Bab 9: Jodoh
Akhirnya persidangan perusahaan internasional telah selesai sore itu. Sewaktu persidangan berakhir, Safiyya sempat bertukar kartu bisnis dengan beberapa ahli perniagaan dari pelbagai negara untuk menambah lagi koneksi bisnis perusahaan milik abangnya, Mikail. Zafril, Safiyya dan Vivian berjalan keluar dari aula hotel. Wajah mereka tampak lelah tetapi bersalut rasa gembira karena persidangan itu telah selesai mengikut jadwal yang telah ditetapkan. Perut mereka juga sudah kenyang karena usai persidangan, mereka dijamu dengan aneka juadah minum petang yang telah disediakan oleh pihak hotel.
"Fiya, apa malam ini kamu ada acara?" tanya Zafril dengan nada berbisik tetapi sempat didengari Vivian.
"Amboi, Zaf. Apa kau mahu mengajak Fiya keluar malam ini? Hanya kalian berdua?" soal Vivian.
"Iya, hanya berdua. Kau harus menemani suamimu, kan? Jadi, jangan menganggu rencanaku untuk keluar berdua dengan Fiya. Bagaimana, Fiya? Kamu setuju?" tanya Zafril.
“Maaf ya, Zaf. Aku memang tidak ada rencana apa-apa malam ini tapi aku hanya mahu beristirahat di kamar. Dan aku mau tidur awal karena badanku dan otakku kelelahan," jelas Safiyya dengan sopan.
"Oh, aku baru saja ingin mengajakmu jalan-jalan melihat Kota Jakarta malam ini tapi disebabkan kamu lelah jadi tidak mengapa. Lain kali aja kita keluar." balas Zafril dengan tenang biarpun rasa kecewa memenuhi ruang hatinya.
"In Shaa Allah. Nanti jika aku ada waktu terluang, kita bertemu lagi. Jika kamu tidak keberatan, kita bisa berjumpa di Malaysia. Kamu tinggal di Putrajaya juga, kan?" tanya Safiyya.
“Iya tapi bagaimana kamu bisa tau aku tinggal di Putrajaya? Wajah Zafril kelihatan curiga saat dia memandang wajah Safiyya membuatkan Safiyya terus berpaling menatap wajah Vivian.
“Aku yang beritahu Fiya soal kehidupan kau, Zaf. Kenapa? Apa kau takut kalau aku beritahu Fiya bahwa kau itu pewaris tunggal perusahaan milik keluargamu?" soal Vivian.
"Vi, kamu benar-benar tidak bisa menyimpan rahasia, ya. Ikut hatiku, mau aja aku menjahit mulutmu itu," kata Zafril dengan nada sebal.
"Bertenanglah, Zaf. Fiya memang sudah tahu kau itu bersahabat dengan abangnya, Mikail. Dia sudah bertanya pada Mika soal kau melalui WhatsApp ketika kau sedang fokus di persidangan tadi," Vivian coba membela dirinya.
"Maaf, Fiya. Aku hanya tidak suka orang mengetahui hal pribadi aku dan akhirnya tertarik padaku karena status aku semata-mata. Aku hanya ingin berteman tanpa ada urusan bisnis atau menyangkut soal darjat mahupun gelaran status. Aku harap kamu mengerti," kata Zafril.
Lelaki itu menatap wajah Safiyya yang hanya tersenyum memandang ke arahnya.
"Tidak mengapa, Zaf. Aku mengerti. Kamu jangan khawatir. Aku tidak memandang gelaran atau status kekayaan seseorang dalam persahabatan. Kita berdua bisa bersahabat sepertimana aku bersahabat dengan Vivy. Jadi, kamu tenang aja. Aku senang sekali menganggapmu sebagai temanku." ujar Safiyya.
"Terima kasih atas pengertiannya. Aku senang sekali kau menerima aku sebagai teman. Mungkin takdir Tuhan akan menjodohkan kita sebagai pasangan suami istri suatu hari nanti," usik Zafril dengan berani. Safiyya hanya mampu tersenyum tanpa berkata apa-apa.
