Share

Terlalu Sakit untuk dimaafkan

"Maaf, semua ini memang salahku." Fidella menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Fidella tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya.

 Fidella sedang berada di ruang kerja Dr. Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang. Bangunan-bangunan klasik menjulang tinggi seperti hendak menggapai langit di kawasan Civic Center Manhattan. 

Di sebelah utara tampaklah Broadway dan kawasan Chinatown. Beralih ke timur terdapat pemandangan indah dari sungai East dan jembatan Brooklyn yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan saja.

 Semua keindahan yang bisa memanjakan mata itu sama sekali tidak memberikan hiburan apa pun untuk Fidella. Wanita itu masih berdiri di samping sofa. Memainkan jemarinya tanpa sadar, sementara Dr. Harold sudah duduk di kursi kebesarannya. 

"Duduklah Dr. Fidella, kau tidak bermaksud untuk terus berdiri di sana, 'kan?" perintah Dr. Harold dengan senyum tulus, pria berambut ikal halus ini memang terkenal ramah. Semarah apa pun atau sebesar apa pun rasa kecewanya terhadap seseorang, ia tidak pernah menunjukannya secara gamblang. 

Semampunya Dokter Harold selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Fidella tergelak, ia menuruti perintah Dokter Harold untuk duduk, meski ragu. 

"Sekali lagi, maafkan aku." Untuk yang ke sekian kalinya Fidella meminta maaf.

 Dokter Harold tersenyum. Fidella Agri, dokter cantik nan muda ini memang salah seorang dokter andalannya di departemen HPB. 

Bersama dengan Sagara, Fidella sudah menempati ruang tersendiri di hati Dokter Harold. Tidak hanya sebagai bawahan, junior atau ikatan pekerjaan lainnya. Kedua dokter hebat itu sudah dianggap seperti putra dan putrinya sendiri. 

"Jika kau menyesal, ubahlah sifat burukmu itu Fidella." Dokter Harold meletakan kedua tangan kekarnya di atas meja. 

Ia ingin membicarakan hal serius kali ini. Keputusan bijaksana yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan untuk ke depannya.

 "Akan kuusahakan," jawab Fidella tanggap. 

 "Aku tidak meminta lisanmu untuk meyakinkanku. Buktikan dengan perbuatan dan detik inilah waktu yang tepat untukmu memulainya."

 "Memangnya apa yang harus aku lakukan, Ketua?"

 "Bergabung dengan tim satu, itulah yang harus kau lakukan."

 "Apa?" pekik Fidella terkejut bukan main. 

"Mulai dari hari ini dan seterusnya kau berada di bawah naungan tim satu departemen HPB." 

"Oh, jadi ini maksud ucapan Sagara tadi? Astaga, aku butuh banyak oksigen sekarang," batin Fidella merana. 

 "Lalu bagaimana dengan Sagara, ah, maksudku Dokter Sagara?" Fidella merasa sesuatu yang tidak ia harapkan akan menimpanya. Wanita itu terlihat harap-harap cemas menanti penjelasan Dr. Harold selanjutnya.

 "Dia tetap di tim satu, sebagai manager juga atasanmu. Kau akan menjadi asisten manager tim satu."

 Mata almond itu membulat sempurna, ini kabar buruk yang ingin Fidella sanggah kebenarannya.

 "Tapi, Ketua, aku manajer tim dua. Aku memang melakukan kesalahan saat operasi tadi, tapi mengapa hukumannya harus dengan pindah tim? Aku keberatan dengan ini," tolak Fidella menggeleng tegas. 

"Apa yang membuatmu merasa keberatan?" tanya Dr. Harold, "karena Dokter Sagara ada di sana? Karena dia atasanmu? Kau merasa terhina menjadi bawahan rivalmu begitu?" lanjut Dokter Harold bertubi-tubi. 

Benar, tidak ada satupun keliru dari ujaran Dokter Harold itu. Fidella memang tidak bersedia dipindahkan karena semua alasan itu. Entahlah, bagaimana nasibnya jika hal mengerikan itu benar- benar terjadi.

 "Inilah kelemahan terbesarmu, Fidella. Kau selalu meledak-ledak jika membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Dokter Sagara. Tidakkah kau sadar apa yang kau lakukan itu sangat berlebihan?" 

 "Hampir semua orang di rumah sakit ini mengetahui tentang kebencianmu pada Sagara. Kau seharusnya malu, hal semacam itu tidak seharusnya menjadi buah bibir publik." 

