Share

4. Double Date

Sudah hampir satu bulan semenjak kejadian tidur bersama di mobil, Edward belum bertemu lagi dengan Jenifer. Kesibukannya sebagai CEO di Williams Corp mengharuskan ia untuk berkeliling dunia melakukan pertemuan bisnis dari satu negara ke negara lain yang bisa memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya.

  

Ia sangat merindukan Jenifer, seandainya Jenifer adalah kekasihnya tentu ia akan membawa serta Jenifer untuk menemaninya agar perjalanan bisnis yang melelahkan serta membosankan itu bisa terasa menyenangkan.

  

Tapi kenyataanya status mereka hanyalah sebatas teman biasa, jangankan melakukan panggilan facetime berkirim pesan secara intens pun ia merasa tidak enak.

   

Malam ini, ia mengunjungi sebuah kelab malam elite yang hanya dikunjungi kalangan atas menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar minum atau mencari partner ons.

   

Sudah lama semenjak mengenal Jenifer, Edward belum pernah melakukan aktifitas séksual dengan lawan jenis. Keinginan itu perlahan-lahan menghilang dengan hadirnya rasa ketertarikannya kepada Jenifer. Tapi karena rasa cemburu dan sakit hati ketika ia melihat ínsta störy akun medsosnya Jenifer yang mengupload photo kebersamaanya dengan Gustaf disertai caption mesra beremoticon hati. Ia memutuskan akan mencari partner ons untuk pelampiasan kekesalanya dan penghilang kepenatan akibat kesibukan pekerjaan.

   

Sebagai pria dewasa yang tergolong aktif dalam séks, biasanya Edward akan melakukan hubungan ranjang minimal seminggu sekali menyalurkan hasrat biologisnya dengan partner onsnya. Ia berpikir tidak ada salahnya untuk mendapatkan pelepasan malam ini toh ia dan Jenifer tidak ada hubungan apapun.

  

"Ck …." Edward berdecak bosan, padahal sudah hampir satu jam matanya menyusuri setiap sudut kelab, tidak ada satupun wanita yang bisa menarik perhatiannya. Dari dulu Edward tidak mau berhubungan badan dengan seorang jàlang, karena ia merasa risih membayangkan kewanitaan seorang wanita bisa dimasuki kejantanan pria yang berbeda-beda hanya dalam hitungan jam.

  

"Sendirian?" Seorang wanita cantik berambut cokelat, mengenakan  gaun merah menyala di atas lutut yang menampilkan lekukan tubuh séksinya menyapa Edward dengan tersenyum manis.

  

"Hm … as you see." jawab Edward acuh.

  

"Ckk sombong. Mentang-mentang sudah menjadi CEO muda yang sukses, lupa akan teman lamamu, Ed."

  

"Teman lama, kau mengenalku?"

  

"Teman SMA mu, Caroline. Friend with benefit, kita sering membantu satu sama lain dengan menjadi pacar pura-pura untuk menghindari para fans fanatik kita dan kadang juga kita berbagi kehàngatan ranjang ketika kita saling membutuhkan."

  

"Aa … Carol, Caroline. Bagaimana kabarmu? Lama kita tidak berjumpa. Ngomong-ngomong, kau tidak bersama tunanganmu malam ini?"

  

"Jangan bicarakan si bérengsek itu."

  

"Ups kalian ada masalah?"

   

"Si bérengsek itu berselingkuh di belakangku dengan sepupuku sendiri." Caroline tersenyum miris.

  

"Maaf aku tidak bermaksud …."

  

"Sudahlah lupakan saja, bagaimana denganmu? Aku perhatikan dari tadi kau minum sendirian. Pasti tidak jauh beda dengan keadaanku malam ini."

  

"Cuma masalah kecil, aku cek-cok dengan kekasihku." dusta Edward.

  

"Begitulah kehidupan, kebahagiaan dan masalah akan menghampiri manusia bergantian. Dan ketika kita bermasalah, kita pasti datang ke sini untuk melupakannya." Caroline menyesap minumannya hingga tadas.

