Intan melihat arah keluar candela kaca rumah sakit, dilihatnya seorang ayah mengendong putri kecilnya, membuatnya teringat kenangan perih masa kecil bersama Ayah.
Waktu itu Intan duduk di kelas 4 SD, untuk pertama kalinya diajak Ayah pergi ke sebuah restoran Itali yang berada di tengah kota Surabaya, pergi hanya berdua tanpa Stif ataupun Mama.
"Ayah, kenapa mama sama Stif tidak di ajak?" tanya Intan kecil dengan rambut di kepang dua.
"Tidak apa. Kamu jangan bilang sama mama ya! Kalo kita ke sini, bilang saja kita ke toko buku!” ujar ayah dengan wajah senyum sumeringah, badannya membungguk sejajar dengan Intan, yang tingginya baru satu meter lebih sedikit.
"Oke !" jawab Intan dengan polos dengan kedua jempolnya berdiri dan keempat jarinya ditekuk.
Pelayan datang membawa sebuah nampan dua jus jeruk dan pizza dengan toping keju, makanan kesukaan Intan. Secara otomatis mata Intan terbuka lebar dengan bibir tersenyum lebar, Ayah tersenyum melihat wajah berbinar anak perempuannya.
"Kamu suka?"
"Suka Ayah, boleh di makan sekarang?" tanya Intan sambil menganggukan kepala.
"Boleh, ayo makan!" Ayah berkata seraya mengambilkan sepotong pizza.
Satu gigitan masuk ke mulut manis Intan, seperti anak kecil lainnya jika sudah suka dengan makanan tertentu tidak perlu menguyah terlalu lama.
Gigitan ke empat terhenti ketika seorang perempuan menghampiri Ayah, mereka terlihat akrap dengan obrolan tanya kabar dan kesehatan.
Usianya terlihat lebih tua dari Ayah atau Mama Eva, tapi untuk guratan wajah cantiknya masih terlihat jelas! Ditambah dengan make up yang menutupi keriput di bawah kelopak matanya.
Dres tanpa lenggan, dengan belahan dada lebar, membuat garis tengah di antara payudara terlihat jelas meskipun gundukan itu tidak terlalu besar. Bodynya terlihat terawat, terlihat dari rampingnya pinggang dan besarnya bokongnya, mirip buah pear.
"Hay cantik, pasti ini Intan?" kata perempuan itu kepada Intan sambil duduk di sebelah Intan.
"Iya," jawab Intan singkat dengan tatapan polos, khas anak kecil
"Ini tante bawa boneka untuk kamu!" perempuan itu berkata sambil memberi boneka panda.
Intan kecil berbinar menerima boneka panda, perempuan itu tau sekali kesukaan Intan padahal belum pernah bertemu. Tidak perduli dengan siapa Ayah ngobrol begitu akrap, Intan kecil menikmati pizza dan mengendong boneka panda.
Lima belas menit berlalu datang perempuan menyapa Ayah.
"Intan sama Tante Merry dulu ya, ayah ada kerjaan sebentar!" pinta Ayah, tangganya membelai ubun-ubun Intan.
"Tapi, Ayah " Intan menggerutu, bibirnya moyong.
"Intan belanja mainan sama Tante Merry ya!" Ayah membujuk Intan.
"Ayo adik manis ikut tante yuk !" Merry membujuk dengan senyuman lebar berdiri di hadapan Intan.
Ayah memberi beberapa lembar uang ke Merry, dengan paksa meninggalkan Intan, yang matanya berkaca-kaca. Awalnya Intan begitu takut dan kaku, tapi Merry begitu pintar merubah suasana hati Intan.
Mengajak Intan berkeliling mall, terserah Intan mau beli mainan apa, pasti dituruti! Merry tidak melarang. Kalo uang habis tinggal minta Bos, ayahnya Intan.
*
Intan tersadar dari lamunan masa kecilnya setelah Mama Eva menepuk bahunya, sambil berkata dengan suara khasnya yang cempreng.
