"Beréngsek, kenapa nggak di angkat, sih, teleponnya. Huft … udah ditungguin satu jam juga belum datang." Seorang wanita cantik nan séksi yang mengenakan lingeri merah itu menghentak-hentakkan kakinya sambil ngomel-ngomel karena orang yang ditunggunya di kamar hotel tidak kunjung datang.
Di kafetaria hotel nampak Risa dan Danu sedang melihat buku menu untuk memilih makanan yang mereka pesan."Sayang, mau pesan apa?" Danu bertanya kepada Risa, pasalnya sudah sepuluh menit berlalu istrinya itu belum menyebutkan menu apa yang akan dipesan."Mmm … sup labu dan french toast, untuk minumnya jus jeruk aja.""Cuma itu aja, kok sedikit amat? Nanti nggak cukup lho, kalau dibagi sama dedeknya." Danu bertanya sambil mengelus perut Risa yang masih datar. Seketika wajah Danu memucat ketika pandangannya tertuju kepada sosok wanita cantik yang baru keluar dari lift hotel. Mata cantik itu menatap tajam kearah tangan kanan Danu yang berada di atas perutnya Risa."Mas kenapa, mukamu kok pucat? Mas sakit?" Risa bertanya sambil memegang wajahnya Danu."Lihat apaan sih?" Sekali lagi Risa bertanya."Nggak pa pa, mungkin karena sudah lapar. Perut Mas sedikit kembung." Danu segera menarik tangannya dari perut Risa setelah tatapan tajam mata sang kekasih seolah mengulitinya."Kalau gitu biar aku panggil pelayan biar pesenan kita dicepetin." Risa mengangkat sebelah tangannya ke atas sambil membalikkan badannya. Ia terbelalak ketika melihat teman lama yang sangat dirindukannya terlihat sedang berdiri mematung di depan pintu lift hotel."Karin …." Risa setengah berlari menghampiri Karin teman baiknya ketika duduk di bangku sekolah menengah atas dulu. "Ya Tuhan … kemana aja sih lo, gue kangen banget tahu. Lo kayak ngilang ditelan bumi setelah gue nikah, bahkan nomor ponsel elo juga nggak aktif." Risa memeluk Karin erat sambil memberondong segudang pertanyaan."Ternyata bawel elo masih utuh ya, walaupun udah nikah. Satu-satu dong kalau nanya, sampai bingung gue.""Hehehe, maaf ya, abis seneng banget gue bisa ketemu sama elo disini setelah dua tahun nggak ada kabar. Sini, sini, makan bareng kami, Mas Danu juga pasti seneng banget bisa ketemu elo." Risa menarik tangan Karin untuk mengikutinya."Tapi Ris ….""Serah, gue nggak terima penolakkan dari elo TITIK."Danu terlihat gelisah setelah melihat Risa menarik tangan Karin mendekat ke meja di mana dirinya dan Risa sedang makan siang."Mas lihat, siapa ini, tara …." Risa seolah memberikan kejutan kepada Danu."Eh kamu kan … siapa, ya?" Danu pura-pura tidak kenal."Ish, masih muda udah pikun. Ini Karin mas, Karin temen aku waktu SMA. Dulu sering jalan bareng sama kita waktu kita masih pacaran.""Oh … Karin yang dulu itu, ya? Hai Karin, apa kabar?" Danu mengulurkan tangan kepada Karin."Hai juga Kak Danu, kabar baik." Karin menerima uluran jabat tangan dari Danu."Udah deh kayak sama siapa aja. Nggak usah formal-formal kali. Sini Rin, duduk, kita makan bareng ya?"Karena meja makannya berbentuk bundar, Karin duduk di antara Risa dan Danu. Dengan wajah yang tersenyum manis di bawah meja makan, tangan Karin meraih tangan Danu dan menggenggamnya. Wajah Danu menegang dengan aksi nekat Karin."Kenapa Mas, kok pucat lagi? Masih sakit perutnya? Jangan bengong aja, cepet diabisin dong, biar perutnya nggak kembung.""I-iya, Sayang.""Oh ya, Rin, mau pesen apa?""Gue masih kenyang, pesen jus jambu aja deh.""Uluh-uluh, body udah kayak gitar spanyol gitu kok masih aja diet. Ngiri banget deh sama elo. Beruntung banget cowok yang jadi suami elo."Ah biasa aja kali, elo berlebihan, Ris. Lagian gue masih singgle kok.""What … masih singgle, belum married dan nggak punya pacar? Bisa-bisanya sih