Share

8 PENCARIAN

8 PENCARIAN AISAR

Phia dan Lila ada di pemakaman kakek Alan. Kuburan itu selalu terawat karena Phia membayar seseorang untuk merawatnya. Setelah berdoa dan menceritakan banyak hal pada kakeknya, Phia dan Lila pulang ke rumah.

“Nanti malam kita akan dijemput oleh Ziko,” beritahu Phia pada Lila.

“Dia di Jakarta juga?”

“Iya, katanya nanti sore dia ada meeting mendadak. Setelah itu kita sama-sama ke Banjarmasin.”

“Ngomong-ngomong, gimana Phi, kamu mau enggak, ikut pameran itu?”

Phia tidak langsung menjawabnya. Yang ada dalam pikirannya dia sudah tahu lukisan apa yang akan dia ikut sertakan dalam pameran itu meskipun lukisan itu belum dia buat dan ada keraguan dalam dirinya.

“Phi?”

“Hmmm?”

“Gimana, ikut ya?”

“Aku pikir-pikir dulu deh.”

“Jangan kelamaan mikirnya. James menghubungi aku terus, dia selalu bertanya tentang keikut sertaan kamu dalam pameran itu.”

“Iya, iya ... bawel, deh.”

“Ih kamu, mah.”

Phia tertawa melihat ekspresi Lila.

Sore harinya, Phia dan Lila sudah selesai mempacking barang-barang mereka yang sebenarnya tidak banyak. Untungnya mereka berdua bukan tipe orang yang ribet, yang harus membawa banyak barang saat mereka pergi jauh.

Jam tujuh malam, Ziko dan Petter menjemput Phia dan Lila di rumahnya. Keuntungan yang Ziko dapatkan setelah bekerja sama dengan Phia, dia jadi tahu beberapa hal tentang Phia yang selama ini sulit dia dapatkan saat masih mencari identitasnya, seperti tempat tinggal, nomor ponsel dan kesukaan Phia (tentu saja selain melukis).

Sebelum menuju bandara, mereka makan malam dulu di salah satu restoran seafood. Seafood adalah makanan yang paling tepat dipilih saat ini, karena selera mereka yang berbeda-beda.

Ziko menyukai seafood, Phia menyukai makanan pedas, Lila menyukai makanan yang dibakar, sedangkan Petter menyukai segala jenis sup.

“Atasan kami sudah menyediakan empat apartemen untuk kita tinggali selama di Banjarmasin.”

“Tidak perlu repot-repot menyediakan apartemen untuk kami.”

“Itu memang fasilitas yang diberikan oleh atasan kami untuk kalian, karena kalian bekerja untuk perusahaan kami. Seharusnya saat di Samarinda, kalian juga mendapat fasilitas itu. Kalian juga akan mendapat kendaraan untuk memudahkan saat bepergian.”

“Aku dan Lila akan satu apartemen saja. Kalau untuk kendaraan, sebenarnya aku tidak terlalu butuh karena aku lebih suka naik kendaraan umum.”

“Kalau begitu kendaraan itu gunakan saja saat benar-benar dibutuhkan.”

Jam sepuluh mereka tiba di bandara. Ziko sengaja menggunakan pesawat komersial agar Phia tidak curiga tentang identitas dia yang sebenarnya, namun kelas yang digunakan tetap saja yang VVIP.

Phia duduk dengan Ziko, sedangkan Lila dengan Petter. Akibat kelelahan, Phia akhirnya ketiduran. Kepalanya bersandar di pundak Ziko, mengingatkan Ziko akan pertemuan pertama mereka di dalam pesawat menuju Jakarta dulu. Senyum bahagia disertai degup jantung menemani malam Ziko di dalam pesawat itu.

Pasti akan menyenangkan jika setiap malam dia orang yang aku lihat saat aku akan tidur, dan dia juga orang pertama yang aku lihat saat aku membuka mata, pikirnya.

Bisakah kamu menjadi milikku? Kamu ... harus menjadi milikku, My A.

Mereka tiba di Banjarmasin di jemput oleh sopir dan langsung menuju apartemen milik SKY Group. Apartemen itu memiliki fasilitas yang lengkap seperti hotel berbintang. Ziko memilih apartemen yang menurutnya paling sederhana untuknya, karena sebenarnya apartemennya lebih mewah dari yang untuk Phia. Selain itu dia juga ingin satu lantai dengan apartemen Phia. Lila melongo melihat ruangan apartemen itu.

