Share

Forbidden Lover
Forbidden Lover
Penulis: Romaneskha

Chapter 1: Yang Hilang

Biru bening langit di luar, titik yang sama yang ia harap seseorang itu juga memperhatikannya. Hingga sejauh apa pun tempatnya sekarang, Ana berharap seseorang itu tetap sadar mereka pernah dinaungi langit yang sama.

"Kau yakin tidak punya keluarga," laki-laki berjas putih membuat Ana berpaling.

Warna jas yang serupa memenuhi hampir seluruh ruangan tempat Ana dan Dokter Ruin sekarang. Tirai tipis bergoyang entah mendapat sapuan angin dari mana. Ana tetap tak bersuara. Bukan sekali dua kali Dokter Ruin menanyai tentang itu dan jawaban Ana tetap sama. "Tidak." Tentu saja yang dicari Dokter Ruin bukan sebentuk Vanessa, makhluk kecil yang masih belum mengerti apa-apa soal CT-Scan dan Rontgen perut yang rumit. Pada akhirnya Ana yang harus mendengar penjelasan itu sendiri, mencernanya dan kemudian mengambil keputusan.

"Kami tidak bisa mengoperasimu," itulah inti dari segala penjelasan Dokter Ruin tentang betapa mengakar tumor di perutnya. Yang belakangan sering merenggut kenyamanannya.

"Kau harus dikemoterapi," lanjut Dokter Ruin.

"Aku tidak mau," tegas Ana. Soal ini juga sebenarnya sudah cukup jelas. Ana tak ingin rambutnya rontok dan perasaan mual semakin menggerogotinya. Dikemoterapi ataupun tidak, Dokter Ruin juga tak menjamin umurnya akan lebih panjang. "Aku ingin meninggal dalam keadaan cantik," cita-cita yang agak gila yang membuat Dokter Ruin tersenyum dalam kegetiran.

"Kau juga harus tinggal di rumah sakit dan menjalani perawatan di sini," Dokter itu terlihat mengiba. Dia kehabisan cara untuk membuat Ana menuruti kata-katanya.

"Aku masih sehat," jawab Ana sambil meraih tasnya, dia berdiri.

"Apa kau khawatir soal pembiayaan? Aku akan mengusahakan kau mendapat jaminan kesehatan, jika perlu aku sendiri yang akan membiayai perawatanmu."

Ana sudah sempat berbalik ketika ia harus memandangi wajah Dokter itu lagi, "Apa aku terlihat sedang memikirkan uang?" ucap Ana.

Ana sadar jawabannya akan membuat perasaan Dokter yang dua tahun lebih tua darinya tidak nyaman. Tapi, dia sendiri tak mengerti apa yang diucapkannya. Tidak ada bedanya ketika kemudian harus mati, tidak akan ada yang menangisinya, Vanessa juga tidak, setidaknya gadis mungil itu belum mengerti apa-apa. Hanya saja, tidak bisa bohong kalau ketakutan menyusup diam-diam di setiap malam. Ana takut tidur di malam hari, takut jika kemudian tak terbangun lagi. Rasa sakit yang luar biasa juga harus ditanggungnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang menegakkan tubuhnya saat dia terjatuh dan tidak ada yang bisa diajak bicara saat ketakutan itu menghampirinya.

Hampir pukul sebelas saat Ana keluar dari rumah sakit. Ana berniat ke taman depan SMA Bunda Pertiwi, taman yang juga dekat dengan taman kanak-kanak tempat Vanessa belajar. Setengah jam pertemuan mereka, dirasa Ana sangat berarti sebelum ayah Vanessa, mantan suaminya, menjemput anak itu. Tapi, hari ini agaknya tidak bisa. Sakit di perutnya menghantam lagi. Rasa sakit yang membuat lututnya tertekuk, dia kesulitan hanya untuk menegakkan bandannya. Perempuan itu meringis. Jalan di depannya mulai buram dan ia merasa mual.

"Kakak!" lirihnya. Ana pingsan. Dan dalam keadaan setengah sadar, ia merasa kereta tempat tubuhnya terbaring bergerak cepat. Dokter Ruin seperti meneriakkan sesuatu, orang itu panik, tapi Ana tak bisa berbuat apa-apa.

[...

Aku menganggapnya anjing peliharaan ayahku saja, yang mengangguk pasrah saat ayah memerintahnya. Aku ingat pertama kali melihatnya, di suatu siang di ruang tengah rumah kami, aku melompat ke pangkuan ayah dan kuminta ayah mengomentari lukisan yang kubuat di sekolah. Orang itu berdiri sambil menunduk, dia sudah seperti berandalan sejak pertama datang ke rumah kami. Entahlah, waktu itu aku belum mengerti apa-apa. Yang kutahu dia tinggal di rumah kami untuk waktu yang sangat lama. Hanya saja kami tak pernah bicara. Hingga suatu hari, ketika ayah meninggalkanku, dalam batas bumi aku tak bisa memintanya kembali, pertama kalinya aku merasa ayah begitu kejam. Hujan di bulan April yang mestinya tidak ada. Ketika mereka yang berpakaian hitam berlalu begitu saja, aku merasa sendiri di tengah kabut abu-abu pekuburan dan dalam hidupku. Aku tak punya siapa pun selain ayah dan ayah tak punya siapa pun selain aku.

Tapi, orang ini menggenggam bahuku dan berkata, "Sudah! ayo, kita pulang!", itu pertama kalinya kudengar dia bicara padaku. Belakangan aku tahu ada nama Segovia di belakang namanya. Nama yang sama yang juga ada di belakang namaku. Orang-orang memanggilnya Julian, Julian Andreas Segovia.

"Kau harus berhati-hati padanya," ungkapan itu yang kuingat saat Julian memecat semua pembantu di rumah kami. Kupikir ayah orang yang sangat kaya, dan orang yang diangkat ayah entah dari sudut gelap mana, yang telah berada di kartu keluarga Segovia sebagai anak pertama, akan memanfaatkanku sekarang. Dia berpura-pura menjadi kakakku, sebelum menjerumuskanku pada siksaan dunia dan mengambil semua harta ayah. Ya, itu asumsi semua orang dan aku tidak peduli. Aku justru bersyukur jika saja Julian mau membunuhku saat itu. Tapi, dia justru berkata, "Jika kau perlu sesuatu, katakan padaku!" itu menjadikan dirinya sendiri sebenar-benarnya pembantu, pesuruhku dan kubilang anjing peliharaanku yang tetap kuwaspadai kalau-kalau suatu hari ia akan menggigitku. Dia memasakkan makanan layaknya seorang ibu, memberiku uang saku layaknya seorang ayah, mengantarku ke sekolah layaknya seorang kakak dan mencuci pakaianku layaknya seorang pembantu.

Aku selalu terkejut ketika melihatnya di depan gerbang sekolah. Menungguku hampir empat jam saat gagak mulai melantunkan suaranya di antara garis jingga dan malam sebentar lagi datang. Sudah kubilang agar dia tak usah lagi menungguku, tapi dia tetap melakukannya. Itu membuatku jengkel dan enggan bicara padanya. Kulewatkan dia tanpa mengatakan apa-apa dan dia berjalan di belakangku hingga kami sampai di rumah. Itu terus ia lakukan sampai seseorang datang dan bilang akan menyita seluruh harta ayah. Julian sepertinya tak terlalu terkejut, sebuah alasan kenapa ia memecat semua pembantu adalah karena keuangan kami dan kebangkrutan usaha ayah. Kemerosotan yang dimulai jauh sebelum ayah meninggal.

"Mulai sekarang aku akan bekerja paruh waktu, dan kamu belajarlah dengan baik!" katanya.

Tidakkah yang keluar dari mulut Julian hanya yang penting-penting saja. Dia tak pernah menatapku saat bicara dan selalu dengan tiba-tiba hingga kadang membuatku terkejut. Aku diam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Rasanya cukup canggung menghadapi Julian. Bagiku dia tetap orang lain, laki-laki dari gen yang berbeda. Saat ayah tidak ada, sudut mana yang bisa meyakinkan bahwa kami saudara.

