Share

9. Serba Salah

“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.”

Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya.

Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu.

“Ah, ternyata kau, Dav.”

Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya.

“Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas.

“Aw …” ringisnya.

“A-ada apa? Kenapa kau meringis?”

“T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar.

“Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.”

“Ya, aku baik-baik saja. Aku kurang tidur.”

Gadis berambut pendek itu hanya menganggukan kepalanya. “Jadi, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau mengambil cuti?”

“Em. It-itu—”

Danas seketika bingung, harus menjelaskan apa pada gadis yang tengah bertanya padanya saat itu. Dia ingin menceritakannya pada sahabatnya itu, tapi dia ragu, pria yang menikah dengannya adalah pria yang membuat keluarganya jatuh miskin, dan Davina tahu itu.

Karena bingung, Danas menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, membuat mata Davina membulat.

“Wow, apa ini?” tanya Davina sambil meraih tangan Danas. “Cincin pernikahan? K-kau menikah, dan tidak mengundangku?” tanya Davina dengan sedikit nada kesal di sana.

Danas melihat raut wajah berubah pada sahabatnya, membuatnya bingung harus menjelaskannya darimana apa yang dia alami. Jika dia menceritakannya, maka dia harus mengatakan apa yang terjadi padanya—semuanya.

“Em, biar aku jelaskan, Dav.

“Sudahlah, aku tidak butuh penjelasanmu. Kau menikah, tapi tidak memberitahuku, menandakan jika persahabatan kita tidak berarti.”

“T-tidak begitu, kau adalah sahabatku.”

“Sahabat? Tidak lagi, saat kau tidak memberitahuku jika kau telah menikah.” Penekanan tiap kata membuat hati Danas begitu sakit.

Davina meninggalkan dirinya, pergi menjauh.

“Bukan seperti itu, Dav. Aku ingin menceritakannya padamu, aku ingin mengatakan jika aku butuh dirimu, setidaknya saat aku berada di kampus.”

“Akan kupikirkan cara menjelaskan pada Davina, apa yang terjadi sebenarnya,” gumamnya sambil mempercepat langkah kakinya.

Dia tahu, bukan saatnya berfikir karena waktu telah menunjukan pukul 10, dan sebentar lagi kelas akan dimulai.

Dilihatnya dari kejauhan seorang pria tengah berjalan, membuatnya semakin bergegas untuk masuk ke dalam kelas. Terlambat sedikit, dia bisa saja akan mengulang semester depan.

“Huh! Hampir saja,” gumamnya saat masuk ke dalam kelas, dan dipenuhi oleh begitu banyak pasang mata yang melihatnya.

“Kau hampir terlambat, Dan.”

Hanya senyuman diberikan olehnya untuk menjawab. Dilihatnya Davina sejenak, namun gadis itu memilih untuk tidak melihatnya. Sahabatnya, tampak benar-benar marah padanya.

“Dav, biar aku jelaskan padamu,” bisik Danas, namun gadis yang berada di seberang tempat duduknya tidak merespon sama sekali.

Berkali-kali dia berusaha untuk mencoba berbicara dengan sahabatnya, namun tetap tidak mendapatkan respon sama sekali.

“Danas Cakrawala, apa yang kau lakukan sejak tadi? Apa kau ingin menggantikan aku di sini?” tegur pria yang berada di depan kelas.

Semua orang melihat ke arahnya. Tatapan aneh, apa yang dia lakukan membuat semua orang itu tidak menyukainya, membuatnya hanya bisa menundukan kepalanya melihat buku catatannya di atas meja.

“Ma-maaf pak,” ucapnya pelan.

“Lain kali jangan ulangi lagi atau kau harus keluar dari kelasku dan mengulang semester depan.”

Danas membulatkan matanya, dia tidak mungkin mengulang semester depan. Dia bersusah payah untuk menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin dan mencari pekerjaan, jika dia mengulang maka semua usahanya akan sia-sia.

Lagi-lagi dia menundukan pandangannya sejenak, kemudian melihat ke arah dosen yang tengah berdiri menatapnya dengan dingin, sejak tadi.

