Share

Cinta yang Tak Diundang
Cinta yang Tak Diundang
Penulis: Mbak Kopi

Prolog

"Jangan mendekat atau aku akan membunuhmu!" ucap seorang gadis dengan nada bergetar takut.

 Mata sipitnya menatap tajam ke arah sekumpulan pria berbaju hitam yang perlahan kian mengikis jarak dengannya. Tubuh gadis itu sudah membentur tembok, dia terjebak di sana. Tidak ada celah untuk melarikan diri. 

Seringaian ganjil menjadi momok mengerikan bagi si gadis. Berteriak pun akan terasa percuma, ini sudah larut malam, di saat seperti ini tidak ada satu pun orang yang akan melewati gang sempit nan gelap seperti itu. 

"Ahaha, kalian dengar teman-teman? Gadis cantik ini akan membunuh kita. Oh, mengapa tiba-tiba aku merasa merinding?" ledek pria berjanggut tipis yang memiliki rambut panjang terikat.

"Aku rela mati setelah bersenang-senang dengannya," ungkap pria lainnya yang tak kalah menyeramkan. Gelegar tawa pun terdengar. 

"Oh Tuhan, kumohon selamatkan aku," batin si gadis, mengucap doa di sela khawatirnya. 

"Jangan macam-macam! Sebaiknya kalian segera pergi dari sini!"

Gertakan yang dilakukan sang gadis, tidak mendapat respon apa pun. Hanya membuat mereka kian menyeringai keji. 

 "Aku tidak bercanda, sekarang juga aku akan segera menelpon polisi," ancamnya dengan ragu, membuat keempat pria matang itu malah terkekeh geli lalu naik tingkat menjadi tertawa lepas. 

"Lakukan apa pun yang bisa kau lakukan, Nona. Kami sama sekali tidak akan menghalangimu. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, tidak akan ada seorang pun yang bisa menghalangi hasrat kami untuk bermain denganmu," sahut salah satu lelaki itu dengan seringai bengisnya. 

Mereka dengan kejamnya memanfaatkan situasi yang tidak menguntungkan bagi si gadis. Situasi di mana ia seakan-akan seperti kelinci yang akan disantap serigala. 

Sang gadis terus melangkah mundur, meski hal itu sia-sia karena mereka juga akan melangkah maju untuk menggapai gadis malang itu. Namun, sang gadis tetap berusaha kabur, walaupun hanya suatu perbuatan yang percuma, ia tidak akan dengan mudah membiarkan mereka mengambil kehormatannya. 

Ia akan mempertahankan harga dirinya, meskipun kemungkinan berhasilnya hanya satu persen, ia tidak akan menyerah. Yang sangat diharapkannya adalah Tuhan mengirim seseorang untuk menolongnya.

 "Ah, aku sudah tidak sabar. Kau terlalu banyak basa-basi dan aku tidak suka itu." Satu dari keempat pria itu mendekatkan dirinya ke arah si gadis. Tatapan bajingan itu sudah tampak seperti macan buas yang siap menerkam korbannya hidup-hidup.

Pria itu mengarahkan tangan ke depan, berniat menyentuh pipi mulus sang gadis cantik. Akan tetapi, sungguh disayangkan ia tak berhasil melakukannya. Gadis itu menangkis tangan si pria dengan kasar. Ia bahkan dengan beraninya menampar wajah sang pria itu, tanpa memikirkan akibat yang akan ia terima. 

Pria itu terdiam. Ia langsung memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan gadis cantik di hadapannya ini. 

"Hahaha, kau sangat berani, ya. Tangan halusmu sangat kurang ajar terhadapku, tapi tak mengapa karena kau akan mendapatkan balasannya pula. 

Plak!

Pria itu menampar balik si gadis hingga sudut bibirnya berdarah. Darah dibalas darah, nyawa dibalas nyawa! Prinsip itu telah tertanam kuat di dalam otaknya. 

Mereka yang menyaksikan di belakang, hanya tersenyum miring, walau pada awalnya sempat kaget karena aksi berani sang gadis. Namun, melihat pembalasan sang bos membuat mereka menyeringai senang. 

"Drama yang bagus," celetuk salah seorang di antara mereka. 

Sang gadis kembali ingin menampar pria yang di depannya, tertanda dengan tangan mulusnya yang telah terangkat melayang. Akan tetapi, hal tersebut gagal karena si pria itu lebih dahulu memerangkap tangannya. 

 "Hah, jalang sialan! Kau membuat kesabaranku habis," umpat bandit itu menggertakkan giginya.

 "Kau memang sangat merepotkan! Cuih," lanjutnya, tersulut emosi. 

"Kau pria brengsek! Sampai kapan pun aku tidak sudi berurusan dengan orang seperti kalian!" bentak gadis itu masih memiliki sisi berani yang terbilang nekat. Perlawanannya bagaikan menyemburkan bensin ke arah api. Bukannya padam, justru api itu semakin membesar. 

"Selain seksi, bibirmu sangat pedas ternyata. Ahhh, aku tidak sabar untuk menggigitnya." 

Tanpa ba bi bu pria itu menyerang Fidella—nama gadis itu secara beringas. Pria lainnya hanya menjadi penonton setia, membiarkan sang bos menikmati mangsa mereka terlebih dulu. Baru setelahnya bagian mereka akan tiba, itulah peraturannya.

Sekuat tenaga Fidella menahan wajah si pria yang sedang berusaha menciumnya penuh paksaan. Fidella berteriak, bahkan menjerit histeris. Ia berharap Tuhan segera mengirim bala bantuan untuk menyelamatkan harga dirinya yang terancam noda. 

"Tolonggg, arghh, tolonggg!" teriak Fidella seraya memiringkan wajahnya ke arah yang berlawanan dengan pergerakan wajah pria sialan itu. 

Teriakan Fidella semakin membuat pria itu tertantang. Bahkan hasrat birahinya meningkat tak tertahan. 

Masih dengan mencengkram erat pundak Fidella. Bandit sialan yang sedang dipengaruhi alkohol itu terus mendorong tubuh Fidella dan mendekatkan wajahnya pada Fidella. Ia benar-benar ingin segera meraup bibir seksi yang kentara manis itu. 

"Apa yang sedang kalian lakukan?" Sebuah suara tiba-tiba muncul di tengah aksi bejat yang belum sempat terlaksana. 

Semua orang mengarahkan pandangannya kearah sumber suara. Di sana, tepatnya di belakang sekumpulan pria yang sedang merongrong seorang gadis. Berdiri sesosok pria misterius. Ia mengenakan pakaian serba hitam, tubuhnya yang tinggi dengan berat seimbang membuat penampilan pria itu kentara pas dan profesional.

Tampilan fisiknya cukup menegaskan jika pria dengan lengking suara bariton yang dibuat datar itu memang tangguh.Tak banyak kata terucap, setelah mendengar suara orang misterius itu keempat bajingan tadi berangsur pergi dari sana. 

Mereka terlihat cukup ketakutan atau lebih tepatnya terancam oleh pria itu. Semua berandal tadi sempat memamerkan senyum tunduk pada sang penguasa yang sesungguhnya. 

 Fidella terdiam, manik almond-nya menangkap siluet seseorang yang berdiri sekitar dua meter dari tempatnya terdiam. Getar penasaran dan getir ketakutan berlomba di hati Fidella. Di satu sisi ia ingin tahu siapa sosok penolongnya. Namun, di sisi lain, Fidella takut jika pria itu sama brengseknya dengan berandal tadi.

 Minimnya penerangan di gang itu memang cukup mencekam dan mengganggu pandangan. Akan tetapi, Fidella masih bisa menangkap dengan jelas gerak tangan pria misterius itu. Pria itu menyuruhnya pergi, meski hanya isyarat tentu Fidella sudah sangat paham dengan hal itu. 

"Te-terima kasih!" ungkap Fidella lantang dan bergetar, pria itu hanya mengangguk lantas menghilang ditelan kegelapan malam.

"Siapa pun dirimu, aku sangat berterima kasih," batin Fidella tulus. 

"Argh, shh," ringis Fidella sangat merasakan bibirnya bengkak. Tenaga pria itu tak main -main. 

Setelahnya, Fidella pun dengan segera beranjak dari tempat terkutuk itu. Ia bersumpah tidak akan melewati jalan ini lagi seorang diri, apalagi di tengah malam seperti ini. 

***

"Kau adalah orang yang paling ingin aku benci dan aku bodoh karena tidak mampu melakukannya." 

-Sagara Affandra-

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status