Share

Wanita pengganti

Dan disinilah Ayana sekarang, diruangan serba putih khas rumah sakit dengan satu bangsal tempat untuk pasien di periksa. Ia duduk dengan sangat terpaksa di bangsal tersebut, matanya tak henti-henti melihat tajam kearah pria yang sedang membersihkan lukanya.

"Ditahan ya, ini pasti perih" ucapnya ketika sebuah kapas basah mendarat di jempol kaki Ayana. Bukannya menjerit, ia malah mengeluarkan decakan malas dari mulutnya. 

"Ck. Emangnya gue cewek apaan? Luka gini doang gak tahan," ucap Ayana menyombongkan diri membuat pria di depannya dengan sengaja menekan luka tersebut. 

"Rasain tuh! Gak sakitkan?" kesal laki-laki tersebut membuat rintihan kecil keluar dari mulut Ayana. 

"Buset, gak gitu juga kali! Cari perkara aja ya lu, dasar menyebalkan!" protes Ayana.

"Terserah!" jawab laki-laki tersebut dengan kembali fokus mengobati lukanya. Hening kembali tercipta diantara mereka, Candra dengan fokus mengobati lukanya sementara Ayana sibuk memikirkan kondisi sang kakak yang entah sudah sadar atau belum saat ini. 

"Selesai, tanggung jawab saya ke kamu sudah selesai!" ujar Candra sambil membereskan perlengkapan p3k nya. 

"Tanggung jawab lu emang udah selasai, tapi ingat! Lu kalau gak bisa bawa mobil. Mending jalan kaki!" ucap Ayana pedas sambil beranjak pergi dengan jalan terpincang-pincang. 

"Heh! Bukannya bilang makasih malah... Dasar preman! Gak ada sopan-sopannya!" ujar Candra kesal melihat punggung Ayana yang semakin menjauh dari pandangannya.

Lagi, lagi hati Ayana kembali merasakan nyeri ketika ia baru saja memasuki ruang UGD dan mendapati ayah dan ibunya sedang mengelus puncak kepala sang kakak dengan sayang. Iri, ia begitu iri. Tak pernah sekali pun ia merasakan elusan sayang dari kedua orangtuanya saat ia sudah menginjak ramaja, sungguh ia tak pernah merasakan lagi hal semacam itu dari mereka apalagi dari ibunya. 

"Darimana kamu, Ay? Kaki kamu kenapa?" tanya Handoko, senyuman hambar ia tampilkan. Bahkan, hanya sang Ayah yang peduli padanya sementara ibunya? Ia seakan tak peduli. 

"Dari ruangan dokter yang barusan, Yah. Abis ngobatin luka Aya" jawab Ayana mendekati Handoko. 

"Memangnya kaki kamu kenapa? Jatuh dari motor, ya? Makannya ayah bilang juga apa, hati-hati" ujar Handoko begitu mengkhawatirkan sang putri. Ayana hanya tersenyum kecil, lalu mengangguk sebagai jawaban. 

"Ibu bilang apa, gak usah so! Gaya-gayaan pakai motor, perempuan itu harusnya bersikap ayu bukan seperti preman!" omelan Heni, sang bunda membuat Ayana hanya mampu tersenyum kecut. Bahkan disaat-saat begini saja, ibunya masih berani mengomelinya tanpa rasa khawatir sedikit pun padanya.

"Ibu ini ngapain? Putrinya sakit malah diomelin, kesian bu" tegur Handoko. 

"Gak papalah, Yah. Emang ini salah Aya kok," ucap Ayana. Handoko mengangguk sambil tersenyum padanya. 

Tak butuh waktu lama, Dinda tersadar dari pingsannya. Dengan memegang kepalanya ia merintih kesakitan membuat Ayana dan orangtuanya yang sedang duduk sontak menghampiri. 

"Alhamdulillah nak, kamu sudah sadar" seru Heni dengan mengecup puncak kepala Dinda penuh sayang. 

"Biar Aya panggil dokter," ucap Ayana sambil berlalu pergi menemui dokter yang menyebalkan tadi. Siapa lagi kalau bukan Candra. 

Gubrak! 

Tanpa permisi, tanpa ketuk pintu ataupun mengucapkan salam. Ayana membuka pintu dengan sekali gebrakan membuat Candra yang sedang fokus membaca data-data pasiennya terperanjat kaget. 

"Kamu ini apa-apaan sih, gak ada sopan-sopannya! Bisa gak, kalau buka pintu itu pake etika!" kesal Candra. 

Dengan santainya, Ayana menghampiri Candra dengan tangan bersidekap dada. 

