Share

Penyesalan Datang Terlambat

Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka Opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.

Tapi memang berbeda, Ruang duka Opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ruang duka Opa.

Suasana riuh, walaupun ini harusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.

Hanya sesosok itu yang terlihat terpukul, wajahnya mengeras seperti patung. Dia mengenakan kaus polo hitam dengan celana panjang hitam, Daniel tiba-tiba membawakan baju itu tadi.

Aku memperhatikannya dari tadi, semua orang datang kepadanya mengucapkan turut berdukacita, dia hanya mengangguk menyalami lalu kembali membeku menatap Opa yang tertidur selamanya.

Aku duduk di bangku tidak jauh darinya, di sudut ruangan. Tidak ada yang memperdulikan seorang gadis kurus mengenakan kaus polo hitam belel dan jeans biru tua. Malah ada seorang Ibu dengan parfum menusuk memberiku gelas kotornya agar di buang.

Aku menghela napas dan membuang sampah itu. Ketika aku berdiri, Ethan menatapku sekilas, aku yang merasa canggung seketika tersenyum tipis kearahnya, tapi dia malah membuang pandangannya, cih aku jadi menyesal tersenyum kepadanya.

Malam semakin larut , aku melirik jam tanganku, sudah hampir jam 12 malam apakah sebaiknya aku pulang saja ya? Mama tadi cukup terkejut ketika aku pulang sebentar untuk mengganti baju. Dia sebenarnya mau ikut tapi mama yang sakit-sakitan sebaiknya tidak usah ikut dalam keramaian, dan aku bersyukur dia tidak memaksa, tidak terbayang dia ada di sini, dia pasti akan sibuk ke sana kemari melayani orang-orang yang tak pantas untuk dilayani.

Aku berdiri di dekat pintu, tiba-tiba datang wanita cantik berambut sebahu dengan pakaian yang sangat tidak cocok dengan suasana duka, gaun panjang putih dengan corak bunga-bunga merah dan ungu besar, cantik sangat wanita itu sangat cantik dengan polesan make-up yang sempurna, dia berlari masuk tanpa menoleh kanan kiri, langsung menuju Ethan.

Tiba-tiba suasana menjadi hening memperhatikan wanita itu meraih Ethan dan memeluknya. Aku terkejut melihat mereka berdua, ah itu pasti pacarnya, pikirku dalam hati. Suasana di sekitarku langsung lebih riuh membicarakan apa yang sedang berlangsung.

Aku menatap mereka dengan perasaan aneh, apa... apa yang kurasakan aku tak mengerti, tapi jelas-jelas aku tidak nyaman. Aku sebaiknya pulang, aku bergegas ke arah pintu keluar ruang duka.

Tapi tiba-tiba sekitarku kembali riuh, dan aku merasakan tanganku ditarik.

"Kamu mau kemana?" tanyanya kasar. Aku begitu terkejut sehingga aku tidak bisa menjawab. Kini aku yang menjadi pusat perhatian, banyak orang berbisik-bisik menatapku dengan mata penasaran dan sebagian terlihat jijik.

"Aku...aku mau pulang saja, lepasin ah sakit!" seruku mau melepaskan tanganku, tapi dia kembali mencengkram lenganku lebih kuat.

"Sudah malam, kamu ga boleh pulang." ucapnya tegas menyeretku kembali masuk ke dalam, mendudukkanku ke kursi yang tadi dia duduki. Aku terhenyak dengan kesal, wanita cantik tadi juga terkejut menatapku dan kembali ke Ethan.

"Siapa dia?" tanyanya menatapku sinis.

Aku ingin menjawab wanita yang sepertinya langsung ingin menjadikanku musuhnya, tapi tiba-tiba Ethan merangkul pundakku membuatku menempel padanya.

"Dia tunanganku," jawab Ethan sinis.

Mata wanita itu terbelalak, juga mataku dan beberapa orang yang berada di dekat kami. Mereka mulai berbisik-bisik lagi.

"Bohong!" jerit wanita itu, ingin meraih Ethan tapi dia mundur, sehingga wanita itu hanya menangkap angin. Aku begitu terfokus dengan reaksi Ethan dan wanita itu sampai tidak memperhatikan ada pria lain masuk. Pria itu tampan berambut bergelombang agak panjang, kecoklatan, dia terlihat marah dan langsung menarik wanita cantik itu.