" Zaf, aku rasa kau sudah jatuh cinta sama Fiya. Apa kau sudah bersedia untuk melepaskan sikap playboy kau itu?" tanya Vivian sebelum tertawa.
"Diam, Vi. Aku tidak pernah punya sikap playboy seperti yang kau bicarakan. Kau hanya ingin menyakiti hatiku aja. Dari aku terus mendengar omong kosongmu, aku pergi duluan, ya. Assalamualaikum, Fiya dan jumpa lagi, Vi." ujar Zafril dengan suara seperti orang merajuk dan kecewa.
"Waalaikumsalam." Safiyya menjawab salam Zafril.
"Bye bye Zaf. Jumpa lagi, kasanova." kata Vivian sambil melambaikan tangannya.
Zafril melangkah pergi dari situ dengan langkah yang penuh percaya diri. Mereka berdua melihat Zafril melangkah pergi yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mata mereka. Kemudian, Vivian memandang ke arah Safiyya.
"Jom, kita pulang ke kamar. Aku yakin Robert sudah bangun dan menungguku. Aku benar-benar merindukannya." Vivian memaut dan memeluk lengan Safiyya lalu mereka berjalan menuju ke lif untuk pulang ke kamar mereka.
"Apa kau sudah merindukan suamimu itu, Vivy? Kalian baru berpisah sebentar. Tidak sampai satu hari tapi kau sudah merindukan Robert seolah-olah kalian sudah terpisah bertahun-tahun lamanya." Safiyya membalas kata-kata Vivian.
“Fiya, Robert itu suamiku. Jadi, wajar saja kalau aku sentiasa merindukannya, kan? Apa kau cemburu? Jika kau cemburu, menikahlah segera wahai sahabat. Pengantin lelaki juga sudah ada. Kalau kau mau tau, Si Zafril itu sangat baik budi pekertinya. Uangnya banyak, perusahaannya ada di merata tempat tidak kira Asia mahupun Eropah. Seperti yang kau lihat, dia juga tall, dark and handsome. Menurut para karyawannya, Zafril itu memiliki ilmu agama yang baik. Dia selalu menjadi imam di kantornya. Jadi, apa lagi yang kau mau? Dia sangat cocok buatmu, Fiya. Jika kalian berjodohan, kalian bagai pinang dibelah dua dan bagai merpati dua sejoli. Pokoknya, kalian benar-benar serasi. Aku yakin, anak-anakmu nanti akan memiliki rupa dan fisik yang mengagumkan," Vivian coba meyakinkan Safiyya untuk menerima Zafril.
"Vivy, entah kenapa aku merasa kau seperti penjual obat di pasar. Kau terlalu bersemangat sekali dalam urusan jodohku. Apa kau dibayar sama Zafril untuk memujukku agar aku menerimanya?" usik Safiyya sebelum tertawa membuatkan wajah Vivian bertukar masam.
"Zafril tidak perlu bersusah payah membayarku untuk memujuk dirimu, Fiya. Aku memujukmu untuk menerima Zafril karena aku mahu kau mendapatkan jodoh yang terbaik. Aku mahu kau bahagia di dunia dan juga di surga. Apalagi kau itu sahabatku." jawab Vivian dengan bersungguh-sungguh.
"Aku mengerti niat baikmu, Vivy. Tapi aku masih belum memikirkan soal jodoh. Aku masih ingin memegang status jomblo. Jomblo happy memang pilihan hati. Biarku bisa bebas terbang ke sana sini. Jadi, nanti aja ya Vivy. Buat masa sekarang aku mau fokus pada karierku. Daripada kita berpikir soal jodoh aku yang tidak kita tau kapan akan muncul, lebih baik kita bersenang-senang libur di Jakarta besok." ujar Safiyya dan sempat juga dia menyanyikan dua baris lagu Jomblo Happy.
