Share

Chapter 2: Anjing Peliharaan

[...

"Apa kau menyukainya?"

Aku berpaling melihatnya. Dia bertanya dengan senyum simpul terukir di bibirnya. Saat itu, aku tahu aku telah jatuh cinta pada orang yang duduk di sampingku. Dia terlalu indah untuk tak dirindukan. Saat di hadapan orang lain, caranya berdiri, berjalan, dan menatap orang lain, tak ubah seperti berandalan. Ia acuh dan dingin. Namun, saat bersamaku, entah kenapa yang kulihat hanya kebijaksanaan. Sikapnya saat bersamaku, seakan hanya untuk melindungiku, bukan waspada terhadapku. Aku suka caranya menyandarkan punggungnya, juga caranya menyilangkan kaki saat duduk, semua terlihat anggun. Tapi, caranya memandangku, aku tak tahu. Dia buru-buru mengalihkan matanya saat tak sengaja kami bertemu pandang. Selalu seperti itu, seperti takut untuk melihatku.

"Kakak!" sebutku dalam hati hampir menangis. Ada saat di mana aku ingin dia memandangku, bukan sebagai seorang adik. Tapi, sebagai perempuan seutuhnya, yang diam-diam mencintainya.

Sayangnya, aku berharap bukan pada sebenar-benarnya berandalan jahat, Julian terlalu baik sepanjang yang kutahu. Dia terlalu menjaga perasaanku untuk tetap membuatku merasa memiliki seseorang, juga menjaga pandangannya terhadapku. Julian adalah anjing, yang terlalu setia pada majikannya. Memenuhi janji yang dibuatnya dengan ayahku adalah hidup dan matinya. Membiarkanku terluka, merasa terlecehkan, sama saja melukai kesetiannya sendiri. Dan Julian, tak akan membiarkan itu terjadi.

"Ayahmu... sungguh sangat menyayangimu," katanya dengan senyum yang lebih lebar.

Kisah itu, hanya sekali pernah kudengar terucap dari Julian. Janjinya pada ayah, pada satu-satunya permintaan ayah, agar Julian menjagaku saat ayah tak ada lagi, setidaknya sampai aku memiliki seseorang yang bisa kujadikan sandaran hidup.

"Kepercayaan sebesar itu, dia letakkan pada seorang anak yang bukan apa-apa," katanya lagi.

Saat itu, umurku 21 tahun. Itu artinya sudah lima tahun kuhabiskan waktu bersama Julian setelah ayah meninggal. Aku tahu betapa beratnya dia hidup untuk menghidupiku. Tak lebih dari dua jam tidur setiap malam, lupa kata sakit untuk terus bekerja. Seakan hak hidup individunya terenggut, kecuali untuk kesetiannya terhadap ayah untuk menjagaku. Lalu, sampai kapan aku mau merepotkannya seperti itu? Sampai kapan ia harus hidup untuk melayaniku?

"Ya!" kataku.

Kubilang aku menyukai Nara dan bersedia menikah dengannya.

Pernikahan itu, mungkin membebaskannya dari tanggung jawab yang membebaninya. Namun, aku tak pernah menyangka, aku tak lagi melihat Julian setelah hari pernikahanku.

...]

Sebuah buku terlepas dari genggamannya dan terhempas ke lantai. Ana tersentak.

Masih dengan pakaian yang sama yang ia kenakan kemarin di rumah sakit. Terlalu lelah bermain kucing-kucingan dengan Dokter Ruin, melarikan diri dari rumah sakit. Dan entah sejak kapan ketiduran di ranjangnya sendiri, di kamar seluas 6x6 meter, di mana tempat tidur, meja makan, dan televisi berada di ruang yang sama tanpa sekat.

Ana mengusap rambutnya yang panjang, meresapi sejenak rasa sakit yang menghinggapi kepalanya. Tentang apa yang akan dilakukan hari itu, Ana masih dihinggapi pikiran tentang penyakitnya. Seakan tak berhak dirinya untuk membuat rencana. Kecuali Vanessa...

"Sejam lagi," Ana melihat ke benda bulat dengan jarumnya yang tak henti berputar. Ia berniat menemui anak itu.

...

Hari yang cukup cerah, tidak terlalu teduh, tapi juga tak membakar kulitnya. Aroma Red Rose menyatu lembut dengan sapuan angin. Ana hanya perlu berjalan kaki sekitar dua ratus meter ke sebarang jalan untuk sampai ke sekolah puterinya. Ia sengaja memilih tempat tinggal tak terlalu jauh dari tempat biasa mereka bertemu, taman kota di depan sekolah anaknya.

