"Ayo, ikut bersama Nenek sekarang," ajak Nenek.
Aku pun langsung bergegas mengikutinya. Batinku berkecamuk, kekhawatiran mulai menyeruak menguasai pikiran.Tak lama, kami sampai di tempat seperti gua tempat persembunyian, Gua itu sangat gelap dan lembap, meskipun samar-samar masih bisa kulihat karena pencahayaanya temaram."Ini tempatnya, Nak. Tapi dari batas ini, Nenek tak bisa lagi mengantarmu sampai ke ujung sana, Nenek akan menunggu di sini. Jikalau kamu sudah berhasil menyelamatkan temanmu. Gunakan kemampuan yang kamu miliki saat ini, untuk bisa menyelamatkan temanmu. Nenek yakin, dengan kemampuan saat ini, kamu pasti mudah untuk menyelamatkannya,” jelas Nenek.Aku mengangguk dan meminta izin segera masuk ke dalam gua itu. Saat menuju tempat yang ada di penghujung gua ini, banyak sekali mayat bergeletakan. Bahkan, ada beberapa mayat yang tubuhnya sudah tidak utuh. Potongan tubuh yang terpisah di sana-sini serta bau bangkai yang sangat menyengat, membuat mempercepatDi tengah kebingungan dan ketakutan, aku benar-benar pasrah. Situasi saat ini benar-benar terjepit. Namun, saat kami mulai dikerumuni oleh sekumpulan mayat mengerikan, tiba-tiba terdengar seperti suara orang yang memanggil."Sebelah sini, cepat kemari!" seru suara tersebut.Aku berusaha untuk mencari sumber dari suara itu dan saat melihat ke depan sana, seorang laki-laki berdiri. Tak lama, disusul oleh beberapa teman yang tiba-tiba muncul entah dari mana.Kulihat, sebagian dari mereka langsung menghajar sekumpulan mayat yang sedari tadi mengerumuni kami, sedangkan sisanya membantu kami keluar dari kerumuman itu.Aku sangat bersyukur, di tengah rasa keputusasaan, akhirnya ada yang datang untuk menolong dan menyelamatkan kami.Kami pun terus berjalan menjauhi kerumunan mayat yang tengah diusir oleh beberapa orang yang menolong tadi, bahkan ada satu orang wanita dari kelompok penyelamat tersebut yang saat itu menawarkan bantuannya untuk memapah Asih berjalan.Aku menc
Pagi itu, aku terbangun lebih awal. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 waktu setempat. Setelah beres menunaikan salat Subuh, aku berencana membuat sarapan. Seketika, aku baru teringat bahwa dari kemarin belum makan.Perut yang berbunyi membuatku ingin segera kembali ke dapur sambil membuat sarapan untuk kami berlima. Saat pintu terbuka, ternyata ada Asih dan Shelly tengah sibuk memasak sarapan. Sepertinya, mereka juga lapar, karena mengingat kemarin kami berlima di teror terus-menerus tanpa jeda oleh para makhluk penghuni rumah ini. Sampai kami lupa mengisi perut dengan makanan.Aku langsung menghampiri mereka berdua. Obrolan kami sangat santai pagi itu."Rafli sama Ina masih tidur ya, Mak?" tanyaku pada Shelly."Iya, masih capek, kayaknya. Soalnya mereka yang paling akhir tidur semalam," jawab Shelly.Kulihat, kondisi Asih baik-baik saja. Jadi, kusempatkan untuk berbicara sambil berbisik agar tidak perlu menceritakan apa yang kami alami kemarin pad
Aktivitas kami jalankan seperti biasa, berjualan dari rumah ke rumah. Masyarakat di sini sangat ramah dan mau menerima kedatangan kami. Hari kedua kami berada di pulau ini, bisa sukses menjual banyak barang dagangan .Meskipun tahu pasti barang dagangan kami masih sangat banyak, setidaknya penjualan hari ini betul-betul membuat kami bisa melupakan rasa takut selama menginap di rumah saudaranya papa Mirna.Sampai pada saat jam makan siang, kami berkumpul di salah satu warung dekat pelabuhan. Warung itu menyediakan makanan yang cukup lengkap, bahkan khas Maluku Utara, seperti popeda (bagi masyarakat Sulawesi, makanan ini biasa disebut kapurung) pun disajikan di etalase warung itu.Kami memesan makanan, lalu duduk di meja yang sama. Masing-masing dari kami memesan makanan berbeda kala itu, dan ketika sang empu warung menyuguhkan makanan, beliau bertanya karena tidak mengenali wajah kami."Kalian dari mana? Sepertinya, kalian pendatang ya, di sini?" tanya Ibu warung de