"Tidak, Fiya. Soal jodoh ini sangat penting. Kau itu sudah 26 tahun, sayang. Sudah tua dan layak menikah. Apa kamu mau menikah di usia 60 tahun? Di saat uban sudah menghiasi kepalamu, rambut yang semakin rontok dan gigimu sudah tiada? Begitu maksudmu?" sela Vivian.
Safiyya tertawa melihat wajah Vivian yang kelihatan geram dan kesal.
"Iya, nanti aku akan fikirkan soal tawaranmu itu. Jika memang benar Zafril itu jodohku, aku akan menerima dia seadanya. Aku akan menikahinya karena Allah dan terima segala kelebihan dan kekurangan dirinya. Apa kamu puas, Vivy sayang?" soal Safiyya.
Pertanyaan Safiyya tidak dijawab oleh Vivian. Perempuan itu sedang berpikir sesuatu. Dahinya berkerut saat dia memandang wajah Safiyya.
"Fiya, barusan aku terpikir sesuatu. Apa jangan-jangan kau sudah jatuh cinta pada lelaki misterius itu?" Vivian bertanya dan matanya tidak lepas memandang tepat ke mata Safiyya.
“Hey, Vivy! Apa yang kau katakan itu tidak benar sama sekali. Sudah tentu aku tidak mempunyai apa-apa perasaan terhadap lelaki itu. Kau pikir aku… Aduh!" Safiyya mengaduh kesakitan saat bahunya dilanggar seseorang. Hampir saja tubuhnya jatuh ke lantai marmar hotel. Namun sekali lagi tubuhnya dipaut dan dia merasa tubuhnya bertemu satu tubuh kekar. Tanpa memandang ke arah Sang Penyelamat, Safiyya melepaskan tubuhnya dari pelukan itu dan berdiri dengan wajahnya menekur lantai.
“Maaf aku tidak sengaja. Permisi." kata lelaki itu dengan kasar.
Lelaki itu terus saja melangkah pergi dengan pantas tanpa memandang ke arah Safiyya. Mata tajam bak elang milik Vivian sempat melihat wajah lelaki itu berserta tag nama yang tergantung di leher lelaki itu. Vivian membuang nafasnya dengan berat. Dia menyentuh bahu Safiyya dan wajahnya kelihatan putus asa.
"Fiya, aku rasa lelaki misterius itu memang jodohmu. Aku yakin Zafril tidak akan ada peluang untuk mencuri hati dan cintamu karena memang Tuhan sudah mengatur jodohmu dengan lelaki lain." ujar Vivian dengan nada sayu.
"Maksudmu apa, Vivy? Aku tidak mengerti bicaramu." ucap Safiyya dengan nada kesal.
"Maksudku, lelaki yang melanggar bahu kau itu tadi adalah lelaki misterius yang coba mencium kau semalam. Apa kau tidak sadar wajah mereka sama dan mirip antara satu sama lain?" tanya Vivian sebelum menepuk dahinya kesal.
"APA?! Di mana lelaki mesum itu pergi? Kalau aku dapat dia, akan aku jambak rambutnya hingga botak. Aku tidak sempat menatap wajahnya karena aku terlalu terkejut. Jika saja aku sempat melihat wajahnya sebentar tadi, pasti aku bisa menampar pipinya sekali lagi." marah Safiyya karena rasa amarah membuak-buak dalam hatinya.
"Dia sudah pergi tapi aku sempat melihat tag namanya. Nama lelaki itu Rizky Iqbal dan tertulis di tag namanya bahwa dia itu hanyalah staf. Aku pikir dia anak konglomerat atau anak pengusaha besar jika diukur dari gaya dan rupanya tapi dia hanya staf biasa. Jadi, percuma aja kau berurusan dengan lelaki seperti itu. Tidak memberi keuntungan padamu." kata Vivian dengan nada meremehkan.
