Share

Komitmen

Detik-detik berdetak begitu lambat, seolah-olah slow motion mode on dalam sebuah adegan film. Kenzy masih menunggu jawaban atas ajakannya tadi. Sejujur-jujurnya kukatakan, aku mau tapi takut. Kenzy malah tertawa terpingkal-pingkal, terjungkal-jungkal menciptakan gugup. Terlalu gugup, sehingga aku menuduhnya seperti ini di dalam hati, "Tuh kaaan, apa kubilang? Kenzy pasti ingkar janji?

"Kok, tertawa?" tanyaku sambil menarik keranjang roti, "Ada yang lucu?"

Hampir delapan bulan hidup bersama, tapi belum pernah aku melihatnya tertawa selepas ini. Apalagi sampai memberikan tatapan yang menyenangkan, nggak memicingkan mata seperti biasanya. Aneh, kan? Apa dia benar-benar serius, mengajakku makan malam?  Eh, jangan-jangan, ada udang di balik batu? Oh ya, jelas, dia sedang mabuk. Apalagi?

Roti tawar sudah selesai kumasukkan ke dalam keranjang dan sekarang sudah tersusun rapi. Berdasarkan urutan Expired Date. Sejak hari pertama kami di sini, Kenzy mengenalkanku pada Boeren Volkoren. Jadi, roti tawar itulah yang kami konsumsi setiap hari. Semacam favourite bread lah, walaupun Menurut Elize itu roti untuk petani. Heran juga sebenarnya, mengapa Kenzy menyukai roti itu namun aku sudah terlanjur suka. Nggak bisa berpindah ke lain roti. Hihi.

"Kamu mau kan Nya, makan malam sama aku?"

Kenzy memasang wajah memohon-mohon, "Lagian, emang salah ya, kalau sekali-kali ngajak makan malam istri sendiri?"

'Wekawekaweka, sejak kapan dia sadar kalau sudah punya isteri?' batinku kesal sambil menyurukkan keranjang roti ke dalam rak makanan. Kulihat Kenzy mengalihkan pandangan ke keranjang buah yang masih kosong, meraih sekantong plastik buah segar dan menatanya satu per satu di sana. Sekilas kuperhatikan, rapi juga tatanannya. Hampir sama dengan caraku menata buah.

Pisang selalu menjadi penghuni pertama keranjang, baru kemudian apel, pir, jeruk ... Bedanya, Kenzy nggak menyusun berdasarkan kelompok buah. Jadi, apel berjajar dengan jeruk atau pir, campur-campur. Aku sengaja nggak mengoreksinya. Karena apa? Seumur pernikahan kami, baru kali ini dia peduli---untuk alasan apapun itu---dengan yang namanya keranjang buah. Biasanya mah, bodo amat!

"Anya?" 

"Hemmm, ya?"

"Dinner?"

Berat hatiku untuk mengatakan iya, jujur. Dalam hati terus bertanya-tanya, mengapa harus di Den Haag?  Bisa kan, di rumah saja? Oke, kalaupun ingin makan malam di restoran, bisa kan, yang di sekitar sini saja? Chinese Restaurant, misalnya? Itu, yang di kooper mollen?

"Let's see!" jawabku ragu-ragu setelah dia mencolek pipiku yang sedikit dingin karena berkeringat, "Ya, let's see!"

Kenzy tersenyum lebar sambil meraih beberapa helai pucuk rambutku yang tergerai ke depan, "Cantik!"

Dug!

Begitulah bunyi detak jantungku, saat Kenzy memuji rambut panjang sepinggangku. Rasanya, oooh, rasanya seperti diterbangkan ke langit biru. Saat itu, benakku mulai dijejali oleh banyak hal, banyak sekali. Salah satunya  kalimat pengandaian yang berisi andai Kenzy bukan pemabuk, pemuja wanita penghibur ataupun zat addictive lover ... He is handsome, really. Andai juga dia bukan penggemar  kegiatan begadang yang bagiku sangat sangat sangaaat melelahkan bahkan hanya untuk dibayangkan. Mungkin, mungkin aku nggak akan sekuat ini berjauhan terus darinya. Nggak akan setabah ini menghabiskan hampir dua puluh empat jam seorang diri, di benua Eropa. Tepatnya, Leiden the Netherland.

Sebenarnya, inti dari yang baru saja kuceritakan adalah aku gadis normal yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Satu-satunya hal yang kadang membuatku hampir frustrasi dan menyerah, kalau kalian ingin tahu, Kenzy yang cuek bebek mandi di kali. Nggak peduli sama sekali denganku. Terlalu saklek dengan komitmen yang kami buat sebelum menikah dulu.

Papaku dan papanya sudah sama-sama sepakat untuk menikahkan kami, apapun yang terjadi. Karena hanya dengan jalan itulah masing-masing bisa melanjutkan kehidupan di dunia ini dengan tenang dan bahagia. Apalagi aku tahu persis, bagaimana kondisi perusahaan papaku waktu itu. Lebih dari bangkrut, habis-habisan. Kritis.

Benar, itu risiko yang harus ditanggung Papa, sebagai seorang entrepreneur. Tapi, siapa yang dapat menduga sebelumnya kalau risiko itu bisa memberikan dampak yang sangat fatal? Mama terkena heart attack dan dinyatakan meninggal begitu sampai di rumah sakit. Oh, ooohhh, rasanya benar-benar kiamat waktu itu.

"Are you crying, Girl?"

