Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri.
"Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu.
"Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas.
"Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng.
"Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.
Pernah sekali Bagas dan Okta mengajak kami untuk ikut programnya anak mapala, aku sebenarnya takut dengan semua yang berbau horor, tapi sialnya dua cecunguk ini berhasil menipuku mentah-mentah. Mereka mengiming-imingi aku dengan panorama alam yang luar biasa di kaki gunung Mahameru, tepatnya di ranu Kumbolo dan itu memang benar. Sangat bagus tapi juga angker, ada yang pingsan saat tengah malam karena penampakan pocong. Serius, aku tidak ingin bercerita horor atau bagaimana, hanya saja aku sedikit trauma dengan hal ini.
"Apa sih Bagas, lihat muka Dara pucat. Kamu tuh, emang nyebelin." Sandy pun memukul Bagas dengan tidak bertenaga. Bagas hanya menyengir tanpa rasa bersalah, aku sudah terbiasa dengan pasanga gresek ini.
"Kalian kenapa lama sekali?"
Suara itu, aku tentu mengetahuinya Oktarian, pria sejuta pesona yang akhir-akhir ini sangat mengesalkan, apa lagi saat ia tidak menunjukkan penolakakn saat tante Maya menjodohkannya dengan kak Disa. Aku hanya akan berpikir, sebentar lagi semuanya akan berlalu.
Saat ini, aku tidak bisa menutupi rasa kesalku dan sepertinya ia mengetahuinya. "Aku ditelpon Disa, jadi aku ke sini." Selalu saja kak Disa menjadi alasannya. Aku memang memiliki satu saudari yang selesih beberapa tahun denganku. Aku lebih mirip ayah dan kak Disa lebih mirip mama, selain itu kak Disa sering sakit-sakitan jadi ayah tidak memperbolehkannya untuk kuliah keluar kota.
Karena hal inilah, hubungan kita sedikit renggang. Jelas sekali kak Disa menyukai Oktasemenjak kecil dan selalu ingin menempel kepadanya. Padahal, ia lebih tua dari kami, mungkin karena tidak pernah keluar rumah, membuat kak Disa tidak banyak bergaul dengan anak lain. Sementara Okta, aku, Bagas dan Sandy sudah memutuskan untuk kuliah keluar kota dan tentu kak Disa marah karena ia tidak bisa pergi bersama kami. Kak Disa merasa kesepian karena kami kuliah diluar kota.
"Kalian sudah datang?" kak Disa keluar dengan tatapan yang sama. Tidak ada yang berubah, ia sangat tidak suka melihatku bertemu dengan Okta. Apa lagi saat ia merasa sekarang Okta adalah miliknya.
Seketika aku membenci drama serial berkepanjangan ini. Tolong jangan menambah beban pikiranku, aku butuh fokus pada memperbaiki perekonomian keluarga. Aku tidak dalam masa dimana aku harus memperjuangkan cinta kekakanakan seperti kak Disa. Mungkin, hidupnya hanya sebatas berkeliaran dalam rumah, kampus dan sosial media. Jujur saja, aku bahkan mengalami hal yang lebih pahit dari itu semua. Kehabisan uang bulanan, bekerja part time untuk membayar uang kos, listrik dan wifi dan berbagi beberapa makanan dengan Sandy yang meskipun begitu sangat mandiri.
"Hai Dis, makin cantik aja." Bagas menyapanya, sambil mengerlingkan matanya. Aku dan Sandy hanya tersenyum geli. Namun, realitanya kak Disa memang lebih cantik dari aku.
Kami pun masuk bersama dan aku harus menyiapkan beberapa camilan dadakan. Untung saja aku memiliki beberapa kentang yang bisa ku jadikan stik. Selama kami mengontrak, aku berkewajiban untuk memasak karena yang jago memasak di rumah ini adalah aku dan ayah. Mama dan kak Disa hanya menunggu saja, tapi waktu kami masih memiliki segalanya ... Ayah mempekerjakan seorang pembantu.
"Mau aku bantu?" Aku menoleh dan mendapati Okta berdiri di sampingku. Apa dia gila? Setelah kemarin, ia masih berani mendekatiku?
"Nggak usah, kamu masuk aja. Duduk sama anak-anak sana," usirku yang tak mau terlibat drama yang akan terjadi jika aku, Okta dan kak Disa bertemu. Seolah seperti ritual yang harus ku hindari saja saat kami bertemu, padahal saat di luar kota, atau tanpa kak Disa kami akan berbicara lebih santai. Apa lagi setelah perjodohan telah dicetuskan, sepertinya kami tidak bisa sesantai ini sekarang.
Drett
Handphoneku pun berbunyi dan itu adalah tanda masuk email. Aku mengeceknya dengan terburu karena alamat email itu sama dengan perusahaan yang baru saja aku datangi dan aku sangat senang saat di dalamnya terdapat kata-kata lolos seleksi dan diharapkan untuk datang besok ke perusahaan untuk taken kontrak.
"Kok senyum-senyum gitu? Dapat lotre emang?" Aku lupa kalau Okta masih berada di sebelahku.
"Lebih dari lotre, aku diterima di Syahrend grup. Salah satu perusahaan terbesar di sini," sahutku dan wajah Okta terlihat terkejut.
"Seharusnya kamu terima tawaranku kemarin. Kamu tau nggak Syahrend Grup itu gimana?”
Aku mengangguk, jelas aku tahu bagaimana pekerjaan di sana. “Aku tahu semuanya, tapi seperti yang kamu tau tentang aku kan … aku bukan seseorang tanpa pertimbangan.” Untuk perkataan terakhirku ini, tentu saja seharusnya mampu membungkam segala argument yang akan Okta keluarkan.
"Aku tau, tapi di sana ketat dan banyak banget lemburnya," katanya yang sepertinya tidak ingin menyerah begitu saja.
"Nggak masalah, semakin banyak lembur ... Gaji aku semakin tinggi, ‘kan?" Targetku memang ini, masalah lelah dan keluhan? Aku tidak punya banyak waktu untuk itu. Setidaknya, tagihan bulanan dan belanja obat untuk sakit ayah bisa terpenuhi.
Keuangan dikeluarga kami memang sesekarat ini. Bahkan untuk makan sampai satu bulan, aku harus berhemat dari sisa tabungan. Belum lagi mama sama kak Disa yang sampai detik ini tidak sanggup menerima kalau kami jatuh miskin yang terkadang suka membeli beberapa barang yang tak perlu.
"Tapi kamu juga harus jaga kesehatan. Pokoknya jangan datang besok, ke perusahaanku saja," paksanya dan aku tentu saja tak akan mau.
"Ehem, ngapain kalian di sini?" Suara sinis itu, pasti suara kak Disa dan aku menoleh, membalasnya dengan senyum kaku.
Bagus, meskipun ini tidak baik karena kak Disa akan menaruh curiga kepada kami. Aku senang kak Disa datang dan menolongku untuk menghentikan segala paksaan yang Okta lakukan kepadaku.
"Aku masih ingin kalian bekerja diperusahanku,” katanya yang membuat kak Disa tidak senang.
Dasar idiot! Kenapa ia harus mengatakan itu? Kak Disa tentunya berharap bahwa ia adalah satu-satunya.
"Kan sudah ada aku, kenapa harus Dara?" tanyanya dengan ekspresi tidak senang dan aku lelah berada disituasi yang seperti ini berulang kali.
"Kak Disa, jago administrasi loh. Kan, lumayan bisa bantu kamu." Aku harus mencairkan suasana ini. Sebab, aku tidka memiliki pilihan lain kecuali melakukannya..
"Okay kalau gitu, besok kamu datang ke kantorku ya," ucap Okta yang akhirnya menyerah dan kak Disa pun terlihat senang. Aku tahu, Okta hanya melakukan ini karena tidak ingin aku kesulitan.
"Makasih ya Okta, kita bisa saling bertemu mulai dari sekarang." Bahkan dengan berani kak Disa memegang tangan Okta. Aku tahu, Okta sangat merasa tak nyaman. Untuk itu aku merasa bersimpatik kepadanya, tapi semua ini adalah sesuatu yang harus ia pertanggung jawabkan untuk setiap pilihannya.
"Ya uda, kamu bawa minuman ini ke anak-anak. Aku bantu Dara bentar," usir Okta dan kak Disa yang kelewat bahagia terlihat lupa dengan rasa cemburunya. Ia pun pergi tanpa mengatakan apa pun.
Kini hanya tinggal kami berdua. "Apa kamu benar-benar setuju aku sama Disa?"
Aku tidak mengerti, kenapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul saat ia seharusnya tahu jika semuanya adalah pilihannya. “Bukannya ini pilihanmu?”
"Tapi Dara ... Cuman kamu cewek satu-satunya yang aku pedulikan. Lebih dari siapa pun!" ungkapnya yang membuat aku kalang kabut.
Aku tahu, tapi ini semua sudah terlambat. Kita, hanya bisa berjalan sejauh ini.
“Kamu harus bertanggung jawab untuk pilihanmu,” kataku yang kali ini membawa beberapa camilan masuk, meninggalkan Okta sendiri.
Aku sangat tidak tega, tapi ini adalah sesuatu yang kita dapat karena kita tidak jujur pada diri kita sendiri. Semuanya sepadan dan seharusnya ia menyadari itu semua.
Tepat jam 7 pagi, aku sudah berada di gedung Syarend grup dan menerima beberapa wawancara terakhir. Pertanyaannya tidak terlalu melalahkan hanya saja aku sangat membutuhkan asupan makanan setelah seluruh pikiranku yang dengan bodohnya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa mungkin aku terlalu waspada sampai seperti ini? Tapi, ini lebih baik dari pada aku berleha-leha bukan?Kami pu
Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahre
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema
Rapat dibuka dengan beberapa riset secara garis besar dari divisi pemasaran yang tentunya akan sangat membantu kami untuk mempersiapkan beberapa poin untuk menentukan harga dan kebutuhan konsumen. Tak lupa, pembukaan rapat yang luar biasa dari ceo kita yang menakjubkan, Regan. Sekarang, sepertinya aku pun ikut-ikutan kagum sama dengan karyawan yang lain.“Jadi, apa kalian memiliki usulan?” tanyanya yang menatap kami bergantian. Setiap lekuk wajah yang tajam tentunya sangat menghipnotis para kaum hawa. Suara bass yang karismatik itu apa lagi. Ah, sepertinya aku menjadi gila hanya dengan melihatnya di depanku.Adara sadarlah!“Adara, apa kau memiliki usul?”Mampus! Bagaimana bisa ia bertanya kepadaku? Karyawan baru dan aku pun memandangi Sisi yang berusaha menggerakkan tangannya untuk menyemangatiku, sementara karyawan cewek yang lain melirikku dengan sinis. Lalu, pak Santoso ya
Setelah kejadian itu, aku sering sekali diperhatikan oleh karyawan cewek yang begitu menyukai Regan. Tak jarang dari divisi lain mampir kemari hanya untuk melihat aku yang katanya cewek paling diinginkan pak Regan seentero Syahrend Group yang memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Aku tidak terlalu yakin, tapi Sisi menceritakan hal ini berulang kali dan menggebu-gebu.Seperti saat ini, sepertinya kami harus lembur dan setiap hari harus lembur. Ini sebenarnya bagus, karena aku tidak perlu pusing-pusing untuk menghindari makan malam dengan keluarganya Okta. Aku juga lelah melihat kak Disa berakting atau Okta yang tidak bisa sadar jika pada akhirnya ia harus lebih memperhatikan kak Disa dari pada aku.Meskipun pada akhirnya Okta selalu mengirim pesan untuk membuatku segera berhenti dari pekerjaan ini. Aku selalu mengabaikannya, lama-lama aku merasa risih juga dengan bom pesan darinya.“Ada apa? Kelihatannya kamu
Saat acara makan dimulai, rasanya susah untuk membuka mulutku karena ia terus menatapku dengan tatapan yang benar-benar menusuk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan saat ia berhasil menunjukkan tatapan seperti itu. Maksudku, bisa dikatakan kami hanya bertemu beberapa kali tapi ia seolah tahu segalanya tentangku.“Jadi Okta itu siapa? Pacar kamu?” Sisi yang tidak peka ini bertanya dengan sangat lantang dan jelas, membuatku harus melirik pada Regan serta Guntur. Namun, ini bagus juga maksudku aku bisa sekaligus menjelaskan jika saat di depan kantor waktu itu bukanlah acara pacaran.“Bukan, dia calon tunangan kakakku,” kataku dan aku harap ia akan berhenti membulliku setelah mendengarkan hal ini. Namun, apa yang aku dapat? Ia tersenyum sinis.“Jadi kau bertemu dengan tunangan kakakmu secara diam-diam?” Ia mencoba menebak sekaligus membuat masalah denganku.
Setelah mengatakan kata-kata yang tidak pernah ku katakana sebelumnya, aku memilih memasuki toilet dan duduk termenung di atas wc duduk. Penyesalan tiba-tiba saja datang dan merasa tak sepantasnya aku berbicara seperti itu kepada kak Disa dan Okta. Entah mengapa, aku merasa lelah harus menghadapi sikap sok polos mereka. Membiarkan diriku sendiri menahan segala emosi pun terasa tidak adil. Mereka bisa bertingkah bebas sesuka hati, sementara diriku harus terus berupaya untuk menjadi manusia yang baik.Setelah perenungan, aku memilih untuk keluar dari toilet dan aku sedikit bingung saat para cewek tersenyum sembari berbisik yang sedikit ku dengar membahas cowok ganteng yang sedang berdiri di depan toilet wanita.“Siapa ya ceweknya?”“Beruntung banget ya ceweknya.”Aku melihat beberapa yang masuk ke dalam toilet dan sepertinya aku juga penasaran. Seberapa ganteng cowok itu sampai
Pukul lima pagi aku sudah selesai sholat dengan agenda lanjutan untuk beres-beres rumah. Semalam aku harus pulang jam sebelas malam dengan berbagai hal yang harus ku kerjakan. Seluruh tubuhku lelah, tetapi aku tidak akan menyerah hanya karena ini.Sembari mencuci piring, aku memikirkan beberapa hal. Salah satunya dengan sikap aneh bosku itu. Maksudku, kenapa ia terus-terusan menggangguku seperti itu?“Dara ….” Aku menoleh dan mama sudah bangun, berdiri di sampingku.“Iya, ada apa Ma?” tanyaku dan mama tersenyum. Aku sudah bisa menebak, kata apa yang selanjutnya mama akan katakana.“Seminggu lagi Disa tunangan sama Okta dan papa memutuskan acaranya akan diadakan di rumah kita,” kata mama yang aku tahu apa yang membuat papa mengatakan ini, semua karena keluarga om Obi sudah berbuat terlalu banyak untuk kita. Seharusnya kita semua mandiri, sesulit apa pun ekono