Share

Chapter 3: Time To Remember

"Apa pentingnya isi hatiku bagi orang lain?"

Selalu terpikir bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar ingin tahu isi hatinya. Pertanyaan, "Bagaimana perasaanmu?" Bagi Ana hanya sebagai formalitas saja. Cara supaya orang terlihat perhatian dan peduli. Sementara Ana yakin tidak ada yang peduli padanya. Makanya Ana selalu diam saat ada orang yang bertanya soal itu. Peduli Dokter Ruin, atau Nara.

Ana, seperti tembok yang semakin hari semakin meninggi, tak berpintu dan semakin tebal. Bahkan suara pun pelan-pelan tak akan mampu menembusnya. Setelah Julian pergi, hatinya seperti diselimuti badai kutub, pelan-pelan membeku menuju salju abadi.

"Bagaimana perasaanmu?" sekali lagi Dokter Ruin bertanya.

Ana yang berdiri menghadap jendela diam saja. Nyatanya, tidak ada yang istimewa dari perasaannya. Kecuali Vanessa yang sering membuatnya khawatir. Selebihnya, Ana bahkan tak peduli jika Dokter Ruin mengatakan, "Waktumu hanya tiga bulan jika kau tetap seperti ini, tidak mau dirawat dan tidak mau diobati."

"Ana! Apa kau mendengarku?" Dokter Ruin sedikit lebih nyaring.

Ana terpaksa berpaling. Ia pikir tak ada yang bisa dikatakan. Dokter Ruin, bukankah dia juga tidak ingin mendengar jawaban yang sama. Tentang rumah sakit yang membuatnya mual hanya dengan berada di sana.

"Kadang-kadang memang rasanya sangat sakit. Beri aku obat penahan rasa sakit saja, Dok!" pinta Ana.

Dokter Ruin beranjak dari tempat duduknya, "Obat penahan rasa sakit tidak akan mencegah penyebaran kankermu!" katanya dengan kening mengerut.

Sepertinya ada yang berteriak padanya, dan Ana tak suka itu. Bahkan ayahnya pun tak pernah berteriak di hadapannya. Teriakan yang hanya akan membuat Ana diam, tanpa mengerti apa yang mereka katakan. Gerakan mulut yang pelan-pelan membuat kepalanya pusing. Lebih menyakitkan, karena itu juga mengingatkannya pada kakaknya. Satu-satunya yang ia izinkan untuk berteriak di hadapannya. Alasannya adalah agar Ana lekas terbangun dari keterpurukan dan bersiap untuk kehidupan selanjutnya. Untuk sesaat, Ana berharap orang itu benar-benar ada, sekali lagi berteriak padanya, memberinya semangat untuk hidup lebih lama.

[...

"Ayo, pulang!" perintahnya datar.

Langit lebih cepat gelap hari itu. Hujan deras mengguyur bukit pemakaman. Sebelumnya, tidak ada siapa-siapa kecuali tubuh bisu terkalang tanah. Dan tidak ada apa-apa untuk berteduh.

"Aku tidak mau," kataku masih meratapi pembaringan ayah yang berselimut lumpur.

"Mau apa di sini?"

"Aku tetap ingin di sini."

Tiba-tiba saja Julian menarik tanganku, memaksaku untuk berdiri.

"Biarkan aku di sini! Aku mau bersama ayahku!" kataku meronta.

Dia melayangkan tangannya ke pipiku.

"Kau berani melakukan ini?" aku meneriakinya. Sudah kubilang kalau orang itu hanya kuanggap anjing peliharaan. Yang harus dia lakukan hanyalah patuh pada majikannya. Orang itu, untuk duduk sejajar denganku saja tidak pantas. Apalagi jika berani menamparku. Keterlaluan, itulah yang ada dalam pikiranku saat itu tentangnya.

"Ayahmu sudah mati!" teriaknya.

