Share

BAB 3. Permata Biru

Bara  membisu, pura-pura tidak mendengar pertanyaan Melisa. Jantungnya terus berdetak kencang. Badannya mulai panas dingin. Sungguh tidak ada kejantanan jika Bara sudah di hadapkan dengan Melisa.

Sial memang, baru pertama kali iseng nongkrong di café dengan teman wanita, sudah ketahuan. Rasa takut menyelimuti hati Bara, dia sudah menduga jika jujur, pasti akan terjadi perang dunia ke tiga.

Kenapa Intan meninggalkan jejak? kata Bara dalam hati.

"Ini rambut siapa mas ?" pekik Melisa menggulai pertanyaan yang sama.

Kaki Bara mengijak rem dengan spontan, kaget dengan teriakan Melisa, sembari menoleh melihat sehelai rambut di tanggan Melisa.

"Mana aku tau itu rambut siapa?" jawab Bara mengigit bibir, tidak berani memandang Melisa.

"Terus kamu pikir ini rambutku?" gerutu Melisa sambil menujuk rambut pendek berwarna blonde.

Bara terus saja mengelak tidak mengakui tentang rambut di dalam mobilnya. Melisa bukan sosok wanita mudah ditipu, sosoknya yang sangat pencemburu tidak akan diam jika suaminya ada main dengan wanita lain, walau setetes embun.

Perdebatan panjang terjadi di dalam mobil. Suara Melisa semakin melengking membuat bayi di pangkuanya mengeliat, menangis. 

Bayi itu pintar membuat orang tuanya  berhenti bertengkar. Melisa mencoba mengayun pelan bayinya, sambil mengeluarkan satu susu di dadanya, dimasukan perlahan putingnya, bayi itu diam, menikmati susu ibunya.

"Mobilku ini tadi di bawa temenku ngak tau kalo dibawa kencan sama cewek," jawab Bara dengan lembut.

Hening, Melisa menguci bibirnya tanpa suara. Geram hatinya merasakan ada sesuatu yang Bara sembunyikan. Tapi ada benarnya jika mobil Bara dipinjam temanya siapa tau buat jemput cewek, pikir Melisa. 

"Kita jadi ke mall ngak, katanya mau beli perhiasan? Aku baru dapat bonus dari kantor," celetuk Bara mencoba merayu, dengan hipnotis yang paling disukai semua wanita.

"Iya jadi," jawab singkat Melisa dengan wajah masamnya, tapi tak bisa menolak tawaran suaminya.

*

Seesok harinya pukul setengah tujuh pagi Intan sudah bersiap berangkat kerja. Tapi tak akan melewatkan sarapan bersama Mama Eva.

"Tan, itu polisi yang kasih kerjaan Stif siapa namanya?" tanya Mama Eva sambil menyiapkan bekal kerja Intan.

"Bara, Ma." Sambil menguyah sepotong roti.

"Kamu telfon ya, suruh ke sini abis magrib mama undang makan malam, sebagai ucapan tanda terimakasih." kata Mama Eva sambil menyiapkan bekal untuk kedua anaknya berkerja.

"Iya Ma." Jawab singkat Intan.

Ditengah kesibukan laporan yang harus diselesaikan Intan, teringat pesan Mama Eva untuk menghubungi Bara.

Sambil tersenyum-senyum mengingat bagaimana Bara begitu cerewet  di café kemarin, gemas rasanya. Diambilah ponselnya lalu mengetik pesan singkat untuk Bara.

Intan {Tolong nanti datang ke rumah, Mama mengundang anda untuk makan malam}

Bara {Ok}

Makan malam yang berkesan untuk mereka walaupun tanpa kehadiran Ayah, Bara mampu merubah suasana tidak kaku, meskipun baru pertama kali makan bersama kelurga Intan.

"Masakan siapa ini?" kata Bara, sambil menguyah ikan bakar. "Enak banget," melanjutkan ucapanya.

"Yang jelas bukan aku," celetuk Intan, matanya melirik Mama Eva.

"Iya. Aku pun tau kamu pasti tidak bisa masak seenak ini." jawab Bara.

Stif dan Mama Eva tertawa renyah, tapi tidak dengan Intan, justru mengerutu

Sebagai anggota kepolisian Bara terlatih untuk berinteraksi dengan banyak manusia, tidak heran mudah membuat orang nyaman kenal denganya. 

Bara melirik jam tanggannya yang menunjukan pukul 8 malam, Bara bergegas pulang.

Melisa sudah berdandan dengan makeup natural, memakai wewangian beraroma blossom, sesukaan Bara, lengkap denagn lingerie sutra berwarna merah darah, membuat lekuk tubuhnya begitu jelas. Kostum tempur dengan Bara, tapi kenyataan tidak selalu sama seperti yang diharapkan!