  

Mereka terlibat obrolan ringan sambil minum, menceritakan kenangan lama mereka ketika masih duduk di bangku SMA. Sekilas bayangan percíntaan panas mereka di atas rànjang melintas di benak Edward, hingga muncul keinginan untuk mengulanginya lagi malam ini.

  

Edward menggenggam tangan Caroline dan mengecup punggung tangan Caroline. "Friend with benefit." Edward mengedipkan sebelah matanya kepada Caroline, yang merupakan sebuah kode untuk meminta persetujuannya.

  

Caroline menyambutnya dengan sebuah ciuman, ia mulai memagut bibir Edward dengan intens dan menuntut. Dengan senang hati, Edward mengimbanginya dengan ciuman yang tak kalah panasnya. Bahkan tangannya mulai meraba dan meremas dada Caroline. Ketika dirasakan ujung dada Caroline yang mencuat, segera ia mencubit pelan pütingnya yang membuat Carolin tersentak kaget seketika lalu mendesah sensual di telinga Edward.

   

Gelenyar gairah sudah menguasai diri mereka masing-masing. Caroline mulai mengalungkan tangannya ke bahu Edward, sedangkan Edward menarik pinggang ramping Caroline semakin erat dan menempel di badannya. Tangan yang menggerayangi dàda Caroline beralih membelai pàntat dengan gerakan memutar abstrak dan sensual.

  

Dengan napas terengah mereka mengakhiri ciuman dan mengurai pelukan satu sama lain untuk menetralkan kewarasan yang sudah berada di ujung batasnya. Mereka saling melempar senyum kikuk.

  

"Bagaimana kalau kita lanjutkan di apartemenmu?" Caroline meminta persetujuan dari Edward.

  

"Di hotel saja, aku takut kekasihku datang sewaktu-waktu dan akan mengacaukan permainan kita." dusta Edward. Sebenarnya Edward tidak pernah membawa wanita-wanita yang pernah ia kencani pulang ke apartemennya. Alasanya klise, ia tidak ingin privasinya terganggu seandainya saja para wanita itu akan mencarinya lagi ke apartemen untuk mengajak kencan ulang.

  

"Baiklah, kita ke hotel sekarang." Caroline menggamit lengan Edward dengan mesra keluar dari kelab menuju parkiran mobil yang berada di basement gedung. Dengan kecepatan sedang Edward mengendarai mobilnya, ia sadar harus ekstra hati-hati dalam berkendara karena kondisinya yang sudah setengah mabuk.

   

Sesampainya di hotel bintang lima, Edward segera check in dan mengambil key card kamar hotel. Mereka segera masuk ke dalam lift, hasrat yang mereka tahan di sepanjang perjalanan tadi rasanya sudah tak terbendung lagi, sehingga ciuman panas mereka terulang kembali sesampainya di dalam lift. Pagutan, cecapan dan desahan mereka memenuhi ruangan lift yang berukuran 4x3 meter itu terasa panas. Mereka tidak sadar bahwa masih ada dua orang manusia lainya yang menumpangi lift tersebut.

  

"Ehm permisi, kami ingin lewat sebentar."

  

Merasa terganggu, mereka menghentikan aksi ciuman panas mereka dan menoleh ke arah sumber suara. Mata Edward melotot, jantungnya berdetak tak karuan dan deru napasnya memburu antara kaget, takut dan cemburu. Kaget karena tidak disangka akan bertemu Jenifer di hotel ini. Takut karena Jenifer pasti sudah melihat dirinya berciuman panas penuh nafsu bersama Caroline dan cemburu karena melihat seseorang yang satunya adalah Gustaf kekasih Jenifer yang sedang menggandeng tangannya mesra, hendak keluar dari lift melewati Edward.

  

"Oh silakan." Edward tersenyum canggung mempersilakan mereka untuk keluar dari lift. Ingin rasanya ia menyapa Jenifer tapi mengingat atas aksi ciuman panas bersama Caroline seketika nyalinya menjadi ciut.

  

Edward hanya bisa memandang nanar punggung mereka berdua meninggalkan lift, lagi-lagi cemburu dan marah menyeruak muncul di hati Edward. Membayangkan Jenifer yang akan bercínta dengan kekasihnya seketika membuat darahnya mendidih.

