Share

Menenangkan Diri

Sumpah, meskipun sudah membaca Pippi Longstocking karya Astrid Anna Emilia Lindgren---secara acak---dan Love, Star Girl karya Jerry Spinelli---juga secara acak---nyatanya perasaanku belum membaik juga. Rasanya seperti selembar kertas yang disobek dengan kasar oleh seseorang karena berulang kali typo, diremas-remas hingga membentuk bola lalu dilemparkan begitu saja ke tempat sampah. Plung dan hilang. Tenggelam di antara sekeranjang sampah yang lain. 

Yeaaahhh, andai selembar kertas memiliki perasaan, sih! 

Ummm, sepertinya aku membutuhkan sesuatu selain buku, deh?  Itu, untuk menghapus jejak dan bayangan Marcella dari ingatan yang mulai over loaded. Saloon and Spa, shopping, gardening atau berjemur di pantai?  Tapi, masa sendiri, sih? Ahaaa, aku tahu, aku tahu! Es krim. Titik. 

Segera, aku mengemasi tiga novel berbahasa Inggris yang mau kupinjam ke dalam keranjang sewa. Menyiapkan Bibliothek Kaart (Kartu Perpustakaan) dan melangkah gontai menuju meja peminjaman. Entahlah, rasanya pertanyaan tentang Marcella semakin padat di benakku. Siapa dia, siapanya Kenzy? Mengapa matanya langsung berkaca-kaca, nyaris meneteskan air, ketika tahu Kenzy nggak ada di rumah? Normalkah itu untuk ukuran seorang teman? Hei, tadi itu Kenzy membuat janji dengannya, ya atau apa? 

Bukan hanya itu, bahkan  bayangannya pun berani membuat keributan denganku. Semakin kuat aku mengusirnya, semakin kuat pula ia berdiri di sana. Dengan angkuhnya membelah diri menjadi puluhan Marcella. Nah, seperti kepingan puzzle yang terlepas dari papannya. Berserakan di pelataran hati. 

Rambut yang kuning mengkilat, bentuk wajah bulat telur, lesung pipit di pipi kiri, senyum miring sehingga dahunya terlihat membengkok ke kanan ... Semuanya, terutama matanya yang sebiru mata boneka bayi bule. Mengganggu, tentu saja. Sangat menganggu, kalau aku boleh mengakuinya dengan jujur. 

"Do you speak in English or Dutch, Miss Anye Anyelir?" Petugas perpustakaan itu menyapaku dengan keramahan level sepuluh yang kujawab dengan sangat singkat, "English." 

Nggak adil sebenarnya, jika dibandingkan dengan segala keramahannya, tapi bagaimana lagi? Aku sedang nggak mood bahkan untuk sekadar berbasa-basi. Sepertinya, pilihanku tadi pagi salah besar. Perpustakaan dengan ribuan buku yang tersusun rapi itu justru membuatku terjajah oleh Marcella. Bukan salah perpustakaannya, tentu saja.

Dia, yang di badge-nya tertulis nama Ariane itu tersenyum lebar kepadaku, "Hellooo, Miss Anyelir, what can I do for you?" 

Seperti sebelumnya, aku hanya menjawab, "May I borrow these books, please?"

Tanpa menunggu jawaban, aku mengangsurkan tiga buku yang sudah sejak lama ingin kupinjam kepadanya. S.O.B It karya Sarah Week dan dua buku yang tadi kubaca secara acak di ruang baca. Oh my God, aku sampai lupa, apakah tadi sempat mengulas senyum atau tidak. Kaku sekali, rasanya. 

"Thanks," ungkapku, begitu Ariane selesai mencatat buku-buku yang mau kupinjam di komputer dan mengangsurkannya kembali padaku, "See you, Ariane!" 

"You are welcome, Miss Anye Anyelir!" sahutnya masih di level sepuluh untuk keramahannya, "See you soon and have a nice day!" 

Tanpa berkata-kata, aku meletakkan keranjang buku di sisi sebelah kanan meja peminjaman. Memasukkan buku-buku yang tersampul plastik dengan rapi itu ke dalam tas kain yang bertuliskan I Love Malioboro dan melangkah ke luar. 

Byuuutttzzz!

Angin musim semi menerpa wajahku dengan sempurna begitu sampai di trotoar yang menghubungkan perpustakaan dengan speltuin (taman bermain) yang ramai dikunjungi oleh anak-anak. Beberapa orang dewasa, kulihat, duduk-duduk santai di bangku kayu. Memandang ke arah mereka dengan wajah cerah ceria. Melambaikan tangan atau tertawa bahagia, mendukung kegiatan bermain mereka. Ah, senangnya jadi anak-anak?  Bebas. Menangis dan tertawa dengan lepas. 

Kecuali aku, sih. Masa kanak-kanakku, tentu saja nggak seceria mereka. Nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Mama nggak pernah mengajakku jalan-jalan atau semacamnya. Dia lebih mementingkan bisnis perhiasan dan sosialitanya, tentu saja. Bisnis, arisan. Bisnis, arisan ... Aku? Jelas, nggak tersisih satu bangku pun untukku di hatinya. Sampai akhirnya aku tumbuh menjadi remaja dan trararaaa ... Hik, hiks, hiiiksss noktah hitam itu tertera jelas dan jahat di buku diary-ku. Mama meninggal karena heart attack, perusahaan Papa bangkrut parah. 

Bruuukkk! 

Tanpa kusadari, aku menabrak seseorang di depan pintu masuk speltuin, hingga sama-sama terjatuh. Sakitnya nggak seberapa, malunya luar biasa. Bagaimana nggak, aku menindih tubuhnya? 

"Oooh, sorry ...?" pintaku sambil berusaha bangkit, "Sorry, ooohhh?"

Laki-laki yang kutaksir umurnya sepantaran dengan Galih itu meringis kesakitan, "My head, my head!" 

"Aaauuuhhh, where sick?" tanyaku diiringi dengan perasaan bodoh, "Are you OK?"

Sekian detik kemudian, dia bangkit dan berdiri di depanku. Wajahnya masih merah, begitu juga dengan matanya yang berair. Oh my God, apa yang telah keperbuat?  Sepertinya orang ini serius. Ohhh, please, jangan sampai dia cidera gara-gara aku!

"I am so sorry, ummm ...?" katanya sambil mengulurkan tangan yang kuterim dengan perasaan khawatir dan takut, "My name is William. May I have your name, please?" 

"Anya," sebutku berusaha untuk ramah lalu melepaskan jabatan tangannya yang dingin, sambil memastikan smartphone tersayang nggak lecet sedikit pun, "I am really sorry, William. I didn't ...?"

Ya ampuuun, aku meletakkannya di tas bagian depan! Ah, semoga dia baik-baik saja. Gemetar, aku merogoh ke dalam tas dan menggapai-gapai. Itu dia, kalau dari sentuhannya sih, masih utuh seperti sedia kala. 

"Sorry?" kata William mengejutkan sekaligus mengutuhkan kesadaranku, "What is your name?" 

"Oooh, sorry. My name is Anya, Anyelir." jawabku sambil mengolak-alik smartphone dan tersenyum lega, karena apa yang kekhawatiran tadi nggak terjadi sama sekali. 

"Anya, Anyelir? What a beautiful name!" 

Aku diam, nggak menjawab. Sebenarnya sempat tergelitik juga untuk menjelaskan kalau Anya itu nama panggilan, tapi kuurungkan. Nggak terlalu penting juga. Ya ampuuun, kami kan hanya kebetulan bertubrukan dan sama-sama terjatuh. Mungkin, sama-sama sedang bad mood? I don't know. 

"How do you feel?" aku mengamati seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut, "Are you OK?" 

Sepertinya sih, sudah lebih baik. Sudah nggak meringis-meringis kesakitan lagi. Lihatlah, bahkan dia tersenyum manis ke arahku. Iya, aku yakin kalau dia seumuran dengan Galih. By the way, kok bisa kebetulan begini, ya? Aaahhh, tapi kan Kenzy sudah kehilangan seluruh perasaannya. Masa dia cemburu hanya karena melihat aku bersama William, sih? Hellooo, aku kan nggak mau bertubrukan juga. Sakit lho, malu juga. Sangat malu. 

William menyodorkan semacam kartu nama padaku, "Would you like to save it, Anyelir? My all social media are written there. Contact me for your best friend, please?"

Atas nama kemanusiaan perilaku baik, aku menerimanya dengan memasang wajah senang. Yeaaahhh, andai saja rasa senang itu bukan sekedar khayalan untuk saat ini, betapa ringannya jalan napasku. 'Marcella, who are you exactly?'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Heru Jatmiko
good........, ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status