Rin. Kriteria elo yang kek gimana sih, gue pengen tahu.""Umum aja Ris, cinta dan sayang ama gue. Soal mapan itu relatif, asal dia mau kerja keras demi gue dan anak-anak gue kelak itu sudah cukup.""Uh, so sweet … by the way, mau nggak lo gue kenalin? Temennya mas Danu banyak yang masih jomblo. Ya kan, Mas, coba Mas pilihin dong buat dikenalin ke Karin. Siapa tahu jodoh.""Uhuk-uhuk." Danu yang sedang minum langsung tersedak mendengar permintaan Risa."Hati-hati, Mas! Kenapa sih Mas, hari ini Mas kok tingkahya aneh?" Risa mengelap ujung bibir Danu yang basah."Makasih, Sayang." Danu secara reflek memegang tangannya Risa yang sedang membantunya membersihkan noda kopi. Di sisi lain, wajah Karin berubah muram melihat kemesraan pasutri yang ada di hadapannya."Ehem …." Karin menginterupsi kegiatan mereka."Eh, maaf Rin, gue nggak bermaksud mesra-mesraan di depan elo, hehehe." Risa tertawa untuk mengurangi kecanggungngan, sedangkan Danu kembali pucat wajahnya ketika mendapatkan tatapan tajam dari Karin."Santai aja kali, Ris, dari dulu juga udah biasa." Di bawah meja makan, tangan Karin kembali meraih tanganya Danu. Karena cemburu, Karin sengaja meletakkan tangannya Danu di atas permukaan pahanya yang mulus. Hari ini karin memakai bawahan rok di atas lutut, sehingga ketika ia duduk akan dengan mudah tersingkap ke atas."Ehem …." Danu menelan salivanya berulang-ulang karena suasana yang menegangkan ini. Satu sisi tegang karena sentuhan mulus kulit Karin yang membuatnya bergàirah, sisi yang lain tegang karena takut perbuatan mereka diketahui istrinya."Apalagi sih, Mas, tenggorokan Mas kering, ya? Makanya minum air putih aja, jangan minum kopi biar pedesnya ilang.""I-iya, Sayang, maaf hari ini Mas bikin kamu khawatir terus." Danu segera menarik tanganya dari paha mulus Karin untuk menerima uluran segelas air putih dari Risa."Rin, elo berhutang banyak penjelasan ke gue. Pokoknya elo harus jelasin sedetail-detailnya, ke mana aja elo selama ini dan kenapa kayaknya gue rasa elo menghindari gue.""Maaf Ris, gue ada alasan yang nggak bisa gue ungkapin ke elo.""Alasan apa sih, Rin? Dari dulu kita selalu berbagi rahasia. Sekarang apa bedanya? Walaupun sekarang gue udah nikah tapi itu nggak bakal berubah. Ya kan, Mas?" Risa melirik ke arah Danu."Itu terserah Sayang sama Karin aja. Urusan wanita, Mas nggak bakal ganggu.""Tuh kan, elo denger sendiri suami gue nggak masalah.""Maaf Sayang, Mas harus kembali ke kantor, jam istirahat Mas udah hampir habis." Danu berpamitan sambil mengecup pucuk kepala Risa." Duluan ya, Rin." Danu berpura-pura pamitan kepada Karin."Iya Mas, hati-hati." Ucap Risa dan Karin bersamaan. Mereka bertiga saling berpandangan."Eh maksud gue, Kak. Elo sih, Ris, dari tadi mesra-mesraan mulu. Gue jadi ikut kebawa elo manggil kak Danu jadi Mas." Mendadak keadaan hening."Ahahaha, santai aja kale … gue nggak segitu cemburunya. Apalagi sama elo Rin, kita kan udah kayak saudara sendiri. Nggak usah canggung gitu, dong? Oh ya, gimana ngobrolnya kita sambung di rumah gue, kayaknya nggak cukup waktu kalau kita ngobrolnya di sini. Elo nginep ya, di rumah gue." "Nginep …?" BERSAMBUNG."Oh ya, bagaimana kalau ngobrolnya kita terusin di rumah gue, kayaknya nggak cukup waktu kalau di terusin disini. Nginep ya … di rumah Gue?" "Nginep?" Danu dan Karin kompak menjawab bersamaan. "Iya, nginep. Kenapa reaksi kalian berdua aneh? Kayak udah janjian gitu." Risa mengerutkan keningnya. "N-nggak gitu, Ris. Gue cuma ada urusan sama temen." Karin tergagap. "Temen yang lebih penting dari gue? Setelah dua tahun nggak pernah bertemu? Lagian elo singgle, pasti nggak ada janji sama cowok, kan?" Risa memasang wajah kecewa. "Eh, itu …." Karin melirik Danu. "Sayang, Mas ke kantor sekarang, ya? Mas, nggak ikutan urusan wanita." Danu mengelus pundak Risa dan setengah berlari keluar dari kafetaria hotel. "Em … iya deh, gue nginep di rumah elo nanti malam." Karin tidak punya pilihan lain."Ye … gitu dong, bff." Risa melompat girang. 'Hh, elo yang ngundang gue ke rumah elo, Ris. Jangan salahkan kalau suami elo nyuri kesempatan buat bermesraan sama gue.' Karin tersenyum mengejek. Ia se
