Share

4. Aku Bukan Pembunuh

“Kau layak mendapatkan ini, kau layak menderita. Dasar pembunuh,”

Danas menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba untuk menghilangkan apa yang dikatakan oleh Langit padanya semalam. Perkataan suaminya membuatnya kacau, tuduhan yang jelas-jelas diberikan oleh padanya, jelas-jelas dia tidak melakukannya.

“A-aku bukan pembunuh,” batinnya sambil menggelengkan kepalanya.

Pisau di tangannya tengah memotong bawang Bombay.

“Nyonya, biar aku bantu,” pinta wanita paruh baya mencoba untuk mengambil alih apa yang tengah dilakukan oleh Danas.

“Jangan membantunya.” Sebuah suara terdengar, membuat wanita itu segera menunduk.

“I-iya bi, jangan membantuku. Aku bisa sendiri,” tolak Danas.

Danas melihat pria yang baru saja mengeluarkan suara itu. Dari tangga ia tengah menatap Danas dengan tatapan tajam, hazel matanya penuh kebencian, membuat Danas tengah berada di belakang dapur itu menggenggam erat gagang pisau.

Mengingat perlakuan Langit padanya, membuatnya tidak tahan dengan apa yang tengah terjadi. Dia ingin mengakhiri tuduhan Langit padanya.

“Aku bukan pembunuh,” ucapnya tegasnya. “Aku tidak membunuh, seperti yang kau katakan,” tegasnya sekali lagi.

Langit yang tengah mengancing lengan baju melirik ke Danas. Pria itu tersenyum membuat Danas seketika menelan salivanya, senyuman pria itu membuatnya takut. Ada rasa menyesal telah mengatakan hal itu.

“Bukan pembunuh?” tanya Langit sambil tersenyum miring dan menatap Danas.

Gadis itu ketakutan dengan tatapan devil Langit.

Langit masih membenarkan satu kancing miliknya, kemudian mempererat dasi miliknya. Langkah kakinya turun selangkah demi selangkah dari anak tangga, sedangkan ada gadis yang tengah ketakutan ketika melihatnya.

“Aku cari mati, harusnya aku tidak mengatakan hal itu,” umpatnya. “Aku harus bagaimana?” paniknya. “K-kau ingin apa? Berhenti di sana,” titah Danas, namun tidak didengarkan oleh Langit.

Seketika dirinya ketakutan melihat pria itu turun dari anak tangga dan mendekat ke arahnya.

“Berhenti di sana, jangan mendekat atau aku—akan—bunuh—“

Melihat pria itu mendekat, pikirannya seketika terpikirkan untuk melukai dirinya sendiri.

“Kau ingin membunuhku atau ingin bunuh diri?” tanya Langit sambil tersenyum miring padanya, membuat gadis itu menelan salivanya ketika apa yang tengah dipikirkan diketahui oleh suaminya.

Langit menatap wanita paruh baya yang berada di dekat Danas, membuat wanita itu pergi.

Tubuh Danas seketika menegang, bagaimana tidak, pria itu berjarak semeter darinya. Langit melirik apa yang tengah dikerjakan oleh Danas di dapur, kemudian menatap mata amber milik gadis itu.

Langit masih memberikannya senyuman evil. “Jangan berfikir bodoh, Danas Cakrawala. Hidupmu adalah milikku.” Pria itu memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya, dia tersenyum membuat gadis di depannya makin menegang, mengepal tangan, dan juga membulatkan matanya. “Kau ingin bunuh diri?” tanyanya lagi.

Raut wajahnya seketika berubah. Dingin!

“Jangan harap aku akan membiarkanmu mati dengan tenang, enak saja kau ingin bunuh diri. Aku tidak akan membuatmu mati setelah apa yang telah kau ambil dariku.”

Kini tangannya berada di pangkal leher gadis itu, Danas seketika membulatkan matanya, nafasnya tercekat. Ia berada di mana dirinya ingin mati, namun ingin hidup.

Cengkraman tangan besar Langit, tangannya berusaha untuk melepaskan tangan kekar itu dari lehernya, tapi kekuatan Langit lebih besar darinya.

Pria dihadapannya tidak pernah baik, air mata kini mengalir dari ujung matanya.

“Sial,” umpat Langit seketika melepaskan cengkramannya. “Kau membuat mood-ku jelek pagi ini.”