Dokter Harold mencoba mengeluarkan pendapat rasionalnya dengan hati-hati. Fidella menyimak dengan seksama, ada sengatan memilukan dari tiap kata yang terlontar dari lisan Dr. Harold.

 "Bukan maksudku mencampuri urusan pribadi kalian. Aku juga tidak sedang membela Sagara. Hanya saja semakin hari sikapmu sudah tidak bisa kutolelir."

 "Bahkan kalian sudah sering mendapat surat peringatan karena bersitegang di depan banyak orang termasuk pasien. Ayolah, Fidella ini tidak benar."

 "Sudah tiga tahun berlalu, seharusnya kau melupakan kejadian itu. Bukan Sagara atau dirimu yang salah, tapi wanita itu." 

"Dia yang seharusnya menjadi sasaran kebencianmu." Dokter Harold kembali mengingatkan.

 Lambat laun arah pembicaraan ini sedikit melenceng dari topik pembahasan utama. Fidella sadar Dokter Harold melakukan ini demi kebaikannya. Ketua seksi pelayanan medis itu memang perhatian padanya, terlebih Dokter Harold adalah teman dekat ayahnya, Reno Vinandra.

 "Aku mengatakan ini bukan sebagai atasanmu. Tapi sebagai kerabat dekat Ayahmu," ungkap Dokter Harold, Fidella terdiam. Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa, mendadak perpustakaan katanya kosong tak berpenghuni.

 "Setiap hari Sagara selalu menghadapi sikapmu dengan tenang. Aku menghargai kedewasaannya yang hanya menganggap umpatan kasarmu sebagai angin lalu. Bibirnya memang tersenyum, tapi apa kau yakin hatinya melakukan hal yang sama?"

 "Paman, aku—"

 "Masuklah ke tim satu dan jalankan tugasmu dengan baik. Kau boleh pergi sekarang." Perkataan tegas itu berhasil menuntas pembicaraan. 

Tidak ada pilihan lain untuk saat ini. Fidella pun tak kuasa untuk sekadar menimpali atau melontarkan pembelaan diri. Wanita itu berdiri, memberi sebuah penghormatan lantas beranjak dari sana dengan segera. 

Dokter Harold tersenyum penuh misteri. Ia berharap apa yang ia rencanakan bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.

 Perang batin sedang gencar terjadi dalam relung dokter yang terlihat cantik dengan rambut sebahu yang dibuat sedikit bergelombang itu. Fidella memang merasa berhutang budi pada Sagara. Orang itu telah menyelamatkan pasien yang nyaris ia bunuh dengan kelalaiannya. 

Namun, bukan berarti Fidella bisa mengangkat gencatan senjata dengan mudah. Kesalahan Sagara yang mempermalukannya secara telak kala itu benar- benar sulit dimaafkan. 

Pria kurang ajar itu sukses membuat air mata Fidella mengering di balik jeruji besi yang mencekam. Dua hari lamanya tubuh dokter mungil itu meringkuk di salah satu sel tahanan kota New York. 

Masih terbayang bagaimana menyeramkannya penghuni tahanan yang memandang sinis penuh kedengkian pada Fidella. Satu-satunya kasus yang dirasa paling konyol itu membuat Fidella tidak bisa melakukan pembelaan. Karena semua yang diajukan pria itu ke pengadilan memang benar adanya. 

Kejadian gila yang sukar Fidella hapus dari ingatannya. Sekaligus menjadi titik awal perasaan menyesatkan ini tumbuh dan memenuhi relung Fidella.

 Sepanjang perjalanan, teror menyebalkan terus saja ia terima dari dirinya sendiri. Satu sisi dari diri wanita itu meminta agar ia segera meminta maaf pada Sagara. Namun, di lain sisi, Fidella juga ragu menyanggupi niatan baik itu. 

"Apa ini saatnya memaafkan pria sialan itu?" Fidella bersandar lemas pada tembok. 

Saat ini, ia sedang berada di area tangga darurat. Tempat favoritnya untuk menyendiri dikala pekerjaan menguras kekuatan. Fidella menurunkan posisinya dan duduk di salah satu anak tangga sambil merangkul kedua lutut. 

Lagi-lagi Sagara mengacaukan harinya. Bukan hanya kepala yang dibuat berdenyut, tetapi hati wanita itu juga.

Fidella mengambil ponselnya, lalu memulai percakapan chat. 

[Fidella Agri]

-⟨ Apa kau bisa menjemputku di rumah sakit? 