"Udah pulang, Mas." Risa dan Karin menjawab bersamaan. Lagi-lagi mereka bertiga saling berpandangan dengan ekspresi yang berbeda-beda. Hening. "Ahahaha, makanya, Rin, elo musti cepet cari calon suami, biar nggak salah manggil terus. Masak dari tadi siang elo manggil suami gue dengan panggilan, Mas. Ngarep ya jadi istrinya mas Danu, atau elo mau jadi madu gue? Kalau elo mau, gue seneng banget. Biar bisa bebas tugas dari sini terus bisa pulang ke Jakarta nemenin Papa." Danu dan Karin kaget dengan kata-kata yang meluncur bebas dari mulut seorang Risa Aulia. "Ris!" "Yang." Danu dan Karin menjawab di waktu yang bersamaan. Wajah keduanya terlihat pucat. "April mop … duh gue cuma bercanda, Rin. Jiwa jomlo elo udah meronta-ronta minta suami tuh, bibir bilang asyikan jomlo tapi yang di dalam hati maunya punya suami ye, kan …." "Aduh Sayang … nggak lucu tahu." Danu merasa lega setelah mendengar pengakuan Risa kalau baru saja melontarkan sebuah candaan kepada mereka. "Maaf-maaf ya, Rin, se
"Lo dari mana, Rin? Gue cari-cari kok nggak ada. Padahal gue cuma ke kamar mandi sebentar.""Eh itu Ris, gue abis teleponan sama temen. Di dalam, sinyalnya timbul tenggelam jadi gue keluar rumah buat angkat telepon.""Rin, elo sekarang ngrokok? Kok bau badan lo kek bekas orang yang suka ngrokok?""Masak sih?" Karin mengendus baju yang dipakainya." Oh tadi pas di luar ada bapak-bapak ronda sedang ngrokok di dekat gue, mungkin asepnya nempel di baju gue. Masak iya, gue ngrokok sih, Ris? Elo pikir gue cewek apaan?""Hehehe … iya sih, mungkin hormon kehamilan nih bikin gue sensitif sama bau-bau tertentu. Ngomong-omong, lo lihat nggak laki gue di mana? Dia juga nggak kelihatan dari tadi."Lho Mas, dari mana?" Risa melihat Danu masuk dari pintu samping rumah."Biasa Sayang, abis ngrokok." Danu berkata dengan santai."Kalian berdua kayak janjian. Karin juga abis dari luar, teleponan ama temen. Baju kalian berdua juga bau rokok. Hehehe … emang rumah kita terlalu minimalis, ya? Sampai-sampai ba
"Haruskah kuakhiri sekarang? "Risa merasakan sakit pada perutnya. Selalu saja begini, ketika ia ingin menyelesaikan masalah rumah tangganya. Janin yang ada di dalam kandunganya seolah mencegahnya, rasa sakit di perutnya selalu datang seiring dengan kata hatinya yang ingin menggugat cerai suaminya.Sebenarnya Risa sudah menangkap gelagat aneh di antara Karin dan Danu, ketika mereka bertemu di kafetaria hotel. Risa hanya pura-pura tidak tahu, ia ingin melihat sejauh mana instingnya terbukti. Nyatanya dengan kedua belah matanya ia melihat sendiri tangan Karin dan suaminya saling menggenggam mesra, rasa sakit hati menderanya ketika suaminya tidak menolak ataupun menghindar dari godaan Karin, sedangkan Risa yang notabene berstatus istri sahnya berada dihadapan mereka berdua."Ternyata elo Rin, orangnya. Tak kusangka, jadi ini alasannya elo menghilang setelah pernikahan gue. Dan buat kamu Mas, kenapa mengejarku dan melamarku kalau yang Mas cinta dari dulu itu Karin. Apa alasannya? Apakah kar
