.

Aku sangat tidak tega, tapi ini adalah sesuatu yang kita dapat karena kita tidak jujur pada diri kita sendiri. Semuanya sepadan dan seharusnya ia menyadari itu semua.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
okta, makan tuh plin plan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status