Share

Chapter 4 - Fakta Mengejutkan

Aku mulai berjalan menghampiri beliau, lalu duduk di sampingnya. Ingin menatap wajahnya yang teduh dan bijaksana itu, tetapi mata ini seakan tak mampu untuk memandang terlalu lama. Nenek itu tersenyum melihatku, lalu mulai membuka obrolan.

"Kamu dari mana asalnya, Nak?" 

"Saya lahir di Jawa Barat, Nek," jawabku sambil terus menunduk karena tak mampu menatap wajahnya.

"Kamu tahu, kenapa dari awal datang ke rumah ini, kalian diganggu terus-menerus?" Beliau melanjutkan pertanyaannya.

"Ti-tidak tahu, Nek," jawabku. Aku sedikit gugup saat menjawab pertanyaan ini. Entah apa yang tiba-tiba kurasakan.

Si nenek lalu melanjutkan kembali perkataannya, "Apa kamu juga tahu rumah ini sudah dikosongkan berapa lama?"

"Menurut papa Mirna, rumah ini baru dikosongkan sebulan yang lalu, Nek. Jadi hanya itu yang kami tahu," jawabku.

Si nenek tersenyum. "Rumah ini sudah dikosongkan sepuluh tahun, Nak. Dulu, pernah ada beberapa orang yang mencoba tinggal di rumah ini seperti kalian, tapi mereka tak mampu bertahan lama," jelasnya.

DEG!

Aku terkejut. Keringat dingin mulai bercucuran di wajah, dan berusaha menyeka. Bisa-bisanya papa Mirna tega membohongi kami semua dengan berkata bahwa rumah ini baru dikosongkan sebulan yang lalu?

Di tengah rasa kebingungan dan sedikit rasa kesal, si nenek kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi, Nak, kamu termasuk orang yang beruntung. Karena kamar yang kamu tempati itu adalah kamar Nenek. Selama tinggal di sini, Nenek akan menjaga kamu. Tapi Nenek ingin, kamu lakukan satu hal. Nanti malam, buatkan kopi pahit, teh tawar, dan singkong rebus. Simpan semua itu di meja ini dan biarkan sampai besok pagi. Supaya kalian semua selamat, untuk malam ini," ucap Nenek dan setelah itu, beliau menghilang, meninggalkanku di dapur.

Baru saja ingin kutanyakan pada beliau, untuk apa semua itu? Namun, kupikir lebih baik ikuti saja permintaannya daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

Mengingat salah satu teman ada yang mengandung, jadi kumantapkan hati untuk mengikuti saran Nenek.

***

Sore menjelang magrib, aku masih tak bisa tidur. Pikiran selalu teringat pada ucapan Nenek tadi siang. Pantas saja saat aku menyapu teras di samping dapur tadi, ibu-ibu yang kusapa malah bersikap seperti orang ketakutan. Ternyata, rumah ini sudah tak ditempati sepuluh tahun lamanya. 

Meskipun tetap berpikir keras, dari mana asalnya semua makhluk menyeramkan yang tadi siang kulihat.

"Rumah ini benar-benar penuh misteri. Aku harus cari tahu kebenaran lain dari orang-orang sekitar sini!"

Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar dari kamar.

Niatku ingin segera mandi agar tubuh lelah menjadi segar, sekaligus mendinginkan kepala yang masih penuh dengan tanda tanya.

Saat keluar, aku bertemu dengan Rafli di depan pintu kamar. Sepertinya, dia berniat untuk mandi juga sore itu.

"Saya duluan yang mandi ya, Dre," ucapnya sembari mempercepat langkah agar dia duluan yang sampai ke kamar mandi.

"Okelah kalau begitu," sahutku dengan nada malas.

Aku memutuskan untuk duduk di dapur, menunggu giliran sambil melihat suasana sekeliling halaman dari balik kaca jendela dapur. Kaca di dapur terlihat bersih hingga halaman samping rumah pun bisa terlihat dari dapur. 

Aneh rasanya untuk rumah yang sudah sepuluh tahun tak ditempati, tetap sangat terawat. Aku menduga-duga, papa Mirna sering ke sini untuk sekadar bersih-bersih agar rumah ini tetap terawat dengan baik.

Di tengah lamunan, aku dikagetkan oleh Rafli yang buru-buru keluar dari kamar mandi.

"Ada apa, Fli? Mandi kok, tidak terdengar suara airnya?"

Rafli langsung menarik tanganku dengan paksa. Aku pun ikut dengannya ke ruangan depan. Kami berdua setengah berlari karena Rafli sangat ketakutan.

"Woy, kenapa? Lihat sesuatu di kamar mandi, ya?" tanyaku.

"Tadi, di dalam kamar mandi, saya melihat perempuan yang kamu bilang tadi siang! Perempuan berambut pendek. Dia muncul di belakang saya pas baru selesai cuci muka!" jelasnya dengan napas tak beraturan.

"Muncul di belakang bagaimana maksudnya?"

"Saya lagi cuci muka. Di tembok depan kan ada cermin, awalnya sebelum cuci muka tidak ada apa-apa. Pas selesai cuci muka dan lihat cermin, bayangan perempuan itu ada di cermin! Dia tersenyum, tapi senyumnya bikin saya takut. Makanya, saya buru-buru lari keluar!" jelasnya lagi.

Meskipun mendengar penjelasan Rafli malah semakin membuatku bingung, tetapi intinya perempuan yang kulihat di depan kamar mandi tadi siang itulah yang dimaksud Rafli.

"Waaah, sial! Bisa-bisa, kita semua tidak mandi nih, kalau begini caranya," ujarku benar-benar kesal. "Atau begini saja, bagaimana kalau kita mandinya saling jaga? Jadi, kalau ada salah satu dari kita mandi, yang lain jaga di pintu depan. Bagi yang sudah selesai mandi, gantian jaganya."

"Kita main keroyokan saja ramai-ramai, bagaimana?" usulku pada Rafli. Rafli mengiakan. Akhirnya, kami kompak untuk mengikuti aturan yang telah kami sepakati bersama. Saling menjaga satu sama lain. Hingga sore itu, bisa kami lewati tanpa gangguan.

Suasana sejenak aman terkendali. Meskipun, kami tetap merasa waswas karena sebentar lagi keadaan semakin gelap saat memasuki malam.

Aku sempat menduga-duga, jika siang hari saja kami sudah diganggu, lalu bagaimana dengan malam nanti?

Namun, karena sudah mendapatkan pesan dari Nenek tadi siang, aku akan melakukan permintaan beliau kali ini. Karena mau tidak mau, kami tetap harus bertahan sebisa mungkin di rumah ini sampai masa kontrak habis.

Syukur-syukur, jika rezeki kami bagus di pulau ini. Jadi punya alasan kuat agar sesegera mungkin untuk pergi dari rumah ini. Memang kami ke sini bukan untuk berlibur. Kami hanya para pedagang yang mengadu nasib, bertaruh dengan uang seadanya dan berharap mendapatkan rezeki banyak dari hasil berjualan di pulau ini. 

Karena yang kami tahu, di pulau ini sedang panen cengkih dan buah pala. Hal itulah yang membuat kami akhirnya memutuskan untuk datang ke sini. Bisa dikatakan, kami ini sales door to door. Masyarakat awam pun sudah mengerti dan tahu pasti soal pekerjaan seorang sales.

Rencana kami, besok pagi akan memulai berjualan. Namun, kami tak pernah menduga jika akhirnya kami harus dihadapkan pada situasi sulit seperti ini.

***

Magrib telah usai. Jemaah sudah keluar dari masjid dan bersiap kembali ke rumah masing-masing. Inilah saat yang kami tunggu-tunggu!

Kami menunggu kedatangan papa Mirna dengan duduk di halaman depan untuk meminta penjelasan dari beliau, mengapa tega mengarahkan kami agar menginap di rumah ini?

Yaa, kami menunggu di depan! Karena sudah cukup waswas sedari siang. Jantung seakan dipacu oleh teror penampakan tanpa jeda. Tak peduli kami sangat lelah, penghuni di rumah ini seperti sedang berlomba-lomba memperkenalkan diri. Namun, cara mereka berkenalan itulah yang membuat kami sangat ketakutan.

Terlihat dari kejauhan, seseorang berjalan menuju pintu pagar rumah ini. Dialah orang yang kami tunggu. Belum sempat papa Mirna ucap salam, kami langsung berebut menghampiri beliau layaknya anak-anak yang ingin bermanja-manja pada orang tuanya.

"Ehh, ehh, ehh, ada apa ini? Kenapa kalian tiba-tiba seperti ini? Saya belum ucap salam, lho."

Tak peduli, kami langsung memberondong beliau dengan pertanyaan. "Iya, iya, sabar. Nanti saya jelaskan di dalam. Ayo, kita masuk dulu ke rumah," ajak papa Mirna.

Kami pun mengikutinya dari belakang. Sampai di ruang depan, kami memosisikan diri duduk di samping beliau, saling berdesakan. Sepertinya, papa Mirna merasa risi karena tingkah kami. "Kalian ini kenapa, sih?" tanya beliau.

"Coba duduknya jangan terlalu berdesakan seperti ini. Duduk yang rapi, kita bicarakan baik-baik. Ada apa sebenarnya?"

Aku pun berinisiatif untuk jadi orang pertama yang bertanya. "Pak, di awa, Bapak bilang rumah ini baru dikosongkan sebulan. Tapi, tadi siang saya baru tahu kalau ternyata rumah ini sudah kosong sejak sepuluh tahun yang lalu. Yang benar, yang mana, Pak?" tanyaku.

"Lho? Siapa yang bilang, kalau rumah ini sudah kosong sepuluh tahun?" Beliau balik bertanya.

Baru saja aku ingin menceritakan dari mana tahu hal itu, tiba-tiba Nenek muncul. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku tak menceritakan dari mana tahu hal itu. 

Akhirnya, aku pun diam.

Disusul oleh pertanyaan Shelly, Ina, Rafli tentang penampakan yang mereka lihat. Mereka berebut saling sahut untuk bertanya pada papa Mirna, meminta kejelasan dari semua keganjilan di rumah ini.

Namun, herannya papa Mirna justru tertawa dan bersikap santai sekali. Seolah-olah, semua yang kami alami di rumah ini cuma halusinasi. Semua pertanyaan kami dibantah oleh beliau. 

Menjengkelkan!

"Itu cuma halusinasi kalian saja, saya sering datang ke rumah ini untuk membersihkan semua ruangan, tidak ada tuh yang namanya penampakan seperti yang kalian bilang tadi," ujarnya sambil tertawa.

"Apa tidak bisa gitu, Pak, kita pindah saja ke rumah Bapak? Kasian Ina. Dia belum tidur dari siang tadi, Pak. Padahal sudah capek sekali." Rafli membela Ina, sekaligus beralasan supaya bisa pindah dari rumah ini.

"Tidak ada rumah yang lain. Rumah saya kecil, sedangkan satu-satunya rumah saudara yang kosong ya, hanya rumah ini. Lagi pula, saya sering masuk untuk membersihkan semua bagian rumah ini, aman-aman saja, tuh," tegasnya.

Kami tak mampu lagi untuk membantah penjelasan beliau. Terlebih, kami sudah menyerahkan uang sewa padanya. Mau diminta balik pun juga tidak enak hati.

Di saat kami masih kebingungan mendengarkan penjelasan beliau, kami dikejutkan oleh Asih yang tiba-tiba berteriak dan hal itu membuat terkejut!

"Iiihhh ... ada tangan yang colek pinggang saya dari belakang! Heuhh!" katanya sambil menangis.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status