"Mas lagi ngapain di situ?" Danu terperanjat kaget dengan suara Risa yang sudah ada di belakangnya."Eh, Sayang, sudah bangun ya?""Dari tadi, Mas.""Dari tadi, sejak kapan?" tiba-tiba wajah Danu kelihatan memucat."Karin baru saja pergi ya?" Risa pura-pura menanyakan keberadaannya Karin."Emang, Sayang nggak lihat keberadaan Karin?" Danu kembali berdusta."Nggak lihat, emang mas tahu keberadaan Karin di mana?""Nggak tuh." Danu menggidikkan bahunya. "Mas juga baru bangun, Sayang.""Semalam itu aneh banget, tiba-tiba aku ngantuk dan nggak ingat apa-apa sampai pagi. Sekarang, Karinnya udah pergi, padahal belum cerita apa-apa huft ….""Mungkin Sayang terlalu capek, kemarin dari pagi sibuk sampai malam. Jadi nggak sadar ketiduran. Nggak pa pa, lain kali kan masih ada waktu ngobrol. Kapan-kapan janjian dulu. Kalau Karin mau nginap lagi juga nggak pa pa. Mas, seneng kok, kalau kamu ada temen ngobrol.""Mas seneng?" Risa menatap tajam Danu."I-iya seneng, Karin kan teman baik kamu, Sayang. S
Enam bulan kemudian.Sayang, kapan tanggal HPL nya? Mas mau siap-siap ambil cuti supaya bisa nemenin kamu saat lahiran nanti." Danu mendekati Risa yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku tentang kehamilan."Satu minggu lagi, Mas." Risa sebenarnya malas untuk memberitahukan tanggal HPL kelahiranya karena selama ini waktu periksa kandungan juga, Danu seolah tak peduli karena bila berjanji selalu tidak ditepati. Tapi sebagian sudut hati kecil Risa, ia ingin ditemani oleh suaminya disaat proses bersalinya nanti. 'Ah mungkin ini keinginan sang jabang bayi.' batin Risa dengan senyum getirnya."kenapa Sayang, sakit lagi perutnya?""Nggak pa pa, Mas, pegel aja punggungnya." Risa ingin sekali menangis, tapi air matanya sudah mengering sejak ia mengetahui perselingkuhan suaminya. Baginya pantang untuk menangisi seorang suami yang menusuknya dari belakang. 'Bahkan dia tidak tahu bahwa sakit di perutku karena ulah dari tendangan bayi kami yang akan sebentar lagi lahir ke dunia. Kamu j
"Darimana kamu mas, semalam?" Risa memandang Danu dengan tajam, kekecewaan yang besar terlihat dari sorot matanya. "Maaf, semalam mas------ "Sudahlah, tidak penting sama sekali semalam kamu ada dimana." Danu tersentil hatinya dengan jawaban sarkastik dari Risa. "Biar mas bantu." Danu segera meraih tangan Risa, ketika Risa berusaha turun dari ranjang. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Risa ketika Danu memapahnya berjalan ke kamar mandi. Danu cuma menebak, dan sepertinya tebakannya benar karena Risa tidak protes ketika ia menggiringnya masuk ke dalam kamar mandi.Setelah selesai, Danu kembali membantu Risa naik ke atas ranjang dan menggantungkan kembali botol infus ke tiang gantungan. "Mas keluar dulu, mau beli sarapan dan keperluan kamar mandi buat kamu. Sayang mau makan apa? Atau ada sesuatu yang mau dibeli?" &
Dua bulan kemudian."Oek …oek … oekk."Suara tangisan Satria membangunkan Risa, sejak sore hari bayi tampan itu rewel tanpa Risa tahu apa penyebabnya. Risa bangun memeriksa popoknya dan ternyata masih kering. Ia mengangkat bayi gembul itu lalu dipangkunya untuk diberi ASI. "Kamu lapar, Sayang." Risa membuka kancing atas piyamanya, diarahkan püting süsu ke mulut mungil Satria, namun bayi itu menolak dan menangis semakin kencang."Sayang, kenapa dengan Satria?" Danu mengucek matanya karena ikut terjaga dari tidurnya. Dua bulan ini, Danu benar-benar membuktikan janjinya. Tidak ada lagi drama berangkat pagi, pulang telat atau lembur di kantor. Ia menjadi suami dan ayah yang siaga.Dan untuk hati Risa, sebenarnya sudah tidak sama lagi rasa cintanya kepada Danu. Namun Risa tidak ingin, Satria tumbuh tanpa keluarga yang lengkap. Risa tahu bagaimana rasanya hidup dengan orang tua tunggal, walaupun ayahnya sangat menyayanginya. Namun masih ada kekosongan di ruang hatinya tanpa bisa tergantikan k