Mataku tidak percaya akan apa yang terjadi di hadapannya, pada awalnya aku berpikir kakek tua itu bercanda saat dia menyatakan penolakannya, tapi ternyata dia serius, dia terjatuh miring memegangi dada nya, dan napasnya tersengal-senggal. Hatiku mencelos, dia mengangkat tangannya berusaha berbicara sesuatu tapi sepertinya lidahnya kelu, sehingga aku tidak bisa mengerti apa yang dia bicarakan.
Pria berjas hitam tadi langsung membopongnya dan aku mengikutinya dari belakang, Oh Tuhan jangan biarkan ada apa-apa dengan Opa ini, aku merasa bertanggungjawab, jantungku berdebar-debar saat masuk ke mobil menemani kakek tua itu di belakang saat pria berjas itu menyetir dengan cepat menuju rumah sakit.
Begitu sampai rumah sakit, Opa Jacob segera di periksa, sampai ditempel berbagai alat di badannya, sungguh menakutkan, aku tak tega melihatnya, tanpa sadar air mataku ikut terjatuh karena takut. Dokter mengatakan kalau dari hasil pengecekan awal sepertinya kondisi jantung Opa tidak bagus, dan takutnya ada penyumbatan, hatiku kembali mencelos, semua ini karena aku yang asal bicara tadi. Aku memandang kakek tua itu dengan sedih. Jika memang mau dilakukan tindakan harus ada tanda tangan dari keluarga, Opa mengangguk lemah.
"Tolong... telepon cu..cu opa..." serunya susah payah, dia mengambil handphone dari saku celananya.
Aku menerima teleponnya dengan perasaan campur aduk, menelepon cucunya berarti aku menelepon calon suamiku? Tapi kakek tua itu menatapku memohon dengan mata yang sayu.
"Nomor ...satu ya!" serunya menatapku.
Aku segera menekan no 1 dan terdengar suaranya yang tidak sopan itu.
"Apa lagi kakek tua?" tanyanya tidak sopan, aku mengerutkan keningku, jadi seperti ini kelakuan calon suamiku.
"Kamu cucunya kan? segera kemari kami membutuhkan tanda tanganmu!" Aku menjawab dengan kesal.
Pria ini sepertinya yang dari tadi ditelepon oleh pria berjas hitam tadi, tapi selalu gagal. Ternyata cucunya sendiri tidak perduli kalau kakeknya sedang sakit, aku mendengus kesal.
"Kamu siapa?" betaknya kasar, Eh pria ini benar-benar membuatku emosi. Kakek memegang tanganku, aku menghela napas panjang.
"Kakekmu ada di UGD RS Jantung Harapan Kami, segera datang!" jawabku sedingin mungkin. Opa Jacob tersenyum lemah saat aku mematikan telepon.
"Terima Kasih ya Anna," ujarnya lirih, aku tersenyum sedih melihatnya, tadi dia benar-benar tampak sehat, dalam sekejap tiba-tiba dia terbaring tak berdaya disini, perasaanku tak karuan dibuatnya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa dekat dengan kakek ini.
Tak lama kemudian, datang seorang pria berjas lain, apakah ini salah satu karyawan Opa? aku melirik sebentar, tapi gayanya berbeda, angkuh dan sombong. Dia datang dan berbicara dengan Pria berjas tadi. Aku tak ambil pusing, aku hanya akan menunggu sampai kakek ini baikan, aku merasa bersalah kepadanya.
"Hmm." Pria itu mendekati kaki tempar tidur Opa Jacob. Memangnya aku apa dipanggil seperti itu, pikirku dalam hati.
"Ehem!" dia kembali mengeraskan suaranya, pria ini benar-benar tidak sopan, aku segera menatap kearahnya dengan kesal.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sebal. Pria itu bukannya menjawabnya malah tersenyum sinis.
"Saya yang bisa bantu Anda bukan kebalikannya!" jawabnya mendekatiku.
"Siapa kamu!" ujarnya lagi lebih mendekatiku, aku segera mundur menjauhinya.
"Ethan... kamu sudah datang?" tanya Opa Jacob, memegang tangan Pria itu. Dia berusaha untuk duduk tapi tidak bisa.
"Sudahlah Opa nggak usah bangkit dulu, Opa kenapa sih?" tanya Pria itu dengan kening berkerut.
Opa...Opa... jangan-jangan ini yang bernama Ethan yang Opa Jacob ceritakan tadi? tanyaku dalam hati. Aku ingin menjauhi mereka berdua, tapi aku terperangkap diantara tubuh Ethan tembok dan tempat tidur Opa.
"Ethan, ini calon istrimu Anna, cantik kan?" seru Opa Jacob tersenyum lemah.
Aku dan Ethan saling menatap, dia menatapku dengan sinis, aku menatapnya dengan jijik. Sudah sombong, angkuh tidak sopan lagi! pikirku dalam hati.
