Share

Chapter 5 - Sosok Wanita tanpa Kepala

Kami duduk makin tak beraturan dan berdesakan, saat Asih tiba-tiba setengah melompat dari tempat duduknya semula. Dia langsung memeluk papa Mirna seperti umumnya seseorang meminta perlindungan karena takut. Gadis itu menangis di belakang papa Mirna, sedangkan aku dan Rafli memasang posisi siaga. Bersiap untuk saling menjaga satu sama lain.

Ina juga terlihat memosisikan dirinya duduk mendekati Asih dan papa Mirna. Suasana di ruang depan rumah itu semakin menegangkan. Saat aku memasang mata untuk mencari siapa yang tadi mencolek Asih dari belakang, aku melihat Shelly menutup mulutnya. Ekspresinya seperti ingin tertawa, tetapi dia tahan. 

Aku sangat heran. Di saat situasi semakin menegangkan seperti ini, dia justru malah seperti ingin tertawa. Aku bertanya padanya. "Lah, kenapa malah ketawa, Mak?"

Seketika, dia langsung tertawa lepas, membuatku makin kebingungan.

"Yaa habisnya, dari tadi saya lihat Asih, udah tegaaang banget! Makanya, saya isengin colek dia dari belakang. Eh, dia malah langsung loncat! Haha!" Ekspresinya benar-benar di luar dugaan.

"Huuu! Ternyata kamu biang keroknya, Shel!" seru Rafli dengan nada kesal.

"Iiihhh! Mbak Shelly ini bikin saya jantungan saja! Huuu!" Terlihat Asih pun jengkel dengan sikap Shelly.

"Ish, Mbak Shelly ini tidak bisa serius sedikit? Orang lagi bicara serius, malah dibuat bercanda!" Ina pun juga menyahut dengan raut kesal.

"Ya ampuuun, Mak,Mak. Seriusan. Bikin jantungan saja!" Aku pun juga ikut kesal dengan sikapnya, meskipun dalam hati senang juga. Karena dengan adanya Shelly di antara kami, suasana selalu lebih berwarna. Dia orangnya paling rame, lebay, heboh, dan semua candaan yang dilontarkan sanggup membuat siapa pun jadi tertawa.

Sejenak, suasana malam itu mencair. Akhirnya, kami bisa tertawa lepas setelah seharian ini lelah dan belum bisa beristirahat dikarenakan teror dari makhluk penghuni rumah ini yang selalu menampakkan diri dan berusaha membuat kami jadi tidak pernah tenang selama berada di rumah itu.

Aku pun berinisiatif untuk beranjak ke dapur, bermaksud untuk membuat kopi, teh, dan tak lupa singkong rebus yang dipesan oleh Nenek tadi siang. Aku pun meminta Asih untuk menemani dan membantu di dapur. Sekalian membuat kopi dan teh karena ada papa Mirna yang hadir di tengah-tengah kami malam ini. 

"Yuk, Sih, kita bikin kopi untuk papa Mirna, sekalian buat teh juga untuk Ina," pintaku pada Asih.

Asih mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduk dan mengikuti berjalan ke arah dapur. Aku menyiapkan delapan gelas, dan dua buah piring. Sedangkan Asih menyiapkan air untuk direbus.

Saat aku mengisi gelas yang ada, Asih ikut menghitung gelas. "Kita kan berenam, kenapa Mas Andre malah bikin jadi delapan gelas? Terus, itu yang dua gelas lagi untuk siapa, Mas?" tanyanya padaku. Aku menjawabnya dengan tersenyum.

"Yang sisa dua gelas ini untuk sayalah. Malam ini saya mau habiskan dua gelas kopi dan satu gelas teh. Supaya tidak ribet juga kalau bolak-balik panaskan air. Jadi, saya buat kopi dan tehnya tiga gelas," jawabku dengan sedikit tertawa. Berusaha menutupi kebenaran. Karena jika saja kuberitahukan hal yang sebenarnya, sudah dipastikan Asih akan ketakutan dan melompat seperti yang dia lakukan tadi di ruang depan.

Setelah semua minuman selesai dibuat, aku meminta Asih untuk mengantarkan minuman lima gelas ke ruang depan sedangkan aku meminta supaya tiga gelas lagi ditinggalkan di dapur. Aku meminta supaya Asih ke ruangan depan terlebih dahulu.

"Sih, ini, kamu bawa lima saja ke depan, tiga gelas lagi biar disimpan di sini aja, ya. Saya masih mau minum kopi dan membuat singkong rebus dulu. Kamu duluan saja, nanti saya menyusul ke depan," pintaku padanya, 

Asih hanya mengangguk kemudian langsung pergi membawa minuman itu ke ruangan depan. Aku mulai menyiapkan singkong, merebusnya, dan menunggu sendirian di dapur sampai singkong matang.