"Apa yang harus kulakukan?" Aku, gadis enam belas tahun tinggal di rumah yang kini kosong dari perabotan, di depan rumah peninggalan ayahku tertempel segel dari pengadilan. Sebentar lagi rumah itu pasti akan dilelang. Julian, aku tak tahu kapan mulai berpikir dia yang dari jalanan. Jika sekali lagi harus hidup di jalanan, pastinya tidak akan terlalu berat. Apa perlu kukatakan padanya, "Kau pergi saja! Jangan pedulikan aku!" Karena aku juga tak boleh egois terhadap hidupnya untuk mengurusiku.

Tapi, aku diam saja. Membiarkan Julian melakukan apa pun yang ia mau. Toh dia mencari uang juga untukku sekolah, untuk kami makan, dan membayar sewa kamarku yang hanya 4x4 meter, sementara dia tidur di teras.

"Aku akan terus bekerja sampai kudapatkan kembali rumah ayah!" katanya suatu waktu yang justru membuatku tak tenang. Aku tak ingin dia berusaha terlalu keras untuk itu. Julian selalu saja membuatku khawatir jika ia harus kerja lembur. Kukira aku hanya bisa tenang dan merasa aman saat dia ada di dekatku, walau tak bicara, dan itu yang kuinginkan. Aku, yang merasa mati saat ayah tak ada. Perlahan merasa seperti puteri yang berarti keberadaannya, walau setiap hari harus melewati gang sempit becek dan dengan pakaian lusuhku. Ada yang berusaha menghidupiku dengan kerja kerasnya di luar sana. Aku, yang pernah menyesali kehidupan yang berubah drastis, merasa ingin kehidupanku sekarang tetap seperti sekarang, bersama Julian dan hidup seadanya. Aku, ada yang membutakan mataku tentang orang yang harusnya kusebut dia 'Kakak', dialah cinta. Julian, cinta pertamaku.

...]

Plafon keabu-abuan, membuat Ana kecewa ketika sekali lagi terbangun. Sementara di luar, garis jingga membentang indah di langit. Ana cukup akrab dengan semua itu. Tempat yang pagi tadi coba ditinggalkannya, namun tak lama menariknya kembali dalam ketidaksadaran.

"Sudah bangun?"

Ana enggan berpaling. Matahari bulat besar di balik jendela kaca bening rumah sakit menjadi perhatiannya.

"Ya," jawab Ana seadanya.

Dokter Ruin merangkul bahu Ana. "Cobalah sekali-kali menurut. Tidak ada salahnya," katanya.

Ana diam sambil memperhatikan Dokter Ruin. Dokter yang khusus menangani dirinya, sudah hampir setahun. Yang dikatakan Dokter Ruin tentang dirinya yang tak penurut, Ana juga tak bisa mengerti kenapa ia bersikap seperti itu. Hanya tinggal di ruangan seluas 4x6 meter dan membiarkan orang mengobatinya, bukankah itu lebih mudah. Dibanding harus merepotkan orang lain setiap kali ia pingsan di tengah jalan. Untungnya tidak pernah pingsan dihadapan...

"Vanessa," sebut Ana. "Apa ayahnya menjemputnya tepat waktu?"

Doter Ruin tersenyum, "Ya, tadi aku menelpon Nara."

"Dokter bilang padanya aku pingsan lagi?"

"Aku hanya bilang kalau kau tidak bisa menjemput Vanessa."

Ana mengecek ponselnya, lima panggilan tak terjawab dari Nara, mantan suaminya. "Karena Dokter yang bilang, dia pasti berpikir aku pingsan lagi," keluhnya. "Apa dia akan kemari?"

"Tadinya iya. Tapi, kubilang kau sudah tidak apa-apa."

"Baguslah."

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin dia membawa Vanessa menemuiku di rumah sakit."

"Aku heran kenapa kalian bercerai. Padahal, sepertinya Nara masih perhatian banget sama kamu."

Ana menyorotkan pandangan curiga pada Dokter Ruin, ia pikir laki-laki itu terlalu suka mengulang pertanyaan yang sama.

Dan seperti biasa, Ana enggan menjawabnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status