“Kenapa kau menikah dengannya?” tanya seorang pria yang baru saja datang kemudian memasak vodka.
“Kenapa masih bertanya. Aku ingin membuatnya menderita.”
“Dengan menikah dengannya, kemudian membuat Renata frustasi. Egois.”
Langit menatap ke arah pria di depannya, menggoyangkan gelas yang tengah terisi dengan bir serta beberapa potong es di dalamnya.
“Apa nggak cukup membuat keluarganya bangkrut, dan mengambil alih perusahaan itu?”
“Tidak, aku akan membuatnya lebih menderita, merangkak padaku, memohon belas kasihku.”
Pria di depan Langit hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin pria itu berpikir jika Langit adalah sebuah penjelmaan iblis di dunia, bagaimana bisa menyiksa seorang gadis cantik seperti Danas.
“Jangan memperlakukan wanita seperti itu, kau akan mendapatkan karma, Lang. Istrimu cantik, bahkan seorang desainer, mandiri lagi!”
“Diamlah, aku tidak ingin mendengarkan penilaianmu tentang gadis itu.”
“Jika kau tidak ingin, berikan saja padaku.”
Grep!
Langit mencengkram kerah baju pria di depannya. “Dia milikku!”
“Santai dong, aku hanya bercanda lagipula aku tidak mungkin mengambil milik seorang Raka Langit Maheswara,” kata pria itu sambil mencoba melepaskan tangan Langit yang tengah mencengkram bajunya itu.
“Baguslah, jika kau mengerti, Delta.”
Pria dipanggilnya Delta itu, menyesap vodka yang telah disajikan sejak tadi untuknya. “Thanks,” ucapnya untuk bartender yang tengah melap gelas.
Ilawana Delta Mahameru, seorang arsitek dan juga sahabat Langit. Pria itu yang menjadi perancang seluruh gedung milik Langit beberapa tahun terakhir. Pria yang telah tobat untuk mendekati para wanita, padahal Delta adalah pria yang terkenal playboy dengan mengencani hampir seluruh mahasiswa di kampusnya, saat kuliah dulu.
“Kalian memesan minuman tanpaku?” tanya seorang pria yang baru saja datang, menepuk pundak kedua temannya itu.
“Ingin minum?” tanya Delta.
“Tidak, jika aku ikut minum tidak ada yang akan menyetir pulang, benarkan? Lagi pula—“
“Alkohol tidak baik untuk kesehatan, kau selalu mengatakannya pada kami, dokter Se Jagad Raya,” ejek Delta sambil meneguk minumannya.
“Berani kau memanggilku seperti itu lagi, kubuat kau—“
“Kau seperti biasanya, Ja.”
Pria yang dipanggil Jagad itu hanya bisa merapikan jas miliknya.
Ilalang Jagad Rahwana, seorang dokter spesial bedah, tampan, karirnya bagus dalam bidang kedokteran, serta dia seorang pria single, sama seperti kedua temannya yang memiliki banyak penggemar wanita, namun hatinya belum menemukan gadis yang tepat mengisi hatinya.
“Jadi bagaimana dengan pernikahanmu?” tanya Jagad.
“Kau bahkan tidak hadir dalam pernikahanku, dan kini bertanya padaku sekarang.”
“Maaf, aku ingin hadir namun terjadi sesuatu yang mengharuskanku untuk melakukan operasi darurat.”
“Berjalan lancar,” jawab Langit sekedarnya saja.
Melihat raut wajah Langit seperti itu, membuat Jagad mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa? Ada masalah?”
“Masalahnya adalah, dia menikah bukan dengan Renata.”
“Apa maksudnya itu?”
“Maksudku adalah dia tidak menikah dengan Renata, melainkan gadis yang dibuatnya menderita.”
“Gadis yang dibuatnya menderita?”
“Gadis itu, gadis yang keluarganya dibuat bangkrut itu.”
“Tunggu … tunggu … biarkan aku berfikir dengan benar. Langit tidak menikah dengan Renata, melainkan dengan gadis lain.”
“Benar sekali, Ja.”
Bukh!
Begitu cepat, pukulan melayang di pipi Langit, bahkan Delta pun terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Jagad pada sahabat mereka itu.
“Brengsek!” umpat Jagad. “Kau pacaran dengan Renata tapi menikah dengan gadis yang hidupnya kau buat menderita, di mana perasaanmu Langit? Huh?!”
Sudut bibir Langit luka, akibat pukulan yang diberikan oleh Jagad padanya. Dia tahu, dia pantas menerima hal itu. Jagad mungkin pria yang berbeda, lebih tepatnya, menghargai hati wanita.
Delta mencoba menenangkan Jagad yang tengah emosi saat itu.
“Jagad, tenanglah!”