"Kakak gue udah siuman, noh sana pergi. Periksa dia, takutnya ada saraf yang ke geser diotaknya!" ucap Ayana. Candra hanya terdiam sembari memperhatikan sikap santai perempuan dihadapannya itu.

"Kamu itu saudaranya, tapi kaya yang gak peduli sama sekali dengannya" aneh Candra. Ayana menggeleng, dengan senyum miring.

"Emang gak peduli gue! Noh sana periksa," kekeh Ayana. 

"Tuhkan," ucap Candra mendengus sebal sambil beranjak pergi terlebih dahulu untuk memeriksa Dinda. 

***

"Pokonya, Dinda gak mau dijodohkan! Dinda gak mau!" teriakan dari ruangan UGD membuat Ayana dan Candra menghentikan langkahnya di ambang pintu yang masih tertutup. 

"Tapi nak, ini impian Ayah. Kamu mau ya, pliss"

"Enggak! Dinda gak mau! Kalau Ayah ngotot jodohin Dinda, Dinda gak segan-segan buat bunuh diri lagi!" ancam Dinda. 

"Iya sayang, gak akan. Nanti biar ibu yang bujuk ayah, jangan gitu lagi ya. Ibu gak mau kehilangan kamu, Yah tolonglah. Batalin perjodohan ini, atau kalau gak bisa jangan Dinda yang Ayah jodohin masih adakan putri ayah yang lain"

Ayana berdecak sebal mendengar penuturan sang bunda yang selalu membela kakaknya, dengan kesal Ayana membuka pintu begitu kasar membuat semua perhatian tertuju padanya. Candra hanya menggeleng, mengikuti Ayana dari belakang.

"Mohon maaf ibu, bapak. Permisi biar saya periksa dulu ya," ucap Candra dengan lemah lembut. Heni dan Handoko mengangguk dengan sedikit mundur dari posisinya. 

"Ikut ayah sebentar," bisik Handoko pada Ayana. 

Kedua alisnya bertaut bingung, "Kemana?" tanya Ayana. 

"Ikut saja, ayah tunggu di depan" bisiknya lagi. Ayana semakin dilanda kebingungan, dengan pelan ia berjalan mengikuti sang ayah yang lebih dulu keluar dari ruangan tersebut. 

"Ada apa, Yah?" tanya Ayana ketika baru saja keluar dari ruangan tersebut. 

"Ayah mau bicara sesuatu, tapi bukan disini. Ayo, ikut ayah" ujar Handoko menarik pergelangan tangan Ayana dan membawanya ketaman rumah sakit.

Keduanya duduk berdampingan di kursi taman tersebut dengan saling bungkam. Mereka malah sibuk dengan pemikirannya masing-masing, hingga Ayana yang tak sabar pun memilih untuk bersuara.

"Ada apa? Kenapa Ayah membawa Aya kesini?" tanya Ayana yang dilanda penasaran sedari tadi. 

"Ayah gak tau apa kamu akan menerima permintaan Ayah atau tidak. Yang jelas kamu adalah satu-satunya harapan ayah sekarang,"

Jleb! 

Mendengar perkataan begitu membuat Ayana curiga, apa ayahnya akan menjadikan ia sebagai pengganti dari sang kakak yang telah ibunya minta tadi. 

"Maksudnya?" tanya Ayana. 

"Kamu jelas sudah tahu pembahasan Ayah ini akan kemana, kamu mau kan jadi pengganti kakakmu dalam perjodohan ini? Ayah mohon sama kamu, kamu mau ya. Ayah gak mau kalau perjodohan ini batal, persahabatan ayah dengan Om Nugroho hancur begitu saja. Ayah mohon kamu harus mau ya?" pintanya. 

Helaan napas pelan Ayana lakukan, dugaannya benar ternyata Ayahnya menginginkan ia untuk menjadi pengganti sang kakak, bahkan permintaannya itu seperti nada perintah yang tak boleh Ayana bantah. 

"Aya... "

"Pokoknya kamu harus mau!" tegasnya. 

"Kalau Aya menolak bagaimana?" tanya Ayana emosi. 

"Kamu mau Ayah menanggung malu? Kamu mau Ayah sakit-sakitan gara-gara ini? Apa kamu mau kehormatan keluarga kita tercoreng gara-gara ini?"

"Tapi yah," bantah Ayana. 

"Ayah gak mau tau, pokoknya kamu harus mau!" potong sang Ayah dengan nada tegas. 

Lagi, dan lagi Ayana harus menerima dengan lapang dada keinginan sang Ayah. Menjadi wanita pengganti sang kakak, meski dalam hati ia ingin menolak keras tapi lagi, lagi permintaan bernada perintah itu kembali membuat nyalinya ciut. Mengapa harus dirinya? Mengapa harus dirinya yang selalu mengalah? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status