Share

Nama Terlarang

Fidella Agri, gadis itu menopang dagu dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya sibuk menusuk-nusuk helai white toast yang dikenal sebagai roti. Roti berselimut selai kacang itu, seharusnya sudah memenuhi isi perut Fidella. 

Wajahnya nampak pucat tanpa riasan, hal yang tidak biasa ia lakukan selama ini. Fidella adalah pribadi yang perfeksionis dalam segala hal, dia tidak pernah ingin tampil biasa di depan orang-orang. Oleh sebab itu, make up menjadi salah satu kebutuhan vital yang tidak boleh Fidella lewatkan dalam kesehariannya. 

Akan tetapi, hal itu tidak begitu ia perhatikan hari ini. Aneh, semua orang dapat merasakan adanya kejanggalan, meski Fidella tak bermaksud mengutarakan isi hatinya.

 Pandangan gadis itu sayu bagai sekuntum mawar yang tidak tersentuh kesegaran air belasan hari lamanya. Entah hal apa yang sedang Fidella pikirkan, yang jelas sepertinya itu cukup mengganggu. 

"Kau kenapa, Sayang?" tanya Hara Finanda, wanita paruh baya pemilik senyum cerah nan menenangkan. 

Mata cokelatnya berkilauan menyampaikan perhatian tulus untuk sang putri sulung. Fidella sedikit terhenyak, ia tidak tahu jika sedari tadi sang ibu memusatkan perhatian padanya. 

"Aku baik-baik saja, Ibu," jawab Fidella seadanya. Namun, jawaban itu tak lantas membuat wanita yang akrab disapa Nyonya Hara itu puas. 

"Kau terlihat berbeda hari ini. Sangat murung, seperti sedang menanggung banyak masalah. Apa mungkin kau bertengkar dengan Stevan?" tambah Nyonya Hara lagi menaruh curiga, biasanya Fidella selalu bersikap seperti itu jika sedang bertengkar dengan tunangannya. 

"Tidak, aku dan Stevan baik-baik saja. Hanya ada beberapa hal yang sedang mengganggu pikiranku," balas Fidella lesu. 

 "Memangnya hal apa yang mengganggu pikiranmu? Coba ceritakan pada ayah, siapa tahu perasaanmu bisa membaik," sahut Reno Vinandra menimpali. 

Fidella menatap manik ayahnya lekat, sorot mata tajam itu perlahan meneduh bagai langit biru yang dipenuhi awan cerah. Tanpa sadar lengkungan tipis pun terlukis menambah nilai estetis di wajah cantiknya.

 "Mungkin Fiisis tidak bisa mendapatkan tas Chanel edisi terbatas yang menjadi incarannya bulan ini, Dad. Dia sengaja berlaga murung untuk mendapat suntikan dana darimu," celetuk Daniel asal, bocah sepuluh tahun yang saat ini masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.

Dia adalah si bungsu dari pasangan Reno Vinandra dan Hara Finanda. Serta satu-satunya adik Fidella yang paling menyebalkan di muka bumi ini, tetapi gadis itu tetap menyayanginya. 

"Jaga bicaramu, Daniel!" desis Fidella kesal. Ia tak suka dituduh seperti ini. 

"Kenapa? Itu memang benar. Bukankah begitu, Fiisis?" goda Daniel santai. Ia tak menyadari kakaknya telah berubah menjadi mode siaga. 

"Kenapa kau masih di sini? Pergi sana!" sentak Fidella mengusir sambil melayangkan tatapan kejam.

 Anak itu malah mengedikkan bahu tak peduli, kemudian menyeruput susu putihnya hingga tandas. Setelah itu, ia menyeka bekas susu di bibirnya dengan punggung tangan, memundurkan kursi yang didudukinya kemudian berdiri; hendak meninggalkan tempat itu. 

"Orang dewasa memang memusingkan. Selalu saja punya banyak masalah, aku tidak mau mendengarnya. Mom, Dad, aku pergi duluan, ya? Bye, Fiisis," pamit Daniel pada kakaknya sekaligus mencibir Fidella dengan panggilan 'Fiisis' yang merupakan akronim dari Fidella Sister. 

"Tunggu Daniel, kau tidak akan berangkat dengan ayah?" tanya Reno Vinandra sebelum putra bungsunya benar-benar pergi.

"Tidak untuk hari ini, Dad. Nathan dan Leo sudah menungguku di luar. Kami akan berangkat naik sepeda. Jadi, nanti Mommy tidak perlu menjemputku."

Tidak akan ada yang mampu mencegah Daniel jika itu sudah berhubungan dengan Leo dan Nathan, sahabat baiknya. Setelah menjelaskan itu, Daniel pun berlari menuju pintu keluar.

 Semua orang di sana hanya mampu geleng-geleng kepala saat melihat tingkah bocah berparas tampan khas anak- anak kaukasoid. Sontak saja Fidella, Nyonya Hara, dan Reno Vinandra mengembuskan napas berat begitu Daniel sudah menghilang dari pandangan mereka.

 "Kenapa dia sangat menyebalkan?" gerutu Fidella usai kepergian Daniel, kedua orang tuanya hanya tersenyum. 

"Sekarang ceritakan, sebenarnya apa yang terjadi padamu, Fiisis?" pinta Nyonya Hara mengembalikan topik pembahasan yang sempat tertunda.

 "Bukan masalah serius, aku hanya sedang kesal pada seseorang." Mata Fidella yang semula sayu kini menajam; menampakkan kemarahan tertahan yang begitu besar.

"Apa ini ada kaitannya dengan pemuda tampan waktu itu?" 

"Pemuda tampan mana maksud, Ayah?" Fidella memicingkan matanya curiga. 

Gadis itu masih menunggu jawaban sang ayah sambil meminum susu cokelatnya. Pria paruh baya itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, guna menghindari tatapan putrinya yang mengintimidasi. 

"Sagara, kau pikir siapa lagi?" tandas Nyonya Hara tanpa ragu. 

Sontaknya saja hal itu membuat Fidella memuntahkan susu yang bahkan belum sempat ia telan secara tiba-tiba. Ia pun terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya yang sedikit terasa sesak. Tenggorokkannya sakit dan hidungnya terasa perih.

 Ah, Nyonya Hara telah membuat kesalahan fatal pagi ini dengan menyebutkan nama terlarang itu. Tiba-tiba saja perasaan kesal menyeruak keluar, siapa lagi pelakunya kalau bukan pria sialan itu! Fidella bahkan enggan menyebutkan namanya. 

"Jangan membicarakan makhluk itu di depanku, Ibu! Aku tidak ingin mendengar namanya. Sarapanku sudah selesai," rajuk Fidella, ia meraih tisu untuk menyeka sisa susu cokelat di sekitar bibirnya. 

"Aku berangkat dulu," tukasnya kemudian dengan wajah ditekuk. 

Gadis itu berdiri dari duduknya, lalu memutari meja makan untuk memberi kecupan pada pipi kedua orang tuanya. Setelah itu, ia pun berjalan ke arah pintu keluar yang sebelumnya sudah menelan Daniel.

 "Telinganya sensitif sekali jika mendengar nama Sagara." Reno Vinandra heran sekaligus bingung. 

"Itu karena pertemanan mereka yang terbilang unik," balas Nyonya Hara sambil tersenyum geli. 

"Hubungan mereka tidak cukup baik untuk disebut pertemanan. Mungkin musuh lebih tepat untuk itu." 

"Biarkan saja, itu urusan anak muda. Sebaiknya kau cepat selesaikan sarapanmu, Sayang." 

***

 New York, Downtown Hospital

 09.30 Am 

Langkah tegas Fidella membawa gadis itu menuju sebuah ruangan di sebelah barat jalan yang akan dilaluinya. Beberapa orang wanita berseragam putih, terlihat menyapa dengan anggukan kecil dan senyum sopan. Fidella membalasnya dengan senyuman yang teramat tipis, nyaris tidak terlihat. 

Kepribadian Fidella memang sedikit berbeda, tidak terlalu ramah, tetapi bukan orang yang ketus juga. Semua orang di sana sudah tahu akan hal tersebut.

 Debuman pelan dari pintu tertutup berhasil mengalihkan pandangan dua orang rekan kerja Fidella di ruangan tersebut. Fidella memasukinya tanpa kesulitan, melewati beberapa meja kerja untuk mencapai ruangan khusus di ujung sana yang hanya ditempati olehnya seorang. 

"Selamat pagi, Dr. Fidella," sapa wanita kaukasoid dalam bahasa inggris yang fasih. Wanita itu baru saja memasuki ruang kerja Fidella. Rambut blonde-nya terikat rapi di belakang. 

"Oh, Jenny. Apa yang lainnya sudah bersiap?" tanya Fidella tanpa membalas sapaan Jenny. Ia malah sibuk mengenakan jas putih panjang, pakaian agung yang langsung menyematkan gelar dokter pada dirinya. 

"Bersiap untuk apa?" tanya Jenny awalnya bingung, setelah itu ia pun membuka mulutnya lebar, membentuk huruf A. Mulai mengerti arah pembicaraan yang sedang dibangun oleh ketua timnya ini.

"Pertanyaan macam apa itu?" Fidella menatap tajam ke arah Jenny. 

Wanita itu menunduk takut. Jantungnya berdegup kencang, rasanya tak sanggup untuk menceritakan kebenaran yang hendak ia sampaikan pada Fidella. Ini terlalu berisiko, Jenny tidak ingin mati muda di rumah sakit ini dengan cara yang konyol.

 "Ada apa dengan reaksimu? Di mana yang lainnya? Apa mereka sudah berkumpul di ruang operasi?"

 "Belum, ah, maksudku tidak," jawab Jenny gugup.

 Fidella membiarkan Jenny bernapas sejenak 

agar wanita itu bisa melanjutkan ceritanya. 

"Me-mereka ... tidak akan pernah ke sana," ungkap Jenny tergagap. Sulit baginya untuk mengutarakan apa yang ada di pikirannya kini dengan lugas. Lidah dan bibirnya seperti sudah dipaku kuat-kuat dan sulit bergerak. 

"Aku butuh penjelasan, Nona Wilson!" tekan Fidella sudah berkacak pinggang.

Hentakkan sepatu Fidella terus terdengar, terkesan mengintimidasi serta menuntut jawaban segera. Ia tidak akan berhenti sebelum mengetahui maksud dari perkataan Dr. Jenny Wilson, juniornya.

"Begini Dokter, sebenarnya tim kita---" Ucapan Jenny kembali terhenti. 

"Katakan dengan jelas!" desis Fidella kembali kesal. 

 "Tim kita tidak akan melakukan operasi hari ini," jelas Jenny pada akhirnya. 

"Kenapa? Apa jadwal operasi diundur?" Fidella bertanya heran. Ia tidak diberitahu apa pun mengenai hal ini. 

 "Tidak, bukan begitu," sanggah Jenny lagi. 

"Lalu kenapa? Bicaralah yang jelas!" Nada suara Fidella meninggi hingga membuat Jenny tersentak kaget. 

"Ketua medik sudah memutuskan untuk mengganti dokter yang mengoperasi pasien VIP itu," tutur Robert menimpali. Pria berusia dua puluh lima tahun itu adalah salah satu dokter di tim Fidella juga. 

Ia baru saja memasuki ruangan Fidella, beberapa kali Robert mengetuk pintu. Namun, tak ada yang menyahut. Walau ragu, pemuda itu akhirnya 

memutuskan masuk tanpa peretujuan.

 "Apa? Kenapa bisa?!" Refleks Fidella menoleh pada Robert yang belum melakukan pergerakan setelah memasuki ruangan tersebut. 

Dia masih berdiri di ambang pintu yang masih setengah terbuka. Map biru yang dibawanya terangkat ke atas, efek dari keterkejutan yang dirasakan Robert setelah mendengar reaksi Fidella yang menyentak keras. 

"Aku tidak tahu apa-apa, Ketua. Alasanku masuk hanya untuk ini!" Robert menggoyangkan map di tangannya sambil tersenyum ngeri. 

Jenny menyempatkan diri untuk menepuk dahi merutuki kebodohan pria itu, selagi fokus Fidella masih tertuju pada Robert. Aura kemarahan Fidella Agri begitu jelas terpancar. 

Sekilas Robert bisa melihat jika tulang rahang ketuanya itu kian mengeras. Mungkin saja amarah itu sudah bertumpuk di sana. Hanya tinggal menunggu beberapa detik untuknya meledak keluar dan demi bidadari turun dari langit, Robert tidak mau menjadi saksi pelepasan amarah Fidella. 

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang ini sebelumnya?" Fidella menggeram berat. Bibirnya terkatup berusaha menelan kesal.

 "Kami juga baru mendengar kabar itu barusan, Ketua," jawab Jenny singkat. Bicara seperlunya, hanya itu yang harus Jenny lakukan sekarang.

"Ahh, rupanya mereka ingin bermain-main dengan tim kita," cetus Fidella sinis. 

"Entahlah, aku tidak yakin," sahut Robert tanpa sadar, sontak pemuda bermata biru itu mengatupkan mulutnya rapat. Ia berjalan mendekati Jenny lalu menyimpan map tadi di meja kerja Fidella. 

"Ini pelanggaran, sejak awal Mr. Janson adalah pasienku, pasien kita. Mereka tidak bisa seenaknya merebut pasien kita."

"Siapa dokter yang diutus Dr. Harold untuk menangani operasi Mr. Janson?" tanya Fidella murka, semburat merah padam bermunculan tak terkendali dari pipi mulusnya. 

"Aku tidak yakin kau sanggup mendengar namanya, Ketua," ujar Robert yang disetujui oleh anggukan Jenny.

 Fidella terdiam, ia memutar otaknya cepat, gadis itu mendengus begitu jawaban dari segala pertanyaan sudah terpampang jelas di benaknya.

 Hanya ada satu nama yang selalu membuat Fidella semurka ini. Nama itu benar-benar menjadi 

musuh terbesarnya dalam hal apapun. 

Nama sialan yang selalu merusak suasana suka di hatinya. Kerap merenggut apa yang seharusya dia miliki. Nama yang sangat ingin ia musnahkan dari muka bumi ini.

"Sialan, Sagara Affandra!" bentak Fidella tiba-tiba. Kepulan asap di kepalanya kian banyak, Robert dan Jenny bahkan tak sanggup untuk melihatnya lagi.

 Kedua tangan gadis itu sudah mengepal amarah yang sangat besar. Jenny bergidik melihat kemarahan seniornya. Oh, Fidella terlihat seperti pembunuh yang siap menambah jumlah korbannya saat ini juga. 

Fidella berjalan tergesa ke arah pintu keluar. Menutup pintu dengan kasar hingga menyebabkan getaran dahsyat yang menggemparkan jantung Jenny dan Robert. Keduanya mengelus dada bersama-sama.

 "Oh Tuhan, wanita itu menyeramkan sekali," ujar Robert masih mengelus dadanya.

 "Untuk pertama kalinya aku setuju denganmu, Robert," sahut Jenny yang masih menetralkan detak jantungnya.

"Sebenarnya masalah apa yang membuat Fidella begitu membenci Dr. Sagara?" lanjut gadis itu menoleh pada Robert dan memancarkan sorot penuh tanya. 

"Mungkin konflik di masa lalu yang belum terpecahkan hingga saat ini," terka Robert asal.

 "Oh Tuhan, mungkinkah mereka terlibat kisah asmara? Sejenis konflik cinta berkepanjangan, hingga berujung kebencian?!" Jenny memekik.

 Robert mengedikkan bahu tak acuh. "Kemungkinan besar begitu," jawab Robert singkat.

 "Benar, 'kan? Sudah kuduga sejak awal mereka memang memiliki hubungan spesial. Cara keduanya menyembunyikan masa lalu mereka benar-benar sangat apik." Jenny berujar kagum. 

 "Ah, aku harap mereka berdua bisa kembali bersatu," celetuk Jenny tiba-tiba yang membuat Robert segera menoleh. 

"Mengapa kau berharap begitu?" 


"Dokter Sagara dan Fidella terlihat sangat serasi jika bersama. Jika mereka menikah dan punya anak, aku yakin putra-putri mereka akan memiliki paras yang cantik dan tampan sempurna."

Jenny menyatukan kedua tangannya. Mirip seperti orang-orang yang sedang berdoa di gereja.

 "Astaga, fantasimu itu benar-benar parah, Nona Wilson!" Robert menoyor pelan kepala Jenny, kemudian kembali duduk di kursinya.

 Jenny merengut kesal. "Apa yang aku katakan itu memang kenyataan, Robert."

 "Terserah kau saja, cepat kembali bekerja!" 

To be continued

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Revina Halwa
Sagara idaman banget 😭
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status