Matahari sebentar lagi terbit ketika Devin memasuki dapur. mencuci muka dan tangan di wastafel. Dua orang pelayan sedang sibuk memasak menyiapkan makan pagi.
“Devin, dari mana saja kamu?”
Devin merasa tubuhnya membeku mendengar suara berat di belakangnya. Dibiarkannya air dari kran mengalir membasahi jemarinya. Entah kenapa, kali ini dia ingin membersihkan tangan sebersih-bersihnya. Rasanya sabun cuci tangan tak sanggup membersihkan noda dosa di tangannya.
Dosa? Sepertinya kata itu tak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak pernah mendapatkan nasehat kebaikan di rumah. Dia dibesarkan dalam instruksi ayah bersuara berat pada pelayan. Bahkan dosa yang dilakukan ibunya adalah sebuah buku catatan wajib yang harus dibacanya setiap hari, agar kebencian pada wanita itu tertanam dan berakar seumur hidupnya.
“Devin?”
Devin membalikkan badan, lalu meraih lap kain yang disodorkan pelayan ke arahnya. Melihat ayahnya berdiri di pintu dapur, tampak segar, sehat wal afiat, seolah tidak ada tragedi apapun semalam yang menyebabkan Marcus harus memanggil tukang kaca pagi ini. Selalu, Andrew Chayton bisa bersandiwara di depan semua orang, bahwa semua masalah dapat dengan mudah diletakkan di belakang. Meski hal itu akan menggerogoti jiwanya.
“Aku bersama Marcus, menonton kembang api.”
Andrerw mengernyit kening, lalu memasukkan kedua tangan ke saku piyamanya. Dia mendekati Devin dan memindai anaknya itu dari kepala hingga ujung kaki. Devin berusaha tampak natural, meski matanya terasa sangat berat.
“Aku akan tidur sebentar, Dad. Dan bangun sebelum sarapan.”
Andrew masih memindai Devin. Dia yakin, ada yang disembunyikan anak sulungnya, tapi dia tidak tahu apa. Semalam, dua kali dia mendudukkan kedua anaknya. Satu sebelum insiden kaca pecah dan sesudahnya. Keputusannya semakin bulat untuk memenjarakan Levin tanpa seorang wanita pun selama tujuh tahun ke depan. Atas kesalahan fatalnya, membawa anak Sabrina Brice ke Mansion Batista.
Levin dengan keras menolak, bahwa dia sama sekali tidak tahu kalau Cindy Lau adalah adik tirinya. Karena dia bermata sipit. Andrew sendiri tidak menyangka, data yang dia dapatkan dari The Vow, hasil memata-matai aktivitas mata keranjang adiknya, ternyata bisa kalah telak dengan satu kalimat dari ayahnya.
Bahwa meski selama ini seluruh wanita di dunia berseliweran dalam napas kehidupan Mansion Batista, bersinggungan dengan Sabrina Brice, kerabat dan keturunannya adalah haram. Dosa tak terampuni.
Menyebabkan Levin mendapatkan hukuman tidak lagi memegang kendali atas Batista Corp, pabrik elektronik mereka. Sementara, semua dialihkan dalam kendali Devin. Meski Devin sudah memegang Salina Beauty, pabrik kosmetik ternama yang dirintis keluarga Chayton turun temurun.
“Kau tidak tidur semalaman?” Pertanyaan Andrew mencegah langkah Devin melintasinya.
“Batista Corp bermasalah setahun terakhir ayah,” ucap Devin sembari menguap tertahan, “aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya.”
Andrew mengangguk dan bernapas lega. Kecurigaannya pada Devin selalu tak beralasan. Sulungnya itu selalu sempurna dalam bekerja, penuh dedikasi seperti dirinya. “Maafkan adikmu. Dia baru belajar mengelola Batista Corp selepas kuliah.”
“Kurasa, dia akan tetap kulibatkan dalam beberapa urusan nantinya, Dad,” ucap Devin sembari menjangkau kusen pintu. Dia ingin segera membenamkan muka ke bantal hangat dan empuknya. Sepasang matanya sudah perih karena 24 jam belum sempat memejam barang lima menit.
Tiba-tiba Marcus muncul di hadapan Devin, dengan sepasang mata keriputnya yang membeliak. Ada masalah baru, pastinya terkait peristiwa semalam. Baik Marcus atau Devin, terbiasa berbicara dengan kontak mata. Dan herannya selalu terkoneksi dengan tepat.
“Tuan, ada tamu yang mencari Tuan …,” Marcum melongokkan kepala melampaui bahu majikan mudanya, dan mendapati majikan besarnya sedang meraih apel dan mengunyahnya dengan santai. “Tuan Andrew.”
Sepertinya pagi ini, akan lebih menghebohkan dari semalam. Lebih membuat seluruh tubuh Devin bergetar ketika foto-foto Levin yang berciuman dengan Cindy Lau--foto yang didapat Devin dari The Vow, dipampang ayahnya di hadapan mereka berdua. Dan sebuah kalimat kemudian nyaris membuat Levin muntah. Bahwa Cindy Lau adalah adik seibunya.
