Share

Tak kenal maka tak sayang

Suara bising kini memenuhi ruangan yang penuh dengan anak manusia muda dengan segudang bakat yang mumpuni. Ya, hari ini kelas yang ditempati Ayana begitu kacau, acara dadakan yang digelar sebagian penghuni kelas begitu ramai gara-gara sang dosen yang tak kunjung datang. 

Band yang dibuat seadanya dengan alat-alat pembersih serta dua vokalis cantik yang menjadi andalan kini tengah beraksi menghibur kawan-kawannya di kelas. Ulahnya? Siapa lagi kalau bukan Ayana Wiratmi Kencanasari dan gengnya bernama Aster yang beranggotakan empat laki-laki dan dua perempuan. 

"Ya, tumben kamu gak nyanyi? Lesu gitu, kenapa?" itu Tika yang bertanya. Satu-satunya sahabat perempuan yang Ayana miliki sampai saat ini. Sifat polos dan agak sedikit telmi ialah ciri khas yang dimiliki Tika dan tak jangang kepolosan serta ketelatannya berpikir membuat geng Aster pusing kadang terhibur dengannya. 

"Iya, kenapa lo?" sambung Guntur ketika menyadari perubahan Ayana saat ini. Wajahnya begitu kacau, tak ada gurat keceriaan disana. Hanya wajah lesu dan mata panda yang terlukis disana dengan tubuh yang berjoget lemah tak seheboh biasanya.

"Gue gak tidur semalaman," jawab Ayana lemah membuat ketiga temannya menoleh dan menghentikan aktivitasnya.

"Tumben lo gak tidur, ada masalah apa? Cerita!" pinta Leo yang mendekati Ayana diikuti Marten dibelakangnya. 

"Ceritanya panjang, mana mungkin gue cerita sama kalian," lesu Ayana mengingat kesepakatannya dengan Candra yang dimana point pertama dalam kesepakatan ialah merahasiakan pernikahan mereka ke publik, termasuk pada gengnya. 

"Sepanjang apa sih Ay, biasanya juga lo kaya toa kalau bercerita. Tak lesu seperti ini," sahut Marten dengan dengusan sebal. 

"Sepanjang jalan kenangan, kitakan selalu bersama... " jawab Ayana asal membuat ketiga temannya menggeleng dengan kekehan. Selalu saja begitu, jika ia tak mau bercerita tentang masalahnya pasti saja ia mengelak dengan nyanyian asalnya. 

"Kebiasaan!" seru Asep dengan menjitak kepala Ayana pelan. 

Aya mendengua sebal, melirik Asep yang duduk dihadapannya dengan tampang tak berdosa membuat Ayana berpikir ingin memakannya hidup-hidup. Udah jitak kepala orang masih berani duduk tenang, dasar Asep. 

"Bukan gue yang kebiasaan, tapi lo. Sep!" ucap Ayana mencubit pinggang Asep sekeras mungkin. 

"Adududuh, ampun Ya. Gak lagi, lagi deh. Sumpah" Asep mengaduh dengan teriakan memohon ampun sementara sahabatnya yang lain menertawakannya. 

"Ih, Ya. Asepnya jangan dicubitin. Kesihan tau" larang Tika dengan menepuk-nepuk pundak Ayana pelan. 

"Biarin Tik. Biar dia tau rasa!" ucap Ayana dengan masih mencubit pinggang Asep tersebut. 

"Ya, dendam apa lo sama si Asep. Gitu amat nyubitnya" kekeh Guntur. Sementara Leo dan Marteen berusaha untuk menjauhkan Asep dari Ayana. 

"Si asep belum ngasih nasi Padang sama gue Tur, makannya gue kesal" gerutu Ayana.

"Ketimbang nasi padang doang, yaallah, Ya. Lo tinggal pergi ke warung depan napa" ucap Asep segera menghindar dan mengumpat dibelakang tubuh Leo yang cukup besar. 

"Biasanya juga lo bawain jatah buat kita tanpa diminta. Mau belajar pelit lo? Iya?" tanya Marteen sarkasme. 

Asep menggeleng lemah, kadang tak habis pikir dengan sifat kedua sahabatnya ini yang suka sarkasme tapi dibalik itu semua hatinya pada baik sekali padanya. 

"Jadi, mau maraneh teh apa, hah?!" tanya Asep dengan keluar dari persembunyiannya dengan berkacak pinggang. 

"Nasi Padang!" seru mereka bersamaan. 

"Yauudah ayo!" ajak Asep berjalan terlebih dahulu meninggalkan kelima sahabatnya yang nampak tersenyum puas mengerjai Asep, si cowok berdarah sunda itu.

