Setelah memasak kroket kentang hampir lima jam, akhirnya dia bisa bernapas lega. Kalau saja Stefani tidak terus menerus memintanya untuk membuat kroket kentang yang sebenarnya hanya perlu waktu satu jam untuk membuatnya, mungkin dia sudah bisa kembali ke tempat tidurnya dan menikmati tidur siangnya yang tertunda. Tapi begitu melihat Stefani yang terlihat begitu senang setelah memakan kroket buatannya, sepertinya setimpal dengan perjuangannya membuat kroket kentang tadi. Setidaknya, Stefani tidak lagi merengut kesal setelah percakapan yang meninggalkan kesan tidak menyenangkan dengan mantan pacar Stefani yang menelepon pacarnya tadi. Sebagai gantinya, dia sibuk mengunyah kroket kentang itu sambil terus memuji masakannya.
"Enak banget! Makasih ya?" ucap Stefani, begitu menyelesaikan piring terakhirnya. Tangannya lalu menagih piring terakhir itu dari Stefani, yang kemudian memeluknya dari belakang saat dia tengah mencuci alat-alat yang dia pakai untuk membuat kroket ke
Paginya, dia menerima pesan dari adiknya kalau adiknya akan datang siang ini. Dia lalu memberitahu isi pesan itu pada Aaron, yang tengah menyiapkan sarapan untuknya."Oh, oke. Nanti aku siapin kamarnya. Pancake atau roti bakar?""Salad buah. Terima kasih." jawabnya."Pilihanmu itu di luar opsi. Pancake kalau begitu.""Ngapain nanya kalo ujung-ujungnya kamu sendiri yang pilih?" dengusnya, menyandarkan kepalanya ke meja makan sambil menatap pacarnya dengan wajah kesal."Abis, pilihanmu di luar opsi. Aku kan nanyanya kamu mau makan sama pancake atau roti bakar. Kamu malah jawabnya salad buah." sahut Aaron, menuangkan adonan pancake tadi ke atas teflon."Kali aja kamu nggak masalah dengan pilihan di luar opsi.""Kenapa? Takut karena berat badanmu naik tiga kilogram?"Dia mengerjapkan kedua matanya begitu mendengar t
Dia menyusul kedua orang yang sudah duduk di kursi sofanya. Lalu memandangi kedua perempuan yang ada di depannya itu bergantian sambil tetap berusaha menahan tawanya. "Kalian memang benar-benar saudara ya? Sifat kalian itu lho. Mirip banget."Brenda tampak senang mendengar ucapannya tadi. "Ini hasilnya kalau belajar dari ahlinya. Ya kan, kakakku tercinta?" kata Brenda sambil mengalungkan tangannya ke lengan Stefani, yang mati-matian berusaha untuk melepaskan tangan adiknya itu."Kakak tercinta apanya? Pasti ada maunya kamu ngomong kayak tadi. Ngaku!""Nggak kok! Ngapain juga aku ngomong gitu kalau ada maunya?"Rasanya dia ingin tertawa melihat keakraban kakak beradik yang kini sibuk berdebat satu sama lain itu. Benar-benar mirip sekali, terutama sifatnya yang suka seenaknya sendiri itu, pikirnya sambil berusaha keras untuk menahan diri agar tidak tertawa di depan mereka berdua."Bahkan bera
Dia mengetuk pintu kamar Stefani. Sesuai dugaannya, pacarnya masih mengabaikannya. Namun kali ini dia memutuskan untuk tidak menyerah dan kembali mengetuk pintu kamarnya."Stefani. Tolong buka pintunya. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.""Nggak mau! Sana pergi!"Yah, kalau dilihat dari segi positifnya, setidaknya pacarnya kini mulai bersuara. "Kalau kamu nggak buka juga, aku bakal buka pintunya.""Coba saja kalau bisa.""Kamu yang bilang ya?”Tanpa menunggu jawaban dari Stefani, dia memejamkan matanya dan memusatkan pikirannya pada gagang pintu yang dia pegang saat ini. Beberapa detik kemudian, gagang pintu yang masih terkunci dari dalam itu tidak lagi terkunci. Dia lalu memakai kesempatan itu untuk membuka pintunya dan menghampiri Stefani, yang tampak meringkuk di balik selimut.“Stefani?” bisiknya, menghampiri pacar
Sesampainya di depan pusat perbelanjaan, dia segera turun dari taksi itu, sementara Aaron menyusulnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sopir taksi itu lalu mengingatkannya untuk memberinya ulasan positif atas pelayanannya, juga untuk memberitahunya melalui aplikasi kalau mereka sudah selesai, agar dia bisa mengantarnya ke tempat tujuan mereka yang berikutnya.Begitu taksi itu menjauh, dia menoleh ke arah Aaron yang masih terlihat menahan kesal. "Aaron? Kamu kenapa sih? Dari tadi kayaknya kamu menghindariku terus.""Pikirin aja sendiri." sahut Aaron, berjalan mendahuluinya menuju pintu masuk pusat perbelanjaan itu. Seorang petugas keamanan lalu menghampirinya Aaron, meminta mereka berdua untuk berhenti sejenak untuk memindai mereka dan mengecek suhu tubuhnya sebelum membiarkannya masuk ke dalam. Aaron tampaknya tidak ambil pusing dengan itu dan membiarkan petugas keamanan itu melakukan tugasnya. Begitu selesai, pacarnya hanya menganggukkan kepalan
