Share

Semua Wanita Sama

"Opa sudah enakkan ya?" Aku mendengar suara perempuan itu. Kenapa dia yang jadi lebih khawatir daripada Aku sih? kataku dalam hati, Aku terus berjalan mendekati ruangan Opa.

"Sudah, berkat kamu Opa jadi tenang." suara opa kini lebih jelas dan stabil, sepertinya keadaannya sudah lebih baik, beban hatiku agak terangkat. Aku sudah di depan pintu saat aku mendengar suara opaku lagi.

"Maafkan Ethan, dia memang selalu begitu, tapi aslinya dia baik, jadi gimana? kamu mau kan?" Aku mendengar opaku memohon. Cih, kenapa dia sampai memohon seperti itu, seakan-akan aku bujangan lapuk, pikirku kesal, dan yang lebih menyebalkannya, perempuan ini sok jual mahal sekali, sampai menikah denganku saja perlu berpikir lama? pikirku kesal.

Aku segera masuk dan wanita itu melirik sebentar ke arahku, opaku juga menatapku dengan kesal karena mengganggu bujukkannya kepada Anna.

"Opa sudah masuk jadwal dioperasi, jangan lupa nanti harus puasa. Kamarnya nyaman kan? Aku harus pulang, nanti jam 10 ada meeting dengan New York," jelasku sambil melihat jam, sekarang sudah hampir jam 9 malam.

"Ethan..." panggil opa Jacob dengan suara serak. Aku harus tanya sama dokter tentang suaranya juga, sudah lama opa suaranya serak pikirku dalam hati.

"Kita ngobrol dulu sebentar," ujarnya menatapku dengan penuh harap. Wanita itu ikut memandangku dengan matanya yang bulat, rambutnya yang panjang tergerai indah di sebelah kiri di atas pundaknya, memperlihatkan lehernya yang putih jenjang. Aku menghela nafas agar kembali konsentrasi. Wanita itu masih menatapku seakan-akan aku aneh. Kenapa dia melihatku seperti itu? pikirku kesal. 

"Aku harus melihat berkasnya dulu opa, nanti ga keburu lihat berkas, meeting jadi percuma," seruku beralasan karena aku sebenarnya sudah tahu apa harus dibicarakan dalam meeting itu, hanya saja aku tidak suka berlama-lama berbicara ini itu, membicarakan hal-hal sepele seperti pernikahan ini, bukan untuk diriku, aku lebih baik menyendiri dan berbicara seperlunya.

"Meeting itu bisa ditunda, ayolah kita dah lama ga ngo,-" dia terbatuk lagi sebelum menyelesaikan kata-katanya.

Wanita itu langsung sibuk mencari gelas, dan mengisi air dari air mineral botolan, tapi dia tidak kuat membukanya, cih… Aku mendekatinya, merebut botol air mineral dari tangannya, membukanya lalu menuangnya ke gelas opa.

"Terima kasih cucu-cucuku." kata opa Jacob setelah puas minum. Ia memandangi kami berdua dengan tatapan yang puas. Satu tangannya ada di tangan Anna dan yang satunya ada di tanganku. Wajah opaku terlihat lelah namun dia masih memaksakan dirinya untuk berbicara.

"Udah, opa istirahat ya?" Aku menatapnya sungguh-sungguh, tapi opa tidak menggubrisku, dia hanya tersenyum lalu melanjutkan perkataannya.

"Opa sungguh berharap kalian akan bahagia, sebahagia yang direncanakan oleh kakek-kakekmu," ucap opa Jacob sambil menatap kami berdua, kata-katanya terasa janggal.

"Opa ngomong apa sih, kaya mau ada apa aja," protes wanita itu ternyata merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.

"Ethan, kamu antar Anna pulang ya? sudah malam nggak mungkin dia pulang sendirian," pinta opa Jacob kepadaku. Aku menghela napas panjang ingin protes,b opa  pasti lupa, aku masih ada meeting. Tapi entah kenapa pandangan mata kakek tua itu malam ini sungguh membuatku iba.

"Kenapa aku harus pulang, nanti Opa gimana?" tanya wanita itu kaget. Aku dan Opa saling pandang karena terkejut.

"Maksudku... Opa ga apa-apa ditinggal di kamar sebesar ini sendirian?" tanyanya bingung.

"Ya emang kenapa, Opa dah gede kok, dah tua malah, dah bisa bobo sendiri, emang kenapa?" jawabku gemas, tidak mengerti jalan pikiran wanita ini.

"Opa nggak apa-apa, kan ada Daniel," jawab Opa agak geli dengan kekhawatiran berlebihan Anna. Aku memandang wanita di sebelahku dengan takjub, wanita ini benar-benar aneh, memang kelewat bodoh atau benar-benar pandai akting. Namun sepertinya Opa Jacob sudah terkena mantranya, kakek tua itu sekarang menatap wanita itu dengan tatapan memuja.

"Oh ada Daniel," ulangnya lagi.