"Vivy, jaga tutur katamu itu sahabat. Bisa jadi dia hanya staf biasa sekarang tapi aku yakin bahwa suatu hari nanti dia akan menjadi seorang CEO yang sukses dan perusahaannya terkenal di mata dunia." ujar Safiyya.
"Wow, Fiya. Apa kau mau menjadi seperti ahli nujum Pak Belalang? Yang bisa membaca masa depan manusia?" usik Vivian sebelum tertawa.
"Tidak, Vivy. Aku cuma tidak suka kau meremehkan orang lain seperti itu. Masa depan setiap manusia itu bisa berubah." balas Safiyya sebelum tersenyum manis.
"Bagiku, kau adalah orang sangat baik, Fiya. Kau masih mau mendoakan lelaki brengsek yang sudah melecehkanmu semalam. Apa karena dia tampan?" tanya Vivian ingin tahu.
"Tadi kita bicara soal karier dan masa depan. Jadi, aku hanya bahas soal masa depan karier lelaki itu saja. Soal pribadi antara dia dan aku, yah secara jujurnya aku masih menganggap dia sebagai lelaki brengsek. Selagi dia tidak memohon maaf dariku, aku akan terus berpikir dia itu lelaki mesum yang menyeramkan." jelas Safiyya.
"Karena itu kau harus memilih Zafril sebagai suamimu, Fiya. Hanya lelaki itu jodoh yang tepat buatmu." pujuk Vivian.
"Oh, Vivy. Aku mohon kau tolong berhenti berbicara sekarang. Aku pusing mendengar bicaramu soal jodohku. Kau membuat aku merasa sebal sekarang." ucap Safiyya dengan wajah berang.
"Baik, aku akan berhenti berbicara tapi kau harus ingat sesuatu, Fiya. Lelaki yang tepat akan mencintaimu dengan cara yang tepat. Jangan memilih lelaki brengsek dan bajingan kalau kau tidak mahu menderita di kemudian hari." nasehat Vivian.
"Baik, Vivy. Aku akan sentiasa ingat nasihatmu itu. Ayo, kita pulang ke kamar. Aku benar-benar ingin berbaring di kasur." ujar Safiyya sebelum melangkah dengan pantas menuju ke lift meninggalkan Vivian.
"Iya. Hey Fiya, aku tau kau lelah tapi perlahankan langk ahmu! Kakimu itu lebih panjang dari kakiku, Fiya jerapah." Vivian segera mengejar langkah Safiyya.
Bab 10: Panggilan teleponJam 10 malam. Safiyya sedang berbaring di atas ranjang sambil menonton telivisi. Perut Safiyya tiba-tiba berkeroncong minta diisi. Dia segera turun dari ranjang dan membuka bagasinya untuk mencari mie instan. Akhirnya dia memilih satu cawan (cup) Mie Instan Maggi asam laksa yang merupakan kegemarannya. Safiyya berjalan ke ruangan kerja berhampiran jendela kaca dan dia duduk di atas kursi. Dia menuangkan air panas ke dalam cup mie instan itu dengan berhati-hati. Setelah menunggu selama tiga menit, Safiyya mulai makan mie instannya itu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan malas, dia mencapai ponselnya dan melihat nomor pemanggil tapi yang anehnya, nomor itu nomor 'private'."Aduh, aku lagi malas untuk berbicara saat ini. Lagipula aku tidak tahu siapa yang meneleponku. Biarkan sajalah. Jika penting, dia pasti akan meneleponku lagi." kata Safiyya.Safiyya membiarkan ponselnya berhenti berdering dengan sendirinya tanpa mengangkat