Geng Aster pun keluar dari kelasnya, berjalan dengan penuh wibawa membuat semua  mahasiswa baru yang melihatnya menjerit, takjub, kagum bahkan tak jarang pujian demi pujian mereka lontarkan. 

"Mas Leooo! Aaa, tak kenal maka taaruf. Taarufan yuk, biar kenal selaligus sayang!" pekik seorang mahasiswi baru yang Leo hiraukan, tak peduli dan sudah tidak aneh lagi mendapati wanita seperti itu pada dirinya. 

"Yaampun, a Asep! Aku padamu!" teriakan salah satu maba terdengar begitu nyaring dan melengking. Asep yang berjalan terlebih dulu, kini perlahan mundur ketika seseorang yang berteriak nyaring itu menghampirinya. 

"Kenapa lo sep? Cemen, perempuan itu masa lo ngehindar gitu" heran Leo ketika Asep buru-buru pasang badan untuk bersembunyi ketengah-tengah mereka. 

"Menjauhi fitnah," jawab Asep so agamis.

"Menjauhi fitnah gimana maksudnya?" tanya Tika polos. 

"Ogah gue jelasin ke elo, ujung-ujungnya lo telmi juga" kekeh Marteen yang paling malas jika sudah mendengar pertanyaan Tika. 

"Telmi itu apa?" lagi, lagi dengan kepolosannya Tika bertanya membuat Marteen dan Leo berdecak kesal. Tidak habis pikir dengan sifat sahabatnya itu, entah ibunya kurang mendidik dia atau dianya emang otaknya agak lemot? Entahlah, yang jelas Tika mah gitu polos dan lemot tapi juga bisa dewasa secara tiba-tiba.

"Tau ah, tanya aja sama si Asep" ketus Leo membuat Ayana dan ketiga pria itu menahan senyumnya sebisa mungkin, apalagi melihat perempuan so kecentilan yang tadi berteriak kini semakin mendekat pada mereka. 

"Astagfirullah, tolong gue napa" keluh Asep dengan berkeringat dingin di dahinya ketika maba kecentilan itu ada dihadapannya. 

"Hai, kenalin gue Lyodra. Mahasiswa baru jurusan kedokteran," sapa Lyodra dengan senyuman manis dengan mengulurkan tangannya pada Asep. 

Bukannya senang disapa perempuan cantik bahkan sampai diajak kenalan, Asep malah diam seribu bahasa dengan menelan saliva susah payah.

"Saya Guntur!" ucap Guntur menjabat tangan Lyodra dengan tampang humorisnya. 

"Ih, bukan kak Guntur yang Lyodra mau tapi a Asep!" kesal Lyodra dengan mencak-mencak. 

"Heh, bocah! Si Asep gak suka perempuan, gak suka kenal-kenalan. Minggir lo, kita lapar!" seru Ayana dengan menyingkirkan Lyodra dihadapan mereka. 

"Cabut guys!" seru lagi Ayana pada teman-temannya. Mereka pun akhirnya kembali berjalan menuju warung nasi padang di kantin kampus.

"Alhamdulillah," syukur Asep bernapas lega, setelah perempuan itu tak mengikutinya. 

"Sep, telmi itu apa?" tanya Tika disela-sela perjalanan mereka menuju kantin dengan masih penasaran, wajah polosnya begitu kentara sekali. Ia bahkan tak memikirkan bagaimana tegangnya Asep tadi. Semua teman-teman Tika hanya menggeleng tak habis pikir, termasuk Asep. 

"Telmi itu, ya telat mikir Tika sayang. Udah ya gak usah dengerin apa kata Leo, dia kan suka gitu jadi gak usah di anggap" jawab Asep lembut pada Tika membuat siapapun yang mendengarnya akan meleleh dan seketika jatuh cinta. Ya begitulah Asep, sedari zaman smp sikapnya gitu kalau sama cewek lemah lembut bahkan tak jarang ia memberi perhatian lebih pada Tika dan Ayana. Baginya kedua perempuan itu ialah mutiara yang harus ia jaga segalanya selain ibunya. 

"Ih Leo tega sama Tika, Leo jahat!" kesal Tika mencebikkan mulutnya. 

"Udah Tik, mending kita makan aja gak usah dengarin ucapan Leo ya, " bujuk Aya ketika mereka baru saja sampai di warung nasi Padang, milik si Asep. Kadang mereka suka gak habis pikir dengan si Asep, itu anak keturunan sunda. Emak bapaknya sunda asli tapi jualannya nasi Padang, bahkan lagu-lagu yang paling ia sukai dan kadang suka diputar diwarungnya juga bukan lagu sunda ataupun melayu melainkan lagu-lagu ambon manise. Asli, si Asep ini emang aneh. Kagak jelas kaya susu cap beruang. 