Sampai rumah Bara pukul 9 malam, yang tersisa hanya rasa lelah dibadannya. Melisa megigit bibir, tidak ada respon yang menyenangkan dari Bara tentang penampilanya malam ini. Bara mencium bayi mungilnya lalu pergi mandi.

Tapi bukan Melisa, jika tidak gigih mendapatkan apa yang dia mau.

Melisa mendengar gemerici air shower berjatuhan, mencoba membuka gagang pintu kamar mandi, ternyata Bara tak menguncinya. Melisa tersenyum dan melangkah masuk, memeluk suaminya dari belakang seraya mencium pundak kekar Bara.

Tangganya melingkar di perut Bara membelai halus dada dan tanggan satunya mulai turun menyentuh junior Bara. Bibirnya terus mencium tengkuk Bara, membiarkan dirinya basah karena air shower.

Bara pasrah, kejantanya mulai bereaksi, suhu tubuhnya mulai panas. Melisa mulai menyadari hal itu, tanggannya semakin nakal bermain di area sensitif Bara.

Bara membalikkan badan, dengan cepat mencium dan menghisap rakus bibir Intan. Ya, di otak Bara di hadapanya bukan Melisa tapi Intan. 

Tanggannya mulai meraba bokong, naik kepundak dan melepas kain tipis di tubuh Melisa. Tangganya mulai bermain di area dada Melisa. Dan tanggan Melisa terus merangsang Bara.

Ah...

Melisa mendesah panjang, baru kali ini merasakan Bara liar mencumbuhnya. 


Bara memejamkan mata, tetap menikmati walaupun hanya bayang-bayang Intan yang hadir saat ini


*

"Kamu dapat undangan makan siapa?" Tanya Melisa sambil meletakan ponsel Bara di atas meja.

"Orang tua dari anak yang aku kasih kerja kemarin," jawab Bara sambil memakai celana kolor.

"Ini siapa? kok masih muda kayaknya cantik dilihat dari fotonya." Melisa melihat foto Intan dengan serius, hampir tidak berkedip.

"Itu kakaknya." Sambil merebahkan badan di atas ranjang, Bara mulai panik dengan cercaan Melisa.

Lebih baik aku tidur dari pada berdebat soal foto, bisik dalam hati Bara. Bara mulai memejamkan mata, tidak sampai sepuluh menit tidurnya sudah seperti orang mati.

Melisa masih sibuk memeriksa isi ponsel Bara, riwayat telfon, riwayat chat, isi kontak semua tidak ada yang terlewatkan dari pandangnya.

Hatinya berkecambuk tau Bara mendapat undangan makan wanita single dan juga cantik. Rasa cemburu terus berkecambuk. 

Melisa mengambil sehelai rambut yang dia simpan di dalam tas, yang di temukan kemarin. Dilihatlah kembali foto Intan, rambut itu sama persis panjangnya. Dada Melisa panas, api cemburu berkobar.

“Sial, bedebah, mau mencoba menipuku!” gumam Melisa sambil melirik suaminya yang sudah terlelap

Melisa yang tengah sibuk menyisisir rambutnya di depan meja rias, bibirnya terkunci rapat, tapi tidak dengan pikiranya, yang terus berkelana.

Bara baru saja keluar dari kamar mandi langsung memeluk Melisa dari belakang, menciumnya lehernya dan tangganya mulai meremas dua gundukan di dadanya. Melisa tidak merespon, diam mematung padahal hal seperti itu yang paling dia suka, tapi tidak untuk hari ini, hatinya sedang kacau!

“Mas, kamu bohong ya? Rambut di dalam mobilmu itu bukan gandengan temenmu, tapi itu gandenganmu?” tanya Melisa rasa penasaranya tidak bisa dibendung.

“Kamu ngomong apa sih? Ngawur!”

Melisa berdiri, membalikan badan berhadapan dengan Bara, tangganya mengambil gunting kecil di meja riasnya, tanggan satunya melinggar di leher Bara.

“Kamu jangan macem-macem sama aku, kalo kamu ingin juniormu baik-baik saja!” bisik Melisa tepat di telinga Bara sambil menyentuh junior Bara dengan ujung gunting.

Bara membisu, hatinya bergetar, rasa sakit di palung hatinya tak tebendung, dilecehan istri sendiri.

Dua tahun pernikahan Melisa tetap tak berubah, sosok arogan, egois, sangat posesif. 

Kalo bukan karena kesepakatan dengan ayah Melisa, Subroto adalah ayah Melisa sebagai Jendral Polisi, yang membantu Bara masuk sebagai anggota kepolisian tanpa tes ataupun uang. 