Bab 11: Semakin menjauhPonsel milik Rizky berdering dengan nada yang keras tetapi pria itu masih tidak sadar dari tidurnya. Jelas saja bahwa Rizky sangat lelah karena dia telah bekerja sepanjang hari. Jam 10 malam baru dia bisa pulang ke rumah setelah membereskan pekerjaannya di persidangan. Setelah ponselnya berhenti berdering buat seketika, ponsel jenama IPhone itu kembali melagukan deringan keras. Akhirnya, roh Rizky yang bergentayangan entah ke mana masuk kembali ke dalam jasadnya. Rizky membuka kelopak matanya dengan malas. Sempat hatinya merutuk siapa pemanggil yang meneleponnya saat ini. Dia melirik ke arah jam di dinding kamarnya."Sudah jam satu pagi. Siapa sih yang meneleponku waktu begini," marah Rizky dengan kesal.Dengan berat hati, dia menjawab panggilan telepon itu tanpa melihat nama pemanggil tersebut. Namun, suara ceria milik seorang perempuan bisa ditebak oleh Rizky." Rizky sayang! Yuk ke klub. Aku udah ada di klub nih. D
Bab 12: Mr Tour GuideSafiyya sedang duduk di kursi yang terletak di lobi hotel. Dia melihat arloji di pergelangan tangannya. Baru jam 8.45 pagi. Kelibat Vivian dan suaminya, Robert masih belum kelihatan. Safiyya membuka aplikasi WhatsApp di ponselnya. Dia mencari nomor Uminya. Kemudian, jemarinya ralit menaip aksara membentuk perkataan dan ayat pada Umi kesayangannya itu.'Assalamualaikum Wr. Wb, Umi. Umi, hari ni Fiya akan berjalan-jalan di Kota Jakarta. Umi doakan Fiya, tau. Fiya sayaaaanggg Umi.' - Fiya-Balasan WhatsApp Safiyya dibalas segera oleh Uminya.'Wa'alaikumsalam, Fiya. Saat berlibur nanti, jaga kelakuan Fiya. Jangan lupa belikan Umi cenderahati dari Jakarta, ya. Umi juga sayang pada Fiya. Jaga diri baik-baik, ya.' -Umi-Safiyya tersenyum saat membaca balasan Uminya itu. Ya, Uminya itu tidak jemu untuk menasihatinya agar sentiasa menjaga perlakuan lebih-lebih lagi ket
Bab 13: Pasar AsemkaSafiyya berjalan dengan langkah perlahan dan berhati-hati. Di Pasar Asemka pada pagi itu penuh dengan turis dan penduduk kota yang bisa diibaratkan seperti lautan manusia. Inilah tempat pertama yang dipilih oleh Vivian dan Robert untuk mereka kunjungi pada hari ini. Satu pemandangan yang menyeronokkan buat Safiyya saat melihat warga kota begitu sibuk berbelanja dan dia juga bisa mencuci mata melihat pelbagai barangan yang dijual di sini. Vivian dan Robert pula sudah berada jauh di depan. Tanpa mereka sadar, mereka sudah meninggalkan Safiyya seorang diri. Pasangan suami istri itu sangat teruja dan bersemangat sekali ketika melihat barangan dan aksesori yang ada di setiap tempat jualan.'Haish, sebab inilah yang membuatkan aku tidak mau ikut serta berjalan-jalan dengan mereka berdua. Akhirnya, aku sendirian di sini. Janji hanya tinggal janji. Aku ditinggalkan seorang diri tanpa teman. Ya Tuhan, nasib jomblo seperti aku sangat menyedihk
Bab 14: Vivian Panik.Vivian masih leka berjalan sambil memaut erat lengan kanan suaminya, Robert seolah-olah dia takut kehilangan jejak suaminya itu. Mereka berdua berhenti di setiap toko untuk mencari pelbagai barangan dengan harga yang 'bersahabat' atau bahasa mudahnya, harga yang murah dan berpatutan. Tangan kanan Robert sudah dipenuhi dengan plastik yang berisi pelbagai barangan. Jujur saja bahwa kaki Robert sudah tidak mampu untuk terus menapak dan tubuhnya juga kehilangan banyak tenaga. Namun, dia gagahkan juga dirinya untuk terus menemani Vivian, istrinya tercinta yang masih mau berbelanja. Vivian berhenti di satu toko yang menjual pelbagai tas tangan. Matanya fokus meneliti setiap tas dan akhirnya dia memilih satu tas bercorak bunga berwarna merah jambu. Usai membayar, Vivian menoleh ke belakang. Dia sangat terkejut saat melihat kelibat Safiyya dan Rizky sudah tiada di belakangnya."Sayang, Fiya dan Rizky sudah hilang!" kata Viv