"Mang ujang, buatin lima ya. Seperti biasa!" teriak Asep dengan mengambil dua kursi untuk Ayana dan Tika yang gak kebagian. 

"Siap, a" seru mang Ujang.

Semua pesanan sudah tersaji, tanpa pikir panjang kelimanya begitu lahap menyantap hidangan tersebut dengan sesekali melempar obrolan ringan.

Tring! 

Suara notip pesan dari ponsel Ayana mengganggu sarapan pagi mereka, dengan decakan kesal Ayana menyimpan sepiring nasi padang yang baru ia makan setengahnya untuk melihat pesan dari siapa yang mengganggu acara sarapannya. 

"Ck. Rese emang!" decak Ayana segera bangkit dari duduknya setelah membaca pesan yang ternyata dari laki-laki si pengganggu ketenangannya, siapalagi kalau bukan Candra. Pria yang tak ia sukai itu dengan sangat tak mau taunya mengirimi Ayana pesan untuk segera menemui dirinya di luar gerbang kampus.

"Guys, gue cabut ya. Ada urusan mendadak, biasalah bokap" alibi Ayana ketika berpamitan pada para sahabatnya itu.

Mereka sontak mengangguk dan membiarkan Ayana pergi begitu saja, tentu saja mereka paham jika sudah menyangkut dengan ayahnya berarti itu sangat penting.

***

"Lo mau apaan sih, gue belum selesai makan. Ganggu aja lo," protes Ayana ketika mereka berdua tengah berada tepat diluar gerbang kampus. 

"Kita kebutik sekarang, ibu nyuruh kita untuk kesana sekarang! " ucap Candra begitu dingin padanya. 

"Ngapain? Lo ajalah, gue ogah" tolak Ayana.

"Saya tidak menerima penolakan, ayo naik!" pinta Candra membukakan pintu mobilnya untuk Ayana. 

"Lah, terus motor gue?"

"Nanti teman saya yang urus!" jawabnya tegas, Ayana menggeleng ia tidak mau sijagonya di tumpangi orang lain. Tidak, sijago hanya miliknya dan tidak boleh ada siapapun yang berani menyentuhnya kecuali para sahabatnya dan orang yang ia sayang. Sebegitu sayangnya ia sama motor gedenya, memang. 

"Kenapa? Kok bengong. Ayo masuk!" pinta Candra ketika Ayana masih saja berdiri dengan tampang bengongnya. 

"Enggak! Lagian ngapain ke butik? Ogah gue! " tolak Ayana keras. 

"Masuk gak? Atau kamu pengen orang tua kita kecewa, marah? Iya?" lagi, lagi membawa perasaan orang tua membuat Ayana mencoba melunakkan hatinya. 

"Gue akan ikut, tapi gak semobil dengan lo!" putusnya tegas. 

"Lalu?" tanya Candra menaikan sebelah alisnya tinggi. 

"Gue mau bawa motor gue, nanti lo ikutin gue dibelakang" pinta Ayana.

"Tidak! Kamu naik mobil saya, motor biar teman saya yang urus" tolak Candra. Tentu saja Candra menolak, nanti kalau ibunya tau pasti ia akan kena omel habis-habisan. Apalagi sang ibu yang begitu menyayangi Aya, tentunya ia tidak akan rela jika calon menantunya itu kepanasan saat naik motor.

"Yaudah gue gak akan pergi!" kekeh Ayana. Sama-sama keras kepala membuat perdebatan keduanya menjadi ajang tontonan satpam jaga kampus di luar gerbang tersebut yang sedang santai menikmati sesapan demi sesapan jamu yang menjadi rutinitas ketika pukul sembilan pagi. 

"Kamu nurut atau... "

"Atau apa hah? Ingat ya, gue akan lebih kejam dari lo!" potong Ayana sambil menunjuk-nunjuk wajah Candra emosi. 

Diam, satu kata yang saat ini Candra lakukan. Percuma saja, ia mengancam gadis dihadapannya. Itu tidak akan mempan baginya. Ialah seorang Ayana, si preman kampus mana ada takut-takutnya sama orang. Ia begitu berani, membuat Candra disatu sisi kagum padanya namun tetap saja jengkel dengan kelakuan nakalnya itu. 

