"Nanti kalau Opa bangun bagaimana?" tanyaku kesal dengan sikap tidak pedulinya. Dia malah menaikkan salah satu sudut bibirnya.
"Ada Daniel." Matanya yang hitam menatap ke sekretaris opa Jacob yang langsung mengangguk. Dia kembali tersenyum sinis lalu segera pergi.
"Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu, cucunya kan kamu!" teriakku kesal, nanti kalau ada apa-apa dengan opa jangan sampai kamu menyesal, pikirku dalam hati, aku tahu penyesalan itu rasanya seperti apa, aku sudah merasakannya, pikirku dalam hati. Aku tahu dia mendengarku, suaraku bergaung di lorong rumah sakit, tapi dia terus melangkahkan kakinya yang panjang menjauhiku.
"Mari kita ke ruangan opa, nona," ucap Daniel dengan hormat, aku merasa risih dengan panggilan 'nona' ini, berulang kali aku meminta Daniel untuk memanggilku dengan namaku, tapi dia tetap terus memanggilku nona. Daniel bertubuh tinggi dan langsing, berkaca mata dengan wajah serius. Kali ini dia berdiri di hadapanku diam menunggu responku. Aku mengangguk lalu mengikutinya.
Opa tertidur dengan nyenyak dengan oksigen yang ada di hidungnya. Melihatnya seperti itu membuat hatiku terenyuh, betapa kehidupan manusia tidak dapat berubah dalam sekejap, kemarin dia sehat bugar, sekarang dia terbaring dengan lemah. Dokter dan suster silih berganti datang untuk memeriksa opa Jacob, tapi opa tetap saja belum bangun dari tidur lelapnya.
Pada jam makan siang, perutku mulai terasa lapar tapi aku takut meninggalkan Opa. Maka saat makan siang opa datang, aku langsung melirik makanannya. Wangi makanannya saat datang benar-benar membuatku keroncongan.
"Nona, lapar?" ucap Daniel menghampiriku. Aku tersenyum jengah karena ternyata dia memperhatikanku. Selama ini dia duduk diam di pojok ruangan sambil membaca buku.
"Lumayan," jawabku malu.
Dia tiba-tiba mengangguk lalu segera keluar dari ruangan Opa. Tidak lama dia kembali sambil membawakan nasi kotak, satu untuknya dan satu untukku. Dengan gembira aku menerima makanan itu, nasi dengan ikan goreng dan sayur, sederhana tapi sungguh nikmat.
"Makasih ya Dan, eh panggilnya enaknya gimana ya?" tanyaku ke pria pendiam itu.
"Daniel." Dia menunduk hormat menjawabku singkat.
"Ah kepanjangan, aku panggil kamu Dan aja ya?" ujarku.
"Baik Nona," jawabnya menurut.
"Ish, kenapa Nona sih, dah aku bilang panggil nama aja, panggil Anna, namaku Anna!" seruku kesal, aku merasa aneh dipanggil Nona, seakan-akan aku berada di abad 18.
"Maaf," jawabnya singkat, aku mendengus kesal, sepertinya percuma meminta dia memanggilku dengan namaku, dia ternyata kaku sekali.
Dokter datang dan memeriksa opa, menurut mereka keadaan opa baik, semua normal hanya yang mengherankan dia tetap tidak terbangun dari efek biusnya. Aku menatap opa yang masih terbaring lemah. opa bangun dong, mengapa engkau tidak membuka matamu! pintaku dalam hati. Aku sungguh merasa bersalah, karena penolakanku kemarin dia jadi mendapat serangan jantung, opa bangun dong?
Kenangan yang tak mau aku ingat-ingat kembali terulang di kepalaku, di saat ayahku yang terbaring di ranjang rumah sakit. Setelah aku kabur dari rumah, ayahku terus mencariku berhari-hari, kemana-mana sampai akhirnya dia mengalami kecelakaan karena mengira seseorang adalah diriku, dia menyeberang jalan sembarangan dan di tabrak oleh mobil yang tidak bertanggung jawab.
Dia ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan berlumuran darah, sampai akhirnya di temukan oleh pejalan kaki lainnya. Aku hanya sempat melihatnya sekilas di rumah sakit, dan hal itu terus membekas di hatiku.
Aku duduk di samping opa Jacob dan memandangnya, perutku terasa kenyang dan aku mulai merasa mengantuk, siapa bilang kasur rumah sakit tidak enak, hal itu tidak berlaku jika yang sakit orang kaya, pikirku sebelum aku ikut larut tertidur.
...
"Sudah berapa lama dia begini?" aku mendengar samar-samar suara diantara mimpiku.
Tiba-tiba aku terbang melayang diantara awan, ada burung yang tersenyum kepadaku, hai burung senang bertemu denganmu! aku tersenyum lalu aku mendarat lembut di awan putih seperti kapas, ah pengalaman terbang yang menyenangkan, gumamku dalam hati dengan senang.