“Kami akan tinggal di sini? Yakin?”

“Apa terlalu kecil? Atau jelek? Aku akan mencarikan apartemen yang lebih baik lagi.”

“Memangnya ada lagi tang lebih baik lagi dari ini?”

“Ada?”

“Ckckck ... atasanmu benar-benar kaya dan baik. Ini sudah sangat mewah, ternyata ada lagi yang lebih mewah dari ini. Yang jadi istrinya pasti sangat beruntung.”

Dan aku berharap itu kamu, My A.

Phia tersenyum mendengar celotehan Lila, karena baginya apa yang Lila katakan itu memang benar.

“Istirahatlah, besok pagi kita akan ke hotel agar kamu dapat menyesuaikan bentuk hotel itu dengan lukisanmu.”

Phia dan Lila memasuki kamar mereka setelah Ziko dan Petter keluar. Tidak lama kemudian mereka berdua tidur.

Pagi ini, mereka makan di cafe apartemen. Setelah dari hotel, Phia berencana akan keliling kota lalu mulai aktivitasnya sebagai pelukis. Dia tidak ingin membuang-buang waktu karena dia sudah memutuskan untuk mengikuti pameran lukisan di Paris itu.

☆☆☆

Aisar tiba di Samarinda pagi ini. Jantungnya berdegup kencang, berharap kali ini dia dapat bertemu dengan orang yang sangat dia rindukan. Begitu juga dengan orang-orang suruhan yang juga sedang mencari Phia. Ada yang tiba tadi malam, ada juga yang tiba di Samarinda kemarin sore.

Di tempat Phia, Phia merasakan gelisah. Jantungnya berdebar kencang, seperti merasakan sesuatu yang dia sendiri juga tidak tahu apa itu.

“Kamu kenapa?” tanya Ziko.

Phia hanya menggeleng, karena dia juga tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya.

“Kalau kamu sakit, kita bisa menunda untuk ke hotel.”

“Aku tidak apa-apa. Aku ingin segera menyelesaikan lukisan-lukisan itu karena ada pekerjaan yang harus aku lakukan.”

Ziko memandang Phia, dia ingin bertanya pekerjaan apa itu, tapi tidak ingin mengusik privasi Phia.

Tapi aku tidak ingin semua ini cepat berlalu, My A.

“Kamu lagi memikirkan apa sih, Phi?” tanya Lila.

“Memikirkan seseorang yang aku rindukan dan tidak menepati janji,” ucap Phia pelan dan asal, namun masih tetap dapat didengar oleh tiga orang lainnya.

Ada perasaan tidak nyaman di hati Ziko saat mendengar semua itu.

“Merindukan Alex mantan kamu yang berkhianat itu?”

Phia mendengkus kesal mendengar nama Alex disebut.

“Pria itu tidak ada dalam daftar rinduku, La.”

“Terus siapa?”

“Ada, seseorang yang selama beberapa waktu menemani hari-hariku dan selalu melihatku melukis. Tapi dia malah pergi.”

Mereka lupa bahwa ada dua orang pria yang ikut mendengar pembicaraan mereka dan salah satunya semakin merasa kesal.

Petter, yang mulai menyadari keadaan sudah mulai tidak enak, segera memotong pembicaraan Phia dan Lila, membuat mereka berdua kembali sadar akan keadaan.

“Saran aku Phi, lebih baik lihat saja yang ada di depan mata. Buat apa memikirkan yang jauh, yang tak terlihat dan tidak jelas.”

Lila masih saja berkomentar tanpa melihat situasi dan kondisi.

Kebetulan sekali saat ini, Ziko lah yang ada di depan Phia, meskipun bukan itu maksud Lila. Ziko memalingkan wajahnya, pura-pura tidak mendengar dan menyembunyikan wajahnya yang dia rasa sudah memerah.

Petter, sebenarnya ingin tertawa, karena selama ini dia belum pernah melihat bosnya yang salah tingkah seperti ini apalagi dengan wajah yang merah malu-malu seperti itu.

Namun sayangnya, Phia bukanlah tipe gadis yang peka akan perasaan khusus seorang pria.

Phia juga tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan kepada Aisar. Hanya saja, saat bersama Aisar, Phia merasa seperti sudah lama mengenalnya dan memiliki hubungan yang cukup dekat. Seperti ada sebuah ikatan, entah itu apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status