 Fidella memejamkan mata begitu pemberitahuan pesan terkirim ia terima. Dalam keadaan seperti ini, hanya Stevan satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang. Hanya pundak kokoh Stevan yang bisa menghilangkan resah gelisah yang tengah ia rasa. 

[Stevan Anderson]

-⟨ Ok, tepat pukul lima sore aku akan tiba di sana. Kau sudah makan siang? 

 Fidella tak kuasa menahan senyum bahagia. Perhatian kecil semacam ini selalu mampu menggetarkan jiwa Fidella begitu hebat dan lambat laun emosinya mulai kembali stabil. Ia tak ingin memikirkan Sagara, selagi Stevan bisa memberinya kebahagiaan utuh seperti ini.

 Jari- jari Fidella tampak terampil ketika memberikan balasan pesan untuk Stevan.

[Fidella Agri]

-⟨ Belum, aku baru saja keluar dari ruang operasi. Melihat banyak darah membuatku sedikit kehilangan nafsu makan. Kau sendiri bagaimana, sudah makan siang, 'kan?

 Tak berapa lama, jawaban yang Fidella tunggu-tunggu pun hinggap di kotak masuknya. 

[Stevan Anderson]

-⟨ Hei, mana boleh begitu. Jika seorang dokter kehilangan nafsu makan setelah melihat darah, maka habislah populasi dokter di dunia ini.

 -⟨ Pekerjaanmu akan selalu mempertemukanmu dengan darah. Cepat makan, aku tidak mau kau sakit. Dokter cantik sepertimu tidak boleh jatuh sakit. Aku tidak rela ada dokter lain yang menyentuhmu. 

-⟨ Mm, aku sudah makan siang tadi. Dan sekarang sedang bersiap untuk rapat, nanti kuhubungi lagi, ya? Rapatnya akan segera dimulai. See you babe.

 Fidella tak membalas pesan terakhir tunangannya. Seperti yang diharapkan, setelah menghubungi Stevan perasaannya membaik dan mengembalikan semangat Fidella yang tadi sempat hilang. 

Wanita itu memutuskan pergi dari sana. Sebelum melangkah naik, sayup-sayup Fidella mendengar suara aneh dari arah bawah. Ia ingin berusaha mengabaikan, tapi suara itu kian mengganggu telinga dan seakan menahannya untuk tetap berada di sana.

 Perlahan namun pasti, Fidella melangkahkan kakinya pelan. Berjalan mengendap-endap seperti seorang polisi yang hendak menyergap gerombolan penjahat. Gerak matanya aktif menelisik sekitar; menerawang hal-hal yang sekiranya mencurigakan. 

Mata wanita itu terbelalak, senyum sinis terbit di antara sudut bibir yang terangkat naik. Desah laknat dan erang menjijikan menguar dalam pendengarannya. Sepasang makhluk absurd sedang bercumbu mengejar kepuasan dengan asyiknya sampai tak menyadari kehadiran Fidella.

 Perasaan jijik kian menganga, sudah ia duga jika Sagara tetaplah seorang pria busuk seperti sebelumnya. Fidella menyilangkan kedua tangannya, ia kembali duduk di salah satu anak tangga. Menonton adegan demi adegan panas yang terputar di depan matanya tanpa sensor atau penghalang.

"Cih, manusia brengsek akan selamanya seperti itu," batin Fidella tersenyum sinis. 

"Wow, pemandangan yang sangat mengagumkan," ujar Fidella singkat, tak ayal hal itu pun membuat Sagara melepaskan diri dari wanita yang tadi ia cumbu. 

Wanita yang merasa terganggu itu mendongak, menatap penuh kemarahan pada Fidella. Sagara tersenyum senang, tidak menyangka akan kehadiran Fidella yang terbilang cukup mengejutkan. 

Aneh memang, harusnya Sagara marah besar atas kelancangan Fidella mengganggu kenikmatannya. Akan tetapi, pria itu justru terlihat senang dan tak nampak marah sedikit pun. 

"Apa yang harus kita lakukan, Sagara?" tanya Bianca cemas, perawat itu takut jika Fidella melaporkan kejadian ini pada ketua perawat. 

Dilarang berkencan selama jam kerja! Tampaknya peraturan itu sudah cukup menggentarkan hati Bianca yang baru saja tertangkap basah oleh Fidella.

 "Serahkan padaku, kau boleh pergi," seru Sagara tenang. 

Atas perintah Sagara, Bianca pun pergi lebih dulu dari ruangan itu. Kini hanya tersisa Sagara dan Fidella. Ya, hanya mereka berdua. 

