"Pagi Sam? "Edward menyapa sekretarisnya Samantha yang tengah sibuk menyusun dokumen untuk di periksa Edward.
"Pagi pak, bapak mau minum apa?"
"Coffe please. "Sudah menjadi kebiasaan Edward untuk sarapan di kantor. Ia malas untuk sarapan sendirian di apartemennya. Sudah dua tahun Edward tinggal di apartemen berpisah dengan orang tuanya. Dia bosan mendengar omelan Mommynya karena pulang dalam keadaan mabuk atau pun tidak pulang semalaman sehabis kencan.
"Kopi yang seperti biasa, pak?"
"Kopi yang seperti kemarin, Sam, rasanya enak dan gurih saya suka."
"Tapi itu kopi dari kafe depan, pak, sedangkan emmmm para ob sedang brifing."
"Kamu sudah sarapan, sam? Tinggal deliv aja'kan, bisa."
Eh iya ya, pak, saya lupa. "Samantha tersenyum merutuki kebodohannya karena lupa bahwa di era modern seperti sekarang ini hampir seluruh resto dan kafe menyediakan jasa delivery. "Kalau begitu saya pamit dulu, pak."
"Jangan lupa kupaskan dua buah apel untuk saya. "Edward pemilih soal makanan, dia lebih suka makan buah di pagi hari daripada makanan berat seperti roti, waffle dan sejenisnya.
"Baik, pak, "Samantha mengangguk dan keluar ruangan mulai menjalankan tugasnya.
~~~~~~~~~~~~~~
"Permisi, pesanan kopi dari first cup caffe atas nama nona Samantha Blair."
"Oh ya, tolong letakkan di meja sebelah sana, nona. "Samantha masih fokus mengetik laporan yang harus di serahkan kepada Edward pagi ini.
Baru saja Jenifer membalikkan badan, tiba-tiba dari arah belakang Edward yang sedang bicara dengan klienya melalui ponsel menabraknya, karena kurang fokus dalam berjalan.
"Awwww. "Mereka berdua berteriak bersamaan karena kaget terkena tumpahan kopi yang panas.
"Pak, bapak tidak apa-apa? Maaf sudah bikin jas dan kemeja bapak kotor. "Jenifer mengambil tisu dan mengelap kemeja Edward yang basah.
Mata Edward fokus ke dàda Jenifer yang basah. Lekukan dàdanya tercetak jelas akibat tumpahan kopi. Kaos putih yang dikenakan Jenifer terlihat transparan sehingga bra warna merah dapat terlihat membungkus payudàra yang besar dan emmmm padat. Mendadak hormon kelelakiannya naik, jakunnya bergerak tak beraturan bahkan yang di bawah sana sudah bangun tanpa permisi. Ia mati-matian menahan hasratnya agar tidak lancang untuk meremas dàda montok yang ada di depan matanya. Tapi apa daya tangannya sulit di kendalikan otaknya, perlahan tangan itu maju dan---
"Sir, are you okay? "Untung saja panggilan gadis itu menyadarkan dirinya untuk tidak berbuat lancang.
"Oh sa saya tidak apa-apa, bagaimana denganmu? Bukankah kopi panas itu juga tumpah di badanmu?"
"Ah ini tidak apa-apa, cuma masalah kecil. "Jenifer Mengusap-usap dàdanya yang basah. Bukannya menyamarkan noda kopi, tapi gerakan tangan berulang Jenifer yang mengusap dàdanya kelihatan sensual di mata Edward.
'Shít. 'Umpat Edward dalam hati. Kepalanya kembali pusing disaat hasratnya datang lagi. Usapan tangan Jenifer membuat dàda möntoknya bergoyang-goyang hingga Edward memandangnya dengan frustasi.
"Ehmmmmm sebenarnya disini saya yang salah. Saya yang menabrak anda dari belakang nona-----"
"Jenifer Watson, panggil saja Jeny."
"Edward Williams, biasa di panggil Ed. Edward menerima uluran tangan Jenifer."
"Oke, Ed, sebagai tanda jadi pertemanan kita. Bagaimana kalau aku traktir kopi baru, untuk menggantikan yang tumpah tadi."
"Baiklah, Jen kalau kau memaksa. Lagi pula siapa yang bisa menolak pesona kenikmatan kopi dari kafemu, benarkan? "Mereka tertawa bersama.
"Maaf pak, tuan Peter menghubungi anda, urgent katanya. "Samantha menginterupsi obrolan mereka.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Ed, masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di kafe. Sampai jumpa, Ed. "Jenifer berjalan mundur dan melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa, Jen, see you soon."