"Hai, manis!" suara yang diabaikan begitu saja oleh Ana.

Perempuan itu memang cantik dengan rok hitam yang sedikit berada di atas lutut, sementara sifon putih menutup dari leher hingga pinggangnya. Kemeja dengan dua kancing teratasnya sengaja dibuka. Gambaran perempuan liar yang bebas, tapi tetap kelihatan manis.

Jika sudah begitu, siapa yang mengira Ana sudah pernah menikah dan telah jadi ibu.

"Pergi kalian!" Nara memperlihatkan taringnya.

Ana berpaling kebelakang, ia heran sendiri, kenapa bisa menjadi sangat tidak peduli, sampai-sampai tak sadar orang-orang yang coba menggodanya tadi ternyata nekat mengikutinya.

"Mama!" Vanessa berlari ke dekapan Ana.

"Kau ini!" Nara berdecak.

Ana, dalam benak semua orang yang mengenalnya, adalah sosok yang tak mengerti bagaimana bahaya bisa setiap saat menghampirinya.

"Kalian mau pergi sekarang?" Ana dengan wajah yang agak kecewa.

Nara diam sejenak. "Kau tidak apa-apa?" katanya balik bertanya.

"Aku...," justru terpikir tentang kejadian kemarin, "aku baik-baik saja!" katanya.

Sekali lagi Nara berdecak. Dia mengambil langkah ke bangku taman dan duduk di sana. Membiarkan Ana dan Vanessa bersama lebih lama.

Jarang sekali bisa menghabiskan waktu seperti itu, menemani dua perempuan yang menjadi bagian penting hidupnya, peduli dulu Ana masih menjadi istrinya, terlebih ketika Ana memilih bebas darinya. Nara, kadang-kadang tersenyum melihat polah tingkah Ana dan Vanessa ketika bersama. Ana yang ia kenal dulu, begitu lincah, cantik, selalu mengangkat dagunya saat berjalan, dan jarang peduli dengan orang lain. Namun, saat bersama Vanessa, Ana seperti gadis kecil biasa yang dalam di otaknya tak ada hal selain bermain. Ada sisa-sisa kemarahan mengingat Ana yang bersikeras bercerai darinya, dengan alasan yang tak ia mengerti hingga sekarang. "Apakah itu karena sakitnya?" Sudah berpuluh-puluh kali Nara memohon pada perempuan itu agar tetap bersamanya, menghabiskan waktu dengannya meskipun harus menghadapi penyakit yang semua bilang tak ada obatnya. Nara ingin menjadi teman dalam susah senang Ana, namun Ana tak juga mengizinkan.

"Apa salahku?" tanya Nara suatu waktu.

"Tidak ada," jawab Ana seadanya.

"Apa kau tidak mencintaiku lagi?" senyum Nara menghilang saat membayangkan itu. Ada sisi yang sebenarnya tak ia mengerti dari Ana, meski hampir lima tahun bersama. Dalam diamnya perempuan itu saat Nara mengajukan pertanyaan itu. Cinta, mungkin memang tak pernah ada untuk Nara. Selama ini, ia terlalu terbuai terhadap perasaan cintanya sendiri terhadap perempuan itu. Tanpa tahu bahwa Ana hanya melanjutkan hidupnya saja.

"De, aku mau bicara?" pelan Nara.

"Ya."

"Bulan depan aku mau nikah."

Ana tertegun, sejenak memperhatikan laki-laki di sampingnya, yang selalu berpakaian rapi dengan setelan jasnya. Perempuan itu kemudian tersenyum, "Selamat, ya!" katanya.

Nara membalas senyum itu. "Kamu nggak tanya calonku gimana? Nanti dia bakalan jadi ibu Vanessa juga, 'kan?"

"Aku percaya sama, Mas!"

"Lalu...," kata-kata Nara tertahan.

"Emmm..."

"Soal Julian?" sambung Nara.

Ana diam. Senyumnya menghilang. "Kenapa soal dia?"

"Kamu nggak niat nyari Kakak?"

Ana menggelengkan kepalanya. "Semoga dia baik-baik aja."

"Tapi, dia harus tahu...,"

"Dia nggak harus tahu apa-apa," potong Ana segera.

Nara mengangguk dua kali. Bisa mengerti pembicaraan mereka soal Julian tak pernah berlangsung panjang. "Baiklah," katanya. "Aku harus kembali ke kantor," Nara berdiri, kemudian beranjak pergi membawa Vanessa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status