Aku terbangun ketika ada bunyi mesin yang keras. Karena bangun tiba-tiba kepalaku menjadi pusing. Dokter dan suster masuk ke ruangan Opa dengan riuh dan langsung sibuk memeriksa Opa Jacob.
"Ada apa? tanyaku panik, sejak kapan aku tidur di sofa ini? berselimut juga? pikirku kaget, tapi aku segera berdiri mendekati Opa, suara mesin membuatku semakin panik, jantungku berdebar-debar, aku takut sekali.
"Hmm," aku mendengar suara yang lama-kelamaan kukenal.
Dia berdiri di sana dengan wajah kaku menatap dari sisi tempat tidur opa Jacob yang lain. wajahnya tanpa emosi tapi terus memandang dokter yang bekerja. Keadaan opa Jacob sepertinya semakin buruk, dokter memanggil dokter yang lain sepertinya yang lebih senior lalu sibuk menyuntikan obat ke infus opa, aku takut sekali. Aku berlari mendekati Ethan.
"Ethan, ada apa?" ucapku menatap wajahnya, dia membeku seperti tidak mendengarku. Aku kembali menatap Opa. Aku merasa berada di dalam film, mesin denyut jantung opa semakin naik turun tajam, tapi lalu tiba-tiba membentuk garis,
"Tidak....tidak, dokter tolong Opa saya!" jeritku mau mendekati Opa, tapi tanganku dipegang oleh Ethan, wajahnya masih tak bergeming.
"Jangan ganggu dokter!" serunya tanpa melihatku.
Dokter mengeluarkan mesin listrik untuk membangunkan jantung opa, aku mohon bangun opa! Tuhan, kemarin aku sudah mengecewakan opa, tolong beri aku kesempatan untuk membahagiakannya! doaku dalam hati.
Ingatan terakhir akan ayahku kembali lagi, aku menggenggam tanganku dengan sekuat tenaga, jantungku berdebar kencang, menatap dokter saling bergantian terus mencoba memompa jantung Opa, sampai akhirnya mereka melihat jam dan berhenti.
"Maaf, kami sudah mencoba sekuat tenaga kami, tapi Opa tetap tidak responsif. Kami telah berusaha, tapi Tuhan menentukan yang lain," ucap dokter dengan penuh peluh dan wajah sedih.
Aku tidak percaya lalu mendekati opa Jacob yang tampak tertidur, wajahnya lelah seperti sehabis berjuang. Aku tanpa sadar menangis tersedu-sedu.
"Opa... bangun Opa...,kita baru bertemu, kenapa Opa malah pergi? isakku sedih.
Suster melepaskan segala kabel dan alat bantuan napas opa, aku seperti bermimpi, Tuhan jika ini mimpi tolong bangunkan aku, ini mimpi yang buruk sekali! pintaku dalam hati.
Ada sentuhan halus di belakangku, Ethan menatap Opanya dengan bibir yang terkatup kencang sampai membentuk garis lurus. Sekilas wajahnya seperti tidak ada emosi, tapi dari matanya terlihat kalau dia merasa sedih.
"Opa!" teriakku lagi menatap Opa, seketika dia meraihku dan memelukku.
Aku menangis sepuasnya dalam pelukannya. Dia terus memelukku dan mengelus rambutku, aku meliriknya kesedihan mendalam terlihat di matanya.
Aku melepaskan diriku dari pelukannya dan kembali menatap Opa yang masih terlihat seperti tertidur, wajahnya berubah yang tadi terlihat letih kini berubah menjadi damai dan tersenyum. Bagaimana dia tersenyum saat aku menangis? sesalku dalam hati. Aku jadi benci rumah sakit. Setiap ke rumah sakit, tidak pernah ada kabar baik, selalu berakhir dengan kesedihan.
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka Opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda, Ruang duka Opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini harusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.Hanya sesosok itu yang terlihat terpukul, wajahnya mengeras seperti patung. Dia mengenakan kaus polo hitam dengan celana panjang hitam, Daniel tiba-tiba membawakan baju itu tadi.Aku memperhatikannya dari tadi, semua orang datang kepadanya mengucapkan turut berdukacita, dia hanya mengangguk menyalami lalu kembali membeku menatap Op
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda dengan pemakaman papaku dulu, ruang duka opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ke ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini seharusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.
Aku tak pernah menyangka hari ini akan datang begitu cepat, hari dimana opa Jacob meninggalkanku sendiri. Hanya dia keluargaku yang ada, dan kini dia juga meninggalkanku. Sekilas ada rasa marah kepadanya yang terbujur kaku di hadapanku, teganya opa meninggalkanku! Tapi kini aku menatapnya dan berharap dia bangun dan berkata dia hanya bercanda seperti biasanya.Aku menatap ke sekelilingku, penuh dengan orang asing, yang bahkan tidak merasa perlu untuk berpura-pura sedih, mereka makan dan minum sambil mengobrol, saling bercanda.Mataku tertuju kepada seorang wanita kurus mengenakan kaos polo hitam dan jeans yang terlihat sangat terpukul. Dia pasti lelah, segala usahanya terbuang sia-sia, opa tetap saja pergi.