Melihat air mata membuatnya melepaskan Danas, dan melangkah pergi dari sana. Dia sangat membenci gadis itu, apa yang dilakukan oleh Danas semuanya palsu di matanya. Dendam yang membuat mata hatinya tertutup.

Suara pintu terbuka dengan kasar, dan tertutup membuat pria yang sejak tadi menunggunya di dalam mobil terkejut. Pria itu seketika turun dari dalam mobil dan berniat membuka pintu mobil bagian belakang.

Namun tubuhnya ditarik ke belakang. “Biar aku menyetir sendiri.”

Pria itu ingin berucap namun Langit mendahului dirinya.

Brak!

Terdengar suara pintu mobil yang ditutup dengan keras olehnya, suara mesin mobil, beberapa saat kemudian mobil melaju melewati pintu gerbang.

“Aku yakin pasti terjadi sesuatu,” batin pria itu.

Pakaian rapi, jas hitam, dan kacamata bulat yang dikenakannya tidak membuatnya kehilangan pesonanya, namun kacamata bulat itulah pesonanya. Jefrian—Sopir Langit.

Dalam perjalanan Langit memukul setir mobil karena begitu kesal, sesekali dia berteriak di jalanan, saat mobilnya harus berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah membuatnya mengumpat.

Semua orang yang melihat pria itu menyetir sendiri saat tiba di kantor, hanya bisa menundukan wajah mereka memberi salam.

Siapapun yang melihat wajahnya, akan tahu jika pria itu tengah kesal. Akan terjadi hal yang tidak diinginkan jika mereka sedikit saja menyinggung Langit, karena itu mereka sangat berhati-hati.

Langit masuk ke dalam lift, dari arah belakang pria itu terlihat seorang pria yang terburu-buru ikut masuk, sedangkan beberapa orang yang sejak awal berada di dalam lift segera keluar dari dalam lift.

Pria yang ikut masuk itu, menghidupkan iPad yang tengah dipegang olehnya, dia melakukan beberapa slide.

“Hari ini ada meeting dengan klien,” jelas pria yang mengikutinya masuk ke dalam lift.

“Batalkan!”

“Makan siang bersama dengan—“

“Batalkan!”

“T-tapi—“ melihat ekspresi dari Langit membuatnya mengurungkan niatnya melanjutkan perkataannya.

Begitu jadwal yang dibatalkan oleh atasannya.

“Mereka yang membutuhkanku, bukan aku yang membutuhkan mereka. Jadi, batalkan saja, kita mereka tidak menerimanya, batalkan kerja sama dengan mereka, dan berikan peringatan agar tidak ada cabang perusahaan bekerjasama dengan mereka.”

Pria yang tengah memegang iPad dan memakai kacamata itu hanya bisa menelan salivanya, dia menatap punggung belakang atasannya itu.

Perkataan Langit memanglah benar, begitu banyak orang yang datang padanya, untuk menjadikannya sebagai investor. Menolak mereka adalah hal wajar bagi atasannya.

Tidak sedikit perusahaan yang dibatalkan janji temu bersama pria itu, mendapatkan list blacklist dari daftar perusahaan mendapatkan dana dari Langit karena bersikukuh untuk bertemu dengan pria itu secara langsung.

“Baiklah, aku akan membatalkan semua jadwalmu hari ini,” sambungnya. “Jadi, aku juga membatalkan rapat hari ini?”

Pintu lift terbuka, namun Langit tidak keluar juga dari sana, dia hanya terdiam. “Tidak. Rapat akan tetap ada di kantor.”

Setelah berucap, Langit melangkah keluar dari dalam lift. Pria itu mengikutinya dari belakang.

Marvin Jarvis—asistennya, pria yang tahu segala tentangnya selain teman-temannya. Pria itu—Marvin, sangat menyukai menggunakan kacamata bulat, wajahnya tampan tidak berkurang ketika kacamata bertengger di hidungnya, tapi itulah pesona pria itu.

Pria pintar, cerdas, yang membuat seorang Raka Langit Mahameru mengangkatnya menjadi asistennya ketika pria itu menjadi seorang OB di kantor langit 5 tahun lalu, dan Marvin pun membuktikan jika dirinya layak mendapatkan posisinya saat ini.

Langit melepaskan jas miliknya, dan meletakkannya di kursi.

“Apa kau mendapatkan informasi keberadaan Renata?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Saiful Bahri
Wooooooooe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status