Bab 15: Hampir ditabrakRizky berjalan pantas memasuki Gedung Asemka. Matanya meliar mencari kelibat dan keberadaan Safiyya. Sudah sepuluh menit Rizky mencari gadis itu tetapi dia tetap gagal untuk menemukan Safiyya. Butir peluh mula menghiasi dahi Rizky. Dengan kasar, dia mengesat peluh di dahinya sebelum butiran peluh itu menetes jatuh."Ke mana sih gadis itu pergi? Apa jangan-jangan ada perkara buruk sudah terjadi padanya? Ya Allah, lindungilah gadis aneh itu dari bahaya. Biarpun aku tidak suka sama sikapnya yang gila itu tapi kalau sampai terjadi apa-apa padanya, aku bisa dibunuh sama Papa. Aku masih mau hidup, Tuhan." ucap Rizky dengan nada memelas.Rizky mula berkacak pinggang. Pikirannya buntu dan dia sudah habis pikir di mana lagi dia perlu mencari keberadaan Nona Safiyya itu. Tiba-tiba hidungnya menangkap bau parfum yang sangat dia kenal. Bau parfum itu semakin lama semakin kuat dan saat itu juga, matanya menang
Bab 16: Kembali bertemu Vivian❤️Di tempat parkir mobil, Vivian terus menghampiri Safiyya dan meninggalkan Robert. Rizky pula menghampiri Robert untuk mengobrol dengan lelaki itu."Fiya! Tadi kau ke mana aja? Aku pikir kau berada di belakangku. Tiba-tiba kau hilang. Malah, Rizky juga turut menghilang. Apa jangan-jangan kalian mau berjalan-jalan berdua lalu meninggalkan aku sama Robert? Jujur padaku. Kalian berkencan secara rahasia, kan?" tuduh Vivian dengan nada mengusik."Kau yang meninggalkan aku, Vivy. Aku sepatutnya sadar bahwa pasangan suami istri seperti kau dan Robert perlukan privasi. Jadi, aku tidak perlu mengikuti kalian berlibur di sini. Lebih baik aku berehat di kamar hotel aja." balas Safiyya.Gadis itu masih merajuk dengan sikap Vivian terhadapnya. Vivian memeluk sisi tubuh Safiyya."Aku mohon maaf, ya Fiya. Tadi aku terlalu bersemangat sekali saat berbelanja di
Bab 17: Masjid IstiqlalMereka sudah tiba di China Town Market. Vivian dan Robert sudah melangkah turun dari mini van tetapi Safiyya masih tetap duduk membatu di kursi penumpang di sebelah Rizky. Kelakuan aneh Safiyya itu mengundang rasa ingin tahu dalam diri Rizky. Namun, lelaki itu tidak mahu jika Robert menganggap pertanyaannya itu nanti sebagai satu cara untuk mendekati Safiyya sehingga memberi harapan palsu kepada gadis itu. Jadi, lelaki itu berkeputusan untuk bertanya dengan nada paling dingin yang boleh dia ucapkan."Kamu kenapa? Apa kamu tidak mau turun?" tanya Rizky dengan nada dingin tanpa melihat wajah Safiyya.Kedinginan dalam nada suara Rizky membuat Safiyya menatap Rizky dengan tatapan aneh. Dia keliru dengan perilaku Rizky yang sering berubah-rubah. Safiyya merasa lelaki itu sengaja memandang ke depan untuk mengelakkan mereka bertemu pandang seolah-olah jijik untuk menatap wajah Safiyya. Safiyya mend