Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!
Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.
Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.
Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.
Beres!
Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.
Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.
Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sampai rumah pukul sembilan malam.
Melisa sengaja mengambil ponsel Bara saat mandi.
Sial memang hari ini. Bara lalai menghapus chat hari ini dengan Intan.
“Bajingan, ternyata begini.” Segala umpatan keluar dari mulut Melisa. Amarahnya seperti gunung meletus, yang tak terbendung.
“Keparat memang!” Melisa terus komat kamit, sambil melihat layar ponsel Bara.
Darah Melisa mendidih membaca seluruh chat Bara dengan Intan. Tanpa berfikir panjang, Melisa mengeledah tas kerja Bara, benar ada nota pembelian cincin.
“Bangsat. Bajingan!” umpat Melisa sambil meremas-remas nota.
Melisa dikuasai amarah. Tubuhnya terasa panas, terbakar cemburu. Suaminya sudah coba–coba bermain di belakangnya.
Bukan Melisa kalo dia akan menangis, pasrah lalu minta cerai. Bara adalah separuh hidupnya. Tidak akan dilepaskan begitu saja.
*
"Benar ini dengan Intan?" tanya Melisa tanpa basa basi
"Iya benar saya Intania, dengan siapa ini?" Intan berbalik tanya.
"Saya Melisa, istri dari Bapak Bara Adiputra."
Intan terdiam ponselnya jatuh seketika itu, seluruh badanya bergetar seperti disambar petir. Diraih kembali ponsel itu, terdengar suara Melisa mengumat dengan kata-kata kotor.
“Hay budek, denger suara sayakan? Oh dasar keparat, perempuan jalang!" pekik Melisa terdengar suaranya keras dan sangat marah.
Melisa tidak berani meletakan ponsel ke telinganya hanya dipegang namun masih ada suara Melisa dengan jelas. Intan mengambil nafas dalam-dalam lalu berbicara kembali dengan Melisa
"Saya minta maaf sama sekali saya tidak tau jika Pak Bara sudah berkelurga, jika saya di beritahu Pak Bara sudah berkelurga tidak akan saya berteman dengan beliau." jawab Intan dengan nada merendah.
"Apa kamu buta tidak melihat cincin melingkar di jarinya, dasar perempuam jalang, pelacur murahan, Saya akan menghancurkan kamu." tutur Melisa penuh emosi.
"Tut tut tut." telfon itu di matikan.
Cincin apa ? Bisik hati Intan.
Bara tidak pernah memakai cincin. Tidak pernah cerita soal istri. Selama ini Bara menipu Intan.
Badan Intan serasa hancur bersama hatinya, tiba-tiba badannya lemah terkulai di atas tempat tidur. Intan menangis di atas bantal.
Terlintas bayangan Bara memakaikan cincin baru sore tadi, dengan mesra meraih telapak tanggan Intan dan memakaikan cincin permata biru itu di jari manis Intan, mencium mesra punggung tanggan Intan.
Dengan murka Intan lepaskan cincin itu di lempar entah kemana.
"Penipu! Penipu! Dasar brengsek!" Intan menangis sambil memeluk bantal.
“Bedebah, dasar bedebah!” Intan terus mengumpat.
Wanita pendiam, sedikit bicara seperti Intan, bisa mengeluarkan kata-kata kotor, karena hatinya benar-benar hancur. Jatuh cinta dan patah hati untuk pertama kalinya.
Pukul satu dini hari Intan masih menangis di kamar, tidak habis-habis rasanya air mata itu. Tangisan itu terhenti tapi pikiran Intan kosong.
Berganti dengan gema suara dari pikiranya, suara Melisa, suara Bara silih berganti, memory kenangan buruk bersama Ayah muncul kembali, wanita-wanita yang bersama Ayah masih jelas di kepala Intan. Dada Intan sesak, kepala berat luar biasa, sakit yang bertubi-tubi.
Ponselnya berbunyi, chat dari seseorang.
Melisa {aku tidak akan membiarkan kamu mengambil suami saya, akan aku balas perbuatanmu, aku akan hancurkan hidupmu! perek}
Intan menangis sesaat, lalu diusap air mata dari di pipinya dengan kasar. Diraihnya lalu mengetik balasan untuk Melisa. Dia harus tau yang sebenarnya, bisik dalam hati Intan.
Intan {aku tidak pernah mengambil suamimu! dia tidak pernah mengatakan jika dia sudah berkeluarga, aku benar-benar tidak tau}
*
Di kediaman Bara perang dunia benar-benar terjadi. Dini hari Melisa teriak,menjerit dan menangis tidak perduli tetangga terganggu.
“Sebenarnya apa yang kamu cari Mas, apa aku ini buruk di matamu?” tanya Melisa sambil membuka kimono, mencoba memperlihatkan keindahan tubuhnya.
“Saya tidak hubungan apa pun dengan Intan?” jawab Bara merendah, wajahnya nampak ketakutan.