“Ba-baik pak, aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Selepas kelas selesai, semua orang bertanya pada Danas, namun dia tidak menghiraukan segala pertanyaan yang diberikan padanya, dia hanya ingin berbicara dengan Davina.

Bisik-bisik terdengar, saat

“Dav … Dav …” panggil Danas, namun gadis yang dipanggilnya tidak menghiraukannya.

“Hei, kalian bermusuhan?” tanya seseorang.

“Hanya salah paham.”

Beberapa hari ini, menjadi hari yang sangat berat untuknya, tidak ada satupun hal baik menurutnya, dan ketika dia pulang, semuanya akan berubah, rumah yang seharusnya melindungi, tetapi nyatanya adalah neraka yang tengah menunggunya dengan hal baru.

Danas hanya membolak-balikkan halaman buku, yang tengah dibaca olehnya. Perkataan Langit semalam membuatnya tidak berhenti berpikir, apa yang telah dia lakukan, kenapa suaminya itu mengatakan dia seorang pembunuh.

“Apa yang aku lakukan?” gumamnya kecil. “Siapa yang kubunuh?” gumamnya lagi.

Lamunannya terhenti, ketika ponselnya bergetar, menampilkan sebuah nama di sana.

“Langit memanggil”

Melihat nama itu di layar ponselnya sontak membuatnya terperanjat kaget, membuat kursi yang diduduki, bergeser ke belakang.

“Tolong, jangan berisik. Ini perpustakaan.”

“A-aku minta maaf,” ucapnya sambil merapikan bukunya dan buru-buru pergi dari sana.

Dia tidak percaya, hari ini dia begitu banyak melakukan kesalahan. Bermusuhan dengan sahabatnya, ditambah dengan kejadian di kelas dan perpustakaan, dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia pulang nanti, mengingat wajah Langit membuatnya tubuhnya menegang karena ketakutan.

Di perjalanan dia tengah melamunan, membuatnya menabrak seorang pria.

Buku-bukunya berserakan di mana-mana.

“M-maaf, aku tidak sengaja. Aku tidak melihatmu,” kata Danas dan orang yang ditabraknya secara bersamaan.

Danas sibuk dengan buku-bukunya yang berserakan, dibantu oleh pria yang ditabraknya itu.

“M-maaf, aku terburu-buru,” kata Danas meminta maaf.

“Aku yang harusnya minta maaf,” kata pria itu sambil menyodorkan sebuah buku pada Danas.

Danas mengambil buku itu, dan menaruhnya di bagian atas.

“Em. Boleh aku bertanya sesuatu, apa kau mengenal Davina Rahwani?”

Danas melihat ke arah pria yang tengah mengajaknya bercerita itu. Seorang pria dengan pakaian rapi. Kemeja berwarna abu-abu, celana drill hitam, rambut sedikit acak-acakan, dengan lengan baju yang dinaikan sampai siku.

“Maaf, apa anda tidak bisa mendengar apa yang aku katakan?” tanya pria itu, namun tidak ada respon dari gadis di depannya. “Ah, maaf, anda tunarungu rupanya,” kata pria itu sambil memakai bahasa isyarat.

“Kau mencari Davina?” tanya Danas yang telah sadar dari lamunannya. Pria itu menganggukan kepalanya. “Dan ak-aku orang normal,” kata Danas membuat pria itu seketika minta maaf. “Aku melihatnya saat kelas selesai,” kata Danas lagi. ”Maaf, aku harus segera pergi,” kata Danas sambil bergegas meninggalkan pria itu.

Ponselnya bergetar terus menerus, menampilkan satu nama yang membuatnya begitu ketakutan, dan ingin segera kembali ke rumah.

“Kenapa tidak mengangkat telponku?” Sebuah suara membuatnya terkejut.

Matanya sedikit membulat dengan tubuh menegang ketika melihat seorang pria yang tengah berada di dalam mobil, menatapnya dengan tatapan dingin, dan ingin mencengkramnya itu.

“A-aku—”

“Masuk,” titah Langit.

Danas tidak beranjak dari tempat duduknya, namun mematung. Bagaimana tidak, suara pria itu begitu membuatnya ketakutan.

“Apa yang kau tunggu, bukankah aku menyuruhmu masuk ke dalam mobil?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status