"Oh ini yang Opa bangga-banggakan? biasa aja tuh, ga cantik-cantik amat!" ujarnya seakan-akan aku tidak ada disini. Aku mendengus kesal, menanggapinya hanya membuang-buang waktuku. Sepertinya keputusanku tepat tadi, berada dengannya selama lima menit saja aku sudah mau meledak apalagi kalau aku menikah dengannya?
"Permisi, kakek kita Echo dulu ya," seru suster tersenyum, mulai membuka kunci tempat tidur Opa Jacob. Aku segera berdiri dan mengikuti kemana Opa Jacob dibawa.
"Buat apa anda ikut!" serunya mengejarku dari belakang, aku menatapnya dengan kesal.
"Aku mau lihat apakah Opa akan baik-baik saja, aku ga percaya sama kamu!" jawabku sebal melupakan sopan santun. Pria itu mengigit bibir bawahnya dengan kesal akan jawabanku, tapi aku tak peduli, aku langsung berlari mengikuti Opa.
Opa Jacob tersenyum lemah saat aku masuk keruangan periksa, dokter memberikan seperti gel dan meletakkannya di dada Opa, aku berdiri di kaki Opa untuk mendengar penjelasan Dokter. Tak lama Ethan masuk dan berdiri tak jauh dariku.
"Wah Opa, cucunya khawatir sekali nih sepertinya?" tanya dokter ramah, dia mulai melihat ke layar.
"Oke, kita bisa lihat disini ...-" dokter mulai menjelaskan, dan aku tidak mengerti sama sekali yang dia coba jelaskan, sekeras mungkin aku mencoba mengerti. Tapi Ethan mendengarkan dengan serius dengan kening berkerut.
"Jadi sebaiknya kita melakukan operasi, pertama kita balon lalu kita akan ring," kata dokter menatapku dan Ethan bergantian.
Aku hanya mengerti bagian operasi, tapi mengapa ada balon dan ring, yang berarti cincin? maksudnya apa? aku menatap Ethan ingin bertanya, tapi itu saja memberikan dia amunisi untuk kembali merendahkan aku.
"Baik kita jadwalkan saja dok secepat mungkin lebih baik," jawab Ethan langsung.
"Baik, tapi karena Opa harus puasa, bagaimana kita cari jadwal yang pas ya, juga dengan dokter jantung yang ada?" ucap dokter lagi.
"Jadi sekarang Opa gimana?" tanyaku khawatir kepada dokter, Ethan menatapku dengan bingung.
"Opa akan baik-baik saja, tapi bobo di rumah sakit dulu ya," jawab dokter tersenyum menenangkanku yang masih panik. Ethan masih menatapku seakan-akan aku mahkluk aneh.
"Yuk kita masuk ruangan yuk, Opa?" ajak suster dengan ramah mendorong kembali tempat tidur Opa Jacob.
"Kamu kenapa sih?" tanya Ethan tiba-tiba meraih tanganku ketika aku kembali mau mengikuti Opa.
"Apanya yang kenapa?" tanyaku sebal mencoba melepaskan tanganku.
"Kenapa kamu sok peduli!" jawabnya, bola matanya yang hitam menatapku dengan marah.
"Aku emang peduli, bukannya sok peduli! memangnya kamu yang sok sibuk terus sampai tak peduli kakeknya masuk rumah sakit!" Aku dengan kesal melepaskan pegangan tangannya di lenganku, dan segera berlari mengikuti Opa Jacob. Entah kenapa semakin dia melarang ku melihat Opa Jacob, semakin aku ingin melawan nya.
"Anna cucuku." ucap Opa Jacob saat dia sudah enak rebahan di kasurnya yang baru.
Ruangan opa besar, ada lemari baju sampai rak besar pun ada, yang menurutku agak berlebihan. Kakek tua itu akan tidur sendirian disini sehingga membuat hatiku terenyuh.
"Kamar Opa besar sekali," ucapku mengagumi kamar opa, sepertinya luas kamar opa sama besarnya dengan rumahku.
"Ethan selalu begitu, pilih yang paling mahal, yang paling mewah, padahal tidak perlu." jawab Opa Jacob. Sepertinya reaksi obatnya berjalan baik, sehingga Opa terlihat lebih baik.
"Opa sudah enakkan ya?" ujarku lebih tenang karena pipi Opa sudah kembali merah.
"Sudah, berkat kamu Opa jadi tenang," jawabnya tersenyum lagi.
"Maafkan Ethan, dia memang selalu begitu, tapi aslinya dia baik, jadi gimana? kamu mau kan?" pintanya lagi dengan penuh harap.
"Opa sudah enakkan ya?" Aku mendengar suara perempuan itu. Kenapa dia yang jadi lebih khawatir daripada Aku sih? kataku dalam hati, Aku terus berjalan mendekati ruangan Opa."Sudah, berkat kamu Opa jadi tenang." suara opa kini lebih jelas dan stabil, sepertinya keadaannya sudah lebih baik, beban hatiku agak terangkat. Aku sudah di depan pintu saat aku mendengar suara opaku lagi."Maafkan Ethan, dia memang selalu begitu, tapi aslinya dia baik, jadi gimana? kamu mau kan?" Aku mendengar opaku memohon. Cih, kenapa dia sampai memohon seperti itu, seakan-akan aku bujangan lapuk, pikirku kesal, dan yang lebih menyebalkannya, perempuan ini sok jual mahal sekali, sampai menikah denganku saja perlu berpikir lama? pikirku kesal.