Itu pertama kali ia berteriak di hadapanku. Anehnya itu seperti listrik yang membangkitkan kesadaranku. Kulihat jelas tetesan hujan menghujam tubuh Julian. Rambut dan bajunya basah. Orang itu tak bisa berkedip sempurna karena air yang jatuh. Tapi, tak kudengar suara hujan itu. Yang kudengar hanyalah suara Julian, seperti menggetarkan hatiku.

Aku tak mengerti kenapa ayah minta diistirahatkan di bukit itu. Apa supaya aku tak terlalu sering mengunjunginya, agar aku tak terus-terusan merasa sedih? Entahlah. Perlu dua jam naik bus, dan satu jam berjalan kaki untuk mencapai puncak bukit. Dan bagaimana Julian tahu aku ada di sana? Sementara kubilang padanya aku ke sekolah? Apa dia mencariku? Bahkan di tengah hujan itu?

Dalam hidupku, tak hanya hujan, tapi badai yang siap menelanku hidup-hidup. Di sana, dalam duniaku, sebelumnya tak ada siapa-siapa, namun kemudian ada dirinya. Sebelumnya tak ada apa-apa, tapi kemudian ada tubuhnya yang siap melindungiku dari apa pun yang menghujamku.

...]

Ana mengulanginya lagi, meninggalkan begitu saja orang yang sedang bicara dengannya. Tanpa permisi, tanpa salam perpisahan. Hentakan sepatunya menggema di koridor rumah sakit yang tampak lebih sunyi hari itu.

Dokter Ruin masih berdiri di depan pintu ruangannya. Ia berdecak melihat Ana yang berjalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Tidak ada yang ingin ia dengar, tak ada yang ia percaya, begitulah pikir Dokter Ruin mengartikan diamnya Ana. Sejak kapan sakit dikalahkan keegoisan seseorang, keinginan Ana yang tak mau diobati adalah tak biasa dan pasti ada sebabnya.

Kali ini agak tak biasa, sebuah taksi terpaksa berhenti sebelum tuannya sampai ke tempat tujuan. Ana memperhatikan sepatu tepleknya sejak pertama turun dari taksi dan memijakkan kaki di jalan setapak. Setengah sepatunya terendam dalam lumpur. Langit mendung hari itu dan samar-samar dalam pandangannya ada jalinan air membentuk benang tipis terhubung ke langit.

Ana berpikir sejenak sebelum melanjutkan langkahnya, bukan karena gang sempit itu terlalu becek. Tapi, sudah lima tahun ia tak pernah kesana.

Suara riang anak-anak yang bermain tanpa alas kaki di sore hari, teriakan para tetangga yang kesal karena tetangga lainnya, teriakan ibu yang memanggil dan mencari-cari anaknya, sejauh ingatan Ana. Kampung itu tak pernah sunyi hingga pagi keesokan harinya. Terlebih jarak rumah satu dan lainnya hanya berjarak selembar kardus. Ana, pernah juga tinggal di pemukiman kumuh seperti itu. Di lantai dua dengan ruang hanya seluas 4x4 meter.

[...

"Untuk sementara kita tinggal di sini."

Entah apa itu tempat yang pantas dijadikan tempat tinggal. Kutahan langkahku di mulut tangga. Aku juga berusaha menahan agar koperku tak menyentuh tanah, meski rasanya sangat berat. Koperku akan penuh lumpur jika aku tak kuat.

Kuperhatikan Julian yang telah menaiki hampir setengah bagian tangga. Pria yang mengenakan jeans dan kaos oblong hitam itu tampak tak bermasalah. Dia berpaling sejenak, melihatku. Aku tahu aku sudah jatuh miskin, kupikir dia akan meninggalkanku begitu saja.

"Maaf, untuk sementara kita hanya bisa tinggal di sini. Aku akan bekerja keras, pasti kau akan kembali ke rumahmu lagi," katanya berulang kali.