"Kamu… ternyata juga mengincar ini?" tanyanya, menunjuk ke arah boneka Pink Panther yang juga tengah diincarnya."Jadi ini yang namanya Pink Panther?" tanya Aaron, mengarahkan boneka itu padanya. "Dari tadi aku penasaran sama boneka ini, soalnya ada beberapa orang yang keluar sambil bawa-bawa ini.""Masa sih? Kok aku nggak liat? Kapan?""Tadi, pas lagi nungguin kamu selesai bayar." sahut Aaron, mengambil boneka itu dan memeluknya erat."Oh, pantas aku nggak tahu soal itu. Terus, kamu mau beli itu juga?"Aaron menggelengkan kepalanya. "Nggak. Aku lebih tertarik dengan ini." sahutnya, meraih bantal leher berbentuk salah satu karakter dalam animasi We Bare Bears, Panda. "Kayaknya enak kalau pakai ini buat tidur di kursi. Apalagi ada penutup matanya."Dia mengambil bantal leher yang ditunjuk oleh Aaron tadi. "Iya. Lembut, empuk lagi. Ya udah, kita masukin saja ke keranjang. Oh, sama itu
Dia tertegun mendengar kata-kata Aaron tadi. Bukan karena mendengar Aaron yang membandingkan planet tempatnya hidup selama ini dengan planet Charmian. Namun karena dia sendiri benar-benar tidak tahu apa yang bisa dia katakan untuk menenangkan Aaron yang masih cemas saat ini. Sebagai ganti karena dia tidak bisa mengatakan apa pun, dia membalas pelukan Aaron sambil mengelus rambutnya sampai Aaron mulai merasa tenang dengan apa yang dia lakukan tadi."Apa kamu…" ujarnya, berusaha keras untuk melanjutkan kalimatnya tadi, "ingin kembali ke planetmu?"Aaron menjawabnya dengan anggukan kepalanya. "Kalau bisa, aku ingin kembali secepatnya.""Oh." jawabnya singkat. Dadanya terasa sakit begitu mendengar jawaban Aaron yang tanpa pikir panjang itu. Tapi dilihat dari segi mana pun, wajar kalau Aaron ingin kembali ke planet asalnya, mengingat laki-laki yang masih memeluknya itu bukan berasal dari Bumi."Tapi kalau balik ke
Suasana game centre yang dari awal tidak begitu ramai, kini terdengar begitu ramai sampai-sampai para pegawai game centre tadi tampak kewalahan menenangkan anak-anak itu agar tidak menangis lagi. Di sisi lain, ibu anak tadi akhirnya menyerah untuk mengambil tasnya dengan usahanya sendiri dan menyeret salah satu staf yang berusaha untuk menenangkan anak-anak tadi itu agar mau mengambilkan tasnya, yang terpaksa dituruti oleh staf tadi setelah melihat tatapan tajam dari ibu itu."Itu baru namanya mahakarya. Yuk kita ke tempat lain.""Aku nggak nyangka kalau pacarku bakal sesadis itu.""Ada masalah?"Aaron menggelengkan kepalanya. "Nggak. Suka banget malah. Cuma nggak nyangka aja kamu bakal ngelakuin itu.""Asyik kan? Game centrenya jadi lebih meriah dari sebelumnya."Mereka berdua menoleh satu sama lain dan menertawakan apa yang baru saja terjadi. Lalu dia menggandeng tangan Aaro
Begitu mereka tiba di lantai berikutnya, matanya tanpa sengaja mengarah pada sebuah kedai makanan tengah menjual sesuatu yang menarik perhatiannya. Mungkin saja itu bisa membantu Stefani mengurangi rasa laparnya, yang dia yakin sekali kalau Stefani berusaha mengabaikan keinginannya untuk makan siang di restoran tadi. Dalam hati dia merasa agak bersalah setelah mengatakan kalau dia tidak akan bisa menemani Stefani makan di restoran itu karena dia tidak akan bisa menyantap makanan yang ada di hadapannya nanti."Tunggu di sini. Aku akan segera kembali." ujarnya, sebelum meninggalkan pacarnya yang tampak kebingungan dengan perkataannya tadi. Lalu dia berjalan dengan cepat ke kedai makanan tadi dan ikut mengantri di belakang seorang pria dewasa yang tengah menggendong anak perempuannya. Dia melihat nama 'Sweet and Salty Crepes' tertulis di dekat kasir, sementara salah satu pegawai kedai itu tampak sibuk menyiapkan makanan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.