Share

Sepakat?

Anak zaman sekarang mana ada yang mau menuruti permintaan orangtuanya begitu saja. Apalagi permintaannya itu sungguh tak pernah ia sukai. Tak segampang itu! 

Ayana menghentakkan kakinya kesal ketika Candra mendapatkan izin dari ayahnya untuk mengantar dirinya. Lihat saja kelakuan pria itu sekarang, dengan sangat sopannya ia menyalami kedua orangtuanya dan orangtua Ayana. Bahkan ia tersenyum manis menghampiri Ayana, tak seperti biasanya yang selalu bersikap dingin dan kaku. 

Lihat saja, permainan apa yang akan Candra mainkan kali ini pada Ayana. Murid menyebalkan seantero kampus. 

"Ayo buruan naik, katanya mau kerja kelompok. Nanti kemalaman," ucap Candra ketika ia sudah memasuki mobilnya sementara Ayana masih berdiri kesal dihadapan mobil mahal tersebut. 

"Malah bengong, cepat naik!" ucapnya lagi. 

Gubraks... 

Dengan kasar Ayana membanting pintu mobil tersebut setelah masuk dan duduk di kursi belakang. 

"Saya bukan supir kamu, jadi saya harap kamu pindah duduk disebelah saya!" pinta Candra dingin tanpa menoleh kearah Ayana yang menatap wajah Candra dari kaca mobil dengan malas tanpa menyahuti pertanyaannya. 

Seperti sudah memahami, Candra pun mulai menyalakan mesin mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang. 

Hening, tak ada suara diantara mereka. Hanya pemikiran masing-masinglah yang menemani perjalanan mereka saat ini. 

Ayana kembali menoleh kearah kaca yang menampilkan wajah Candra yang begitu menatap serius pada arah jalanan, wajahnya begitu terlihat kaku dan dingin membuat Ayana berdecak kesal tak karuan. 

"Woy,mau bawa gue kemana lo? Ini bukan arah jalan kerumah Tika ya," protesnya ketika menyadari jalan yang mereka lalui bukanlah jalan yang sering Ayana lewati ketika hendak main kerumah Tika.

"Emang siapa yang mau kesana?" tanya Candra dengan kekehan. 

"Hey, gak usah macam-macam ya lo. Gue hajar lo!" ancam Ayana dengan memajukan sedikit tubuhnya mendekati Candra dan tangannya telah siap untuk menjambak rambutnya. 

"Hajar aja kalau berani!" tantang Candra dengan santainya. 

"Elo tuh ya, benar-benar cari mati sama gue," greget Aya dengan tangan mengepal lalu memukul kursi kemudi dengan keras.

"Mati itu gak perlu dicari, kalau sudah waktunya saya tidak akan pernah bisa mengelak," 

Diam! 

Satu kata yang Ayana lakukan saat ini ialah diam setelah mendengarkan kata-kata bijak Candra dengan sangat santainya. 

"Nya?" panggil Candra ketika mobil yang ia kendarai berhenti saat lampu merah. 

Bukannya menggubris panggilan Candra Ayana malah sibuk dengan kegiatannya. Berdiam diri sambil sesekali menoleh kanan kiri mencari seseorang yang biasa ia temui dilampu merah. 

"Ayana!" ulangnya dengan nada tinggi, nampak sekali wajah Candra yang kini telah memerah menahan emosi dengan tingkah gadis dibelakangnya yang tak menganggap ia ada.

"Nya?!" ulangnya lagi kali ini dengan bentakkan membuat Ayana terperanjat dan menoleh kearahnya sekilas. 

"Nya, nya! Emang gue nyonya lo apa? Lo pikir gue budeg, hah?!" kesal Ayana sambil menggebrak kaca mobil kasar. 

"Bisa gak sih kamu kalau jadi cewek gak usah kasar gitu! Nanti kalau kacanya pecah, apa kamu mau ganti?" balasnya membuat emosi Ayana semakin naik pitam. Sungguh sabtu malamnya kali benar-benar buruk. 

"Ck. Gue ganti! Tenang aja, berapa pun akan gue ganti! Gue gak akan lari dari masalah seperti lo!" sindir Ayana dengan kedua tangannya ia lipat didada. 