"Jadi, setelah menyombongkan diri di ruang operasi, beginikah caramu menghilangkan penat?" tanya Fidella bermaksud menyindir.

"Mm, kau mau mencobanya denganku?" Seperti biasa ketenangan selalu ditampilkan Sagara dalam setiap pembicaraannya dengan Fidella. 

"Jangan harap!" tolak Fidella tegas dengan tatapan tajam mengkilat. Melihat hal itu, Sagara terkekeh.

 "Aku hanya menawarkan sesuatu yang menyenangkan. Sepertinya kau juga tertarik, terbukti tadi kau menjadi penonton yang sangat tenang," cetus Sagara, "meski akhirnya sedikit mengusik," tambah Sagara melancarkan godaan andalan bersama seringaian maut.

 "Cih, tidakkah kau sadar sikapmu ini terlalu santai, Dokter Sagara? Aku baru saja menangkap basahmu sedang mesum di saat jam kerja. Kau bisa mendapat teguran atau bahkan hukuman jika aku melaporkannya," ancam Fidella percaya diri.

 "Memang, aku juga tahu," jawab Sagara cuek. 

"Lalu?" lanjut Sagara enteng.

 Fidella memicingkan mata. "Lalu, lalu kau bilang? Aku bisa saja melaporkanmu sekarang juga, Dokter Sagara Affandra yang terhormat."

 Sagara hanya tersenyum tipis. Pria itu menaiki beberapa anak tangga hingga akhirnya berdiri di hadapan Fidella. Spontan wanita itu mundur satu langkah. 

 "Kau mengancamku atau justru sedang melucu?"

 Fidella menaikkan sebelah alisnya. 

"Sepertinya kau belum mengerti. Begini, Cantik, biar kuberi tahu. Saat seseorang ingin melumpuhkan musuhnya dalam perang, maka orang itu memerlukan senjata canggih dan kekuatan mumpuni agar bisa keluar sebagai pemenang. Bisa kau bayangkan bagaimana nasib para tentara perang jika tidak memiliki senjata? Mereka tak ubahnya pistol tanpa peluru, seperti matahari tanpa cahaya, tidak ada gunanya. Kau paham?" 

"Apa maksudmu?" 

"Kau bisa menerjemahkan ucapanku dengan mudah karena kau pintar." 

Fidella bergeming sembari memutar otak sekeras mungkin. Beberapa saat kemudian, ia pun memejamkan matanya. Gadis itu sedang merutuki diri yang terlihat bodoh di depan Sagara.

"Kenapa kau bodoh sekali, Fidella! Seharusnya kau merekam adegan tadi, jika begini siapa yang akan percaya padamu?

Semua orang tahu kau sangat membenci Sagara. Jika kau berbicara yang tidak-tidak tentangnya, itu hanya akan dianggap sebagai akal-akalan busukmu untuk menjatuhkan pria menyebalkan itu," batin Fidella merutuki dirinya. 

 "Sudah paham maksudku, 'kan?"

 "Aku pikir otakmu sudah lebih baik dari sebelumnya. Ternyata semua masih sama, bertindak tanpa berpikir itu kebodohan, Cantik."

 "Jangan buat aku kembali membencimu!" Sorot mata Sagara yang semula datar kemudian menajam; memberi kesan yang kentara mencekam.

 Ada begitu banyak rasa yang sulit ditafsirkan dari tatapan mematikan pria itu. Hingga pada puncaknya, ketajaman itu perlahan meneduh berganti dengan sorot jahil seperti yang biasa ditampilkan. 

"Kau terlalu sempurna untuk kubenci, aku tidak mau melakukannya lagi. Kau mengerti?" Pria itu berjalan santai, memasukan kedua tangannya ke dalam saku jas putih dan membiarkan Fidella terhanyut dalam geming kebisuan.

"Dan satu hal lagi yang perlu kau tahu, aku tidak berkencan. Jangan salah artikan kejadian tadi. Jika kau ingin melaporkannya, bilang saja jika aku bercumbu dengan seorang wanita pada jam kerja. Itu terdengar lebih baik," ungkap Sagara memberi saran saat ia sengaja berhenti sejenak untuk menyampaikan hal tersebut. 

Pria itu menatap lekat manik Fidella, senyuman hangat ia sunggingkan kentara tulus dan menyejukan. "Tunggulah beberapa menit lagi atau orang-orang akan curiga jika melihat kita keluar bersama dari sini." 

To be continued

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Theresia Debbie
kok fidella kalah melulu kl debat sm sagara...gak asyik banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status