"Bohong! kamu bohong Ethan!" jeritnya terpaksa mengikuti pria itu, gaunnya yang panjang mengayun di belakangnya. Aku menatap mereka dengan bingung dan kaget sampai tidak sadar dari tadi Ethan masih merangkulku.

"Si...siapa dia?" tanyaku bingung.

"Bukan siapa-siapa." jawabnya ketus, kembali mengalihkan perhatiannya ke Opa yang terbujur kaku di peti jenasah.

Daniel datang dan menundukkan kepalanya.

"Maaf saya tadi sedang ke toilet, saya minta maaf." ulangnya.

"Lain kali jangan biarkan dia kembali, beritahu anak buahmu juga." jawab Ethan sambil menghela napas lalu menatapku, seketika jantungku berdebar kencang. Tatapannya berbeda, tatapannya begitu intens yang membuatku ingin mendekatinya, tetapi hanya sesaat, kemudian matanya kembali dingin.

"Kamu mau pulang?" tanyanya.

"Iya. sudah hampir jam satu," jawabku setelah melihat jam tanganku.

"Ayo!" ucapnya lalu pergi, Daniel menunduk saat kami lewat.

Aku mengikutinya, orang-orang kembali menatapku dengan pandangan curiga. Aku berlari mendekati Ethan yang berjalan cepat di depanku, tatapan mata mereka membuatku merasa sesak.

Dia segera masuk ke dalam mobilnya, tanpa menungguku, apa ini maksudnya dia mau mengantarku pulang? Aku masuk ke mobil dalam diam, dan dia langsung menjalankan mobilnya.

"Kamu mau antar aku pulang?" tanyaku takut-takut, karena wajah Ethan yang masih membeku. Dan, ... dia hanya diam. Aku merasa letih, aku sedang enggan bertengkar, lagi pula hatiku masih sedih karena Opa, karena itu aku hanya mendiamkannya lalu memandang kearah jendela.

"Bangun," ucapnya sambil menyentuh lenganku.

"Aku tidak tertidur!" seruku berbohong.

"Cih, makan nih!" serunya lagi sambil menyerahkan kantong coklat berlogo m kekuningan itu.

"Ah... makasi," ucapku langsung membuka paket kesukaanku, aku langsung memakannya karena memang dari tadi kelaparan, tahu saja dia, pikirku dalam hati sambil meliriknya. Pria berambut hitam di sebelahku itu juga memakan  burgernya dengan cepat tanpa berkata apa-apa.

Setelah selesai dia menatapku, aku kembali tersihir dengan tatapan matanya yang dalam.

"Kenapa?" tanyaku jengah.

"Alamatmu?" tanyanya menunggu. Oh dia mau mengantarku pulang, aku seketika merasa lega.

"Akasia TV3 nomor 1." jawabku. Dia masih menunggu.

"Nama perumahannya?" tanyanya lagi, oh jadi  kemarin dia tidak bisa mengantar aku pulang karena dia tidak mengetahui kompleks rumahku, aku jadi menyesal telah memikirkan hal yang buruk tentang dia.

"Pesanggrahan Indah." jawabku pelan. Dia menyalakan mobilnya lalu kembali menyetir.

"Aku nanti kasih tau kemana, soalnya banyak belok-beloknya." ucapku memandangnya yang hanya diam saja, entah mendengarku atau tidak.

Jalanan menuju rumahku agak jauh dari rumah duka Opa Jacob, Ethan harus masuk tol tapi dia    melakukannya tanpa berkata apa-apa.

Aku menatap jalan lurus itu sambil menahan kantuk. Aku cukup lelah karena seharian menjaga Opa, perut kenyang membuatku semakin mengantuk, mungkin tidur sebentar akan aman, toh kita sudah di tol, saat mobil berhenti aku pasti bangun, pikirku sambil berhenti memaksa mataku untuk tetap terbuka.

"Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu, cucunya kan kamu!" suaranya terus terulang di kepalaku, dengan kesal aku mengalihkan perhatianku kepada suara di telepon. Mengapa aku menjadi lemah dan mendengarkan kata-kata perempuan itu!