“Aku tidak bisa membiarkan dirinya berbuat seenaknya, kalian berdua membuatku muak. Mempermainkan wanita, seperti tidak memiliki harga diri. Lihat dirimu, Delta, ketika Sea pergi darimu, penyesalan yang kau dapatkan, dan aku sangat yakin jika pria brengsek ini pun akan menerimanya, dia akan menyesal apa yang telah dia lakukan.”
“Diamlah, kau tidak tahu apapun. Kau tahu, dia bahkan tidak merasa bersalah setelah apa yang dia lakukan, dia bahkan bertanya padaku apa kesalahannya. Membuat hidupnya menderita adalah hal paling baik.”
Suasana makin tegang. Bahkan beberapa orang tengah melihat dua orang yang tengah bertengkar di depan meja bartender itu. Delta tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya bisa melerai perkelahian dua orang sahabatnya itu.
“Aku tidak akan menyesal telah melakukannya,” kata Langit sambil mengambil jas miliknya dan memakainya kemudian pergi meninggalkan kedua temannya.
Pria itu menancap gas mobil dengan sangat kuat, membuat mobilnya melaju memecah jalanan Jakarta.
Beberapa kali dia memukul stir mobil, karena kesal.
“Aarrgh!” teriaknya, sambil menepikan mobilnya.
Perasaannya begitu kesal, dia mencoba menelpon namun panggilannya tidak terhubung sama sekali, membuatnya bertambah kesal.
“Ren, tolong angkat telfonku,” gumamnya sambil mencoba menghubungi kembali nomor yang sama namun tidak terhubung.
Seketika ponselnya dilemparkannya ke kursi mobil karena kesal.
“Semua ini gara-gara dia,” geram Langit sambil menyalakan mobil, dan menancap gas.
Tangannya mengepal setir mobil dengan sangat erat, membuat otot lengannya timbul.
Tidak membutuhkan waktu lama, baginya untuk sampai di Mansion miliknya.
Suara pintu mobil yang dibanting terdengar, ditambah dengan suara pintu yang tertutup begitu keras.
“Danas … Danas …” panggil pria itu penuh dengan emosi.
Jasnya dilemparkannya di atas sofa, sedangkan lengan kemejanya tengah diangkat sampai di lengannya.
“Danas …” panggilnya dengan suara keras, membuat pemilik nama tersebut sontak terbangun.
Mendengar namanya dipanggil, membuatnya segera turun ke lantai bawah dan mendapati Langit dengan wajah penuh dengan emosi.
“Ka—kau memanggilku?” tanya Danas dengan terbata-bata.
“Kenapa aku harus memanggilku berkali-kali, apa kau tidak mendengar aku memanggilmu.”
“Ma—maaf, aku tertidur.”
“Ma—maaf, katamu?”
Lagi-lagi pria itu menyiksa Danas, kali ini bukan mencengkram lehernya, namun mencekik gadis itu.
Wajah syok, ketakutan terlihat. Danas berusaha untuk melepaskan tangan Langit dari lehernya, pria itu ingin membunuhnya.
“Siapa yang menyuruhmu tidur jam seperti ini? Kau pikir aku membawamu datang ke sini, untuk tidur?”
“Le—lepaskan, ka—kau akan membunuhku,” ucap Danas terbata-bata.
Suaranya tercekat, dia begitu kesulitan untuk bernafas pria di depannya tiba-tiba marah padanya, tanpa dia tahu penyebabnya.
“Rupanya kau takut mati.”
Senyum devil seketika terlihat di wajah Langit, cengkramannya makin diperkuat, wajah Danas memerah, tangannya menepuk-nepuk tangan Langit agar melepaskan cekikan pria itu dari lehernya.
Pria di depannya, sangat jauh berbeda dari pria ramah yang dikenalnya dulu. Pria penuh dengan kebencian, tidak ada lagi belas kasih untuknya.
“Apa aku akan mati hari ini?” tanya Danas dalam hati. “Jika iya, aku minta maaf ibu, tidak bisa menjaga diriku dengan baik,” ucapnya lagi.
Kini dirinya pasrah dengan apa yang tengah dilakukan oleh pria itu padanya.
“Aku sangat membenci wajah yang sedang kau perlihatkan padaku,” geram Langit sambil mendorong tubuh Danas membuat gadis itu tersungkur ke lantai.
Hosh! Hosh! Hosh!
Gadis itu bisa kembali bernafas bebas, sambil memegang lehernya. Tubuhnya menegang ketika Langit mendekat ke arahnya, dia berusaha untuk mundur ke belakang untuk menjauh, namun pria itu tetap mengikutinya.
“Kau layak mendapatkan ini, kau layak menderita. Dasar pembunuh.”