Sebentar lagi pintu lift terbuka, aku harus langsung melesat menjauhi pria ini, tadi dia kesannya tak sudi bicara denganku, tapi sekarang dia malah mengikutiku. Aku merasakan pandangan pria itu di belakangnya. Aish, kenapa dia mengikutiku sih! jeritku dalam hati. Pintu terbuka 3...2...1 go!Aku segera berlari secepat mungkin, sepatu baru ini menyusahkan saja, kalau aku lepaskan, kira-kira lantai rumah sakit bersih nggak ya? aku menimbang-nimbang, tetapi sepertinya waktu aku membuka sepatu, aku bisa ditangkapnya."Anna!" panggilnya dari belakang, aku segera mempercepat langkahku, kakiku sempat terpeleset, seketika dia bisa mengejarku.Ethan meraih le
Pembicaraanku dengan New York berjalan lancar, kantor pusat setuju dengan keputusan yang aku ambil, iklan yang berjalan yang menyesatkan publik itu akan ditarik dan akan kami buat baru lagi, walau akan keluar biaya baru, tapi pihak pusat akhirnya tidak keberatan. Aku sangat suka bekerja dengan perusahaan ini yg memiliki integritas ini.Setelah selesai bicara aku merasa lapar, wanita ini pasti juga lapar sudah hampir jam 11 malam dan kami belum makan malam. Aku memandang ke arahnya untuk menanyakan apakah ia lapar, tapi pemandangan yang aku lihat lebih menakjubkan.Gaunnya ternyata robek jahitannya dari dada sampai ke pinggang, walaupun aku tak ada bermaksud melihat tetapi naluri kelaki-lakianku langsung muncul dan menatap tubuhnya yang te
Aku terbangun dengan puas, sudah lama aku tidak tidur senyaman ini. Matahari masuk dengan indahnya di antara sela-sela tirai putih. Nyamannya, berada di pelukannya tenyata begitu nyaman.Pelukan? Tirai putih? Aku dimana? jeritku dalam hati. Aku segera melirik ke samping, Kenapa bisa ada dia di sampingku? Lengannya yang berat ada di pinggangku. Oh Tuhan apa yang terjadi?Aku segera keluar dari selimut secepat tapi selembut mungkin, agar dia tidak terbangun. Suara napasnya yang teratur menyatakan kalau dia masih tertidur lelap, aku aman. Syukurlah aku masih berpakaian lengkap, dengan jasnya juga. Aku masih membutuhkan ini, aku segera beranjak meninggalkan kamarnya.
Wanita itu tertidur seperti kerbau, dia bahkan tidak terbangun ketika aku meletakkannya di tempat tidurku. Ternyata walau dia terlihat mungil dan langsing, membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggendongnya itu sulit sekali."Cih, tidurnya pulas sekali!" gumamku kesal, setelah menaruhnya di tempat tidurku. Badanku terasa pegal, ternyata dia berat sekali! Wajahnya terlihat tenang dengan rambutnya yang terurai di belakang kepalanya. Terdapat beberapa helai rambut yang masuk ke dalam mulutnya.Aku menatapnya sebentar lalu duduk di sampingnya, tanganku bergerak sendiri untuk menarik rambut itu, dia bergerak sedikit ketika merasa rambutnya tertarik, dan tersenyum, entah bermimpi apa. Jika dia diam seperti ini, dia terlihat seperti bidadari,
"Nanti kalau Opa bangun bagaimana?" tanyaku kesal dengan sikap tidak pedulinya. Dia malah menaikkan salah satu sudut bibirnya."Ada Daniel." Matanya yang hitam menatap ke sekretaris opa Jacob yang langsung mengangguk. Dia kembali tersenyum sinis lalu segera pergi."Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu, cucunya kan kamu!" teriakku kesal, nanti kalau ada apa-apa dengan opa jangan sampai kamu menyesal, pikirku dalam hati, aku tahu penyesalan itu rasanya seperti apa, aku sudah merasakannya, pikirku dalam hati. Aku tahu dia mendengarku, suaraku bergaung di lorong rumah sakit, tapi dia terus melangkahkan kakinya yang panjang menjauhiku."Mari kita ke rua
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka Opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda, Ruang duka Opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini harusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.Hanya sesosok itu yang terlihat terpukul, wajahnya mengeras seperti patung. Dia mengenakan kaus polo hitam dengan celana panjang hitam, Daniel tiba-tiba membawakan baju itu tadi.Aku memperhatikannya dari tadi, semua orang datang kepadanya mengucapkan turut berdukacita, dia hanya mengangguk menyalami lalu kembali membeku menatap Op
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda dengan pemakaman papaku dulu, ruang duka opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ke ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini seharusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.