"Angin tidak hanya berembus di satu tempat, Fidella. Semua akan berlalu dengan semestinya, kuatlah."
-Sagara Affandra-
***
Hai, Fidella.
Ini hari kesepuluh kita tidak saling menyapa. Seharusnya kita bertemu sekarang, berdiri di depan altar dan mengucap janji sehidup semati.
Kau pasti sangat cantik hari ini, kerugian bagiku karena tidak bisa melihat kecantikanmu itu. Membayangkannya saja sudah membuatku senang, apalagi jika aku berada di sana.
Cih, apa yang sedang aku lakukan sekarang? Memuji padahal aku sedang menyakitimu. Maaf, tolong maafkan manusia bodoh dan brengsek ini.
Aku tidak bisa menjadi mempelai priamu. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk membahagiakanmu. Aku tidak bisa menjadi rumah untuk hatimu berpulang jika ia lelah.
Bukan a
Hening, tidak ada kata terucap dari keduanya setelah ucapan terakhir Sagara. Posisi duduk Fidella membelakangi Sagara, mereka berdua terlihat seperti pasangan pengantin yang sedang bertengkar.Bagaimana tidak? Penampilan keduanya pasti membuat semua orang yang melihatnya berpikir demikian. Fidella yang masih mengenakan gaun pengantin, juga Sagara yang mengenakan tuxedo hitam dengan gaya rambut tanpa poni itu cukup untuk menipu semua mata.Sepatu kulit Sagara yang mengkilap itu memunculkan bayangan sang pemilik dan seorang wanita di sebelahnya. Pria itu memang sengaja melihat bayangan dirinya dan Fidella dari sana."Aku menepati janjiku. Jadi, berbahagialah.""Tidak ada alasan untukku bahagia saat ini," balas Fidella untuk yang pertama kalinya sejak Sagara hadir di sana."Kenapa tidak? Sejatinya kau punya beribu kesempatan untuk bahagia setiap hari. Tergantung kemampuanmu menciptakan kebahagiaan it
Fidella meraih tangan Sagara yang sedang sibuk menyeka air matanya. Lalu ia menggenggam tangan kekar itu erat."Kumohon bantu aku, Sagara.""Shit, wanita gila ini benar-benar keras kepala!" Sagara mengempaskan tangan Fidella lalu berdiri sambil berkacak pinggang penuh emosi.Pupus sudah harapan terakhir Fidella, mungkin ia memang harus menerima kenyataan pahit ini. Ditinggal pria yang sangat ia cinta di hari pernikahannya dan mendapat cibiran karena pembatalan pernikahan ini. Oh, takdir memang kejam."Bangunlah!"Fidella mendongak saat mendapati uluran tangan Sagara. Ia menatap lekat pria itu penuh tanya."Cepat bangkit, bukankah kau bilang kita harus menikah?""Kau setuju?""Apa ungkapanku barusan t
"Lakukanlah," ujar Fidella yang entah serius atau tidak."Hm, kau yakin?" Sagara menatap Fidella datar dan penuh keheranan."Hanya untuk menyempurnakan acara ini. Lakukanlah sebelum aku berubah pikiran," ketus Fidella menjawab.Sagara terkekeh sangat manis. Gadis ini memang selalu membawa hiburan tersendiri baginya."Bilang saja kau memang ingin mendapat ciuman sensualku," kelakar Sagara menggoda, Fidella membulatkan matanya."Itu tidak benar! Jangan pernah berpikir jika aku menginginkan hal itu. Semuanya hanya demi kesem, eumph."Sagara membungkam bibir Fidella membuat gadis itu terkejut dengan gerakan cepat Sagara. Fidella tak sempat mengambil ancang-ancang.Ia b
"Kenapa hanya berdiri di situ? Kemarilah!" titah Ayah Fidella pada Sagara yang sedang berdiri di ambang pintu masuk ruang makan.Mereka berkumpul di ruang makan, terlihat Daniel yang sudah memulai sarapannya tanpa menunggu kehadiran sang kakak ipar. Sedangkan Fidella dan kedua orang tuanya masih menunggu Sagara bergabung.Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang suami, sekaligus menjadi bagian dari keluarga besar Reno Vinandra Mathewson, ayah mertuanya. Fidella menoleh ke arah sang suami sambil menampilkan wajah malas. Kontras dengan ekspresi sendu yang kemarin mendominasi wajah cantik gadis itu."Nikmati saja kegilaannya, Sagara," batin pemuda itu menyunggingkan senyum tulusnya pada kedua mertua juga adik iparnya. Namun, tidak untuk istrinya."Kau pasti lelah, 'kan? Itu sebabnya kau bangun se
Fidella dan Sagara sedang dalam perjalanan menuju penthouse Central Park West, kediaman Sagara. Sudah sejak lima tahun lalu Sagara menjadi salah satu pemilik hunian yang digadang-gadang sebagai apartemen atau penthouse termewah di Amerika itu.Karir cemerlangnya sebagai salah seorang ahli bedah di departemen HPB rumah sakit Downtown, berhasil memberikan pundi-pundi yang terbilang fantastis. Tidak heran hunian dengan luas 626,5 meter persegi, yang dibandrol dengan harga sekitar US$ 88 juta itu bisa dengan mudah Sagara dapatkan dari hasil kerja kerasnya selama ini.Pria berusia dua puluh delapan tahun itu memang terbilang anak yang mandiri dan hebat. Di usia muda sekitar dua puluh satu tahun, ia sudah berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Tokyo University dengan nilai IPK Cum Laude yang mampu membuat semua mahasiswa di muka bumi ini menjerit iri.
Lima belas menit berlalu, akhirnya pasangan suami istri itu tiba di penthouse mewah yang selama ini menjadi hunian seorang Sagara Affandra Ramirez. Penthouse condominium ini berada di lantai paling atas gedung apartemen tersebut.Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kediaman suaminya, Fidella tak jemu-jemu berdecak kagum. Matanya berbinar menyaksikan hunian yang lebih terlihat seperti taman surga ini.Ruang tengah yang menjadi lobi utama rumah itu sangat luas. Sepanjang mata memandang ruangan itu hanya menyuguhkan keindahan yang tidak bisa Fidella sanggah kenyataannya. Ia tidak peduli dengan cibiran Sagara yang mengatakan jika dirinya terlihat seperti orang bodoh dan kampungan.Marmer crem dengan corak garis seperti akar pohon menjadi pijakannya. Gaya arsitektur bangunan ini klasik dan sangat elegan. Cocok dengan kepribadian
Sagara meringis kesakitan, tangisnya semakin kencang dan cukup untuk mengundang perhatian banyak orang. Mereka yang melihat hanya sekedar menjadi penonton tanpa niat turut campur. Tidak ada prihatin bagi si kecil, tidak ada uluran tangan yang bersedia menepuk punggungnya, menenangkan, juga menyeka air matanya."Ya ampun, Sagara!" teriak ayah Sagara terkejut saat mendapati sang putra menangis sembari bersimpuh di bawah aspal.Pria itu membuang beberapa container—tempat yang sebelumnya digunakan untuk menyimpan ikan ke sembarang arah. Ia berlari menghampiri Sagara dan meraih bocah itu, Tuan Andra Ramirez memeluk putranya erat."Ayah, hiks, hiks." Sagara terisak. Sungguh miris sekali keadaan bocah tampan itu."Tenang, ayah di sini, Sayang. Kau baik-baik saja?" Ayah Sagara meraih wajah
"Kemungkinan besar mereka yang kita benci adalah seseorang yang paling berarti, ingat itu." -Sagara Affandra-"Kau terlihat semakin seksi jika sedang marah. Ah, tidak, bahkan lebih dari itu. Sangat menggairahkan dan—""Kya! Stop bicara jorok, itu menjijikan, dasar mesum!""Terkadang yang menjijikan itu bisa membuatmu melayang, Sayang." Sagara semakin gencar dengan godaannya. Cara ampuh untuk mengesampingkan rasa sendu yang sebelumnya ia rasa."Cih, oh Tuhan izinkan aku membunuhnya hari ini!" geram Fidella, gadis itu mengatakannya dengan gigi yang sudah menggertak lantaran menahan emosi."Aku tidak menyesal kau membunuhku jika hasratku sudah terpuaskan," balas Sagara dengan tatapan yang mampu membuat puluhan wanita melemah sedang i