"Baiklah, saya izinin kamu naik motor tapi ingat kamu harus beri penjelasan pada ibu saya dengan kata-kata yang benar" akhirnya Candra memutuskan untuk menuruti kemauan Ayana, sebaiknya Candra mengalah saja, jika tidak dituruti dan Candra masih kekeh dengan keinginannya itu justru akan membuat perdebatan diantara mereka terus berlanjut. Bisa-bisa ibunya mengomel karena mereka telat gara-gara hal sepele kaya gitu lagi.

"Siap, beres. Aman-aman," ucap Ayana dengan senyum penuh kemenangan. Kedua jempolnya tangannya ia angkat lalu berjalan mundur untuk memasuki kampus yang dimana sijago kesayangannya masih terparkir rapi di parkiran kampus ini. 

Hanya lima belas menit perjalanan. Mereka sampai di butik yang sudah di janjikan, dengan segera Ayana memarkirkan motornya kemudian tanpa menunggu Candra ia masuk terlebih dahulu ke toko tersebut yang dimana pemandangan pertama yang Ayana lihat ialah dua orang wanita dewasa sedang berbincang-bincang manja. Siapalagi kalau bukan ibunya Candra dan pemilik butik tersebut yang notabenenya sebagai sahabat dari ibunya. 

"Assalamualaikum, tante" sapa Ayana dengan menyalami takzim ibu dan pemilik butik tersebut. 

"Waalaikumsalam nak, loh kamu sendiri? Candra mana?" tanya ibunya Candra begitu kaget ketika Ayana sendiri yang datang. 

"Candra disini Bu, maaf ya telat" jawab Candra yang baru saja tiba dengan wajah kesalnya. 

"Syukurlah, kirain kamu gak jadi kesini. Ayo duduk dulu, biar ibu sama tantemu yang pilih baju buat kalian" ucap ibunya lembut. Candra pun mengangguk kemudian duduk disebelah Ayana yang nampak risih. 

Setelah beberapa kalimat yang terlontar dari mulut sang ibu pada temannya itu yang Ayana ketahui bernama Wina itu kini meninggalkan mereka untuk menampilkan gaun rancangannya dari ruangan kedua.

"Gimana, apa kamu suka?" tanya sang calon mertua pada Ayana ketika wina kembali dengan membawa dua gaun ditangannya. 

"Sepertinya itu berlebihan deh tan, kan kita hanya mau akad nikah saja. Sebaiknya yang simpel," tolak Ayana dengan sangat hati-hati takut menyinggung.

"Huum sih, lalu gimana kalau yang disebelahnya. Simple, elegant. Cocok ditubuh kamu," ujarnya menunjuk gaun disebelahnya. Ayana mengangguk, mengamati gaun tersebut lumayan cukup lama. 

Simple sih, tapi sayang Ayana tidak menyukai apapun yang berbau feminim. Tapi apalah daya, jika mulai saat ini ia harus terlihat biasa saja ketika disuguhkan dengan pakaian feminim dan harus terbiasa ketika sudah sah menjadi seorang istri.

"Bagus, kalau tante suka Aya juga suka deh." ucap Ayana terpaksa. 

"Yasudah pilih yang itu saja, gimana Nak menurut kamu? Bagus gak?" tanya ibunya Ratih pada Candra. Tanpa basa-basi Candra mengiyakan ucapan sang ibu. 

"Sip, jeng pilih yang ini aja ya" ucap Ratih dengan begitu bahagia. 

"Oke, fiks ya" jawab Wina. Ratih mengangguk, setelah itu ia mengajak anak dan calon menantunya untuk pergi ke mall sekalian menjebak mereka agar bisa berduaan dan saling mengenal. 

"Bu, ngapain sih ke mall segala. Belanja lagi, iya?" tanya Candra ketika mereka baru saja keluar dari butik. 

"Lah, iya. Namanya perempuan ya hobi belanja, sekalian tuh calon istri kamu belanjain" jawab Ratih. 

Ayana menggaruk tengkuk tak gatal, ingin menolak tapi sungkan dengan segala kebaikan yang ibunya Candra berikan padanya. 

"Tapi bu," ucap Ayana ragu. 

"Kenapa sih nak? Gak usah malu-malu lah," sela Ratih gemas pada Ayana. 

"Bukan begitu bu, soalnya Ayana bawa motor sendiri " ucap Ayana tak enak hati pada Ratih. 

Tatapan tajam, Candra layangkan pada Ayana sedangkan Ratih kini tengah bersiap untuk mengomeli sang putra habis-habisan. 

"Kamu ini Can, ibu bilang tadi apa? Pergi berdua, jangan sendiri-sendiri. Kalian itu harus sering pergi berduaan, biar mengenal satu sama lain. Gimana sih kamu Can, dibilangin juga" omel Ratih, Candra hanya bisa menangkupkan kedua tangannya di dada. 

