Share

Bab 3

Saat ini Aldo duduk di sofa kamarnya, kamar yang telah lama di tinggalkannya, dengan kedua tangan di rentangkan di kursi. Pikirannya kacau saat ini, sungguh ini adalah hal yang paling di benci olehnya.

Pernikahan yang menurutnya hanyalah Bullshit, apa lagi cinta. Di dalam kamusnya tidak ada yang namanya cinta, karena kata-kata cinta yang keluar dari mulut wanita hanyalah omongan sampah yang tidak ada gunanya bagi Aldo.

Sejak cinta pertamanya kandas, dan hanya mengincar hartanya semata, mulai dari situlah Aldo tidak pernah lagi percaya akan namanya cinta. Hubungannya dengan para wanita hanyalah sebatas penghangat ranjang, tanpa ada cinta di dalamnya.

Karena baginya wanita yang bilang cinta kepadanya hanya butuh hartanya saja. Selayaknya pelacur yang meminta upah atas jasanya memberi kepuasan kepada setiap pelanggannya.

Kini Aldo harus berpikir keras bagaimana dengan pernikahan yang di minta oleh sang Papa. Haruskah Aldo menerima pernikahan itu? Sedangkan dia tidak pernah nyaman dengan istilah pernikahan.

Tapi jika ia menolak untuk menikahi wanita pilihan Papanya, bagaimana dengan kesehatan Papanya nanti? Sungguh Aldo terlihat frustasi karena masalah ini. 'Walaupun perjanjian pernikahan 3 bulan telah di buat, kenapa hatiku masih merasa tidak tenang?' batin Aldo.

Aldo menghela nafas, lalu ia bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju ke arah meja yang ada di sudut kamarnya. Aldo membuka sebuah botol anggur merah yang terdapat di meja tersebut, kemudian menuangkannya ke dalam sebuah gelas yang telah tersedia. 

Setelah menghabiskan beberapa gelas anggur, kesadaran Aldo mulai hilang. Ia pun terlelap di sofa sambil tangannya masih memegang gelas. Sedangkan botol anggur yang tadi di bukanya telah kosong tak bersisa.

•••••••∆∆∆∆•••••••

Hari ini setelah kondisi William membaik, Dokter mengijinkannya untuk pulang. Tapi dengan catatan tidak boleh ada kabar buruk yang membuatnya anfal lagi. Aldo lebih berhati-hati dalam tindakan atau pun kata-katanya, karena takut akan membuat orangtuanya mengalami serangan jantung untuk kedua kalinya.

Dengan di jemput oleh sekretaris Ferry, maka William pun pulang ke Rumah dengan raut wajah bahagia. Di sampingnya sudah ada Aldo yang setia menemaninya, "Kenapa kamu tidak membawa Icha untuk menjemput Papa, Al?" Tanya William.

Aldo yang sibuk dengan ponselnya menghentikan sejenak aktifitasnya, ia menoleh sekilas ke arah William. Lalu ia kembali menatap layar ponselnya, "Icha bilang sedang ada meeting dengan klien, Pa," jawab Aldo dengan wajah santai namun matanya tidak beralih dari layar ponselnya.

Mendengar hal itu William mengerutkan keningnya, karena William tahu betul jika Icha bekerja di perusahaan Adi Jaya sebagai sekretaris. Dan sekarang Aldo bilang meeting? Apa benar jika Icha sedang meeting? Bukankah tadi pagi Icha mengatakan jika ia akan datang terlambat ke rumah sakit. 

William pun menoleh ke arah Aldo, ingin memastikan kecurigaannya, "Memangnya kamu tahu dimana tempat kerja Icha sekarang?" Selidik William.

Aldo yang masih menatap layar ponselnya hanya menghela nafasnya, "Tahu dong Pa, dia kerja di perusahaan orangtuanya kan?" Jawab Aldo enteng.

Terlihat wajah William kecewa mendengar jawaban Aldo. Karena seperti dugaannya, bahwa Aldo tidak tahu apa-apa tentang Icha. Bahkan tempat kerja Icha saja ia tidak tahu. 'Dasar anak kurang ajar, berani-beraninya berbohong padaku,' batin William. Tapi William tidak mempermasalahkan soal itu, yang penting baginya adalah Aldo bersedia menikah dengan Icha.

Perlahan tapi pasti Aldo juga akan mengetahui bagaimana Icha dan seperti apa gadis baik itu yang dengan suka rela mengorbankan dirinya demi keluarganya. Bahkan keluarganya sendiri seolah tidak menganggap Icha bagian dari mereka.

'Jika keluargamu tidak menginginkan kamu, jangan khawatir Icha, aku akan menggantikan posisi mereka menerimamu dengan penuh kasih sayang selayaknya orangtua kandung kamu.' Batin William.

