Share

Bab 4. Babak Baru dimulai!

Seperti malam-malam sebelumnya Bara pulang lewat pukul delapan malam. Dengan sejuta alasan untuk mengabuhi Melisa. Tidak perduli Melisa percaya atau tidak!

Melisa terus mengeru. Bara acuh, jika istrinya terus ngomel dan marah–marah, Bara akan tidur di ruang tamu.

Atau, cara terbaik agar Melisa tidak marah Bara akan membelikan makanan kesukaanya, bungga, uang belanja tambahan atau hadiah apa pun. Hatinya sudah senang.

Melisa pasti akan memotretnya lalu diunggah ke social media, lengkap dengan coption ucapan terimakasih.

Beres!

Melisa mulai curiga Bara selalu pulang terlambat, otak cerdasnya mulai berkerja. Mencari informasi apa pun tentang Bara.

Subroto, ayahnya siap membantu kapan saja. Semua informasi dia dapat dengan mudah! Begitulah fungsi punya jabatan tinggi.

Sore ini Melisa gundah mendapat laporan jika hari ini Bara pulang pukul empat sore, tapi sampai rumah pukul sembilan malam.

Melisa sengaja mengambil ponsel Bara saat mandi. 

Sial memang hari ini. Bara lalai menghapus chat hari ini dengan Intan.

“Bajingan, ternyata begini.” Segala umpatan keluar dari mulut Melisa. Amarahnya seperti gunung meletus, yang tak terbendung.

“Keparat memang!” Melisa terus komat kamit, sambil melihat layar ponsel Bara.

Darah Melisa mendidih membaca seluruh chat Bara dengan Intan. Tanpa berfikir panjang, Melisa mengeledah tas kerja Bara, benar ada nota pembelian cincin.

“Bangsat. Bajingan!” umpat Melisa sambil meremas-remas nota.

Melisa dikuasai amarah. Tubuhnya terasa panas, terbakar cemburu. Suaminya sudah coba–coba bermain di belakangnya.

Bukan Melisa kalo dia akan menangis, pasrah lalu minta cerai. Bara adalah separuh hidupnya. Tidak akan dilepaskan begitu saja.

*

"Benar ini dengan Intan?" tanya Melisa tanpa basa basi

"Iya benar saya Intania, dengan siapa ini?" Intan berbalik tanya.

"Saya Melisa, istri dari Bapak Bara Adiputra." 

Intan terdiam ponselnya jatuh seketika itu, seluruh badanya bergetar seperti disambar petir. Diraih kembali ponsel itu, terdengar suara Melisa mengumat dengan kata-kata kotor.

“Hay budek, denger suara sayakan? Oh dasar keparat, perempuan jalang!" pekik Melisa terdengar suaranya keras dan sangat marah.

Melisa tidak berani meletakan ponsel ke telinganya hanya dipegang namun masih ada suara Melisa dengan jelas. Intan mengambil nafas dalam-dalam lalu berbicara kembali dengan Melisa

"Saya minta maaf sama sekali saya tidak tau jika Pak Bara sudah berkelurga, jika saya di beritahu Pak Bara sudah berkelurga tidak akan saya berteman dengan beliau." jawab Intan dengan nada merendah.

"Apa kamu buta tidak melihat  cincin melingkar di jarinya, dasar perempuam jalang, pelacur murahan, Saya akan menghancurkan kamu." tutur Melisa penuh emosi.

"Tut tut tut." telfon itu di matikan.

Cincin apa ? Bisik hati Intan.

Bara tidak pernah memakai cincin. Tidak pernah cerita soal istri. Selama ini Bara menipu Intan. 

Badan Intan serasa hancur bersama hatinya, tiba-tiba badannya lemah terkulai di atas tempat tidur. Intan menangis di atas bantal.

Terlintas bayangan Bara memakaikan cincin baru sore tadi, dengan mesra meraih telapak tanggan Intan dan memakaikan cincin permata biru itu di jari manis Intan, mencium mesra punggung tanggan Intan.

Dengan murka Intan lepaskan cincin itu di lempar entah kemana.  

"Penipu!  Penipu! Dasar brengsek!" Intan menangis sambil memeluk bantal.

“Bedebah, dasar bedebah!” Intan terus mengumpat. 

Wanita pendiam, sedikit bicara seperti Intan, bisa mengeluarkan kata-kata kotor, karena hatinya benar-benar hancur. Jatuh cinta dan patah hati untuk pertama kalinya.