  

Setelah sampai di depan kamar hotel, Edward menyerahkan key card kepada Caroline. "Kau masuklah dulu, aku ingin mengambil ponselku yang tertinggal di mobil. Kebetulan aku sedang menunggu panggilan dari rekan bisnisku yang berasal dari London.

  

"Ckk … dasar otak bisnis, di luar jam kantor juga juga masih memprioritaskan pekerjaan." Caroline berdecak kesal.

  

"Tidak lama, mandilah dulu agar lebih segar. Dia adalah salah satu investor terbesarku yang tidak boleh seenaknya diabaikan panggilannya." Edward pamit sambil mengacak rambut Caroline.

  

"Baiklah, cepat kembali, jangan sampai moodku hilang."

   

Edward segera berlari meninggalkan Caroline menuju tangga darurat yang menjadi penghubung dengan lantai dimana Jenifer berada. Edward pikir akan lebih efisien berjalan melalui tangga mengingat kamar mereka hanya berjarak satu lantai di bawahnya.

   

Ini hal gila, dia tidak tahu di kamar nomor berapa mereka check in dan seandainya bertemu apa yang akan dilakukannya? Mengganggu atau memisahkan mereka? Lantas atas dasar apa Edward menghalangi kencan mereka? Sedangkan hubungan mereka hanya sekedar teman biasa.

   

Persetan dengan semua itu, mungkin Edward sudah tidak waras, ia berlarian mencari keberadaan Jenifer. Langkah kakinya terhenti sesaat setelah ia mendengar tangisan suara seorang wanita di ujung lorong hotel yang membelakanginya, sedang menghadap kaca bening tembus pandang pada dinding hotel. Bahunya naik turun seiring dengan tangisan pilunya. Edward sangat hafal dengan siluet tubuh wanita itu walau hanya dari belakang. Didekati perlahan dan disentuh bahunya.

  

"Are you okay, Jen?" 

Jenifer kaget dan memutar badannya menghadap ke arah Edward. Entah atas dorongan apa, Jenifer langsung menghambur memeluk tubuh Edward dan kembali menangis tersedu. Edward membalas pelukan Jenifer dengan erat sambil menepuk-nepuk bahunya, setelah puas menangis Jenifer mengurai pelukannya sembari mengusap air mata yang jatuh di pipinya.

   

"Maaf aku membuat jasmu basah." Jenifer menunduk malu karena ulahnya tadi. Edward menangkup wajah Jenifer dengan kedua tanganya sehingga pandangan mereka bertemu.

  

"It's okay, no big deal. Apa yang terjadi, kenapa menangis di sini? Kau bisa cerita padaku. Tapi bisakah kita masuk ke kamarmu? Mmmm tidak enak di lihat orang, takut mereka akan mengira kalau aku menganiaya dirimu sampai menangis he he he." Canda Edward untuk mencairkan suasana. Jenifer mengangguk setuju, tanpa berkata apapun Jenifer melangkah menuju kamarnya diikuti oleh Edward di belakangnya. Sesampainya di dalam mereka duduk berhadapan di sofa yang berbeda.

  

"Bagaimana dengan kekasihmu, apa tidak masalah jika kau tinggalkan dia sendirian di kamar?" Jenifer bertanya karena bingung kenapa Edward menemaninya? Bukankah ia dalam acara kencan?

  

"Em …, ia membatalkan acara kencan setelah tadi melihat mantannya check in bersama wanita lain, Carol cemburu dan ia tidak sungguh-sungguh menjalin hubungan denganku." kembali Edward berdusta.

  

"Maaf, karena mengingatkanmu, mereka memang tidak berperasaan." Jenifer menuangkan minuman yang telah dipesannya tadi. Dengan cepat, gadis itu meminumnya sampai tadas.

"Hei Jen, pelan-pelan minumnya, minuman ini berkadar tinggi alkhoholnya. Kau bisa mabuk." Edward berusaha mencegah Jenifer untuk minum yang kedua kalinya.

