“Nona Renata adalah kekasih Tuan.”
Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya.
Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya.
“Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis.
“Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.”
Sejenak Marvin menatap gadis itu.
“Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba.
Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya.
Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
Hatinya terasa di remas begitu kuat, di iris, dan ditaburi oleh garam, begitu perih terasa, tentunya ada rasa sesak di dalam hatinya.
“Terima kasih telah memberitahuku semuanya,” ucap Danas.
Kini dia tahu mengapa suaminya membenci dan ingin dirinya menderita, hal itu pun menjadi pertanyaan bagi dirinya sendiri. Siapa adik suaminya, siapa yang membuatnya difitnah telah melakukan pembunuhan itu.
Dia berusaha untuk bangun, tapi kakinya tidak sanggup berdiri membuatnya menopang pada meja.
Marvin yang terus mengamati dari kejauhan berniat untuk menolong, tapi pria itu mengurungkan niatnya, sambil terus memperhatikan istri tuannya.
Dalam hatinya, dia merasa kasihan.
Danas duduk di tepi ranjang, menatap pria yang kini menjadi suaminya. Ketika melihat wajah pria itu dia selalu terhipnotis dengan ketampanan.
Pesona pria yang dikenalnya, sebelum pria itu membuat keluarga bangkrut sangat jauh berbeda. Pribadi yang ramah, selalu tersenyum, sosok itu tidak ada lagi dia temukan.
Hanya ada sosok yang dingin, tidak bisa di sentuh, serta kasar yang kini ditemui olehnya, sosok yang ingin sekali membuatnya menderita terus menerus.
Hatinya, tidak bisa berbohong jika masih ada secuil rasa yang mungkin akan terus menerus tumbuh jika dirinya bersama dengan pria itu.
Air matanya mengalir di pipinya, seketika di seka olehnya.
“Renata … kau di mana,” racau Langit dalam mimpi membuat air matanya seketika tidak terbendung lagi.
Dia tidak pernah membayangkan, jika pria itu memaksanya menikah hanya karena kekasihnya pergi seminggu sebelum pernikahan. Dirinya tidak membayangkan, dalam pernikahannya ada orang ketiga, atau sebenarnya dirinyalah yang orang ketiga itu.
Rasa sesak, dan air mata yang terus menerus tidak berhenti mengalir membuatnya memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar mandi dan menyalakan shower, serta mulai menangis dibawah guyuran air shower.
Tangisannya berhenti ketika terdengar suara pintu yang digedor dari luar dengan sangat kuat.
“I-iya, aku akan keluar,” serunya sambil melepaskan pakaiannya yang basah, kemudian memakai baju mandi berwarna abu-abu.
“Apa yang kamu lakukan di dalam, kenapa begitu lama membuka pintu.”
“A-aku mandi,” jawabnnya dengan terbata-bata, kemudian terburu-buru keluar dari sana membiarkan suaminya memakai kamar mandi.
Langit hanya menatap aneh pada gadis itu, sekilas pria itu melihat ke arah pakaian basah yang terlihat di sana, bahkan peralatan mandi pun tidak tersentuh sama sekali.
Tapi pria itu tidak menghirau apa yang dilakukan oleh Danas, dia lebih memilih untuk membasuh wajahnya. Sesekali dia menghembuskan nafas, kemudian mengendusnya.
Jelas tercium aroma alkohol yang kuat dari nafasnya.
Danas segera memakai pakaian, ketika melihat suaminya berada di dalam kamar mandi, dia tidak ingin pria itu melihatnya tengah berganti pakaian.
Ketika Langit keluar, mata pria itu melirik ke arah Danas yang tengah mengeringkan rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya.
Ada perasaan kesal, ketika melihat hal itu.
“Apa dia sedang menggodaku saat ini?” batinnya melihat istrinya yang tengah duduk di meja rias.
Langit berjalan mengambil air mineral di dalam kulkas, tapi matanya tidak lepas melihat Danas.
“Sial, apa aku tergoda dengannya?” umpatnya sambil membuka penutup botol dengan keras.
Malam hari, sangat ramai tapi mereka memilih untuk tidak keluar. Bahkan selama semalam, mereka tidak berbicara sepatah katapun, Langit yang sibuk dengan gadgetnya, sedang Danas yang sibuk dengan menonton tv.
Bahkan mereka pun tidur terpisah. Danas tidur di sofa, sedangkan Langit tidur di ranjang.
Mini dress, rambut tergerai, serta topi bulat adalah style yang dipakai oleh Danas saat ini. Marvin memberitahunya, jika mereka akan jalan-jalan, karena itu dia memilih pakaian yang simple dipakai. Mini dress yang digunakan pun, dibelinya tiga tahun lalu sebelum ayahnya bangkrut, tapi masih pas dipakai olehnya.
Senyuman terbit, ketika menyusuri jalanan yang dilewati oleh mereka, sedangkan Langit yang melihat hal itu berdecak kesal.
Segala tentang Danas, tidak disukainya, senyumnya, bahkan kegembiraan yang tengah dirasakan oleh Danas.
Pikirannya tengah melayang mengingat kenangannya bersama dengan Renata, gadis pujaan hatinya, memikirkan gadis itu membuatnya tersenyum dan sedih disaat bersamaan.
Setelah puas mendatangi tempat wisata, mereka pun memilih untuk beristirahat sambil mengisi perut mereka di sebuah restoran.
Danas memesan makanan menggunakan bahasa Jerman, membuat Langit dan Marvin merasa heran bagaimana gadis itu begitu lancar menggunakan bahasa Jerman.
Mengingat Danas yang sejak tadi sering mengobrol saat di jalan, membuat Marvin mengerti jika istri tuannya menguasai bahasa Jerman.
“Tuan Langit?” sapa seseorang mendekat ke meja mereka.