Aku diam saja. Tak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Apa dia kira aku mau tinggal di tempat itu? Lihatlah lubang-lubang tikus itu, yang disembunyikan dibalik kalender tua. Satu di antaranya membuatku tahu hari apa aku lahir dan kalender seperti apa yang terbit di tahun kelahiranku. Terpampang perempuan terkenal berbikini tahun delapan puluhan di kalender itu. Kertasnya telah menguning, memudar, dan sobek di beberapa bagian karena termakan usia.

Ruang 4x4 meter yang kosong, tanpa tempat tidur, bahkan tanpa karpet. Lantainya bergemeretak saat di injak. Kamar itu bisa saja berubah menjadi bangsal rumah sakit saat kami terperosok dan jatuh ke bawah.

Tapi, aku diam saja. Tak juga mau protes. Sekali lagi Julian bisa saja meninggalkanku di jalanan. Dan ia malah melakukan sebaliknya.

Saat malam datang. Angin malam seperti sangat mudah menembus celah-celah papan. Selalu ada keributan di luar, yang tampak tak biasa di telingaku. Terlalu banyak perempuan yang mengeluhkan soal penghasilan suami mereka yang pas-pasan. Aku tidak bisa tidur. Bukan karena keributan itu, atau karena dinginnya hari. Tapi, karena ketika memejamkan mata, ada yang bergerak di balik lapisan triplek di dinding. Di kamar yang hanya diterangi lampu kuning lima watt, menyisakan sudut gelap yang membuatku waspada. Bisa saja, penghuni malam di sana, tikus-tikus hitam dalam bayangan ketakutanku, keluar dari lubang, melintas cepat di kakiku, dan mungkin akan menggigit ibu jari kakiku.

Kutekuk kaki di sudut yang telah kupastikan tidak ada lubang aneh di sana. Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Entah, sedang di mana Julian sekarang, sore tadi ia hanya bilang akan pergi sebentar. Tapi, itu sudah lewat jam delapan malam, dan dia belum juga datang. Apa dia tidak tahu aku takut sekali dengan binatang-binatang kecil, dalam bentuk apa pun. Aku memang tidak pernah mengatakannya, juga tak pernah berteriak karenanya, karena di rumah sebelumnya, tidak ada makhluk-makhluk seperti itu.

Kuputar bola mata ke kanan, ada yang bergerak dari sudut itu. Kuatur napas baik-baik, agar tak membuatku histeris. Bahwa itu makhluk kecil yang tak berbahaya, makhluk kecil yang tak lebih besar dari telapak kakiku. Jika dia berani mendekatiku, aku tinggal menginjaknya.

"Menginjaknya?" keningku mengerut. Itu pasti sangat menjijikkan. Bulu-bulu mereka yang hitam dan kotor, bersentuhan dengan telapak kakiku, aku bergidig membayangkannya. Menggelikan. Nuansa yang tidak akan mudah untuk dilupakan. Aku bisa trauma seumur hidup karena itu. Tidak. Aku tidak jadi menginjaknya.

"Lalu apa yang harus kulakukan?" Lubang dengan kertas kalendernya yang sobek, terlalu menyimpan misteri. Aku lelah jika harus terus mengawasinya.

"Apakah aku harus mandiri? Mengerjakan semuanya sendiri? Termasuk melindungi diriku sendiri? Siapa? Siapa yang berani mendekatiku? Aku tak izinkan kalian menggangguku. Lihatlah! Lihat! Aku punya pembasmi serangga, punya racun tikus, balok besar yang mematikan."

Tidak. Aku sedang berkhayal. Tidak ada apa-apa di ruangan itu yang bisa kugunakan untuk memukul, apalagi membunuh.

"Julian, kamu sudah datang?" spontanku ketika mendengar ada yang menapaki anak tangga di luar.