Kali ini aku sudah tidak canggung lagi menggendongnya, Anna hanya mengigau sedikit kata-kata yang aku tidak mengerti saat aku mengangkatnya dari kursi penumpang. Sepasang kaki putihnya telanjang, karena sepatunya tertinggal di mobil, biarlah besok bisa diambil. Aku sudah sangat lelah, pemakaman Opa direncanakan dimulai pukul 10 besok pagi.Aku meletakkannya di sisi tempat tidur yang sama seperti kemarin, dia langsung menekuk tubuhnya dan menarik selimut tanpa sadar. Cih, Anna sudah merasa seperti di kamarnya sendiri. Wajahnya merengut, tidak seperti kemarin, mungkin dia sedang bermimpi buruk, aku menghela napas panjang lalu menghampirinya dan membetulkan letak posisi kakinya yang keluar dari selimut, lalu segera membersihkan diri.Saat ak
Aku bermimpi indah sekali. Aku menjadi putri salju yang sedang bermain-main dengan binatang-binatang di hutan, lalu datang seorang nenek sihir memberikan aku gelas plastik bekas. Dia menyuruhku untuk membuangnya ke tong sampah, tapi anehnya saat aku memegang gelas plastik bekasnya, aku langsung jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Untunglah ada pangeran yang langsung menangkapku, dan meletakkanku di atas tumpukan jerami kering, dia tersenyum lalu menciumku.Aku terbangun dengan puas, ah mimpiku indah sekali, lalu menyadari aku tidak ada di kamarku, tetapi kamar ini terasa familiar, ah tidak! apa aku ada di kamarnya lagi? aku segera memeriksa baju dan celanaku, syukurlah masih lengkap, walau bagian selangkanganku agak sakit karena tidur mengenakan celana jeans.
Aku tahu seharusnya aku mengalihkan pandanganku tapi rasa keingintahuanku melampaui logika. Aku maju lebih dekat dan bersembunyi di balik pintu kamar pakaian, aku melihat Anna masuk kembali ke kamar mandi sambil mengambil salah satu setelan baju secara asal.Aku mengulang pemandangan indah tadi, air masih menetes dari rambutnya, pundaknya putih dan jenjang, dadanya tidak serata yang aku pikirkan, ukurannya pas untuk tubuhnya yang mungil, perutnya rata dengan bagian bokong yang penuh, hatiku penuh rasa bersalah mengintipnya seperti itu.Saat dia masuk ke kamar mandi lagi, aku segera keluar dari kamar pakaian tapi tiba-tiba Anna keluar lagi saat aku sudah di dekat pintu."Kamu! mau apa kamu?" jeritnya kaget. Aku berusaha mengalihkan perhatianku, tapi sungguh itu hal yang sulit. Anna sangat sexy di hadapanku. Dia masih mengenakan handuk walau terlihat dia sudah mengenakan BH hitam dibalik handuknya."Keluaaar!" jeritny
Kami sampai dalam waktu cepat karena rumah Ethan terletak tidak terlalu jauh dari Ruang Duka. Aku kembali menatap Opa Jacob yang tertidur abadi di peti matinya, betapa menakjubkan kehidupan itu, hanya sesaat yang lalu kami makan dan bercanda bersama, kini Opa hanya bisa terbujur kaku di sana.Ibadah tutup peti terasa singkat, dalam beberapa waktu peti segera ditutup, alunan lagu dinyanyikan untuk menguatkan hati, aku kembali terisak, dan memandang Ethan. Dia berdiri kokoh, tapi matanya memperlihatkan kehilangannya, aku berdiri disampingnya, merangkul lengannya, setidaknya hanya itu yang aku bisa lakukan.Ethan menyetir dalam diam saat mengikuti mobil jenasah yang membawa Opa ke peristirahatan terakhirnya. Upacara segera dimulai, orang yang ikut ke penguburan semakin sedikit, kemana semua orang-orang yang bercanda tawa kemarin? sepertinya mereka tidak mau repot-repot mengotori sepatunya dengan tanah basah.Aku benar-benar kesulitan untuk mendaki bukit kecil menuju l
Entah kenapa aku ingin mengantarnya, aku ingin melihat rumahnya atau sebenarnya aku memang belum mau berpisah dengannya aku tidak mengerti, tapi yang pasti saat aku mengantar Anna yang berjalan terseok-seok diatas stilettonya, aku bersyukur aku ada untuk memegangnya.Dia membuka pintu gerbangnya yang sudah berkarat, tidak di kunci? Bahaya sekali, bukannya di daerah sini rawan rampok?"Baik, terima kasih atas tumpangannya." Anna berkata sambil mendorong pintu reot itu, tapi aku mendorongnya dan bermaksud ikut masuk ke dalam."Kenapa?" Dia bingung memandangku."