Pihak Singapura akhirnya setuju peluncuran produk baru akan diadakan di Bali. Kami hanya tinggal mengatur waktu yang tepat dan membicarakannya dengan  bagian riset. Dengan persetujuan ini maka pekerjaanku pagi ini sudah selesai. Masih ada setumpuk lagi, tapi seketika perutku berbunyi.

Sebaiknya aku makan siang, aku melirik jam tanganku sudah jam 1 siang, pantas perutku mulai lapar. Aku meregangkan tubuhku yang dari tadi duduk. Aku berdiri dan menatap keramaian kota melalui jendela kantorku.

Aku tiba-tiba teringat wanita bodoh itu, kalau dia masih bersikeras untuk menunggu di samping Opa, dia pasti juga belum makan, entah kenapa aku peduli, pikirku menyesali tetapi ku mencari handphone ku untuk menghubungi Daniel.

"Bagaimana keadaan Opa, sudah ada perubahan?" tanyaku saat dia mengangkat pada dering pertama.

"Belum pak," jawabnya singkat. Jawabannya  sudah dapat di tebak, karena dia pasti akan menghubungi apa-apa dia segera menghubungiku, aku tahu pasti tidak ada perubahan.

"Wanita itu?" tanyaku agak menyesal setelah bertanya, buat apa aku menanyakannya?

"Dia duduk menunggu di samping Opa," jawab Daniel lagi.

"Oke," balasku lagi tapi sepertinya ada yang mau di sampaikan Daniel lagi sehingga aku menunggu.

"Ada apa Daniel?" tanyaku, sepertinya Daniel kaget karena aku menyadarinya.

"Sepertinya dia lapar dari tadi dia memperhatikan makanan Opa Jacob." lanjut Daniel. Aku mendengus geli mendengarnya, dasar wanita bodoh!

"Daniel, kamu juga pasti lapar, belilah makanan untukmu dan untuk wanita itu juga," perintahku membayangkan wanita itu memandangi makanan lucu juga.

"Baik pak," jawab Daniel.

"Jika ada masalah segera hubungi saya!" seruku.

Pekerjaanku sebenarnya masih banyak, tapi suara teriakan wanita itu pagi ini, berulang kali berputar di kepalaku. Akhirnya aku menyerah aku segera merapihkan mejaku dan meninggalkan kantor lebih cepat.

Saat aku memasuki ruangan Opa Jacob, wanita itu sedang tertunduk disamping Opa, apakah dia menangis lagi? Aku segera mendekatinya dan menyadari kalau dia tertidur dengan pulasnya.

"Sudah berapa lama dia begini?" tanyaku pada Daniel.

"Sejak selesai makan," jawab Daniel menghampiriku.

Aku menatap wajahnya yang sedang bermimpi, tangannya dia gunakan sebagai bantalan kepalanya, matanya tertutup rapat sehingga terlihat bulu matanya yang lentik, mulutnya terbuka sedikit sehingga ada cairan bening keluar dari mulutnya.

"Dasar bodoh!" gumamku.

Tanpa berpikir, aku segera mengangkatnya dan membawanya agar dia tidur di sofa. Dia seperti kemarin, tidak sadar kalau sedang digendong.

Dasar kerbau! pikirku dalam hati, bagaimana bisa dia tertidur dengan pulasnya sampai mengeluarkan air liur seperti ini?

Setelah memberikannya selimut, aku kembali menatap Opa yang masih tertidur namun tak terbangun-bangun. Wajahnya tampak biasa, hanya kehilangan pipinya yang biasa merah tapi yang paling kurindukan adalah senyumannya yang ramah. Opa bangunlah, aku mohon.

Ada masalah apa sih kenapa dia tidak bangun-bangun, pikirku dengan kesal, aku segera berjalan menuju tempat tunggu suster untuk meminta penjelasan.

"Maaf, visit dokter kapan ya? saya mau menanyakan mengenai Opa saya?" tanyaku. Entah kenapa suster itu saling berpandangan.

"Tadi setelah makan siang sebenarnya dokter datang, tapi istri bapak sedang tidur, jadi tidak bisa bicara," jawab suster yang satu.

"Istri...?" tanyaku pelan, oh pasti mereka mengira wanita itu istriku, cih...

"Jadi bagaimana keadaan Opa saya? mengapa sampai sekarang belum bangun juga? apa ada kesalahan saat pembiusan?" tanyaku menuduh. Suster-suster itu berhenti tersenyum saat mendengar tuduhanku.

