Share

13. Ulang Tahun Bella

Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya.

Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan.

“Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan itu mati, Marcus.”

Marcus melirik Irene. Apa tidak ada kata-kata yang lebih baik selain mati, bantah Marcus dengan tatapan matanya.

“Dia kehilangan banyak darah.” Irene membela diri.

“Tidak sebanyak itu. Kau hanya melihat sprei putih menjadi merah. Tapi dia tidak kehilangan darah sebanyak yang menyebabkan dia mati.”

Irene terdiam, lalu mengambil kursi dan menikmati tehnya. Keluarga Chayton tidak makan malam di rumah, jadi mereka bisa bersantai hingga mereka pulang. 

Dokter Bella berulang tahun malam ini, dan semua Chayton diundang. Wanita itu mempunyai sebuah cafe mungil di kota, tidak jauh dari apotek milik Papanya. Setiap ulang tahunnya, selalu dirayakan di sana, sejak dia mendirikan cafe itu tiga tahun yang lalu. Hanya mengundang Chayton dan beberapa teman dekatnya.

“Marcus, apa kau tidak pernah menaruh curiga pada Tuan Devin?” tanya Irene, mengajak Marcus untuk duduk dan menikmati tehnya yang sudah dingin. Daripada hilir mudik, dan itu tidak akan membuat Devin tahu-tahu muncul di Mansion.

“Tentang apa?” tanya Marcus, hanya melirik Irene.

“Tentang wanita, perempuan. Kurasa dia tidak tertarik pada perempuan.” Irene memelankan suaranya, sembari melirik ke segala arah, memastikan pelayan lain tidak berada di dapur dan mendengar ucapannya. 

Dia sedikit lega karena sejurus kemudian terdengar tawa para pelayan dari arah pintu dapur yang terbuka. Mereka masih menikmati acara minum teh selepas senja.

“Kau melihat sendiri bagaimana dia menatap Amanda saat tidak memakai baju?” Marcus akhirnya mendekat dan duduk di seberang Irene, berbatas meja dapur. Meraih cangkir teh miliknya, lalu menyesapnya pelan. 

“Justru aku melihatnya, Marcus. Kalau Levin berada pada posisi dia, pasti sudah habis si Amanda itu diserbunya.”

“Ssst.” Marcus menempelkan telunjuk di bibirnya, sembari mendelik ke arah Irene. “Jangan samakan, Irene. Mereka berbeda. Tapi Tuan Devin itu normal.”

“Dia sudah dua puluh lima tahun, Marcus. Tapi tak pernah kita tahu dia dekat dengan wanita. Dokter Bella itu kurang apa coba? Cantik, dokter dan menyukainya. Tapi Tuan Devin seperti tidak melihat apapun pada dokter cantik itu. Sedangkan Tuan Levin yang mengejar-ngejarnya, sama sekali tidak mendapat balasan. Aku sungguh heran pada Chayton bersaudara.”

“Irene, tugasmu memang bergosip.” Marcus menyudahi kalimat panjang lebar Irene. Irene pun terdiam. Bersama para pelayan, mereka memang terbiasa bergosip bila majikan mereka tidak ada di tempat. Dan gosip paling seru adalah membicarakan Tuan Levin Chayton. Di kepala setiap pelayan wanita, terekam jelas nama dan wajah wanita yang pernah dibawa masuk ke kamarnya. Apalagi yang di luar sana.

“Kau tahu Marcus, meski Tuan Levin membawa banyak wanita ke kamarnya …,” bisik Irene sembari memajukan kepalanya mendekati Marcus, “dia masih perjaka.”

“Irene!” sergah Marcus kesal. Para pelayan memang keterlaluan bila bergosip. Urusan seperti itu, seharusnya bukan urusan mereka.

Irene tersenyum lebar melihat kepala pelayannya terpancing emosi. “Dia tidak bisa melakukannya, Marcus. Dan dia menutupinya dengan membawa banyak wanita, silih berganti.”