Danas melihat ke asal suara yang menyapa suaminya. Seorang pasangan suami istri yang tengah bergandengan tangan. Seorang pria lanjut usia, bahkan rambutnya pun telah dipenuhi dengan uban.
Langit tidak merespon, pria itu baru merespon ketika Marvin memperkenalkan pasangan itu, jika mereka adalah klien penting perusahaan mereka.
“Apa anda sedang perjalan bisnis?” tanya pria itu.
“Tidak.”
Pandangan mata pria itu terlihat ke arah Danas yang duduk di depan Langit.
“Apa dia adik anda? Aku dengar anda memiliki seorang adik, aku tidak tahu jika dia sangat cantik,” ucap pria tua itu membuat raut wajah Langit berubah. “Apa dia memiliki pacar? Jika belum, aku ingin memperkenalkan—“
“Tidak, dia istriku, bukan adikku.” Langit memotong perkataan pria itu.
“I-istri? Wah, aku minta maaf. Aku tidak tahu, jika anda telah memiliki seorang istri, dia cantik sekali, sangat cocok menjadi pendamping anda.”
Langit tersenyum paksa.
“Kami belum lama menikah, kami datang untuk bulan madu,” jelas Langit. “Benarkan sayang?” Pria itu melihat ke arah Danas membuat gadis itu ikuti tersenyum, tentunya senyum paksa.
“K-kami minta maaf, jika telah mengganggu waktu kalian. Kami permisi, silahkan nikmati bulan madu kalian,” ucap pria itu kemudian beranjak dari sana.
Danas melihat wajah suaminya yang jelas tengah emosi. Makan siang pun batal karena itu.
“Siapkan penerbangan malam ini.”
Perintahnya seketika membuat Marvin membulatkan matanya.
“A-apa anda serius, ingin kembali?”
“Ya.”
“Baik, aku akan mempersiapkan semuanya.”
Danas menundukan pandangannya, sambil mengepal erat tangannya yang berada di bawa meja.
“Kau puas, menghancurkan hidupku?” tanya Langit membuat gadis itu melihat ke arahnya.
Sejenak mata mereka saling bertemu, sebelum Danas kembali menunduk.
“Aku akan selalu salah di matamu,” batinnya.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka
Mobil Langit berhenti di depan sebuah gedung, dengan beberapa orang yang siap untuk menyambutnya. Langit menatap Danas, membuat tubuh gadis itu menegang. Seakan perlakuan pria itu padanya, membekas, dan membuat tubuhnya bereaksi ketika pria itu mengeluarkan suara berat miliknya. “Ingat, jangan lakukan sesuatu yang membuatku malu, atau kau tahu akibatnya,” ancam Langit. Danas mengangguk pelan. “Bagus, jadilah anak baik, atau kau akan tau akibatnya,” bisik Langit, lagi-lagi membuat Danas merinding dengan kalimat terakhir yang diucapkan Langit. Seseorang telah membuka pintu mobil, membuat Langit turun lebih dulu. Pria itu, seketika berdiri di dekat pintu mobil, sambil mengulurkan tangannya. Ada keraguan ketika Danas mencoba untuk meraih tangan kekar itu, bahkan Langit tersenyum padanya, membuatnya sedikit takut. Dia jelas tahu jika pria itu terpaksa tersenyum, untuk menutup segalanya, dan tidak ingin mendapatkan gosip tentang hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Langit memberik
Mata Danas membulat, ketika ada sentuhan lembut dilehernya. Pria yang tengah memeluknya mempererat pelukannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Hanya beberapa saat saja, hal itu terjadi kemudian Langit mencoba menjauhkan diri dari gadis itu dengan mendorong tubuh Danas, kemudian menariknya kembali agar masuk ke dalam pelukannya. “Apa kau sedang menggodaku?” tanya Langit. “T-tidak, aku tidak menggodamu.” “Tapi kenapa kau—“ Melihat Danas yang tengah tertunduk karena takut, membuat Langit mendengkus pelan. Ada ego yang membuatnya tidak menerima jika dirinya yang tergoda namun lagi-lagi dirinya tidak ingin mengakui hal itu. Ada rasa candu yang tengah mengebu di dasar hatinya, aroma tubuh Danas seakan tengah memikatnya untuk mencicipi tubuh ini. “Sial, kenapa dia menggodaku. Aroma tubuhnya begitu membuatku nyaman,” umpatnya. Suasana ruangan masih gelap, dengan alunan piano yang masih berlanjut, dansa pun masih belum selesai. Beberapa orang telah ikut bergabung di lantai dansa, sedang
“Apa yang kalian bicarakan?” Danas melihat ke arah pria yang tengah berada di sampingnya. Ada sedikit ketakutan di mata Danas ketika Langit bertanya padanya. “Apa kau tiba-tiba bisu, setelah tertawa begitu puas saat bersama gadis itu?” “Alexa Amareta—namanya.” “Jadi namanya Alexa.” Langit mengangguk pelan. “Dia hanya menceritakan hal lucu, itu saja.” Langit menatap gadis yang bersamanya itu, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Danas. Tatapan penuh menyelidiki. “Dia bertanya, kapan kita bertemu dan jatuh cinta tapi aku tidak menjawabnya.” “Sudah kuduga, dia pasti mendekatimu untuk bertanya hal seperti itu. Jangan bertemu dengannya lagi, dia memiliki niat buruk untuk mencari tahu tentang hubungan kita.” Danas menunduk sejenak, kemudian menoleh ke luar jendela. Perkataan Langit, menyadarkannya satu hal, jika hubungan mereka tidak layak untuk dipublikasikan pada banyak orang. Menjadi istri seorang Langit, adalah sebuah masalah untuknya, dia pun tahu itu. Di luar
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku