Share

Pria Idaman

"Sudah lama?" tanya Fidella menghampiri Stevan, napasnya terdengar tak beraturan selepas berlari sepanjang jalan takut tunangannya menanti terlalu lama.

 "Tidak, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Sayang." Stevan mulai menggombal, Fidella tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya.

 Stevan mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Fidella kemudian merengkuh kekasihnya erat. 

"Ahh, aku sangat merindukan pelukan hangat wanita manja ini," tutur Stevan, menyimpan dagunya pada puncak kepala Fidella.

 "Aku juga sangat merindukanmu, Honey. Kau tahu, akhir-akhir ini Sagara kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," gerutu Fidella sambil mengeratkan pelukannya.

 Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka. 

"Temanmu yang satu itu sangat menarik. Aku jadi ingin bertemu langsung dengannya." 

"Itu ide tergila yang pernah aku dengar. Sebaiknya kau segera tarik kata-katamu barusan, Honey. Kuyakin kau pasti akan sangat menyesal."

"Kenapa? Aku ingin bertemu dengan pria hebat yang kerap membuat kekasihku frustrasi setengah mati. Dan aku juga ingin mengucapkan terima kasih padanya."

 "Untuk apa kau berterima kasih pada si bodoh itu?" 

"Karena berkat dia, intensitas kekesalanmu meningkat dan membuatmu jadi semakin sering memelukku seperti ini. Bukankah itu anugerah?" 

Fidella mendorong tubuh Stevan pelan. "Aku memelukmu bukan karena dia!" tegas Fidella, Stevan mengangguk paham. 

"Oke-oke, bukan karena dia. Kemarilah! Aku masih ingin memeluk tunanganku yang cantik nan manja ini." Dengan sekali tarik Stevan berhasil membawa tubuh kekasihnya kedalam rengkuhannya lagi. 

Mereka berpelukan hangat dan sangat mesra, menguarkan nuansa cinta yang sempurna. Stevan menyentuh kedua pipi Fidella, memiringkan kepalanya dan tak berapa lama bibir maskulin itu sudah mendarat di bibir ranum yang selalu membuatnya ketagihan. 

Bibir keduanya bertautan cukup lama, romansa cinta memang membutakan segalanya. Ia tidak bisa dipatahkan oleh sebersit perasaan malu yang mungkin menghampiri setelah kejadian itu berakhir nanti. Baik Fidella maupun Stevan sama-sama menenggelamkan diri dalam buai keindahan cinta mereka. 

"Romantis sekali," cibir seseorang yang muncul dari arah belakang Fidella. Refleks Stevan dan Fidella saling menarik diri, menghentikan ciuman yang nyaris memanas ketika gairah turut campur di dalamnya. 

Fidella berbalik lantas melayangkan tatapan nyalang pada orang itu. Sementara Stevan hanya menggaruk tengkuknya kikuk. Entahlah, ada sedikit perasaan malu ketika mendapati orang lain menyaksikan ciumannya dengan Fidella tadi.

 "Sedang apa kau di sini?" dakwa Fidella tak suka, Sagara mengernyit sambil menunjuk dirinya sendiri. 

"Aku?"

 "Tentu saja kau, memangnya ada orang lain lagi di sini selain dirimu?" 

"Mm, aku mengganggu kalian?" balas Sagara berlaga tidak enak hati. 

"Tidak juga, maaf jika kau harus menyaksikan kejadian itu," jawab Stevan lebih tenang dan sedikit sopan.

"Aku sudah biasa, maksudku siapa yang tidak pernah melihat orang berciuman di negara ini. Itu wajar."

 Sagara tersenyum ganjil, seperti ada maksud terselubung dari senyuman itu. Stevan membalasnya tidak curiga sama sekali, berbeda dengan Fidella yang sudah menangkap sinyal berbahaya dari Sagara. 

"Ada apa kau menemuiku?"

 "Percaya diri sekali, kau pikir aku mau menemuimu?"

 "Kau pikir aku akan percaya jika pertemuan ini hanya kebetulan?"

 "Kenapa tidak, siapa tahu aku mau mengambil mobil juga." 

"Sayangnya bukan itu alasannya, benar bukan?" 

Sagara mendecih, ia salut dengan segala hal yang dilakukan Fidella. Selalu ada saja tingkah laku atau tutur kata wanita itu yang membuat Sagara terkagum-kagum.

"Wow, aku terkesan, sepertinya kau punya indera keenam atau mungkin kita memang sehati?"

 Perkataan Sagara yang demikian sensitif itu berhasil mengusik kebisuan Stevan. Dia tidak suka Sagara menggoda Fidella di depan matanya. 

"Bicara apa kau ini?" geram Fidella marah. Ia melirik Stevan yang menampakkan ekspresi terganggu. 

Sagara mengerti kekhawatiran Fidella. Ia pun sudah menangkap aura mencekam dari pria yang tengah menatapnya penuh selidik.

 Ini semakin menyenangkan, begitulah pikir Sagara.

 "Oh, maaf, bukan maksudku untuk menggoda tunanganmu. Kami memang sering bercanda seperti ini. Kuharap kau tidak salah paham."

 "Tidak masalah, aku mengerti. Fidella sering mengatakan hal itu padaku." 

Sagara tidak terkejut. Sudah pasti wanita itu akan melakukannya. Dia memang tipikal orang yang tidak bisa memendam kekesalan seorang diri. 

Setiap memiliki masalah apa pun, Fidella harus membagi masalah itu dengan orang terdekatnya. Hanya dengan begitu ia baru bisa merasa tenang dan lega, meski hal tersebut belum tentu mampu menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi. 

"Aku tidak menyangka kau begitu mengagumiku Nona Fidella Agri. Sampai-sampai tunanganmu tahu tentang hubungan unik kita." 

"Abaikan ucapannya, Honey. Sudah kubilang dia memang sialan."

 "Dia juga sering menceritakanmu padaku," timpal Sagara sebelum Stevan menanggapi perkataan Fidella. 

Stevan tergelak, sedikit tidak percaya. Namun, apa yang dikatakan Sagara adalah fakta yang tidak bisa disanggah kebenarannya. 

Pria itu tidak bohong, Fidella memang sering bercerita tentang Stevan. Mengobral kesempurnaan Stevan dan menjadikannya sebagai bahan perbandingan paling tepat untuk menjatuhkan harga diri Sagara.

 "Benarkah?" Stevan melirik Fidella yang sedang menatap Sagara penuh kecaman.

 "Mm, dia selalu memujimu di depanku, bahkan di hadapan semua anak buahnya. Katanya kau adalah pria terbaik yang pernah dia temui berbeda dengan seseorang yang hanya bisa membuat darahnya bergolak setiap saat. Tentu kau tahu siapa yang dia maksud."

 "Hei! Jangan asal bicara!" bentak Fidella hendak memukul Sagara. Namun, Stevan menarik tangan wanita itu. 

"Kenapa marah? Aku bicara apa adanya. Kupikir dia tahu tentang kebiasaanmu yang selalu membandingkannya denganku." 

"Kau tidak punya hak untuk mengatakan hal itu padanya."

 "Sudah kuduga, dia pasti tidak tahu. Kau melakukannya agar aku merasa terintimidasi, bukan? Sayangnya, strategimu terlalu payah. Jelas kami berbeda, tunanganmu itu bukan levelku." 

Stevan mendecih setengah tertawa, apa Sagara baru saja meremehkannya? Pria itu mulai muak akan kehadiran Sagara. 

"Maaf, sepertinya aku terlalu banyak bicara. Tidak perlu diambil hati, Bung. Kau tahu aku memang suka melucu. Karena itulah wanitamu memanggilku pria gila." 

"Hentikan omong kosongmu, Sagara! Katakan ada apa kau menemuiku?" 

Fidella mengambil jalan pintas untuk menyudahi percakapan sengit ini. Sagara langsung mengangkat sebuah map berwarna biru yang sedari tadi ia pegang. 

"Kau melupakan ini, laporan diagnosis pasien yang besok akan kau operasi." 

"Sebagai ketua tim, aku hanya ingin memastikan semua dokterku bekerja dengan baik dan tidak melakukan hal bodoh yang membahayakan pasiennya di ruang operasi," jelas Sagara penuh penekanan. 

Fidella mendelik kesal, lantas meraih map di tangan Sagara dengan kasar. "Hanya ini, bukan? Sudah sana pergi, aku sedang tidak ingin melihat wajah jelekmu." 

Fidella merangkul lengan Stevan; mengajak pria itu pergi dari sana. 

"Dokter Fidella, tunggu!" panggil Sagara setengah teriak ketika Fidella hendak memasuki mobil.

 Wanita itu menoleh, walau malas. Sorot mata kejam tak lelah ia pancarkan pada lelaki itu. 

"Kau ingat tentang pembicaraan kita tadi siang?" Fidella memutar otak, mengorek ingatan tentang pembicaraan yang Sagara maksud. 

"Sepertinya aku juga mendapat ide yang sama denganmu. Aku bahkan sudah mendapat senjata pamungkas yang bisa melancarkan rencanaku nanti." 

Sagara menggoyangkan tangan kanan, di mana iPhone 11 pro max miliknya berada. Fidella mengernyit heran, setelahnya ia membulatkan mata terkejut. Sagara tersenyum penuh kemenangan.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa besok, Nona Fidella Agri." 

Sagara melengos begitu saja. Fidella masih berdiri tidak percaya, ia membuka mulutnya membentuk huruf A agar hawa nafsunya keluar semua dari sana. Seketika hati Fidella yang sebelumnya teduh, kembali terbakar amarah yang kian bergejolak. 

"Sialan, pasti dia merekamnya. Ahhhh, Sagara Affandra Ramirez kau benar-benar brengsek! 

***

 "Kau masih kesal padanya?" tanya Stevan. 

Saat ini ia dan Fidella sedang berada dalam perjalanan pulang. Setelah sebelumnya pasangan kekasih itu sempat meluangkan waktu mereka untuk makan malam di restoran langganan mereka yang ada di kawasan Soho, Manhattan.

 "Tentu, dia pasti merekam kita saat ciuman tadi, Honey."

 "Bahkan, dia mengancamku akan melaporkan kejadian itu. Aku harus bagaimana?" Fidella mendengus kesal, ia mengipasi wajahnya dengan kedua tangan. 

"Mengapa kau berlebihan sekali? Tenang saja, semua itu tidak akan terjadi. Dokter Sagara tidak akan melakukannya."

 "Kau tidak mengerti pria itu, dia orang sinting yang rela melakukan apa saja demi melihatku kesulitan."

 "Ah, ternyata hubungan kalian cukup dekat hingga sampai di titik saling memahami satu sama lain." 

Stevan meluncurkan godaan. Ia berlaga marah atau tepatnya pura-pura cemburu. Jujur saja Stevan memang kurang suka melihat Fidella terus saja membahas Sagara selama makan malam tadi.

 Bukan hari ini saja, setiap mereka berdua berkencan selalu ada celah, di mana Fidella menyinggung Sagara, tentang apa pun itu. Meski wanita itu kerap membicarakan kejelekan dan rasa tidak sukanya pada Sagara, tetap saja itu mengusik hati Stevan.

 "Oh God, jangan bilang kau cemburu padanya, Honey?"

 "Jika benar, memangnya kenapa?" 

Fidella terkekeh geli. Wanita itu tidak habis pikir, bagaimana bisa Stevan cemburu akan hubungan uniknya dengan Sagara. Ini seperti lelucon, orang bodoh saja tahu bahwa hubungan Fidella dan Sagara tidak akan pernah sampai di titik yang bisa membuat Stevan cemburu.

 "Leluconmu sangat tidak lucu. Dia manusia gila, aku membencinya mana mungkin aku, ah, rasa cemburumu tidak beralasan!" 

"Hei, hati-hati dengan ucapanmu, Sayang. Apa kau lupa istilah klise benci jadi cinta?" 

"Dokter Sagara adalah pria hebat. Dia tampan, populer, berprestasi juga kaya raya. Apa yang kurang darinya? Bahkan, aku saja merasa kagum padanya." 

"Bukan tidak mungkin kelak kau tertarik padanya dan pergi meninggalkanku." 

"Sudah hentikan, Honey. Bicaramu mulai tidak jelas. Kau mengatakan hal konyol yang sangat gila. Dengar, aku, Fidella Agri hanya mencintai Stevan Anderson." 

"Kau satu-satunya pria yang akan memiliki hatiku dan semua yang ada pada diriku, setelah nanti kita menikah. Tidak ada pria lain, apalagi si brengsek itu. Hanya kau, Honey."

 Fidella menggenggam satu tangan Stevan yang tidak sedang memegang setir. Pria itu mengambil alih tangan Fidella untuk ia genggam erat.

 Betapa bahagianya hati Stevan bisa mendapat wanita sebaik Fidella. Pria itu semakin mencintai wanitanya. 

"Tentu, kau hanya tercipta untukku begitu pun sebaliknya." 

"Ah, aku sudah tidak sabar. Dua minggu itu terasa dua tahun untukku. Apa kita perlu mempercepat hari pernikahan kita menjadi besok, hm?"

 "Wanita manja ini sudah tidak sabar untuk menjadi istriku rupanya."

 "Kau benar, aku sangat-sangat sangat tidak sabar. Dua minggu yang akan datang aku akan menyandang gelar sebagai Nyonya Anderson. Ah, membayangkan rencana bulan madu kita saja aku sudah sangat berbunga."

 "Oh, iya, kau ingin punya berapa anak, Honey?"

 "Hei, pertanyaan itu masih terlalu dini. Kita bahkan belum menikah, Sayang," seru Stevan melepas genggamannya dan mengelus rambut lantas beralih menuju pipi wanita itu.

 "Apa salahnya? Toh, nanti kita juga akan membahasnya."

 Fidella merengut manja. Ia sebal karena Stevan tak menanggapi pertanyaannya.

 "Ini belum saatnya. Nanti jika hari bahagia itu sudah di depan mata, tanpa banyak berunding aku akan membuatkan anak yang banyak untukmu. Kita akan melakukannya setiap malam atau mungkin setiap jam," goda Stevan tak bermaksud apa-apa.

 Pipi Fidella memerah karena malu, godaan Stevan terlalu frontal, tetapi manis untuk didengar. Ia meninju pelan pergelangan lengan Stevan dan mengalihkan pandangannya keluar.

 "Kau malu, hm?" ujar Stevan sambil mencolek lengan Fidella.

 "Diam, aku sedang marah padamu." Fidella berdusta, ia tidak ingin pria itu semakin menggodanya karena rona wajah yang memalukan ini.

 "Ohoo, Sayang, ayolah. Hei, Cantik lihat aku." 

Stevan terus melancarkan godaan yang membuat Fidella tak kuasa menahan geli. Ia ingin tertawa lepas dan memukul dada kekasihnya karena sudah menggelitiki perutnya.

 "Kau nakal, Honey!" Fidella mengempaskan tangan prianya secara lembut. Sungguh ia tidak tahan dengan rasa geli, akibat tangan Stevan yang mengerayangi perutnya yang terlapis beberapa helai kain itu.

 "Kau yang memintaku melakukannya."

 "Kapan? Dasar mesum!" 

"Tapi, kau suka, 'kan?"

 Fidella mengangguk dan menatap penuh cinta pada Stevan. Pria itu hanya membalas tatapan Fidella sekilas karena ia harus membagi konsentrasinya untuk tetap fokus menyetir.

 "Aku mencintaimu, Honey," ungkap Fidella tulus sepenuh hati.

 Stevan bergeming, ia menatap Fidella kemudian menyunggingkan senyum manis. Berharap wanita itu mengerti akan maksud dari senyumannya, bahwa dirinya pun sangat mencintai Fidella. 

"Kita harus hidup bahagia, ingat itu."

 Fidella kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Mengarahkan pandangan ke depan dengan senyum bahagia masih terlukis diwajah cantiknya. 

"Ya, semoga kita berdua bisa bahagia, Fidella. Maafkan aku," batin Stevan merasa bersalah. 

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status