***

Bella adalah wanita tercantik di SlowArt Cafe. Tentu saja karena dia pemiliknya, dan semua pelayan cafe adalah laki-laki. Dengan dandanan sederhana namun elegan dengan baju polos merah menyala yang melekat di kulit putihnya, wajah Bella yang tirus dengan pipi menonjol lembut dan sepasang mata bulat berbulu mata lentik, membuatnya tampak seperti lukisan hidup dengan latar belakang hitam putih.

Menyala kuat dan tajam.

Namun, binar mata bulat itu tampak kurang ceria ketika satu per satu teman dekatnya berdatangan dan dia tidak melihat sosok Devin Chayton di antara mereka. Pesta dimulai hanya dengan makanan ringan dan cocktail. Sederhana. 

“Kau bilang akan mengenalkan Chayton pada kami,” ujar salah seorang temannya. “Yang dingin apa yang panas?”

Bella mengembang senyum tersipu. Istilah panas dan dingin itu memang tepat untuk menggambarkan Levin dan Devin. Devin yang tak kunjung bisa ditaklukkannya dan itu semakin membuatnya penasaran dan tertantang, dan Levin yang selalu memburunya dengan gairah yang membara.

Baginya, mudah saja membuka diri pada Levin. Sudah pasti Levin akan membawanya ke pelaminan. Sejak kecil dia selalu mengucapkan hal itu pada Bella. Tapi bocah ingusan itu lebih muda delapan tahun dengannya, akan membuatnya menjadi bahan tertawaan. Sedangkan Devin ibarat piala yang diperebutkan banyak wanita. Mendapatkannya akan membuatnya tersanjung.

“Kalian mau yang mana?” tanya Bella menggoda, sembari melirik pintu Cafe yang tak kunjung dibuka dari luar oleh salah satu Chayton.

“Aku mau yang panas saja,” ucap salah seorang temannya dengan genit. “Kudengar, dia bermain dengan banyak wanita. Dan kabarnya, benar-benar panas, tapi tidak sampai membuat terbakar.”

Gelak tawa gadis di SlowArt meledak.

“Kau tahu, aku lebih suka yang dingin,” ucap Bella. “Aku akan membuatnya menjadi hangat.”

“Awww … Bella, kau memang pandai memilih!”

Tawa riuh rendah para gadis itu, berakhir menjelang jam sembilan malam. Saat cafe harus tutup dan semua gadis harus pulang. 

Chayton tidak datang untuk dikenalkan. Andrew sendiri menghubungi Bella dan mengucapkan selamat ulang tahun dengan mengirim buket mawar merah kesukaan Bella. Dia tidak bisa hadir karena masih ada pertemuan dengan koleganya. 

Cleve Artwater, bukan orang yang suka dengan pesta ulang tahun. Dia akan meletakkan kado ulang tahun untuk Bella di sebelah bantalnya, saat dia pulang dari rumah sakit. Mengecup kening anak gadisnya sembari berbisik selamat ulang tahun. Lalu merapikan selimutnya dan keluar kamar. 

Selalu seperti itu, sejak Bella kecil. Meski Bella menggelar acara ulang tahun dengan teman-temannya, ayahnya selalu punya momen istimewa sendiri dengannya.

Bella melambai ke arah mobil teman-temannya yang sudah menjauh. Menghembus napas berat, lalu membalik badan menuju pintu Cafe. Baru beberapa langkah, tiba-tiba tubuhnya ditarik ke sudut depan Cafe, sebuah sudut gelap yang tidak terjangkau lampu teras Cafe.

Aroma parfum yang familiar menguar dari dada bidang yang mendekapnya. Membuat darahnya serasa berhenti mengalir, terlebih ketika ciuman panas membungkam mulutnya. Membuatnya tak bisa bernapas. Bella merasa sekujur tubuhnya menegang, menikmati setiap sentuhan di tubuhnya, dan tanpa disadarinya dia juga membalas ciuman yang menggila itu, setelah samar-samar mengingat aroma parfumnya. Aroma parfum Devin Chayton.

Bella melepaskan pelukan tangan kokoh itu, ketika ada mobil melintas dan sorot lampunya mengenai mereka. Bella bisa melihat jelas wajah lelaki yang mendekapnya.

“Levin?” pekiknya tertahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status