Pukul satu dini hari Intan masih menangis di kamar, tidak habis-habis rasanya air mata itu. Tangisan itu terhenti tapi pikiran Intan kosong.

Berganti dengan gema suara dari pikiranya, suara Melisa, suara Bara silih berganti, memory kenangan buruk bersama Ayah muncul kembali, wanita-wanita yang bersama Ayah masih jelas di kepala Intan. Dada  Intan sesak, kepala berat luar biasa, sakit yang bertubi-tubi. 

Ponselnya berbunyi, chat dari seseorang.

Melisa {aku tidak akan membiarkan kamu mengambil suami saya, akan aku balas perbuatanmu, aku akan hancurkan hidupmu! perek}

Intan menangis sesaat, lalu diusap air mata dari di pipinya dengan kasar. Diraihnya  lalu mengetik balasan untuk Melisa. Dia harus tau yang sebenarnya, bisik dalam hati Intan.

Intan {aku tidak pernah mengambil suamimu! dia tidak pernah mengatakan jika dia sudah berkeluarga, aku benar-benar tidak tau}

*

Di kediaman Bara perang dunia benar-benar terjadi. Dini hari Melisa teriak,menjerit dan  menangis tidak perduli tetangga terganggu.

“Sebenarnya apa yang kamu cari Mas, apa aku ini buruk di matamu?” tanya Melisa sambil membuka kimono, mencoba memperlihatkan keindahan tubuhnya.

 “Saya tidak hubungan apa pun dengan Intan?” jawab Bara merendah, wajahnya nampak ketakutan.

Melisa meninggalkan Bara sendirian di ruang tamu, kembali beberapa menit sambil melempar buntelan nota dan ponsel Bara.

Ponsel itu terbelah menjadi tiga, layar ponsel itu berhambuan. Bara memijat kening melihat pemandangan itu. Entah berapa kali ponselnya beradu dengan tembok.

Tapi untuk kali ini Bara tidak mencari pembenaran, dia benar-benar bersalah, tidak ada celah untuk membela diri. Sial, gumamnya.

“Saya tidak ada hubungan apa pun dengan dia, saya kemarin kilaf. Melisa!” kata Bara sambil berusaha memeluk Melisa dari belakang.

Dengan kasar Melisa menghindari dengan kasar, berbalik badan.

“Plaaak!” tamparaan keras mendaat di pipi Bara.

“Kamu pikir saya goblok, cincin itu apa? Bongkahan tai?” jawab Melisa dengan mata melotot tajam.

Bara terdiam, memenggang pipi yang terasa nyeri. Dia bisa begitu berwibahwa, nampak  berani bertindak tegas dengan preman-preman pasar, tapi tidak dengan istrinya. 

Ciut nyalinya! Bara mirip anak kucing bertemu kucing dewasa, meringkuk ketakutan.

“Aku tidak tinggal diam Mas, lihat saja perekmu itu, akan hancur! Dan aku akan bilang soal ini pada papa, tamat riwayatmu!” ketus Melisa, meninggalkan Bara mematung, menutup pintu kamar dengan keras.

Terdengar bayi mungil itu menangis sebentar kemudian hening kembali.

Berkali-kali Intan memajamkan matanya, tapi enggan tidur. Pikiranya menolak tidur, terus bertanya-tanya kenapa Bara menipunya? Kenapa laki-laki itu jahat? Ayah dan Bara sama saja! 

Hingga pukul tiga pagi Intan belum bisa tidur, akirnya  ke kamar Mama Eva memaksa tidur di sebelahnya 

“Ma, aku tidak bisa tidur, aku tidur sini ya?” pinta Intan sambil menarik selimut.

“Ya, ya sini.” Jawab Mama Eva sambil mengeser tubuhnya.

Intan melihat wajah Mama Eva begitu teduh, meskipun sedang terlelap. Air matanya menetes tanpa ada suara isyak tangis.

Bagaimana mungkin Ayah masih mencari kehangatan di luar jika mama sehangat ini? Bisik lirih Intan, mencoba memejamkan mata.

Setelah beberapa saat akirnya tubuh dan pikiranya istirahat.

Intan terbangun ketika ada suara mobil dilihat dari luar cendela kamar ternyata mobil Bara tapi yang keluar seorang perempuan. Badan ramping berambut blonde.

Hati Intan bergetar tapi tidak membuatnya takut bertemu dengan wanita yang dia sudah bisa menebak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status