“Kau layak mendapatkan ini, kau layak menderita. Dasar pembunuh,” Danas menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba untuk menghilangkan apa yang dikatakan oleh Langit padanya semalam. Perkataan suaminya membuatnya kacau, tuduhan yang jelas-jelas diberikan oleh padanya, jelas-jelas dia tidak melakukannya. “A-aku bukan pembunuh,” batinnya sambil menggelengkan kepalanya. Pisau di tangannya tengah memotong bawang Bombay. “Nyonya, biar aku bantu,” pinta wanita paruh baya mencoba untuk mengambil alih apa yang tengah dilakukan oleh Danas. “Jangan membantunya.” Sebuah suara terdengar, membuat wanita itu segera menunduk. “I-iya bi, jangan membantuku. Aku bisa sendiri,” tolak Danas. Danas melihat pria yang baru saja mengeluarkan suara itu. Dari tangga ia tengah menatap Danas dengan tatapan tajam, hazel matanya penuh kebencian, membuat Danas tengah berada di belakang dapur itu menggenggam erat gagang pisau. Mengingat perlakuan Langit padanya, membuatnya tidak tahan dengan apa yang tengah terja
“Apa kau mendapatkan informasi keberadaan Renata?” tanya Langit dengan mata menatap tajam ke arah Marvin. Pertanyaan Langit membuat asistennya menghentikan langkah kakinya untuk meraih jas milik Langit untuk dirapikan. “Tidak, aku belum menemukan keberadaan tentang Nona Renata. Terakhir kali menemukan keberadaannya di Jerman, namun setelah aku mengutus seseorang datang ke sana, Nona Renata tidak ada di sana.” “Aku tidak mau tahu, kau harus menemukannya.” Marvin menatap belakang atasannya itu, ada rasa kasihan darinya. Baginya Langit adalah seorang pria yang sempurna, memiliki segalanya, namun pria itu gagal dalam percintaan ketika atasannya itu ditinggalkan seminggu sebelum pernikahan, dan terpaksa menikah dengan gadis yang paling dibencinya. “Aku telah mengecek tidak ada nama nona Renata keluar dari negara itu. Akan kukirimkan beberapa orang untuk mencarinya.” Tidak ada respon dari atasannya itu. Langit memilih duduk di kursi dia menyandarkan tubuhnya, kemudian memijat kepala,
“Aku menemukan Nona Renata,” seru Marvin. Perkataannya seketika menghentikan langkah kaki Langit. “K-kau menemukannya? Di mana? Di mana kau menemukannya? Katakan padaku, di mana kau menemukannya?” Marvin kini dicecar pertanyaan atasannya membuatnya tidak tahu harus menjawab apa pada pria di hadapannya itu. Langit begitu antusias dengan apa yang dikatakan oleh Marvin, dia ingin segera bertemu Renata. “Di Jerman,” jawab Marvin singkat. Mendengar kekasihnya ditemukan, membuat perasaan Langit sedikit lega, pria itu tidak tahu harus berbuat apa, langkah kakinya bingung harus melangkah ke mana. Marvin yang melihat hal itu, jelas bisa menilai jika atasannya itu tengah bahagia dengan informasi yang dia sampaikan barusan. “Batalkan segala jadwalku, aku tidak ingin ada yang membuatku batal pergi ke Jerman, dan siapkan penerbangan untukku, aku akan pergi sendiri menjemputnya,” ucap Langit “T-tapi, bagaimana dengan Nyonya Danas, dan jika anda pergi—“ Mendengar nama Danas disebut, membua
Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi. Semua wanita ingin dipuja, dimanja, mengapa diriku mengalami nasib seperti ini. Apa aku salah, menginginkan seorang suami yang perhatian?! Semua wanita menginginkan hal yang sama. Tapi, aku harus membuang semua keinginan itu, bagi diriku berharap hal itu terwujud hanyalah sia-sia. Mata Danas berada satu garis dengan hazel mata Langit, kemudian beranjak mendekat ke arah suaminya. Dia tahu, jika pria itu sedang menjaga imej, namun hal itu membuat hatinya terasa sakit. Kepura-puraan yang dilakukan oleh Langit, mengiris hatinya paling dalam. Bukan ketulusan saat melakukan kemesraan, namun semuanya adalah Fake. Langit yang perhatian, adalah Palsu. Langit yang tersenyum dan hangat adalah palsu. Melihat langkah Danas yang pelan, membuat pria itu segera menarik tangan gadis itu dan membuat gadis itu kini duduk di dalam pangkuannya. “A-aku duduk di kursi saja.” Langit mempererat pelukannya. “Ja
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.” Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya. Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya. “Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis. “Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.” Sejenak Marvin menatap gadis itu. “Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba. Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya. Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka