Share

07. Musuh dalam selimut

Lusiana membuka mata nya, namun ia hanya mendapati kegelapan. Ia juga kesulitan bernafas karena oksigen yang terbatas. Ia menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi duduk dan kepalanya berada di dalam plastik berwarna hitam. Ia dapat mencium bau cokelat dari plastik tersebut. Lusiana mencoba untuk membuka ikatan di tangannya. Namun ia mendengar suara langkah yang makin mendekat.

"Sudah ku bilang, anak itu bodoh."

Lusiana dapat mendengar suara wanita yang terdengar sedang menelepon seseorang karena tak terdengar suara siapapun selain dirinya.

"Tidak, ayah pasti akan membunuhku jika ia tau aku menculik seorang dokter."

Wanita tersebut tertawa, entah menertawakan apa bersama orang di seberang sana.

"Aku menculik dokter Lusiana. Wajahnya sangat manis, apakah darahnya juga manis seperti cokelat?"

Lusiana menelan saliva nya dengan susah payah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahi nya. Lusiana merasakan sosok itu mulai mendekati nya. Ia pun memejamkan matanya berpura pura masih belum dasar. Tak lama kemudian, plastik yang membungkus kepala Lusiana terbuka. Ia dapat merasakannya saat pandangan yang semula gelap mulai sedikit warna karena terpapar sinar dari lampu disekitarnya.

"Hei dokter, bangunlah!" Seru sosok tersebut.

Lusiana masih terus memejamkan matanya. Sosok itu pun menarik salah satu kursi dan duduk tepat di hadapan Lusiana.

"Buka matamu. Aku tahu kau sudah sadar." Ujar sosok tersebut.

Lusiana pun perlahan membuka matanya. Pandangannya buram karena terlalu lama menutup matanya. Lusiana mengerjap hingga pandangannya menjadi jernih. Ia dapat melihat sosok wanita yang cantik. Sangat cantik hingga ia tidak menyangka bahwa wanita tersebut adalah sosok yang ia temui di rumah sakit saat kejadian pada malam itu.

Wanita itu tersenyum lebar. "Apa kabar, dokter Lusiana? Kau tidak sadarkan diri selama tiga jam."

Lusiana masih terus merapatkan mulutnya tanpa berniat menjawab.

"Aku Xenovia Cornels. Sosok yang kau cari selama ini. Maafkan aku karena telah menyusahkanmu. Aku akan menyerahkan diriku karena aksi ku sudah terlihat oleh mu." Lanjut Xenovia.

Xenovia meraih ponsel dari sakunya dan menunjukan sebuah foto. "Aku tidak suka aksi ku terlihat orang lain."

Lusiana melihat sosok yang ia kenal di dalam foto tersebut. Ia adalah sosok penjaga ruang jenazah yang di bawa oleh wanita misterius.

Lusiana menatap Xenovia dengan wajah marah. "Kau.. kau.. membunuhnya?"

Xenovia menggeleng. "Mmm.. No. Aku tidak membunuh laki laki tua yang sudah tidak berdaya seperti itu."

Kemudian Xenovia menggeser layar ponselnya. Menampakan sosok wanita mengenakan Cartwheel Hat yang tengah membedah perut pria penjaga ruang jenazah. Kemudian Xenovia menggesernya lagi, wanita di foto nampak tengah memasukan coklat yang telah di lelehkan ke dalam perut pria tersebut. Xenovia lagi lagi menggeser layarnya. Namun foto kali ini mampu membuat Lusiana memuntahkan isi perutnya. Di dalam foto tersebut terlihat wanita itu tengah memakan coklat yang berada di dalam perut pria tersebut. Coklat bercampur darah? Umm.. pasti terasa sangat nikmat.

"Kejam!" Pekik Lusiana.

Xenovia mengangguk setuju. "Yap. Sekarang wanita di dalam foto itu menginginkan dirimu. Apa yang harus aku lakukan?"

Lusiana merasakan tubuhnya melemas. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Xenovia berjalan ke belakang Lusiana. Kemudian wanita itu berbisik.

"Mati di tanganku lebih menyenangkan dari pada mati di tangannya, dokter."

~~~

Tepat pukul 8 malam di San Fransisco, suasana sedang memanas. Sudah lebih dari delapan orang lansia di sekitar Howard Street tewas dengan mengenaskan. Lion selaku kepala kepolisian merasa tidak tenang, ditambah warga sudah mulai mendesaknya dengan beberapa laporan yang sangat serius. Bahkan beberapa dari mereka melaporkan bahwa pembunuh tersebut kini mulai bergerak ke arah jalan Castro Street. Lion pun mau tak mau memaksa tim investigasi untuk menyisir kawasan Castro Street di pimpin oleh Maxim Leargo yang baru saja kembali dari tugasnya di kota Washington Dc.

"Selamat malam, Sir." Ujar Max sambil membuka pintu.

Lion mengangguk. "Ya, silakan masuk."

Max duduk di kursi yang telah di sediakan. Wajah Lion nampak sangat kacau saat ini. Bawah matanya sudah menghitam, bibir yang pucat dan rambut yang acak acakan.

"Apa tidak ada waktu untuk merapihkan diri?" Tanya Max.

Lion hanya menggeleng. "Sulit. Banyak sekali laporan yang datang dari warga sekitar."

Max mengangguk. "Bagaimana kinerja Jean selama di Howard Street?"

Lion menghela nafasnya. Ia tak bisa mengatakan apapun karena nyatanya memang masih belum ada kinerja yang terlihat. Selama mereka berpatroli di Howard Street, pembunuhan tetap saja terjadi. Bahkan salah satu anggota kepolisian ikut tewas dengan mengenaskan.

"Bukankah kita harus melibatkan Tim SWAT untuk kasus kali ini?" Tanya Max

"Tim SWAT saat ini tengah di tugaskan di kota Chicago." Jawab Lion.

Max mengernyitkan dahinya. Mengapa tim SWAT di kirim ke kota Chicago jika pembunuhnya berada di San Fransisco. Sepertinya ada kesalahan dalam pemberian tugas tersebut.

"Bagaimana jika aku memerintahkan tim SWAT untuk kembali, lalu aku akan bertukar ke kota Chicago?" Ujar Max.

Lion meng-iyakan saran dari Max. Namun baru saja Max ingin menghubungi Franco, mereka melihat sesuatu di saluran berita. Terjadi penyusupan di Chicago Lakeshore Hospital pada kemarin malam. Lion menyadari bahwa rumah sakit tersebut adalah tempat dimana dokter Lusiana berada. Franco dan Tim SWAT terlihat di layar televisi. Mereka nampak tengah melakukan investigasi di kawasan tersebut. Hal itu tentu saja tidak memungkinkan untuk memanggil mereka kembali ke San Fransisco.

Akhirnya Max pun menerima tugas untuk menyisir kawasan Castro Street. Max meninggalkan ruangan tersebut saat Lion sudah menjelaskan tugasnya.

~~~

"To..long.." ujar seorang pria di tengah kegelapan kota San Fransisco.

Pria itu merangkak di sebuah jalan sempit. Ia tidak bisa menggunakan kaki nya untuk berdiri. Darah mengalir dari kadua kakinya yang ternyata sudah terpotong. Dengan sisa tenaga yang ada ia terus melolong meminta pertolongan. Namun suara sirine polisi meredam suaranya hingga tak seorang pun datang menolong.

"Perlahan.. rasakan.."

Pria itu semakin panik saat mendengar suara yang begitu familiar di telinganya.

"Tidak!!" Pekik pria tersebut.

Namun sedetik kemudian, sosok yang ia takuti sudah berada tepat di hadapannya. Sosok itu ternyata adalah serigala berbulu domba. Tanpa berlama-lama, sosok itu menyeret kedua tangannya menuju sebuah jalan buntu. Pria tersebut tidak bisa berbuat apa apa selain berteriak walau ia tau takkan ada yang bisa mendengarnya saat ini.

"Suatu saat nanti kau pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal!" Ujar pria tersebut saat sosok di hadapannya mulai mengacungkan pisau tepat di lehernya.

"Menangislah.. aku akan melepaskanmu." Ujar sosok tersebut sambil berjongkok di hadapan korbannya.

Pria itu mendecih dan meludahi wajah sosok menakutkan di hadapannya. Sosok tersebut mengusap wajahnya dengan kasar kemudian menusuk sebelah mata pria tersebut dengan pisau di tangannya. Pria tersebut berteriak histeris.

"ARRRGHH!! BRENGSEK KAU JEAN!!"

Sedangkan sosok di hadapannya hanya menatap sendu korbannya yang sudah berlumuran darah. Sosok itu mencabut pisau tersebut dan kembali menusukan benda tajam tersebut di sebelah mata korbannya. Kini kedua mata korbannya sudah hancur. Sosok itu berdiri dan membiarkan pisau menancap di sebelah mata korbannya. Sosok itu memejamkan mata dan mendoakan korbannya.

"Semoga tuhan menempatkanmu di neraka terdalam."

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status