Andrew Chayton menoleh mendengar panggilan Marcus. Melihat punggung anaknya yang menutupi sebagian badan Marcus.
“Ada apa?”
“Ada tamu mencari Tuan …,” ucap Marcus sembari mendehem dan melirik Devin. “Komisaris Polisi, Tuan David Hoggart.”
“Polisi?” Andrew tiba-tiba kehilangan selera makannya. Dilemparkannya apel yang baru digigitnya ke tempat sampah.
“Devin? Kau sudah memasukkan nama Cindy Lau ke kantor polisi?” tanya Andrew sembari mendekati Devin yang masih mematung di depan pintu. Saat ayahnya berhenti melangkah di sampingnya, Devin menatap ke arah Marcus. Tidak tahu apa yang hendak dikatakannya, tentang seorang gadis yang belum siuman di kamar Marcus.
Andrew Chaton adalah lelaki yang lebih tahu urusan tentang wanita daripada siapapun. Bila tidak, mana mungkin dia menyatakan bahwa Cindy Lau adalah adik tirinya.
“Tentu saja belum, Dad,” sahut Devin. “Lagipula dia belum melakukan pelanggaran apapun.”
“Dia sudah melanggar aturan penting di rumah ini.”
Andrew melangkah menuju ruang tamu, diikuti langkah Marcus. Sejenak dia menoleh dan mengangkat dagu pada anak sulungnya. “Kau ikut, Devin. Mulai sekarang kamu belajar menjadi ayah bagi adikmu.”
Devin merasa telapak tangannya mendingin. Dia meraih lengan Marcus yang berjalan di belakang ayahnya.
“Semua sudah dibersihkan, Tuan,” bisik Marcus.
“Pergilan dan pastikan semua orang tahu kalau dia adalah pelayan baru. Pengganti Liliana.”
Devin tidak tahu kenapa dia bisa sekreatif ini membuat skenario. Dia harus memastikan siapa gadis berambut coklat yang diselundupkan pelayan ke Mansion Batista, saat Andrew Chayton mengeluarkan larangan memasukkan wanita. Status pelayan akan membuat gadis itu tidak diusik oleh siapapun.
***
Komisaris Hoggart adalah seorang lelaki berperut tambun dengan aksen Irlandia yang kental. Dia disegani di seluruh kota, karena dia juga berkerabat dengan gubernur. Jabatan yang dipegangnya bertahun-tahun, meski terindikasi mulus karena guberbur selalu berada di belakangnya, membuat berurusan dengannya akan lebih baik bila diselesaikan dengan uang.
“Selamat pagi Tuan Chayton, maaf menganggu waktunya sepagi ini.” Komisaris Hoggart membungkuk hormat. Andrew dan Devin hanya menaikkan sudut bibir. Gaya yang identik, yang selalu diajarkan ayahnya bila menghadapi pejabat pemerintahan.
Mereka hanya ingin uang kita, pesan Andrew, jadi berikan saja berapa yang mereka minta. Itu membuat mereka senang dan mudah membantu bila kita terlibat masalah.
“Ada yang bisa kami bantu, Komisaris?”
“Kami sedang menyisir area sini, Tuan Chayton. Semalam, ada kecelakaan di tikungan jalan menuju kota, sekitar lima kilometer dari sini. Jalur 34.”
Komisaris menghulurkan sebuah foto berukuran postcard dan Andrew menerimanya dengan malas.
“Kami mencari wanita ini. Semalam, sepertinya dia terluka karena kecelakan itu. Kami mengikuti jejak darahnya dan menghilang di sekitar rumah anda. Mungkin pelayan melihatnya melintas, kami berharap anda bisa menghubungi kami.”
Andrew menjulurkan foto itu pada Devin. “Serahkan pada Marcus. Dia dan pelayan akan kuminta membantu anda menyisir sekitar rumah kita.”
Devin berusaha menahan gemetar tangannya ketika menatap seraut wajah cantik di foto yang dipegangnya. Wanita berambut coklat pekat.
“Siapa wanita ini, Komisaris?” tanya Devin berusaha bersuara normal.
“Beverly Brennon. Dia saksi pembunuhan keponakan gubernur, artinya keponakanku juga. Tentunya kalian ingat peristiwanya, sebulan yang lalu. Keponakanku sekeluarga dibantai di rumahnya sendiri, di Mansion Gracia. Gadis ini pembantu baru di sana. Dia saksi kunci.”
Devin menelan ludah. Mansion Gracia adalah small work dengan gaji terbesar yang didapatnya. Kenapa dia bisa tidak ingat dengan wanita ini semalam?
Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring. Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya. Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja
Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan. Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya. Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil. Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawa
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki. Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya. Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali. Devin mulai memikirkan hal lain ketika Am
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i