Setelah selesai makan siang bersama, kami bertekad untuk menghabiskan semua barang dagangan. Bila perlu, kami tetap berjualan hingga sore hari, untuk mengetahui hasil akhir dari total penjualan hari itu.Hingga hari sudah sore dan merasa lelah, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah meskipun sebenarnya sudah tak ingin kembali lagi ke sana.Setidaknya, hasil akhir dari penjualan hari ini sangat lumayan, hingga menghabiskan setengah dari total barang dagangan yang kami bawa ke pulau ini.Di tengah perjalanan, tiba-tiba Shelly berkata, "Eh, gimana kalau malam ini, kita menginap di rumah kepala desa saja? Untuk sementara, sampai barang jualan kita habis. Kan, kita udah punya uang, nih. Jadi, bisalah patungan buat bayar ke kepala desa," usulnya."Waaah ... boleh tuh, Mak. Tidak apa-apalah uang yang kemarin sudah dibayarkan sama papa Mirna, anggap saja sedekah untuk memancing rezeki kita hari ini. Buktinya nih, alhamdulillah kita dapet rezeki banyak!" sahutku ber
Sesampainya di rumah, Rafli tengah menunggu di depan, sementara Shelly dan Asih menjaga Ina di kamar.Kami masuk dan bidan muda itu dengan sigap memeriksa Ina. Rafli dan Asih masih tetap mendampingi Ina di kamar, sedangkan aku kembali ke teras depan, duduk di sana sembari mengatur napas dan tak lupa pula mengatur sikapku agar jangan sampai nanti teman-temanku tahu bahwa aku sedang grogi karena bidan muda itu.Namun, tak lama Shelly pun ikut bergabung dan duduk berdua denganku. Sepertinya, Shelly sangat tahu saat melihat kondisiku kala itu."Pantesan lama di jalan, ternyata bidannya cantik," celetuk Shelly mencoba mengejekku."Apaan sih, Mak?" jawabku sedikit kesal."Ciee, cieee, cieee ... Andre lagi jatuh cinta sama bidan cantik, cieee ...." Kali ini, Shelly benar-benar mengejekku dengan ekspresinya yang sangat menjengkelkan."Sssttt ... udah sih, Mak, jangan ribut. Tidak enak kalau ketahuan sama Bu Bidan!" sanggahku."Halaaah! Kamu tuh, Dre. Kita berdua sudah b
Aku memandang kedua makhluk itu dengan tajam. Ingin rasanya mengusir dari ruangan ini secepatnya, agar tak perlu lagi menampakkan diri dan mengganggu selama kami tinggal di sini.Kulihat, wanita yang sedang mengayunkan kaki di atas atap mulai terbang perlahan menghampiriku. Rambutnya yang sedari tadi menutupi wajah, kini terbuka. Dia menampakkan wajah, sangat menyeramkan dan mampu membuat nyali siapa pun makin menciut!Wajah yang putih pucat, dengan bibir yang sobek di kedua sisinya, hingga nyaris menyentuh sudut telinga. Mulutnya menganga sangat lebar dan kuku yang runcing, seakan hendak mencoba mencekik.Kali ini, aku tetap berada di tempat, tanpa beranjak mundur sedikit pun. Wanita itu terbang makin mendekat, sampai saat dia tepat di hadapan, aku bisa melihat dengan jelas dia melayang sambil tetap mencoba menakut-nakuti.Kemudian, aku mencoba berbicara dengan sosok yang kini berada tepat di hadapan.Aku tak akan mundur kali ini. Jika kau menginginkan sesuatu,
Aku mulai membuka kedua mata, meski masih sangat berat. Kulihat Nenek sudah duduk di samping tempatku terbaring. Kemudian, aku bangkit dan memosisikan cara duduk agar terlihat lebih sopan. Bukankah sebagai yang muda, harus lebih bisa menghormati orang yang lebih tua?Meskipun aku tahu beliau sudah berbeda alam."Iya Nek, ada apa?" tanyaku sembari mengucek mata yang masih berat untuk terbuka.Nenek selalu tersenyum saat ada di hadapanku. Senyum beliau mampu membuat siapa pun merasa tenang."Nanti malam, Nenek mau kamu buatkan syarat seperti kemarin lagi ya, Nak. Simpan di meja makan, lalu usahakan kamu menyucikan tubuh. Ada sesuatu yang ingin Nenek tunjukkan padamu," ucap Nenek lembut padaku."Baik, Nek. Saya siapkan dulu syarat itu sekarang, setelah semuanya selesai, saya simpan. Lalu, saya mau bersihkan badan," jawabku dengan ramah.Setelah kujawab, Nenek menghilang. Aku pun mulai bersiap-siap untuk mengerjakan apa yang sudah dipesan oleh Nenek b
Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan pakaian terbaik. Kemudian, setelah semua siap, aku duduk di ranjang sambil menunggu tanda-tanda kehadiran Nenek.Di tengah-tengah penantian menunggu Nenek, aku mendengar kembali suara kidung tadi. Aku mulai celingukan, mencari dari mana sumber suara itu, dan saat ku lihat di atap sana, sosok wanita berdaster putih lusuh itu tengah duduk di antara kayu-kayu penopang atap rumah ini. Dia mengayunkan kaki sambil sesekali menggoyangkan kepala perlahan. Suaranya sangat lembut hingga aku terbuai.Selang beberapa menit, Nenek muncul tanpa kusadari. Mungkin aku terlalu menikmati kidung wanita itu hingga tak menyadari kehadiran Nenek."Ayo, Nak. Kita ke dapur," pinta Nenek."I-i-iya, Nek," jawabku sembari beranjak turun dari ranjang.Nenek berjalan lebih dulu, sedangkan aku masih memperhatikan sosok wanita yang masih tetap bernyanyi di atap sana. Kulihat, dia melambaikan tangan. Aku pun tersenyum pada sosok