Melisa meninggalkan Bara sendirian di ruang tamu, kembali beberapa menit sambil melempar buntelan nota dan ponsel Bara.
Ponsel itu terbelah menjadi tiga, layar ponsel itu berhambuan. Bara memijat kening melihat pemandangan itu. Entah berapa kali ponselnya beradu dengan tembok.
Tapi untuk kali ini Bara tidak mencari pembenaran, dia benar-benar bersalah, tidak ada celah untuk membela diri. Sial, gumamnya.
“Saya tidak ada hubungan apa pun dengan dia, saya kemarin kilaf. Melisa!” kata Bara sambil berusaha memeluk Melisa dari belakang.
Dengan kasar Melisa menghindari dengan kasar, berbalik badan.
“Plaaak!” tamparaan keras mendaat di pipi Bara.
“Kamu pikir saya goblok, cincin itu apa? Bongkahan tai?” jawab Melisa dengan mata melotot tajam.
Bara terdiam, memenggang pipi yang terasa nyeri. Dia bisa begitu berwibahwa, nampak berani bertindak tegas dengan preman-preman pasar, tapi tidak dengan istrinya.
Ciut nyalinya! Bara mirip anak kucing bertemu kucing dewasa, meringkuk ketakutan.
“Aku tidak tinggal diam Mas, lihat saja perekmu itu, akan hancur! Dan aku akan bilang soal ini pada papa, tamat riwayatmu!” ketus Melisa, meninggalkan Bara mematung, menutup pintu kamar dengan keras.
Terdengar bayi mungil itu menangis sebentar kemudian hening kembali.
Berkali-kali Intan memajamkan matanya, tapi enggan tidur. Pikiranya menolak tidur, terus bertanya-tanya kenapa Bara menipunya? Kenapa laki-laki itu jahat? Ayah dan Bara sama saja!
Hingga pukul tiga pagi Intan belum bisa tidur, akirnya ke kamar Mama Eva memaksa tidur di sebelahnya
“Ma, aku tidak bisa tidur, aku tidur sini ya?” pinta Intan sambil menarik selimut.
“Ya, ya sini.” Jawab Mama Eva sambil mengeser tubuhnya.
Intan melihat wajah Mama Eva begitu teduh, meskipun sedang terlelap. Air matanya menetes tanpa ada suara isyak tangis.
Bagaimana mungkin Ayah masih mencari kehangatan di luar jika mama sehangat ini? Bisik lirih Intan, mencoba memejamkan mata.
Setelah beberapa saat akirnya tubuh dan pikiranya istirahat.
Intan terbangun ketika ada suara mobil dilihat dari luar cendela kamar ternyata mobil Bara tapi yang keluar seorang perempuan. Badan ramping berambut blonde.
Hati Intan bergetar tapi tidak membuatnya takut bertemu dengan wanita yang dia sudah bisa menebak.
Intan berjalan menuju pintu, dengan jatung berdetak kencang, berkali-kali mengatur nafasnya, berusaha menguasai emosi dan amarah. Mata sembap, rambut acak-acakan, tidak mandi, kumal, tidak mengurangi rasa percaya dirinya untuk bertemu Melisa.Dua mata perempuan saling bertemu, saat pintu dibuka. Nanar wajah Intan melihat wanita itu, tapi dia berhasil mengusai emosinya, tubuhnya tetap tenang."Apa kamu yang bernama Intan?" tanya Melisa sambil melepas kacamata, mata tajam seperti elang melihat mangsanya."Saya Intan, anda siapa?" jawab Intan yang sudah menduga."Saya Melisa, istri dari suami yang kamu rebut!""Saya tidak merebut suami anda, suamimu yang kurang ajar menipu saya." Jawab Intan dengan darah yang mendidih.
Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan."Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu p
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Alma sampai kantor jam 07.00Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.“Pagi Mba
Stif merubah posisi duduknya lebih tegak. Menjatuhkan rokoknya kelantai, diinjak dengan kasar. Hatinya tercabik–cabik melihat Mama Eva hancur.Tiba–tiba Intan berdiri dengan geram merai leher Fani dengan kasar, didorongnya tubuh rampingnya ke tembok. Kejadian itu cukup cepat hanya beberapa detik saja.Tubuh Fany berhimpitan dengan tembok.Cuih!Cuih!Cuih!“Perek serpertimu harus diberi pelajaran!” pekik Intan, sambil meludah di wajah Fani.Sungguh menjijikan!Stif nampak terkejut. Tapi membiarkan kakaknya dengan aksi liarnya. Wajah Stif nampak puas melihat pemandangan itu.Intan terkenal pendiam dan lemah lembut. Melihat sikap brutal Intan Stif hampir tak percaya kakaknya mencekik Fani sebegitu kuatnya. Tak dipungkiri Stif bangga dengan keberanian Intan.Aya