"Semua sudah dilakukan sesuai prosedur pak, keadaan Opa stabil, dokter juga bingung mengapa Opa belum terjaga," jawab suster lain yang terlihat lebih tua.

Tiba-tiba ada bunyi dering, mereka semua berlari, salah satu dari mereka mencari dokter yang lain berlari menuju ruangan yang lampunya sirenenya menyala. Mataku mengikuti kemana mereka berlari, dan baru tersadar kalau itu ruangan Opa. Aku segera berlari mengikuti mereka.

Mereka segera masuk dan segera memeriksa Opa. Dokter segera menyuntikkan obat melalui infus memeriksa mata Opa sedangkan suster memasang  berbagai alat di tubuh Opa. Aku memperhatikan mereka yang bekerja dengan cepat, muncul rasa sesak di dadaku seketika.

"Ada apa? tanya wanita itu terbangun karena suara berisik mesin, dokter dan suster yang saling bantu.

"Hmm," aku membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering, sambil terus menatap Opa Jacob di masukan alat bantu napas dari mulutnya. Jantungku berdebar kencang, Opa harus bangun, dia tidak boleh mati!

"Ethan, ada apa?" wanita itu akhirnya menghampiriku, dia menyentuh lenganku, tapi aku diam saja, berkonsentrasi menatap dokter.

yang masih dengan susah payah mengatasi serangan Opa, tiba-tiba mesin denyut jantung Opa semakin naik turun tajam, lalu tiba-tiba membentuk garis lurus.

"Tidak....tidak, dokter tolong Opa saya!" jerit wanita itu panik, dia berlari mendekati Opa, tapi aku segera memegang lengannya dan menariknya kearahku.

"Jangan ganggu dokter!" ucapku agar dia diam.

Mereka kembali memompa jantung Opa, dengan penuh peluh mereka bekerja tanpa henti, tapi grafik EKG tidak berubah, aku memperhatikan dokter yang saling berbicara dengan suara rendah sambil terus memompa, setelah beberapa lama akhirnya mereka menyerah, salah satu dokter melihat jam dan yang lain mencatat.

"Maaf, kami sudah mencoba sekuat tenaga kami, tapi Opa tetap tidak responsif. Kami telah berusaha, tapi Tuhan menentukan yang lain," ucap dokter dengan penuh penyesalan mendatangiku.

Aku melepaskan pegangan tanganku akan Anna, dia segera berlari mendekati Opa. Aku merasa tidak percaya kalau Opa sudah pergi. Wanita itu menangis tersedu-sedu di samping Opa yang tertidur selamanya.

"Opa... bangun Opa...,kita baru bertemu, kenapa Opa malah pergi? isaknya sedih.

Lagi-lagi aku ditinggalkan, Mama, Papa dan kini Opa Jacob. Semua memang akan meninggalkanku pada akhirnya.

Suster lalu kembali untuk melepaskan segala kabel dan alat batuan napas Opa. Anna memperhatikan sambil terus memanggil-manggil Opa agar Opa bangun

Aku mendekati Opa, untuk melihatnya lebih jelas. Aku mengatupkan gigiku keras-keras menahan segala emosi yang bergejolak di hatiku.

"Opa!" teriaknya lemah.

Tanpa aku sadari aku menyentuhnya, dia menatapku lalu langsung masuk kedalam pelukanku, dia kembali menangis, dan tanganku otomatis mengeratkan pelukanku sambil terus mengelusnya.

Tidak lama, suster datang memberikan surat tanda pengurusan dokumen tapi Daniel dengan mata merah mengambil semua surat itu dan mengurusnya.

Aku kembali menatap Opa Jacob, untuk terakhir kalinya, wajahnya yang kemarin terlihat penuh kesakitan kini tersenyum. Bagaimana engkau bisa tersenyum Opa? Engkau telah membohongiku, Opa bilang Opa akan selalu bersamaku, tapi kini kamu pergi tanpa memberiku kesempatan untuk membahagiakanmu.

Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu, cucunya kan kamu!  kata-kata wanita di hadapanku ini kembali terngiang-ngiang dikepalaku.

Aku pernah mendengar kata-kata penyesalan selalu datang terlambat, tapi baru kali ini kata-kata itu masuk menusuk kedalam hatiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status