"Intan, ayo pesen taxinya kok ngalamun sih!" kata Mama Eva, kedua tangganya menjijing tas besar berisi baju ganti.
"Iya Ma, sabar dong," jawab Intan fokus menatap layar ponsel.
"Mama sudah gak tahan di rumah sakit baru semalam tapi serasa seminggu," gerutu Mama Eva.
Sampai rumah Mama Eva merebahkan diri sambil selonjoran, menikmati udara segar di rumah membuat dirinya lebih rilex dari pada di rumah sakit, bau obat atau disenfektan.
Maag akut Mama Eva kambuh, dokter minta Mama Eva dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi hanya bertahan semalam.
Terus-terusan ngomel minta rawat jalan saja, karena tidak tahan tidur dengan kasur rumah sakit yang tidak seberapa empuk, kamar bau obat dan banyak alasan Mama Eva, untuk minta pulang.
Sampai rumah Intan bergerak gesit mandi, lalu pake sunblock wajah, tanggan dan kaki. Mengoleskan bedak tipis kewajahnya, itu cukup membuatnya lebih segar.
Wajahnya sudah cantik tanpa make up. Bergegas mengantar Stif ketemu dengan Bara. Mama Eva mengantar Intan dan Stif di depan teras rumah.
Wajahnya nampak bahagia, dipeluknya anak laki-laki kesayanganya dengan erat. Tidak ada nampak wajah Mama Eva sedikit lebih segar, mungkin sudah tertutupi dengan kebahagianya.
"Kamu bilang pengen kerja, sekarang kesempatanmu." kata Mama Eva sambil melepas pelukanya.
"Iya Ma, aku berangkat dulu ya." kata Stif sambil mencium tanggan mamanya.
Sejak Ayah pindah tugas ke luar kota Mama Eva sering melamun, apalagi kalo Ayah sulit dihubungi. Intan hanya bisa menghibur sebisanya, mengatakan jika, "Ayah mungkin sedang sibuk."
Meskipun hati kecilnya seperti tau jika Ayah pergi memilih kerja di luar kota pasti ada hal lain.
Sesuai janji Intan kecil dengan Ayah tidak akan pernah mengatakan jika ayahnya ketemu dengan wanita lain.
Intan kecil dijadikan alasan agar bisa keluar rumah disaat hari libur dengan embel-embel keluar sebentar atau belanja kebutuhan sekolah. Padahal setelah keluar rumah Merry bergerak untuk jadi pengasuh sementara Intan kecil.
***
Ketika Intan usia 12 tahun diajak Ayah berenang di hotel bintang lima di pusat kota Surabaya, hanya lima belas menit dari rumah Intan. Intan yang beranjak gede senangnya luar biasa bisa ketempat semewah itu. Meskipun ada rasa sedih di hatinya kenapa Mama dan Stif tidak boleh ikut.
Di saat Intan asik selfi bersama Ayah, seorang tante datang menghampiri Ayah, mungkin usianya lima tahun lebih tua, waktu itu Ayah berusia 39 tahun.
Tapi stylenya lebih mirip wanita usia 25 tahun, dengan kaos polo bawahan rok mini menampakan paha mulusnya, tangganya menenteng tas berukuran sedang, merk terkenal di dunia. Keluaran Paris.
Tidak banyak accesoris di tubuhnya hanya memakai kalung putih liontin bungan matahari dengan batu berlian yang melingkar, sangat menawan. Terlihat jelas itu berlian asli. Dari kilaunya.
“Hay Mas, sudah lama di sini?” sapa wanita itu dengan senyuman menawan memperlihatkan guratan halus di sekitar mata.
“Ndak kok tenang saja, apakabarmu?” jawab ayah sambil berdiri tegak cengar cengir.
Intan terdiam membisu, lebih mirip patung anak kecil di ujung kolam renang, wanita itu tersenyum manis kearah Intan. Matanya benar-benar terbius dengan apa yang dia lihat.
Wanita itu umurnya tidak muda lagi tapi bodynya benar-benar sexy. Bokong dan payudara sebesar buah melon ukuran sedang, pinggul ramping.