Mata William menerawang jauh ke depan, dia merasa bersalah dengan Icha, gadis yang baik hati menurun dari sifat ibunya. Bahkan dulu ibunda Icha juga pernah mengorbankan dirinya tanpa memperdulikan apa pun.

Sesampainya di halaman Rumah mewah seperti istana itu, William keluar dari mobilnya dan memasuki rumah di ikuti oleh sekretaris Ferry dan Aldo di belakangnya.

"Papa sebaiknya istirahat di kamar, dan minum obat dengan teratur, supaya Papa cepat sembuh," ucap Aldo.

Namun William seakan tidak mendengarkan perkataan Aldo, "Ferry, besok suruh Icha dan keluarganya datang kemari, kita akan bahas soal pernikahan Al dan Icha secepatnya," ucap William seakan memberi perintah pada Ferry.

"Baik Tuan."

Mendengar hal itu Aldo terpaku diam di tempatnya, Aldo tidak menyangka jika Papanya akan secepat itu menjadwalkan pernikahannya. Melihat ekspresi Aldo yang diam tanpa kata, William pun mendekat dan menepuk bahunya dua kali.

"Kamu sudah siap kan?" Pertanyaan William sukses membuat Aldo tersadar dari lamunannya.

"Hem, iya Pa, aku siap," jawab Aldo sambil menganggukkan kepalanya.

"Bagus Al, dan memang kamu sebaiknya harus siap, karena Papa tidak tahu berapa lama Papa akan bertahan," ucap William.

Deg!! 

Jantung Aldo tiba-tiba berdetak cepat mendengar perkataan William barusan. Dan itu sukses membuat Aldo teringat akan perkataan dokter sewaktu dia pertama datang dari London. 

Hati Aldo semakin merasa sedih dan tidak rela jika ia kehilangan orangtuanya lagi, dulu Mamanya meninggal karena melahirkannya, hingga William yang harus berperan menjadi Papa sekaligus Mama bagi Aldo. Jika ia kehilangan Papanya, apa yang akan terjadi di dalam hidupnya kelak?

Aldo tidak bisa lagi menutupi rasa sedihnya membayangkan jika akan kehilangan Papanya, "Sebaiknya Papa segera sembuh, atau Al tidak akan menikahi gadis itu, jika Papa belum sembuh juga," ucap Aldo, kemudian ia berlalu meninggalkan William yang tersenyum bahagia mendengar ucapan Aldo.

William pun akhirnya memasuki kamarnya dengan di temani Ferry, senyum kebahagiaan masih mengembang di sudut bibir William hingga sampai di dalam kamarnya.

Sedangkan Aldo justru semakin bingung, bagaimana bisa Papanya ingin secepat ini menikahkannya dengan gadis itu, begitulah kira-kira yang ada di kepala Aldo saat ini.

'Ini bukan masalah besar, hanya pernikahan sementara saja, dan itu tidak akan menghalangi kebebasanku,' batin Aldo.

Dia melihat langit-langit kamarnya, terbayang sekilas wajah Icha saat terakhir kali mereka bertemu, wajah Icha yang terlihat lugu, tapi entah kenapa menurut Aldo bahwa Icha hanya bersikap sok lugu untuk bisa mendapatkan apa yang dia mau. Buktinya Icha setuju menikah walaupun ia tahu jika setelah 3 bulan akan menjadi janda.

'Sudah seminggu ini aku tidak bermain ke club malam, gara-gara harus menunggu sampai Papa sembuh, sepertinya aku butuh pelampiasan malam ini,' batin Aldo.

Dan harus di akui bahwa Aldo sangat suka pergi ke club malam. Menghabiskan malam bersama dengan teman-temannya bahkan bermain one night stand pun sudah menjadi rahasia umum baginya. Walaupun suka dengan permainan one night stand, tidak sembarangan wanita bisa naik ke atas ranjangnya. Hanya wanita pilihan yang bisa menaiki ranjang Aldo untuk memuaskannya.

Sebelum tidur dengan wanita satu malamnya, aldo memastikan bahwa mereka terbebas dari segala macam penyakit. Aldo bahkan tidak segan memberikan tips uang banyak jika Aldo merasa puas dengan pelayanan mereka.

Kini hari telah berganti malam, Aldo yang merasa telah lama tidak menyalurkan hasratnya, kini dia bersiap untuk pergi keluar. Dan tentu saja Aldo akan mencari mangsa di negara ini, yaitu negara Indonesia.

Mungkin jika di London ia akan mudah menemukan wanita one night stand, tapi di Indonesia ia merasa masih kesulitan. Mengingat negara ini ketat akan peraturan prostitusi, bahkan undang-undang juga melarang adanya hal tersebut.

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status