  

"Aku mohon biarkan aku mabuk untuk malam ini, Ed. Rasanya sakit sekali, ini bukan yang pertama kali aku memergoki Gustaf selingkuh. Sudah lima tahun hubungam kami tapi tidak ada kemajuan sama sekali, mau dibawa kemana hubungan ini. Umurku sudah tiga puluh tahun, tentunya aku ingin segera menikah dan mempunyai anak seperti teman-temanku yang lain." Jenifer kembali terisak.

  

"Kalau kau tahu dia tukang selingkuh, kenapa masih mempertahankan hubungan yang penuh dengan kepalsuan ini?" Edward berusaha mengorek rahasia tentang kisah percintaan Jenifer mumpung selagi ia sedang mabuk. Yah ternyata Jenifer bukan peminum yang handal, terbukti hanya dengan satu gelas minuman ia sudah mabuk dan mulai bicara ngelantur.

  

"Karena hanya dia yang mau menerimaku apa adanya tanpa memandang ukuran tubuhku. Dia tulus mencintaiku tanpa menuntutku untuk diet dan dia satu-satunya pria yang mengejar cintaku."

  

"Kalau tulus mencintaimu, dia tidak akan selingkuh berkali-kali. Si bérengsek itu hanya memanfaatkanmu, kau terlalu baik baginya." Jenifer memandang Edward dengan tatapan sayu karena sudah mabuk.

  

"Kalian sering chek in di hotel? Lalu … kemana dia pergi meninggalkanmu?" Edward masih berusaha menyelidik.

  

"Ini pertama kalinya kita check in di hotel untuk merayakan hari jadi kami pacaran dan sekaligus permintaan maafnya karena minggu lalu aku memergokinya sedang berciuman mesra dengan seorang wanita di sebuah mall. Mirisnya tadi kami bertemu lagi dengan wanita itu di sini dan si bérengsek itu memilih pergi untuk mengejarnya." Jenifer tertawa sumbang dan menangis lagi.

  

Edward mengelus dàdanya, ada rasa senang melingkupi hatinya. Ketika tahu bahwa  ini pertama kali Jenifer check in di hotel dan berakhir gagal.

   

Edward mendekat, pindah posisi duduknya di samping Jenifer. Perlahan di tangkupnya wajah Jenifer."Si bérengsek itu tidak layak buat kamu, you deserve someone better."

  

"Entah karena efek alkohol atau dorongan untuk saling menguatkan hati, Edward dengan cepat menyambar bibir Jenifer yang kelihatan sangat menggoda. Ia tambah bersemangat ketika Jenifer juga meresponnya. Ciumannya berpindah ke tengkuk Jenifer, Edward berusaha memancing bírahi Jenifer. Ia ingin menuntaskan hasrat séksualnya malam ini hanya kepada Jenifer dan bukan kepada Caroline. Belum sempat ia melakukan yang lebih kepada Jenifer, tiba-tiba Jenifer mendorong tubuh Edward.

   

Jenifer muntah di kemejanya Edward.

  

"M-maaf." Tubuh Jenifer luruh ke sofa, pingsan setelah memuntahkan isi perutnya di kemeja Edward.

  

"Hhh … nampaknya aku harus puasa lagi." 

Edward bergumam sambil tersenyum berjalan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai ia mulai menyeka mulut Jenifer dengan handuk basah agar bersih. Ia lalu memanggil layanan hotel untuk laundry.

  

Edward mengangkat tubuh Jenifer, membaringkanya di ranjang hotel yang berukuran king size. Dia ikut menyusul tidur di sebelah Jenifer, yah akhirnya Edward memutuskan akan melewati malam ini tanpa séks dan tidur dengan memeluk tubuh Jenifer di bawah selimut yang sama di sepanjang malam. Ia berharap dengan kejadian ini hubunganya dengan Jenifer bisa selangkah lebih maju.

  

Di sisi lain, Caroline yang marah karena di tinggal begitu saja oleh Edward, mengamuk membanting apa saja yang ada di kamar hotel. Karena sudah lelah menunggu berjam-jam lamanya tanpa ada kepastian, akhirnya Caroline check out meninggalkan hotel dengan hati kesal serta sumpah serapah kepada Edward.

"Sialan  …!"

.

.

.

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status