Badannya menolak tua, walapun umurnya sudah kepala empat, badan wanita itu menawan, setiap mata yang memandang pasti tidak percaya jika umurnya lebih dari empat puluh tahun.
Kulit putih mulus seperti bayi, walapun guratan garis halus sudah muncul di sekitar matanya.
Dengan sedikit langkah cepat Ayah menarik tanggan wanita itu menjauh dari Intan. Tidak lama, hanya dua menit. Di sampingku tiba-tiba Merry datang menepuk pundakku.
“Ayo renang,ngalamun aja!” kata Merry sambil duduk di sampingku.
Aku hanya terseyum tipis. Intan makin akrab dengan Merry, dia lebih mirip teman bermain Intan.
Ayah kembali mendekati Intan diikuti wanita sexy itu dengan langkah kecil. Seperti biasa Ayah bilang ada perkerjaan sedikit yang harus diselasaikan dengan rekan bisnisnya.
“Jangan lama-lama ya Yah!” pinta Intan dengan tersenyum manis.
“Iya sayang, nanty kalo udah capek renang, ke hotel aja sama tante Merry!”
Ayah meninggalkan Intan dengan Merry di kolam renang itu, kolam renang itu nampak tidak terlalu ramai hanya sepuluh orang. Wajar saja kolam renang di hotel bintang lima tidak semua orang bisa leluasa masuk, kecuali mereka siap membayar mahal.
Dua jam Intan berenang dengan Merry badanya terasa lelah, lalu kembali ke kamar hotel, yang telah Ayah pesan. Pemandangan tidak mengenakan ketika berjalan di lorong hotel. Lorong itu nampak sepi tidak ada orang lewat hanya Intan dan Merry yang cekikian.
Merry mengeluarkan sebuah kartu mendekatkan kearah sensor pintu itu secara otomatis terbuka.
Di kamar paling ujung satu lorong dengan kamar Intan pesan di buka dan terdengar cengegesan pria dan wanita yang dikenal Intan.
Intan melihat wanita dan seorang pria keluar pintu bersama sambil berpelukan dan ciuman.
Mata Intan tidak berkedip melihat Ayah dan wanita itu mesra sekali, tanggan Ayah melingkar di pinggul wanita itu, mulutnya berkeliran kepipi dan leher, wanita itu mengeliat! Kegelian diiringi ketawa yang amat renyah.
Merry yang sudah masuk kamar hotel kembali keluar melihat tatapan mata Intan yang begitu tajam, seperti bola matanya mau keluar.
Ayah menegakan tubuhnya, melepaskan tanggannya dari pinggul wanita itu, setelah sadar putri kecilnya melihat adegan tak senonoh. Intan masuk kamar hotel sambil berlari membanting pintu dengan kasar, hingga suara dentuman pintu terdengar diseluruh ruangan.
Merry yang diambang pintu jantungnya seperti mau copot dari tubuhnya, melihat Intan kecil marah begitu dasyat. Merry menyadari sesuatu telah terjadi. Menghampiri Intan yang menangis tersedu-sedu, badannya tengkurep diatas kasur.
Merry membelai rambut Intan yang masih basah usai berrenang, tenggorokanya ingin mengeluarkan suara tapi tak mampuh terucap. Hatinya piluh melihat gadis kecil itu meraung-raung.
“In-Intan.” Merry mencoba memanggil dengan suara lembut.
Intan justru menangis semakin keras, dadanya sakit luar biasa. Melihat perselingkuhan Ayah didepan matanya sendiri. Saat itu juga Intan dapat berfikir, bukan layaknya anak 12 tahun tapi 6 tahun lebih dewasa.
Perempuan itu bukan rekan bisnis Ayah, tapi rekan tidur. Bisik hati Intan.
Sekitar tiga puluh menit berlalu Ayah masuk kamar hotel menghampiri Intan yang sedang menangis, Ayah mencoba meminta maaf tapi Intan kecil terus meringkukkan badan di kasur.
Iming-iming beli baju, mainan, leptop baru tapi Intan tidak ngubris.