TBC.
Komen dan review bagi yang udah baca yaaaaa.
HANI ^^
21+!!! "Pagi Ed, aku membawakan kopi spesial ini untukmu. "Tampak Edward sedang sibuk memeriksa setumpuk dokumen yang berada di meja kerjanya. "Oh kebetulan sekali, Jen, tolong bawa kemari." Edward melepas kaca mata beningnya dan tersenyum nakal kepada Jenifer. "Minum dulu selagi masih hangat. "Jenifer mengulurkan segelas kopi kepada Edward. "Terimakasih, tapi aku pikir tubuhmu lebih hangat di bandingkan dengan segelas kopi ini, Jen. "Edward membisikkan kata-kata sensual tepat di telinga kiri Jenifer. Tubuh Jenifer membeku, tidak di sangka sepagi ini ia akan mendapatkan rayuan manis dari seorang lelaki tampan seperti Edward Williams. "Ehm he he he terimakasih atas sanjunganmu, Ed. "Jenifer tertawa untuk menutupi kecanggungannya. "Aku tidak bercanda, aku serius." "Tapi Ed, orang-orang bilang, emmmm badanku gemuk. "Jenifer menundukkan kepalanya tid
Malam ini Edward baru saja selesai makan malam dengan rekan bisnisnya di sebuah restoran Italia yang berada di salah satu sebuah mall.Setelah bekerja seharian penuh, tubuhnya sangat lelah. Dengan langkah setengah diseret, ia ingin cepat sampai di apartemen untuk mengistirahatkan tubuhnya. Mata yang terasa berat karena lelah seketika membola, darahnya berdesir panas saat melihat Jenifer keluar dari bioskop sambil dipeluk pria yang lumayan tampan. Pria itu tertawa bahagia sambil sesekali mencium pipi chuby Jenifer, sedangkan Jenifer tersenyum malu-malu."Shít …." umpat Edward. Ia kesal, rencana untuk mendekati Jenifer harus pupus karena terpampang jelas, sekarang di depan matanya kalau Jenifer sangat bahagia dengan kekasihnya. Langkah kakinya tidak dapat dicegah untuk menghampiri pasangan yang sedang dimabuk cinta itu."Malam, Jen?""Malam juga, Ed.""Sayang, kamu kenal dengan pak Edward? Kenalkan, Pak, nama saya Gustaf Alfonso, salah satu karyawan di perusahaan Bapak." Gustaf menyalami
Sudah hampir satu bulan semenjak kejadian tidur bersama di mobil, Edward belum bertemu lagi dengan Jenifer. Kesibukannya sebagai CEO di Williams Corp mengharuskan ia untuk berkeliling dunia melakukan pertemuan bisnis dari satu negara ke negara lain yang bisa memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya.Ia sangat merindukan Jenifer, seandainya Jenifer adalah kekasihnya tentu ia akan membawa serta Jenifer untuk menemaninya agar perjalanan bisnis yang melelahkan serta membosankan itu bisa terasa menyenangkan.Tapi kenyataanya status mereka hanyalah sebatas teman biasa, jangankan melakukan panggilan facetime berkirim pesan secara intens pun ia merasa tidak enak.Malam ini, ia mengunjungi sebuah kelab malam elite yang hanya dikunjungi kalangan atas menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar minum atau mencari partner ons.Sudah lama semenjak mengenal Jenifer, Edward belum pernah melakukan aktifitas séksual dengan lawan jenis. Keinginan itu perlahan-lahan menghilang dengan hadi
"Engkh …. "Jenifer melenguh panjang merenggangkan badanya yang terasa kaku, matanya mengerjap pelan. Seketika ia kaget dan membekap mulutnya setelah menyadari bahwa wajahnya menempel di d@da bidang seorang pria. Pikiranya kacau. 'Ada apa ini, dada siapa ini dan apa yang terjadi semalam?' Jenifer bertanya-tanya dalam batinya. Dengan segera Jenifer memeriksa bajunya, Ia menghela napas lega setelah mengetahui gaun yang ia kenakan masih utuh melekat di badanya. Dengan pelan ia menyingkirkan lengan kekar yang memeluk pinggangnya dan segera duduk memeriksa wajah dari pria yang telah tidur seranjang denganya semalam. "Edward." Cicitnya pelan hampir tak terdengar. Belum sempat ia mengingat kejadian semalam, Edward membuka matanya. "Selamat pagi Jen, bagaimana tidurmu semalam?" "Pa pagi Ed, em … semalam kita …." "Semalam kita tidur bersama, tidak lebih." "K-kenapa." Jenifer menunjuk tubuh kekar Edward yang polos dengan telunjuknya. "Kam