Kenzy mendongakkan wajahku, "Hei, what's happening? Kalau kamu nggak mau pergi makan malam juga nggak apa-apa, tapi jangan nangis!"

Diberikan secuil perhatian seperti itu, entah mengapa, air mataku justru semakin deras mengalir. Seperti hujan di bulan Desember, menyesakkan dada. Sejujurnya, aku rindu Papa. Sebelum menikah dengan Kenzy, belum pernah kami terkisah dalam long distance relationship seperti ini. Apalagi, yaaah, kami sangat dekat. Bahkan sampai kebutuhan men's pad-ku setiap bulan, Papa yang selalu care. Bisa kalian bayangkan kan, bagaimana dengan semua kebutuhan yang lain?

Kenzy masih mendongakkan wajahku, memandang dengan sorot mata yang berbeda, entah apa artinya. Dalam hati, sempat terlintas sebuah pertanyaan lugas, apakah dia mengkhawatirkanku? Tapi, tentu saja segera menepisnya jauh-jauh karena tahu persis bagaimana dia. Seorang Kenzy Van Snoek, pria dewasa yang sudah sah menjadi suamiku baik secara Agama maupun Negera, pria yang dingin dan tak acuh.

"Anyelir,"

"Ya?" 

"Are you OK?"

"As you can see!"

Anyelir. Kalau Kenzy memanggilku dengan nama itu, berarti dia sedang serius. Nggak sedang berpura-pura atau semacamnya tapi sekarang aku sudah baik-baik saja lagi. Nggak perlu membahas apa-apa lagi, termasuk ajakan makan malamnya. Dia sendiri kan yang mengatakan, nggak apa-apa nggak makan malam?

***

Yes, yes!

Mungkin, inilah yang disebut dengan the power of love. Baru saja Papa video call aku. Waaahhh, rasanya luar biasa. Lebih dari mendapatkan kado ulang tahun, berlipat-lipat. Papa terlihat sehat dan bahagia. Dia sedang di kantor tadi, di ruang kerjanya. Sumringah, dia menunjukkan bagian-bagian ruang kerjanya yang tertata super duper rapi dan bersih cling. Di mejanya, ada bingkai foto kami bertiga, foto waktu kami berlibur di Bali. Aku ditengah, Mama dan Papa sama-sama merangkulku dari samping. Kami sama-sama tersenyum dalam foto itu, senyum bahagia. Di balik sunglasses-nya mata Mama terlihat berbinar-binar.  Begitu jugu dengan mata kami.

Ahhhh, kenapa yang namanya kenangan itu selalu lebih berarti dari pada kenyataannya dulu? Kenapa selalu lebih berharga. Hik, hiks, hiiiksss ... Andai bisa memutar waktu kembali, andai Mama nggak secepat ini pergi. Oh, ooohhh, andai perusahaan Papa nggak bangkrut total sampai mati suri.

"Anyelir, baik-baik di sana ya?" kata Papa di penghujung video call kami, "Jaga dirimu baik-baik ya, Anyelir?"

Aku menatap lekat-lekat wajah Papa yang terlihat semakin menua, "Ya, Pa. Papa juga ya, sehat selalu di sana? Jangan jadi workaholic lagi ya, Pa?"

Soal pekerjaan, Papa memang luar biasa. Seolah-olah mesin yang tak mengenal lelah. Memang sih, Papa selalu memperhatikan kesehatannya tapi kan, aku khawatir juga. Apalagi sekarang ini hanya tinggal bertiga di rumah, bersama Mbah Mi dan Pak Arkan. Itu, pembantu dan supir yang sudah puluhan tahun bekerja di rumah.

"Tenang saja Anyelir, Papa bisa jaga diri." sahut Papa menciptakan sebentuk ketenangan di hatiku, "Gimana Anyelir, kapan kira-kira Papa bisa menimang cucu?"

Oh, nooo, selalu itu yang ditanyakan Papa. Hik, hiks, hiiiksss andai Papa tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Apa yang sebenarnya kami sepakati dalam pernikahan kami. Ooohhh, andai Papa tahu, kami bahkan belum pernah tidur bersama di salah satu kamar di rumah ini.

"Belum tahu, Papa. Doakan saja ya, Pa?"

Itu jawaban yang kuberikan hanya untuk menyenangkan hatinya, "Enggg, Anyelir masih harus menyelesaikan berbagai les di sini, Pa. Alhamdulillah, kemarin sudah lulus les bahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Nah, mulai bulan ini, Anyelir harus ikut les yang terampil dan mahir, Pa."

Bukan alasan yang bagus sebenarnya, tapi aku nggak punya alasan lain yang lebih rasional. Lagipula, selain soal komitmen---di belakang layar---bersama Kenzy, aku nggak ingin berbohong lagi pada Papa. Cukup yang itu saja, bohong putih?

Papa tersenyum mendengar jawabanku tadi lalu mengacungkan dua jempol, pertanda mendukung dan bangga padaku. Lihatlah, kulit wajah Papa memerah muda, oleh karenanya. Aku sampai deg-degan untuk beberapa saat lamanya. Berarti, Papa jujur dengan senyumannya. Bukan hanya sekadar kamuflase belaka. Anyway, apakah papa Kenzy juga memiliki impian yang sama dengan Papa? Menimang cucu.

Seperti biasa, video call kami berakhir dengan ciuman jarak jauh dan mantra cinta, I love you too forever. Bergantian, kami mengucapkan itu ekspresi masing-masing. Aku, sambil meneteskan air mata. Ohhh, Papa! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status