"Ayana, sialan!" gerutu Candra dalam hati dengan menatap tajam pada Ayana sementara yang ditatap kini tengah tersenyum mengejek padanya. 

***

Dengan masih kesal, Candra berjalan mengikuti kedua perempuan dihadapannya mengelilingi mall yang sebegitu besarnya sambil menenteng beberapa kantong belanjaan milik ibunya dan Ayana. 

"Bu, udah ya. Candra lapar, pengen makan" keluh Candra dengan lesu. Sungguh Candra tak habis pikir dengan tingkah perempuan yang kalau belanja suka lupa segalanya bahkan tak pikir dua kali jika beli seauatu yang mereka sukai, padahal semua itu tidak terlalu diperlukan. Dan ini yang Candra tidak suka dengan sifat perempuan, pemborosan! 

"Ibu juga lapar, kita makan disitu ya" ucap Ratih mengajak Candra dan Ayana untuk pergi ke tempat makan yang tak jauh dari mereka berdiri. 

"Nah, gitu dong bu" ucap Candra dengan segera berjalan menuju tempat makan tersebut tanpa memperdulikan kedua perempuan yang ia tinggalkan dibelakang. 

"Giliran makan aja, semangat" sindir Ratih yang baru saja tiba dan ikut duduk bersama Ayana dihadapan Candra. 

"Lapar, pengen makan!" ketus Candra melihat- lihat menu makanan yang disajikan dilestoran tersebut. 

"Kebiasaan kamu nak, oh iya Ya. Ibu tinggal sebentar ya, mau ketoilet dulu" pamit Ratih dengan beranjak pergi membiarkan mereka berduaan. 

"Senang kamu! Saya tersiksa kaya gini, senang?!" bentak Candra meletakan buku menu dengan kasar dimeja tersebut. 

Ayana mendenguskan tawa puas, melihat wajah Candra yang tertekuk sedari dibutik tadi. "Ya senanglah, haha"

Helaan napas kesal Candra keluarkan, wajah tertekuknya kini berubah jadi dingin kembali. Ditatapnya Ayana dengan lekat sambil kedua tangannya menopang dagu. "Sebenarnya kamu kesal sama saya itu karena apa sih? Motif nya apa sih?" tanya Candra heran, pasalnya Candra tak pernah tau alasan yang sebenarnya. Mengapa ia membencinya sebegitu besarnya bahkan sampai-sampai ia di anggap musuh olehnya padahal Candra tak tau apapun, tak pernah membuat masalah dengannya.

"Lo aneh, cowok aneh!" kekeh Ayana sembari bersandar disandaran kursi, menghindari kedua mata elang milik Candra yang kini menatapnya lekat. 

"Cuma itu doang? Aneh? Yaampun Ayana, cumanitu doang kamu anggap saya musuh" ucap Candra tak percaya dengan menunjuk dirinya sendiri sementara Ayana hanya mengedikkan bahu tak peduli.

"Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Kamu menganggap saya aneh karena kamu belum mengenal jauh saya. Kamu hanya mengenal saya sebatas nama dan cerita orang, bukan dari diri saya sendiri"  jelas Candra dengan kesal. Lagi, lagi Ayana hanya mengedikkan bahu tak peduli.

Bagi Candra, tidak akan ada rasa sayang jika diantara keduanya tak saling mengenal, kalau pun ada itu seperti sebuah keajaiban. Sebab sebuah hubungan yang baik,  itu dimulai dengan perkenalan yang cukup baik pula. Seperti pepatah mengatakan Tak kenal maka tak sayang, nah pada dasarnya untuk memahami seseorang, menyayangi bahkan mencintai itu semua harus dimulai dengan perkenalan terlebih dahulu. 

Seperti halnya salah satu surat dalam al-qur'an yang pertama kali diturunkan ialah surat al-alaq, surat makiyah yang terdiri dari 19 ayat ini diawali dengan kata "iqra" maka bacalah. Seperti sebuah perintah, jika kita membacanya terlebih insyaallah dahulu insyaAllah kita bisa dapat mengenal serta memahami semua firman-firman Allah yang telah ada di al-qur'an. 

"Lo gak usah natap gue kaya gitu!" pinta Ayana risih dengan menjauhkan wajah Candra dari hadapannya. 

Tanpa mereka sadari, seseorang sedang tersenyum menyeringai sambil memotret mereka diam-diam. Pikirnya, bukti itu sudah cukup untuk melapor pada majikkannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status