Sambil menunggu, kupisahkan dua gelas berisi kopi pahit dan teh tawar di sebuah nampan yang berbeda. Lalu, tak lupa menyiapkan piring kosong untuk wadah singkong rebus saat sudah matang nanti.

Aku menyeruput kopi, menatap kompor yang menyala, lalu bergumam dalam hati. Ya Allah, mudah-mudahan rezeki kami di sini sangat bagus, supaya barang dagangan cepat habis, lalu bisa segera kembali ke Bacan. Tinggal di rumah ini benar benar membuatku sakit kepala.

***

Singkong rebus telah matang, segera kusimpan dalam piring kosong, berdampingan dengan gelas kopi dan teh. Kususun sedemikian rupa agar singkong yang sudah matang itu rapi.

Baru saja selesai menata semua syarat itu di atas meja, ujung mataku seperti menangkap sesuatu yang aneh di samping nampan. Tetesan air yang mengucur dengan teratur seperti mengikuti alur detik demi detik. 

Kuperhatikan tetesan air itu, lama-kelamaan seperti air liur. Seketika, bulu kuduk meremang. Saat melihat ke atas, barulah aku tau dari mana asalnya air liur itu menetes.

Hampir lemas tubuhku saat melihat pemandangan di atas sana. Sosok tubuh kerdil bermata besar dan tubuh dipenuhi bulu hitam lebat, sedang menjulurkan lidah.

Sosok itu tidak menghiraukan keberadaanku, dia justru lebih tertarik pada makanan yang telah tersaji sedari tadi di atas meja makan.

Aku tak mampu berkata-kata lagi. Bahkan, untuk menggerakkan jemari saja, tak mampu. Aku hanya bisa pasrah, mematung di depan meja makan.

Ingin rasanya berteriak memanggil teman-teman di ruang depan bersama papa Mirna. Namun, apa daya? Tubuhku benar-benar tak mampu bergerak.

Tak lama, sosok perempuan berambut pendek yang mengganggu Rafli tadi sore pun ikut hadir. Dia langsung berjalan menghampiri meja makan dan duduk menghadapku, menunjukkan ekspresi wajah yang menyeramkan. Aku melihatnya dengan jelas.

Wanita itu mencoba memosisikan kepala karena seperti patah. Dia berusaha memegangnya agar tak miring. Namun, saat dia menarik kepala, justru malah terputar ke belakang. Aku makin gemetar.

Ingin rasanya memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Aku tak bisa berbuat apa-apa.  Mencoba membaca doa yang selama ini diandalkan saat bertemu makhluk seperti mereka namun rasanya usahaku saat itu sia-sia saja!

Aku masih berdiri mematung, melihat tingkah kedua makhluk yang ada di hadapanku, tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Ya, aku hanya bisa menyaksikan mereka dan yang lebih mengerikan lagi, wanita itu terlihat kesal. Mungkin  karena kepalanya malah terputar ke belakang.

Sepertinya, dia ingin memosisikan kepala seperti semula. Namun, saat dia mencoba memutarnya, justru membuat terputus. Kepalanya lepas dari genggaman, jatuh menggelinding bak bola, ke atas meja. Lalu terhenti saat wajahnya menghadapku.

Dia tertawa, menampilkan seluruh gigi depan. Matanya melotot. Lalu, dari potongan leher, darah segar mengalir deras. Begitu pun dengan tubuhnya yang sedari tadi duduk di depan meja, tanpa kepala. Darah segar membanjiri baju kemeja bermotif bunga yang dia kenakan.

Aku hampir menangis.

Bau anyir dari darah segar dan ekspresi dari kepala yang putus itu benar-benar membuatku mual dan hampir muntah.

Di tengah suasana menjijikan ini, tanganku seakan ada yang menarik ke belakang. Dia menggenggam, seakan-akan mengajakku menjauh dari pemandangan itu. Tubuhku bisa kembali digerakkan.

Aku mengikuti ke mana arah tangan yang menarik dan saat sadar, ternyata yang menarik tanganku adalah Nenek!

Aku terus mengikuti, tangannya tetap menggenggamku, beliau mengajak untuk masuk ke kamar. Setelah aku dan beliau berada dalam kamar, pintu langsung tertutup dengan sendirinya. Ingin aku mengucapkan terima kasih pada beliau karena telah menyelamatkanku dari pemandangan yang menyeramkan dan menjijikan di dapur.

Namun, tiba-tiba pandangan menjadi gelap dan aku jatuh, tak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status