"So kaya sekali kamu, gak usah sombong! Semua fasilitas yang kamu miliki dan nikmati sekarang tak lain hanya milik orangtuamu," nasehatnya membuat Ayana sontak menatap tajam punggung tegap milik Candra dihadapanya. 

So bijak sekali pria ini, bukannya yang sombong itu dia? Bahkan saat ia menyerempetnya, tak ada rasa tanggung jawab sedikit pun. Hanya memberikan beberapa lembar uang sebagai ganti ruginya. Lagak orang kaya memang gitu. 

Candra kembali menacapkan pedal gas ketika rambu-rambu jalanan telah berubah menjadi warna hijau. 

Cukup lama terdiam, ternyata mobil Candra kini telah terparkir manis tepat di depan cafe.

"Turun!" titah Candra tegas.

Ayana pun segera tersadar dari lamunannya. Pandangannya ia edarkan keseluruh halaman cafe yang cukup ramai dengan kendaraan pribadi. 

Detik berikutnya ia turun dari mobil lalu mengikuti langkah Candra hingga memasukki cafe. 

Meja kosong tepat di pojok cafe ialah tempat yang Candra pilih membuat Ayana mengangkat sebelah alisnya tinggi. Mau apa dia membawanya ke cafe? Dipojokan lagi, itu kan tempat sepi? Apa jangan-jangan ia sengaja agar bisa dinner berduaan dengan Ayana. Sial, pikiran kotor kini telah menodai otak Ayana. 

"Ngapain lo ngajak gue kesini? Lo mau dinner sama gue? Sori ya gue gak tertarik sama lo," geer Ayana dengan sangat pedenya membuat Candra yang baru saja duduk terkekeh. 

"Ada yang lucu?" tanya Ayana masih berdiri dihadapan Candra sambil memperhatikan suasana cafe yang hampir sepenuhnya diisi oleh pelanggan yang berpasangan. 

"Duduk dulu, kamu gak usah suudzon gitu sama saya. Saya ingin membicarakan prihal perjodohan kita," jelas Candra masih dengan kekehan.

Ayana pun mengangguk lalu duduk dihadapan Candra dengan kaki ia angkat sebelah dan meletakannya diatas kursi yang ia dudukki. 

Hembusan napas kesal Candra keluarkan, kelakuan gadis dihadapannya benar-benar menguras emosi. 

"Bisa gak sih kamu sopan sedikit sama saya. Setidaknya hargai saya sebagai dosen kamu" pinta Candra. 

"Harus?" tanya Ayana dengan menautkan kedua alisnya. 

Candra mendengus kesal "Saya lebih tua dari kamu, bisa gak sedikit saja kamu menghargai saya? Bahkan saya sudah bersikap baik padamu, hingga sampai saat ini saya masih sabar menghadapi kamu!" 

Tatapan protes Ayana layangkan pada pria menyebalkan dihadapannya. Bagian mana yang Candra anggap baik padanya? Sedangkan sejak awal pertemuannya ia adalah satu-satunya pria yang membuat dirinya dirundung kekesalan dengan segala tingkahnya yang so baik itu. Bahkan tugas-tugas yang bejibun, banyaknya hanya Ayana yang merasakan sedangkan yang lain. Tugasnya enteng-enteng saja, gak pernah tuh kesulitan sedikit pun bahkan tugasnya juga sedikit gak seperti dirinya. Apa itu yang dimaksud dengan baik? Hello, bukannya baik. Itu malah pendeskriminasian woy! 

"Ck. Baik darimananya? Bahkan sejak gue ketemu sama lo, lo adalah satu-satunya pria paling menyebalkan!" protes Ayana. 

Candra menatap Ayana dengan kesal sesekali wajahnya ia usap kasar. "Berhenti berbicara kasar pada saya!" suruhnya. 

"Punya hak apa lo sama gue? Berani-beraninya suruh-suruh gue?!" balas Ayana dengan garang. Candra menghela napas kesal. 

"Ck. Bagaimana bisa Om Herlan bisa mempunyai putri preman kaya gini? Bahkan tak ada sopan santunnya sama sekali," decak Candra. 

Rasanya Ayana ingin sekali memaki dan merusak wajah kaku Candra yang so perfect itu. Lagak bicaranya seolah-olah menunjukkan jika dirinyalah yang paling tau atitude. Tidak dengan Ayana yang selalu salah dimatanya. 

"Gak usah banyak bacot! To the point, bisakan?" pinta Ayana dengan menarik sudut bibirnya, membuat lengkungan yang sangat terpaksa ia lontarkan pada Candra. 

"Ah iya, saya mau tanya sama kamu? Bagaimana bisa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanya Candra dengan menggaruk alisnya yang tak gatal. Seperti salah tingkah. 

"Lo pikir gue mau? Hahaha, sebenarnya gue ogah. Lagian tujuan awalnya juga bukan gue yang akan mereka jodohkan, tapi kakak gue," jelas Ayana membuat atensi Candra begitu fokus padanya.

"Oh, kakak kamu yang mencoba bunuh diri itu ya, kenapa kamu gak sekalian kaya gitu?" ucap Candra membuat Ayana seketika menggebrak meja kasar. Seketika atensi semua orang beralih padanya. 

Dengan dengusan kesal, Candra menyandarkan tubuhnya disandaran kursi sembari menahan sabar yang lebih lagi.  

"Bisa gak, gak usah gebrak meja. Gak malu emangnya dilihatin banyak orang?" tanya Candra dengan suara lembut. 

"Eh sory, habisnya lo nyebelin," ucap Ayana kikuk dengan kembali duduk tenang.

"Hemm sory, saya juga tadi refleks aja. Terus kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Gak ada niat berontak seperti kakak kamu gitu? Tanya Candra.

Ayana mengedikkan bahu, lalu memperbaiki kembali posisi duduknya. "Mana ada gue ngelawan sama mereka. Gue gak bisa aja gitu lihat mereka sedih karena masalah ini, lagian gue mana bisa menolak permintaan Ayah yang seperti nada perintah buat gue. Lagian gue masih waras ya, gak bakal bunuh diri kaya gitu, enak kalau langsung mati, lah kalau tidak? Kan berabe, bisa-bisa gue kena hukuman Ayah," keluhnya. 

Candra mengangguk kemudian memesan makanan terlebih dahulu sebelum melanjutkan percakapannya. 

"Kenapa mikir gitu? Ya gak mungkinlah, kalau kamu gagal bunuh diri paling mereka senang terus ngebatalin gitu aja deh. Sama yang kakak kamu lakukan" seru Candra. Ayana mendengus sebal dengan menggeleng lemah.

"Gue bukan kak Dinda yang selalu mereka khawatirkan, gue Ayana! Mereka gak mungkin ngelakuin hal yang sama persis ke gue. Gue dan kakak gue beda! Asal lo tau, kasih sayang mereka ke ka Dinda dab gue gak pernah sama. Sejak gue menginjak ramaja, semua berubah! Gue selalu dibeda-bedain tanpa sebab, gue selalu di didik paling keras sama Ayah. Ya mungkin karena basic ayah militer, jadi dia begitu keras ngedidik gue dan bang Devan. Tidak seperti kak Dinda yang selalu dimanja, disayang bahkan kena panas matahari sebentar aja gak dibolehin. Kak Dinda sangat dimanja" ucap Ayana bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Entahlah, baru kali ini Ayana begitu nyaman bercerita pada pria dihadapannya ini bahkan dengan sahabatnya sendiri pun ia selalu merasa sungkan jika bercerita mengenai keluarganya. Tapi dengan dia? Entahlah. 

"Kenapa begitu? Kamu kan juga sama perempuan, kalau laki-laki sih wajar. Ayah saya juga gitu," ucap Candra santai. Menyadari ada yang janggal dari dirinya, Ayana sontak buru-buru memundurkan kursi sedikit kemudian berdehem menatapnya. 

"Kenapa jadi gue yang bercerita? Guekan musuh lo, ogah gue cerita sama lo!" ucap Ayana dengan kembali bersikap ketus padanya. Candra menggeleng, tak habis pikir dengan wanita dihadapannya ini yang bahkan sikapnya berubah-ubah. 

"Saya tidak pernah menganggap kamu sebagai musuh saya, kamunya aja yang selalu menyimpulkan begitu" ucap Candra membuat Ayana diak sekejap. 

"Terserah sih, terus kenapa lo menerima perjodohan ini?" tanya Ayana memicingkan mata.

"Asal kamu tau, saya sudah menolak mentah-mentah perjodohan ini tapi usaha saya tidak berhasil, mereka malah mengancam saya..."

"Payah! Cemen!" tukas Ayana sambil mengambil secangkir kopi latte yang Candra pesan untuknya. 

"Saya gak payah, saya hanya mempertahankan hak saya!" bantah Candra. 

"Lalu bagaimana rencana kedepannya? Apa kita akan terus melanjutkan perjodohan ini atau berusaha membatalkannya dengan cara apapun?" tanya Ayana setelah meneguk kopi latte tersebut. 

Candra menggeleng "Saya tidak tau, makannya saya mengajak kamu kesini untuk membicarakan hal ini. Jika kita sama-sama menolak, apa kedua orangtua kita akan setuju? Tentu tidak bukan, mereka sama-sama kekeh dengan keinginannya. Lagi pula saya gak mau mengecewakan mereka, saya gak mau jatuh sakit-sakitan gara-gara hal ini" jelasnya. 

"Terus maksud kamu, kita terima begitu aja perjodohan ini?" tanya Ayana curiga.

 Candra mengangguk lemah "Apa salahnya kita mencoba?" 

"Hellooooo, bapak Candra yang terhormat. Pernikahan itu bukan ajang coba-coba ya. Pernikahan itu hal yang sakral," ucap Ayana gemas. 

"Saya tau itu, tapi..."

"Tapi apa? Gue gak mau ya nikah sama lo yang kaku dan menyebalkan kaya gini" potong Ayana cepat membuat Candra ingin sekali menyumpal mulut Ayana dengan kopi panas dihadapannya. 

"Siapa juga yang mau nikah sama kamu? Premana pasar dan gak punya sopan santun seperti kamu? Saya juga gak mau!"

"Terus mau lo apa?" tanya Ayana kesal. 

"Gini aja, kita saling mengenal aja dulu. Kalau nyaman ya pernikahannya kita teruskan kalau gak cocok ya kita cerai" ucap Candra begitu enteng. 

"Lo gila? Pernikahan itu hal yang sakral, setiap orang menginginkannya sekali seumur hidup. Dan gue juga pengen gitu. Pokoknya gue gak mau, kita batalkan saja perjodohan ini!" putus Ayana. 

Candra mengusap kasar wajahnya, ditatapnya Ayana yang begitu kesal pada dirinya dengan sekilas. Ia berusaha tenang, agar tidak terpancing emosi. 

"Gak semudah itu ferguso! Tau sendiri orangtua kita gimana? Mereka basicnya militer, keras! Gak akan bisa lunak!" ucap Candra tegah. 

Hembusan napas lelahnya Ayana keluarkan, ia kembali meneguk kopi late dengan kasar. "Terus? Gue harus nikah sama lo gitu?"

"Ya, emang cara terbaik seperti itu. Lagian saya juga gak bakal minta hak saya saat itu juga, saya juga gak bakal nyentuh kamu sedikit pun sebelum kamu rela. Percaya sama saya, kita jalani aja ini semua sesuai kemauan mereka. Saya kasih waktu kamu sampai lulus kuliah untuk bisa mencintai saya dan begitu pun saya. Kalau sampai saat waktu itu tiba, kita belum saling mencintai sebaiknya kita bercerai saja! Bagaimana apa kamu sepakat?"

"Sepakat apaan? Ogah gue, masa iya belajar mencintai orang kaku dan menyebalkan seperti kamu? Ogah gue!" tolak Ayana mentah-mentah. 

"Kamu pikir saya juga mau? Tidak! Tapi ini demi kebaikan keluarga kita, demi kebaikan persahabatan ayah kita, demi kesehatan mereka."

"Ya terus? Gak harus seperti ini juga kali!"

"Terus mau kamu apa? Apa kamu punya solusi dari masalah ini? Enggak kan! Gimana sepakat tidak? Kita saling berteman aja, atau kalau perlu pernikahan ini kita sembunyikan?"

Pertanyaan Candra sungguh membuat Ayana dilema, pilihan yang Candra berikan padanya sungguh sulit. Namun lagi, lagi mengingat Ayah dan ibunya yang selalu bersikap tak adil pada dirinya membuat ia berpikir untuk cepat-cepat segera berumah tangga untuk pergi menjauh dari keluarganya. Tapi masalahnya bukan sama dia! 

"Bagaimana? Apa kamu sepakat? " tanya Candra dengan mengulurkan tangannya pada Ayana. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status