Dua kali Bara mengiuti tes kepolisian, berakir kegagalan, Melisa mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan Bara, setelah cintanya di tolak berkali-kali, dengan bantuan Subroto akirnya Melisa mendapatan Bara. Cerdas bukan?

Bukan Melisa kalo tidak mendapatkan keinginanya, maklum sejak kecil selalu dimanja ayahnya.

Bara berangkat kerja dengan kecambuk di hatinya, ancaman Melisa benar-benar melukai harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Susah payah Bara belajar mencintai Melisa, tapi dia sendiri membuat benteng dengan sikapnya yang membuat Bara jera. Perlakuan Melisa tidak melambangkan seorang istri yang ideal.

Melisa melarang Bara untuk berteman dengan wanita manapun, bila perlu tidak boleh berinterasi. Sedangkan Bara seorang polisi, mana mungkin tidak berintraksi dengan wanita.

Hari ini Bara benar-benar tidak focus berkerja, berkali-kali mengaruk rambutnya.

Di tengah berantakan kerjaannya Bara teringat Intan, membayangkan manis senyum Intan, rambutnya hitam nan panjang.

Intan begitu menyenangan untuk diajak ngobrol. Meskipun cemderung singkat menjawab. Hal itu tidak ada di diri Melisa, yang ada ngobrol dengannya akan terjadi perdebatan yang sia-sia.

Apakah aku jatuh cinta? Hati Bara berbisik, sambil tersenyum. Apa seperti ini rasanya jatuh cinta, bersama Melisa aku hatiku tak sehangat ini? 

Bara { Nanti jam 5 sore kita ngopi yuk di cafe kemarin} pesan singkat itu dikirim ke Intan. 

“Ya tuhan tolong hambamu ini, semoga Intan tidak menolak.” Komat kamit Bara sambil melipat kedua tangganya. Belum genap dua menit Intan sudah membalas.

Intan { Ya }

Pulang kerja dirasa hal biasa tapi tidak untuk kali ini, rasanya luar biasa bagi Bara. Lupakan istri posesif itu untuk malam ini saja! Bisik hati Bara.

Pertemuan itu menjadi agenda rutin Intan dan Bara hampir setiap sore hingga malam pukul delapan malam.

Semakin hari Bara makin dekat, bertemu sambil membawa hadiah kecil untuk Intan, buku, jam tanggan, topi, bunga. Awalnya Intan menolak tapi lama kelamaan Intan nyaman saja, menerima hadiah itu. Justru Intan menanti kejutan itu.

Pertemuan demi pertemuan menumbuhan rasa cinta untuk pertama kalinya. Sikapnya yang biasa saja, sekarang semakin hangat, meskipun masih sulit untuk menerima kehadiran Bara dihatinya.

Bayang-bayang Ayah selalu menghantui, ayah adalah cinta pertama putrinya, tapi cinta di hati Intan pupus sejak kejadian di hotel itu, ditambah sikap Ayah yang masa bodoh dengan kelurga. Semakin jauh Intan dengan Ayah.

Bukan saja Ayah, Om Aldi, adik ayah dengan mata kepala Intan sendiri melihat sedang berciuman dengan wanita bukan istrinya, di dalam mobil yang terparkir di mall. Mei, teman sebangkunya waktu SMA mati bunuh diri karena pacarnya ketahuan menduakanya. Fakta-fakta itu membuat doktrin di pikiranya bahwa laki-laki itu jahat. 

Semakin menjauhi Bara justru hatinya tersiksa oleh rindu, setiap ajakan tak mampuh dia tolak. Sejak jatuh cinta, badannya terasa ringan, pikiranya lebih relaks , ide menulis mengalir seperti air dan lebih bersemangat. Hormon dopamine meningkat dan melakukan fungsinya dengan semestinya.

Bara {Aku seneng setiap hari bisa bertemu denganmu, melihat senyummu membuat hari-hariku semakin berwarna}

 Pesan singkat di notifikasi ponsel Intan membuyarkan lamunanya.

Intan {Oh ya....}

Bara {nanti ke cafe}

Intan  {Oke, hari ini mau bawa hadiah apa lagi}

Bara {permata yang indah}

Bukan hanya sekedar kata, Bara membeli cincin dengan permata berwarna biru, indah sekali. Intan seperti tidak percaya melihat cincin begitu indah, dari kilaunya, semua mata tau jika itu terbuat dari batu mulia.Dan bukan barang murahan. 

“Aku hanya bercanda, kenapa kamu belikan? Aku ngak mau terima.” Tolak Intan dengan lembut.

“Sudah jangan berisik, pake saja!” kata Bara memaksa Intan, sambil meraih tanggan Intan memaksa memakaikan cincin itu dijari manisnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status