"Kalau begitu baiklah aku pulang ya Opa!" serunya tiba-tiba meraih opa Jacob dalam pelukannya.

Opa Jacob terkejut atas pelukannya, apalagi aku. Aku terperangah atas pemandangan di hadapanku. Kami tidak pernah pelukan bahkan bersalaman saja jarang.

Menurutku kadang Opa Jacob saja suka berlebihan manjanya, tapi wanita ini seenaknya saja main peluk. Ah dia ini bukannya bodoh, tapi benar-benar jago akting. Aku harus berhati-hati dengannya. Dia sepertinya wanita ular yang berbisa, pikirku mewanti-wanti dalam hati.

"Baik, hati-hati sayang," ucap Opa Jacob setelah pulih dari keterkejutannya. Wanita itu melambaikan tangannya dan berjalan keluar begitu saja dari kamar rawat opa. Lho bukannya dia minta diantar pulang tadi kok dia main nyelonong begitu saja? tanyaku bingung dalam hati, aku segera mengejarnya keluar.

"Eh...eh!" teriakku memanggilnya di lorong rumah sakit. Tapi dia tidak berhenti, seakan tidak mendengarku.

"Hei, hei! aku tau kamu mendengarku!" teriakku kesal.

Dia berhenti berjalan dengan sepatu haknya yang murahan itu, dan menoleh. Tatapan matanya seakan mau memakanku. Lho kenapa dia marah, kan dia yang seenaknya pergi begitu saja. Dia datang menghampiriku dengan tatapan mengintimidasi.

"Kenapa... kenapa kamu yang malah melihatku seperti itu?" tanyaku bingung, entah kenapa aku terintimidasi olehnya.

"Eh eh... hei hei, jangan seenaknya anda memanggil saya ya!" bentaknya. Aku tertegun menatap wajahnya yang mungil tapi sedang marah itu.

"Ah.." Hanya itu yang aku bisa ucapkan.

"Dari tadi saya sudah cukup sabar dengan kelakuan anda ya, saya punya nama, anda tau kan nama saya, tadi kita sudah dikenalkan kan?" ucapnya memarahiku.

Aku Ethan Samuel sedang dimarahi, ada apa ini, kenapa dunia seakan-akan terbalik? Tapi herannya lidahku kelu, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku hanya terbius dengan manik matanya yang bewarna coklat muda.

"Nama saya Anna, Anna Federica," ucapnya lagi mengingatkanku seakan aku seorang idiot. Aku segera menguasai diriku lagi.

"Anna, mari kita pulang," ujarku menarik tangannya. Sampai sekarang pun aku bingung kenapa aku bisa seenaknya menggandeng tangannya.

Dia mengikutiku beberapa langkah sebelum akhirnya dia menyadari apa yang aku lakukan lalu melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Eh ... mengapa anda seenaknya menyentuh saya?" teriaknya lagi, membuat suster-suster yang ada di boothnya ikut memperhatikan kami.

"Kamu mau pulang kan, aku antar," jawabku cepat.

"Nggak perlu, saya bisa pulang sendiri." balasnya, langsung berjalan sendiri menuju lift melewati booth suster yang pastinya sedang menggosipkan kami.

"Hai!" panggilku mengulang kesalahanku lagi. Dia segera masuk ke dalam lift.

"Anna, tunggu!" teriakku segera ikut masuk ke dalam lift.

"Tuh nggak susah kan panggil nama orang pakai namanya!" serunya ketus. Aku menggertakkan gigiku, aku separuh menyesal ikut masuk ke dalam lift.

"Aku tak butuh diantar, aku bisa pulang sendiri!" serunya tanpa melihatku.

Aku gemas sekali dengan wanita keras kepala ini. Baru kali ini aku bertemu dengan seseorang yang sama keras kepalanya dengan diriku, pikirku dalam hati.

"Opa menyuruhku untuk mengantarmu pulang," ucapku mencari alasan lalu memandangnya bola mata kecoklatannya itu, karena semakin aku dilarang semakin aku mau melakukannya.

"Nggak butuh!" jawabnya masih keras kepala.

"Hari ini sudah malam, kamu nggai mungkin pulang sendiri," ujarku tak mau kalah, entah kenapa emosiku selalu tersulut ketika berbicara dengan wanita ini. Pintu lift terbuka dan wanita itu berjalan secepat sepatu hak murahannya membawanya.

"Anna!" panggilku tapi dia malah berjalan semakin cepat, pegawai valet melihat kedatanganku dan langsung menyiapkan mobilku, aku berlari mengejarnya, bola mata coklat mudanya terbelalak ketika aku kembali meraih tangannya dan menariknya masuk ke dalam mobil.

Dia bisa turun dari mobil saat aku memutar menuju kursi pengemudi, tapi dia tidak turun, cih! Dia mungkin kaget setelah melihat mobil mewahku, semua perempuan sama, jika melihat mobil mewah pasti langsung mau ikut, pikirku saat menyetir keluar dari rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status