Edward bangun dari duduknya, ia ingin sekali segera membawa Jenifer keluar dari situasi yang memojokkanya. Langkahnya terhenti saat ia melihat Jenifer memegang bahu Gustaf dan menganggukkan kepalanya. Tepuk tangan riuh pengunjung kafe menyadarkan lamunan Edward bahwa Jenifer sudah menerima lamaran Gustaf sang pecundang. Dengan langkah lesu Edward tetap berjalan menghampiri gadis pujaannya. 'Ah sejak kapan Jenifer menjadi gadis pujaanya.' Edward tersenyum kecut dengan pikirannya sendiri. "Ehmmmm congrat's, Jen, lamaran yang cukup romantis." Edward tersenyum kepada Jenifer, pandangan mereka bertemu dan saling mengunci. Walau Jenifer melihat bibir Edward tersenyum tapi sorot mata tajam Edward terlihat penuh kekecewaan dan terluka. Lewat mata seakan mereka berbicara, lidah Jenifer terasa kelu untuk mengeluarkan suara. Hati Jenifer mengatakan bahwa Edward terluka atas keputusanya yang menerima lamaran dari Gustaf tapi logikanya menolak, mana mungkin
Keheningan menyelimuti mobil yang di kendarai Edward dan Jenifer. Edward tidak berani menginterupsi keterdiaman Jenifer setelah beberapa saat tumpahan tangisan pilu keluar dari bibir séksi Jenifer. Edward memutuskan untuk membawa pulang Jenifer ke apartemenya, sesaat setelah ia mengendarai mobilnya hanya berputar-putar pada satu titik jalan yang sama. Ia tidak ingin membiarkan Jenifer terpuruk sendirian malam ini. Edward berdehem pelan dan membukakan pintu mobil untuk Jenifer. "Sudah sampai Jen, ayo turun." Edward meraih tangan Jenifer lalu menggandeng tangannya berjalan beriringan masuk kedalam lift. Di dalam liftpun masih sama hanya ada keheningan yang terasa. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Edward berjalan dengan pelan keluar dari lift menuju unit apartemenya. Sesampainya di depan pintu, Jenifer tersadar bahwa ini bukan gedung apartemennya. "Ed, ini dimana?" "Di apartemenku, Jen, aku tidak mungkin
Cahaya pagi menembus tirai kamar, sepasang anak manusia masih begelung di bawah selimut menyembunyikan tubuh mereka dari hawa dingin yang menyeruak menyentuh kulit tubuh. Jenifer mengerjapkan matanya dan tersenyum saat wajah tampan Edward tepat terpampang di depan matanya. Ingin ia mengelus wajah tampan Edward tapi ia ragu, takut Edward akan terbangun dari tidurnya. Semalam ia tidur dengan sangat lelap. Merasa sangat nyaman berada di pelukannya Edward. Bahkan ia sudah tak mengingat lagi tentang berakhirnya hubungan pertunangannya dengan Gustaf. "Mau kemana?" Edward mengeluarkan suaranya yang sedikit serak di saat merasakan tangan Jenifer yang memindahkan tangannya dari perut Jenifer. Tidak menunggu jawaban dari Jenifer, Edward malah mengeratkan pelukannya kepada Jenifer. Bahkan wajahnya ia benamkan di ceruk leher Jenifer. Jenifer menahan napas dengan kelakuan Edward yang membuatnya merinding. Embusan napas Edward yang hangat menyapu lehe
Hubungan Jenifer dan Edward semakin dekat. Walau mereka mengklaim hubungan mereka hanya sebatas teman tapi melihat interaksi mereka berdua bisa di pastikan mereka punya hubungan lebih. Edward akan mengantar jemput Jenifer ke kafe hampir setiap hari, kecuali Edward ada pekerjaan di luar kota. Setiap malam mereka akan makan malam bersama, Jenifer juga sering mengirim kopi kesukaan Edward. Biasanya Edward akan mengganti dengan membelikan hadiah mahal atau mengajaknya keluar jalan-jalan berdua. Edward juga sering memaksa Jenifer untuk menginap di apartemennya yang berakhir tidur berdua di ranjang yang sama. Noted hanya tidur dan tidak lebih. Edward tidak berani memaksa Jenifer untuk melayani napsunya. Dan seperti biasa Edward akan menyalurkan hasratnya di kamar mandi, bermain solo. Seperti malam ini, sepulang kerja Edward langsung pergi menuju kafe untuk mengajak Jenifer makan malam bersama. Wajah lelah Edward langsung berubah ceria di