Ayah mengisaratkan Merry untuk meninggalkan kamar, tanpa banyak tanya Merry keluar. Ayah mencoba mengajak bicara Intan, tapi hal mengejutkan terjadi.
“Aku akan bilang sama Mama, ayah selingkuh!” Intan teriak sambil menegakan badannya dari tidur.
Wajah Ayah merah merona,seperti udang rebus. Sorot matanya teramat tajam, tangganya mengepal.
“Plakk!”
Telapak tanggan Ayah melayang ke pipi Intan.
“Silahkan kau ngomong sama Mamamu! Kalo kamu orangtuamu bercerai!” Pekik Ayah dengan segala kemarahanya.
Intan menahan kesakitan di pipinya, tak mampuh mengatakan apa pun lagi. Yang ada hanya kesakitan yang meninggalkan luka sulit sembuh.
*
Intan mengendari motor meticnya dengan kecepatan sedang menyusuri jalan kota Surabaya, hari Minggu ramai orang berolahraga. Entah lari atau bersepedah.
Sampai di parkiran Polrestabes Surabaya, Stif dan Intan menuju ke ruangan Bara.
Bara telah menunggu kedatangan mereka sambil membuka lembaran kertas di meja kerjanya. Jadi seorang polisi memang tidak ada habis pekerjaanya, kalo hari libur dibuat kerja, tetap ada saja perkara minta ditanggani. Kesibukanya terhenti kala suara pintunya yang terbuka di ketuk.
"Gimana kalo kita langsung menuju bengkel saja, kita jalan kaki? Tidak kok dari sini," kata Bara tanpa basa basi sambil melangkah mendekati Intan dan Bara.
“Boleh kalo memang tidak merepotkan,” jawab Intan sambil tersenyum lebar.
Bengkel itu sedang ramai pengunjung. Meskipun ini hari libur. Terlihat dari antrian mobil yang berjejer-jejer. Joni pemilik bengkel segera menyambut Bara ketika melihat dari kejauhan.Pemilik bengkel cukup ramah, terlihat akrab sekali dengan Bara, setelah berbincang-bincang singkat Bara pamit pulang."Aku titip Stif ya, ajari cara menghasilkan rupiah!" ujar Bara sambil menepuk pundak pemilik bengkel."Siap Pak Polisi!" Pemilik bengkel terkekeh.***Saat itu juga Stif langsung boleh berkerja. Pengalaman kerja Stif untuk pertama kalinya, kalo bukan karena faktor Bara mungkin hal itu sulit terjadi.Stif sejak kecil tidak mendapatkan perhatian penuh dari seorang ayah, sering kali membuat ulah hanya untuk mendapat perhatian Ayah.Sering bekelahi seolah-olah mengeluarkan semua emosi di dalam dirinya, mabok, bolos sekolah, hampir semua kenalakan remaja dijabahi kecua
Bara membisu, pura-pura tidak mendengar pertanyaan Melisa. Jantungnya terus berdetak kencang. Badannya mulai panas dingin. Sungguh tidak ada kejantanan jika Bara sudah di hadapkan dengan Melisa.Sial memang, baru pertama kali iseng nongkrong di café dengan teman wanita, sudah ketahuan. Rasa takut menyelimuti hati Bara, dia sudah menduga jika jujur, pasti akan terjadi perang dunia ke tiga.Kenapa Intan meninggalkan jejak? kata Bara dalam hati."Ini rambut siapa mas ?" pekik Melisa menggulai pertanyaan yang sama.Kaki Bara mengijak rem dengan spontan, kaget dengan teriakan Melisa, sembari menoleh melihat sehelai rambut di tanggan Melisa."Mana aku tau itu rambut siapa?" jawab Bara mengigit bibir, tidak berani memandang Melisa."Terus kamu pikir ini rambutku?" gerutu Melisa sambil menujuk rambut pendek berwarna blonde.Bara terus saja mengelak tidak mengakui tent
Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.Beres!Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sam
Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah. Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang."Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya."Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga."Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!""Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang.