Share

The Real Loser

"Kau tahu, seseorang yang tidak bisa berkaca diri adalah pecundang sejati."

                               -Sagara Affandra-

Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Fidella. Rasa kesal, kecewa, dan marah berbaur jadi satu. 

Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Mr. Janson. Kecewa, pada Dr. Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Sagara adalah orang yang menggantikan dirinya.

 Benar-benar sial. Fidella merasa hari ini Tuhan tidak mengizikannya untuk merasa sedikit tenang. 

Langkah tak sabar Fidella menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Sagara. Pecundang sialan itu selalu bisa membuat Fidella jadi kebakaran jenggot.

 Beberapa orang dan rekan kerja yang berpapasan dengannya di sepanjang jalan memandang Fidella dengan tatapan heran. Tidak ada yang peduli, yang ada di pikiran Fidella saat ini adalah bagaimana cara memberi pelajaran pada Sagara. 

Ia juga ingin meminta penjelasan dari Dr. Harold terkait keputusannya yang menyalahi aturan. Sudah jelas itu melanggar kode etik kedokteran, Fidella akan menuntut haknya.

 Dia tidak terima dengan keputusan gegabah ini, sekali pun itu adalah keputusan Dr. Harold. Jika pimpinannya salah, Fidella tidak akan segan untuk menegur. 

Fidella sudah tiba di depan ruangan kerja Sagara. Sejenak ia memejamkan mata dan melakukan meditasi singkat untuk tetap mengendalikan emosi. Perlahan gadis itu menghirup dan mengembuskan napasnya secara teratur. Tangannya sudah siap untuk memutar kenop pintu.

 "Kali ini kau harus benar-benar mati, Sagara Affandra!" umpat Fidella sebelum membuka pintu. 

Tangannya mulai menarik kenop itu secara perlahan. Namun, siapa sangka, tiba-tiba pintu tersebut sudah terbuka dengan sendirinya. Ah, tidak, bukan terbuka sendiri, tepatnya ada seseorang dari arah berlawanan yang membuka pintu sebelum Fidella melakukannya. 

Kesialan jadi kian sempurna ketika tubuh Fidella ambruk menimpa tubuh seseorang yang entah siapa. Posisi Fidella tepat menindih tubuh orang itu.

 Mereka berdua tergeletak di lantai usai suara benturan antara tubuh dan lantai marmer itu menguar cukup keras. Sontak saja hal tersebut turut mengundang perhatian beberapa orang di wilayah sekitar, baik pengunjung mau pun petugas rumah sakit. 

 Fidella terbelalak bukan main, saat menyadari tubuhnya berada di atas tubuh pria itu. Mata mereka sudah saling bertautan, memancarkan ekspresi yang kontras dari keduanya.

"Caramu berkunjung sangat unik Dr. Fidella," ujar Sagara yang usil, pria itu masih bertahan di posisinya.

Tubuh mungil Fidella bukanlah beban berat yang harus segara disingkirkan. Lebih dari itu, Sagara merasa kejadian ini sangat menyenangkan. Hiburan di pagi hari. Entah mengapa gadis ini selalu saja membuatnya tak bosan untuk sekadar melayangkan godaan.

 "Aku baru saja mau menemuimu. Sepertinya kontak batin kita bekerja dengan baik. Mungkin ini yang namanya sehati, bukan begitu?" Sagara menyimpan kedua tangannya di belakang leher. 

"Sialan, kau pasti sengaja!" Fidella bangkit dan sempat mendorong pundak Sagara, hingga punggungnya kembali membentur lantai. 

"Sengaja? Jangan bercanda, aku saja tidak tahu jika kau ada di seberang pintu. Justru kau yang menghalangi jalanku, apa mungkin dirimu yang melakukannya dengan sengaja?" Sagara sudah bangkit, ia berdiri dengan gagah di depan Fidella. Beberapa saat kemudian, pria itu terlihat menepuk pakaian serba biru yang dikenakannya. 

"Jangan berkelok!" bentak Fidella, Sagara agak terhenyak lalu memutar bola matanya. 

"Aku datang ke sini bukan untuk mendengarmu membual. Kau harus menjelaskan semuanya." Fidella mengembuskan napas panjang sekali lagi. 

Ia harus bersikap tenang, banyak mata yang sedang memperhatikannya saat ini. Terutama orang-orang yang berada di ruangan itu. 

Sebelumnya, sempat ada beberapa rekan Sagara yang ingin menghampiri untuk sekadar memberi pertolongan. Namun, Sagara mencegahnya dengan isyarat tangan. Sagara lebih suka menghadapi Fidella seorang diri. 

"Menjelaskan apa? Kejadian barusan?" tutur Sagara santai, Fidella menarik surai kecokelatannya ke belakang.

 Berbicara dengan orang ini memang memerlukan tingkat kesabaran yang tinggi dan itu sangat sulit untuk Fidella lakukan. Bagaimana dia bisa menahan emosi lebih lama, sedangkan setiap kata dan tingkah laku Sagara kerap membuatnya naik darah?

"Aku yakin kau tidak bodoh. Sudah pasti kau mengerti maksudku, jangan bicara omong kosong. Sebaiknya cepat jelaskan, sebelum aku menyeretmu ke gudang belakang," ketus Fidella sinis. 

"Dan aku pastikan tidak akan ada ampun untukmu jika hal itu sudah terjadi," lanjutnya lagi penuh ancaman. 

"Cemerlang! Idemu bagus juga." Sagara menjentikkan jarinya.

 "Aku senang mendengarnya. Ayo, gudang belakang lebih baik daripada tempat umum seperti ini." Sagara masih menanggapi kekesalan Fidella dengan tenang. 

Orang-orang di sana terlihat saling berbisik, mereka bingung melihat Sagara dan Fidella yang selalu saja berseteru dalam hal apa pun. Masing-masing rekan kerja Sagara dan Fidella saja tidak paham hal apa yang melatarbelakangi persaingan sengit antara kedua dokter muda handal tersebut.

"Dia menganggap ancamanku sebagai bualan rupanya," gumam Fidella setengah menunduk dan tangan mengelus tengkuk.

Ia sudah kehabisan kata-kata halus untuk orang ini. Sagara memang tidak pantas mendapatkan itu darinya. 

"Mr. Janson adalah pasienku. Sejak awal aku yang bertanggung jawab untuk operasinya. Lalu kenapa sekarang kau menggantikanku?" tanya Fidella langsung ke intinya, dia tidak ingin berbasa- basi lagi. Berharap semuanya cepat tuntas dan ketidakadilan ini bisa segera ditanggulangi dengan cepat.

"Jika itu masalahnya, kau bertanya pada orang yang salah, Beauty." Sagara mencolek dagu Fidella dan mendapat tepisan kasar dari gadis itu. Sagara terkekeh lucu. 

"Sebelum kau mati penasaran, ada baiknya sekarang kau temui Dr. Harold dan tanyakan semua pertanyaan yang bersarang di benakmu itu. Aku adalah orang yang paling mengutuk kematianmu, Beauty." Sagara meramu ekspresi yang benar-benar memuakkan. Fidella ingin melenyapkan wajah itu jika ia bisa.

 "Ini ulahmu, 'kan?" tuduh Fidella tak berdasar, Sagara membentuk seulas senyum. Lengkungan bibir yang tak bisa dibilang indah. Lebih dari itu, ia mulai bosan dengan perbincangan alot ini. 

"Kau tidak bermaksud menuduhku sengaja mencuri pasienmu, 'kan?"

"Tebakanmu akurat sekali, aku tidak akan meragukan kejujuranmu itu, Dr. Sagara."

 

Perdebatan makin memanas. Sungguh, mereka sudah terjebak dalam atmosfer kemarahan yang sangat kental. Sagara yakin Fidella tidak akan menyerah sampai salah satu dari mereka kalah.

 Pria itu mendecih singkat, hawa panas menggerogoti hatinya. Gadis yang satu ini memang sulit diajak berdamai. Kepala batu!

"Sikap manisku tidak pernah berarti di matamu, Fidella." 

"Karena aku tidak pernah memberi kesempatan pada orang munafik untuk memperdayaku, Dr. Sagara. "

Sagara mengangguk paham. Baiklah, dia menyerah. Ia sudah terlalu banyak membuang waktu untuk bermain-main dengan Fidella. Masih banyak pekerjaan penting yang harus ia kerjakan ketimbang beradu argumen dengan gadis itu. Sampai mulutnya berbusa pun, Fidella tidak akan percaya pada penjelasannya.

"Kurangi keangkuhanmu itu, Fidella. Mungkin kau tidak tahu, tapi sewaktu-waktu dia bisa menjadi malapetaka besar bagimu. Aku hanya mendapat tugas dari Dr. Harold untuk menangani Mr. Janson. Terkait alasannya, silakan cari tahu sendiri." 

Sagara berlalu melewati Fidella. Belum sampai tiga langkah kakinya bergeser, pria itu berbalik dan mengungkapkan sesuatu yang membuat harga diri Fidella kian terluka.

"Dokter Harold tidak akan mengambil keputusan ini seandainya dia benar-benar percaya padamu. Renungkan saja, mungkin masalahnya ada pada dirimu sendiri. Jangan sembarangan menyalahkan orang lain. Kau tahu, seseorang yang tidak bisa berkaca diri adalah pecundang sejati." 

Nada bicara Sagara menguarkan sensasi dingin yang mampu membekukan waktu. Fidella tertegun, ia ingin membalas perkataan Sagara, tetapi lidahnya kelu.

Usai berucap dingin, Sagara meleburkan kembali suasana dengan senyuman manis tulus dari hatinya.

"Aku duluan, Mr. Janson pasti sudah menantikan dokter tampan ini di ruang operasi." Sagara menepuk pundak kiri Fidella lalu melengos begitu saja.

 "Argh! Orang tua itu. Sebenarnya apa maunya?" Fidella mendesah kasar lalu memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Dia belum menyerah, tujuan berikutnya adalah ruang kendali operasi, Dr. Harold pasti ada di sana. 

Mr. Janson adalah salah satu investor utama di rumah sakit Downtown, tidak heran seluruh tim medis ingin memberikan perawatan dan pelayanan terbaik guna kesembuhan pria paruh baya itu. Hal ini pula yang menjadi alasan Dr. Harold turun langsung untuk mengawasi jalannya proses operasi yang akan dilakukan oleh Sagara. 

*** 

Lima menit berlalu, akhirnya Fidella tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai lima belas. Terlihat beberapa dokter ahli sudah berjajar di kursi menghadap langsung ke ruang operasi di bawah sana. Di sudut kanan ruangan terdapat monitor besar lengkap dengan microphone kecil yang biasa digunakan dokter pengawas untuk memberi arahan pada tim medis ketika operasi berlangsung. 

"Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Fidella mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri Dr. Harold. 

"Dokter Fidella, kenapa kau masih di sini?" ungkap Dr. Harold kaget sontak membuat Fidella mengernyit.

 "Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kau cepat bersiap!" lanjut Dr. Harold. 

Segala pertanyaan yang telah disiapkan Fidella, hilang tak bersisa. Mungkinkah Dr. Harold sedang mempermainkannya?" 

"Apa maksud, Anda?" tanya Fidella serius dan penasaran. 

"Seharusnya kau sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Lalu sekarang apa yang kau lakukan di sini?" tanya dokter berperawakan tinggi itu sedikit jengkel.

"Apa?! Bukankah Anda sudah menggantikan saya dengan Dr. Sagara?"

Bersamaan dengan pertanyaan itu, di bawah sana -tepatnya di ruang operasi- Sagara dan timnya sudah muncul dengan pakaian khusus operasi.

Fidella mengarahkan atensinya ke bawah, sejalan dengan Sagara yang juga mendongakkan kepalanya. Kembali, kedua iris itu bertemu dalam satu titik pandang.

Sagara menyunggingkan senyum manis, yang terlihat menjengkelkan di mata Fidella. Entahlah, Fidella hanya merasa jika senyum itu adalah sebuah ejekan untuknya.

"Aku memang melakukannya, tapi apa kau belum mendengar jika kau juga ikut andil dalam operasi kali ini," sahut Dr. Harold menjawab kebingungan Fidella. 

 

 "Aku? Bersama pria itu?" Fidella bergantian menunjuk dirinya sendiri dan Sagara. 

"Iya, kau dan Dr. Sagara akan bekerja sama dalam operasi kali ini. Sudah jelas, bukan?" terang Dr. Harold, "sekarang cepat turun ke bawah dan lakukan tugasmu dengan baik!" timpalnya memerintahkan Fidella. 

"Kegilaan apa lagi, ini? Aku harus satu ruangan dengan dokter sialan itu? Yang benar saja, cih," batin Fidella kesal, tak terima. 

"Tapi Ketua, aku——" 

 "Jangan membantah, singkirkan egomu dan bekerjalah sebagaimana seorang dokter sejati! Aku tidak ingin kau mencampuradukan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kau tidak ingin dicap sebagai dokter yang tidak profesional, bukan?" tegas Dr. Harold dengan tajam. 

Fidella diam tertunduk, serangan Dr. Harold membuatnya kalah telak.

 "Jangan merusak kredibilitasmu sebagai seorang dokter, Fidella. Kau adalah salah satu dokter andalanku."

Meski awalnya Fidella enggan menerima keputusan ini, tetapi semua perkataan Dr. Harold memang benar adanya. Ini perkara nyawa seseorang, sumpah jabatan sudah ia kumandangkan beberapa tahun silam. Fidella tidak boleh melalaikan tugas hanya karena perasaan pribadi.

Dengan terpaksa Fidella harus melupakan sejenak kekesalannya terhadap Sagara. Menenggelamkan emosi dan menjunjung tinggi rasa tanggung jawab. 

"Demi kelancaran operasi, sekali saja. Kau bisa menghadapinya. Sekali ini saja, Fidella," tekadnya di dalam hati. 

"Baiklah, aku permisi." Fidella menunduk hormat pada orang-orang di ruangan itu. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh ke arah Sagara. Tidak disangka, rupanya pria itu juga masih memerhatikannya.

Mata tajam yang bersembunyi di balik kaca mata kecil khusus itu mengerling jahil. Seakan memanggil Fidella untuk segera memasuki ruang operasi. Fidella ingin mencekik leher pria itu ketika Sagara menggodanya dengan kedipan mata. 

"Pria brengsek, huh, tenang, Fidella. Kamu pasti bisa melakukannya. Huh, iya, pasti bisa," gumam Fidella menyemangati diri. 

 *** 

 "Tiga tahun," cakap Sagara saat Fidella sudah berdiri di seberang ranjang operasi, tempat pasien yang sudah dibius total terbaring. 

 Gadis itu sudah sudah mengenakan pakaian operasi seperti yang dikenakan semua rekannya di tempat itu. Ia mendelik ke arah Sagara, tampak tak mengerti maksud celetukan aneh pria itu. 

Beberapa perawat di ruangan tersebut bergeming, membiarkan Sagara menyambut kehadiran rival abadinya sebelum operasi benar-benar dimulai. 

"Tiga tahun berlalu sejak perkenalan kita. Akhirnya, kita bertemu di ruang operasi. Bukankah ini mimpi terbesarmu, Dr. Fidella?" lanjut Sagara memamerkan senyum khas andalannya.

Lampu bundar berukuran cukup besar itu sudah dinyalakan, mengarahkan cahayanya langsung pada tubuh pasien.

"Jangan banyak bicara, mari kita mulai operasinya," balas Fidella yang ingin fokus pada pasiennya. 

"Tentu, kita akan segera melakukannya," sahut Sagara santai.

"Namun, ada satu hal yang perlu kau ingat, di sini akulah pemimpinnya!" Sagara berujar sombong. 

"Sebaiknya kau lepas keangkuhanmu sebagai ketua tim HPB dua. Mulai dari sekarang dan seterusnya, kau harus terbiasa bertugas di bawah kendaliku. Kau mengerti, Beauty?" sambungnya yang membuat Fidella kesal. 

 "Omong kosong apa yang kau bicarakan?" geram Fidella, lihat dia suka sekali memancing amarah Fidella. 

"Tanda-tanda vital?" tanya Sagara pada Lucas, seorang perawat yang membantu jalannya operasi kali ini. Sagara sama sekali tak mengindahkan pertanyaan Fidella.

"Bp 120 lebih dari 60, denyut jantung 88, dan tingkat kejenuhan 02 pada 98%," jelas Lucas merinci keadaan vital pasien berdasarkan apa yang tertera di monitor dan berbagai macam alat medis di sana. 

Sagara mengangguk paham, kemudian menatap Fidella dengan serius. Tidak ada lagi candaan bodoh dari pria itu. Ia mulai berperan sebagai dokter yang sesungguhnya. 

"Kita akan mulai operasi pengangkatan tumor Pankreas pada pasien Janson Smith sekarang," tutur Sagara, disetujui oleh anggukan Fidella dan petugas lainnya.

"Scalpel!" ujar Sagara meminta pisau bedah.

 Setelah senjata utama sudah ada di tangannya, pria itu mulai menekan pelan bagian permukaan perut Mr. Janson, memilah bagian yang tepat untuk ia bedah menggunakan senjata medis itu. 

Fidella belum melakukan pergerakan, gilirannya belum tiba. Ia hanya memperhatikan aksi rival-nya yang kentara mahir saat melakukan hal semacam ini. 

Tentu saja, Sagara Affandra adalah seorang dokter spesialis bedah. Apalagi yang mesti diragukan?

 Sagara merobek kulit luar perut Mr. Janson dengan hati-hati, menarik garis vertikal pisau bedah tersebut secara perlahan hingga rembesan darah pun keluar. Dengan tingkat konsentrasi tinggi, Sagara menggerakkan scalpel itu, menusuk perut Mr. Janson lebih dalam untuk membelah perut pasien dan kegiatan inti dari operasi ini pun bisa segera dilakukan.

 Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Ketenangan Sagara membawa atmosfer sejuk dalam ruangan itu.

Sagara terus mengoyak lapisan daging pada perut pasien, hingga tak berselang lama perut yang semula utuh itu pun sukses terbelah dua. Isi perut itu sama persis dengan susunan organ yang biasa kita lihat pada patung anatomi tubuh manusia. Menampilkan pemandangan yang terbilang menakutkan bagi orang awam. Namun, tidak untuk para dokter bedah layakya Sagara dan Fidella.

"Bovie," ujar Sagara lagi meminta sebuah alat pada perawat Nately. 

Sagara memasukan alat itu ke dalam organ, di mana tumor tersebut bersarang. Ia berniat untuk membekukan salah satu organ yang terus mengeluarkan darah menggunakan alat itu.

Fidella memerhatikan wajah Sagara sekilas lalu kembali terfokus pada pasien. Iris cokelatnya menangkap gerakan lihai tangan Sagara yang sedang sibuk mengorek organ itu lebih dalam lagi. 

Saat ini, gadis itu hanya bertugas sebagai dokter pendamping, membantu Sagara untuk mengangkat organ yang menutupi tumor dalam pankreas Mr. Janson. Beberapa saat giliran Fidella yang beraksi, menjahit kembali perut Mr. Janson yang sudah Sagara bedah.

Jujur Fidella sangat kecewa, dalam hatinya ia berujar bahwa seharusnya dirinyalah yang melakukan aksi heroik itu. Namun, bagaimana pun sebagai seorang dokter, Fidella harus tetap bersikap bijaksana. Ia tidak boleh egois, yang terpenting saat ini adalah kesuksesan operasi dan keselamatan nyawa pasien. 

"Tunggu sebentar, Dr. Sagara. Sepertinya ada yang aneh," sela Fidella menghentikan aksi Sagara sejenak. 

Gadis itu mengambil clamp, sejenis alat penjepit untuk mengangkat organ dalam yang menurutnya terlihat ganjil. Sagara terdiam, tampak begitu ragu dengan tindakan yang sedang Fidella lakukan. Entah mengapa, tiba-tiba perasaan buruk menyambangi hatinya.

"Ini aneh, mungkinkah?" batin Sagara gelisah. 

Crett!

 Semburan darah mengenai wajah dan sebagian baju operasi yang dikenakan Fidella. Sagara terkejut bukan main, kekhawatirannya benar- benar terjadi. 

 

"Gawat! sepertinya arteri celiac baru saja pecah," panik Nately, perawat yang ikut andil dalam operasi itu.

Deru napas Fidella terdengar tidak beraturan, matanya terbelalak, seketika tubuhnya membeku. Suara genderang perang bertalu-talu di setiap penjuru. 

Fidella, sang pelaku utama yang menimbulkan kegentingan ini malah mematung seperti tubuhnya baru saja dibekukan. Ini adalah kesalahan pertamanya di ruang operasi.

 "Dokter Sagara, kau bisa mengatasinya?" Tiba-tiba saja suara Dr. Harold menggema di tengah kegentingan yang terjadi di ruang operasi. 

Ketua medik itu sedang gusar di atas sana. Ia terus memberikan dukungan melalui kata-katanya. Meminta Sagara dan Fidella untuk tetap tenang. 

Sagara mendongak tepat ke arah Dr. Harold lalu mengangguk yakin. Pria paruh baya itu mengela napas sedikit lega.

 Namun, keyakinan Sagara itu masih belum bisa menenangkan perasaannya. Dokter Harold berdiri di atas podium, di mana microphone yang ia gunakan tadi berada. 

Sagara segera mengambil tindakan. Ia meminta Fidella untuk menarik tangannya dari tubuh pasien. Gadis itu hanya menurut di tengah kekalutan yang mengacaukan pikirannya.

 "Kita harus segera melakukan kompresi. Suction!" Sagara meminta alat penghisap untuk menyurutkan darah yang mulai menggenang di sana akibat pecahnya arteri celiac tadi. 

Kejanggalan yang dirasa Fidella memang benar adanya. Tadi ia merasa ada gangguan pada salah satu organ yang tertutup gumpalan tumor di bagian pankreas. Semula Fidella hanya ingin memastikan, takut-takut terjadi pembengkakan di sekitar organ hati seperti perkiraannya.

 Hanya saja siapa sangka, pergerakan tangan Fidella ternyata dinilai kurang tepat. Dia tidak sengaja memecahkan arteri itu dengan bovie dan clamp yang tadi ia gunakan.

 "Tidak apa-apa, operasinya pasti berhasil," cetus Sagara menenangkan Fidella. 

Pria itu tahu, Fidella sedang tertekan. Dokter juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Ini wajar, meski risiko yang harus ditanggung sangat besar. 

Fidella menatap Sagara yang sedang sibuk memperbaiki kesalahannya. Ini kali pertama bagi Fidella mendengar ungkapan Sagara yang tak membuatnya kesal. 

Entah karena suasana hatinya yang sedang kalut atau memang ungkapan Sagara itu benar-benar tulus. Yang jelas Fidella yakin, Sagara sedang khawatir akan keadaan psikisnya.

Sagara menggunakan alat jepit untuk menghentikan pendarahan. Dan rupanya itu berhasil menghentikan pendarahan.

 "Vital?" tanya Sagara memastikan kondisi vital yang sebelumnya tidak stabil akibat ketidaksengajaan Fidella.

"Saturasi, denyut jantung, dan tekanan darahnya sudah kembali normal sekarang," papar Lucas cepat. 

Helaan napas lega pun terembus dari masing- masing petugas yang ikut terlibat dalam operasi ini. Entah bagaimana nasib mereka semua jika di sana Sagara tidak bisa menangani masalah tadi dengan baik.

 "Aku akan memotong arteri celiac pada sisi kanan dari klem. Metzembaum," tambah Sagara lagi memutuskan tindakan selanjutnya, setelah ia mengetahui kondisi vital pasien yang sudah normal.

 Salah satu perawat mengusap peluh yang bercucuran di dahi Sagara, pria itu tidak menolak. Ia masih sangat fokus melaksanakan tugasnya. Kejadian menegangkan barusan, begitu memacu semangat Sagara untuk mengerahkan seluruh kekuatannya guna kelancaran operasi.

Sagara sedang menjahit bekas arteri yang sebelumnya sudah ia potong. Gerak tangannya terlihat sangat luwes, tak sedikit pun detak gugup mengganggu konsentrasinya.

"Sekarang kita akan mengeksisi tumor itu, bovie!" 

Ciptratan darah itu masih membasahi wajah Fidella. Tak sedikit pun ia bergeser dari posisinya, gadis itu hanya diam meratapi kebodohannya. Ia nyaris menjadi seorang dokter pembunuh.

Operasi hampir selesai dan sejauh ini semuanya terbilang baik-baik saja. Para dokter dan ketua yang menyaksikan adegan menegangkan itu dari ruang kontrol, akhirnya bisa menghela napas lega. Sagara berhasil mengeluarkan tumor sebesar kepalan tangan orang dewasa itu dari pankreas Mr. Janson.

 "Kontrol perdarahan dan selesaikan operasinya. Kau tidak perlu aku untuk itu, 'kan?" titah Sagara pada Fidella.

 Gadis itu menatapnya terkejut. Sagara menepuk pundak Fidella dua kali lalu meninggalkan ruang operasi lebih dulu. Semua perawat di sana tersenyum lega bersamaan dengan rasa syukur yang berkumandang di hati masing-masing.

 "Apa itu tadi? Ada apa dengannya? Kenapa aku merasa dia sedang berusaha menolongku?" 

To be continue

Gimana aksi Sagara? Wkwk

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status