Ya. Itu memang Julian. Dia menatap heran padaku. Mungkin karena aku tidak bicara padanya seharian itu dan sekarang menyebut namanya dengan penuh semangat.

"Ada apa?" tanyanya. Julian segera melebarkan pintu kamar dan melihat ke dalam.

"Tidak ada apa-apa," kataku segera. "Hanya," apa aku perlu memberi tahunya bahwa aku takut tikus, tidak hanya pada tikus, kecoa, cacing, semua makhluk kecil itu aku tak suka. Kupikir aku perlu menjaga imageku sebagai perempuan yang kuat dan pemberani. Aku bahkan berani tidak mengakui Julian sebagai kakakku. Selama ini aku terus berusaha menantang Julian. Dan selanjutnya akan tetap seperti itu.

Sekali suara gemerisik itu datang lagi, dari lubang kecil misterius. Segera kugenggam lengan Julian.

"Apa yang kau takutkan?" tanyanya masih dengan tatapan heran padaku.

Aku tersenyum seadanya sambil menggelengkan kepala, pelan-pelan kulepas lengannya.

"Ayo, kita makan!" ajaknya kemudian.

...

"Apa itu yang dibawa Julian? Benarkah makanan yang ia maksud?" Julian mengeluarkan satu per satu isi kresek hitam.

Di dalam bungkusan masih ada lagi yang terbungkus. Aromanya, tak begitu buruk.

"Apa ini?" tanyaku melongo. "Seperti nasi goreng," aku coba menebaknya.

"Benar. Itu nasi goreng," jawab Julian.

Aku menghela napas. Bukan budaya kami membungkus makanan dan dibawa ke rumah. Biasanya lebih memilih duduk di restoran sambil menikmati malam di luar. Lagi pula, apa Julian lupa kami tidak punya piring, mangkuk, bahkan sendok.

"Ayo, makan!"

"Pake apa?" tanyaku.

Julian melebarkan kresek hitam, tiba-tiba menarik tanganku dan ia mengguyur tanganku dengan air dari botol minum. Ya, Tuhan memang menciptakan lima jari untukku, dan otak dengan volume lebih besar dari makhluk lain. Sudah sewajarnya aku menggunakannya dengan maksimal, tanpa bertanya pada Julian hal-hal yang bodoh. "Bukankah kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya?"

Memang tak seburuk yang terbayang, tentang tangan yang terasa tak nyaman bersentuhan dengan butiran nasi berminyak. Juga tentang rasa makanan itu. Entah siapa yang bilang, "jangan mengintimidasi makanan, coba saja dulu!" dan benar, rasanya ternyata enak. Kukira aku telah menyia-nyiakan waktu selama enam belas tahun karena tidak pernah mencoba makanan angkringan pinggir jalan.

Aku masih mengawasinya, lubang hitam misterius di dinding. Saat itu, ingin sekali memejamkan mata. Julian menggelar selimut tebal untukku tidur dan menyelimutiku dengan selimut lainnya. Sementara Julian sendiri memilih tidur di balkon kamar, bersama angin malam dan dinaungi langit yang hitam. Entahlah, jika boleh memilih, aku ingin Julian tidur di kamar saja, mengurangi sedikit ketakutan dalam bayanganku.

"Maaf, hanya bisa melakukan ini," samar-samar kudengar suara itu dari balik pintu geser yang memisahkan kamar dan balkon. Terdengar berat dan tak bersemangat. Julian, entah pada siapa ia bicara, dan untuk siapa kata maaf itu. Kukira dia melakukan banyak hal untukku.

Keesokan harinya,

"Hei! Keluar kalian!" teriakku. Kuhadang mereka dengan balok kayu di tanganku, makhluk-makhluk kecil itu. "Apa kalian pikir aku takut sama kalian, heh?" tantangku lagi.

"Oh, jadi itu yang bikin kamu takut tadi malam?"

Aku berpaling. Julian berdiri di belakangku seraya mengusap-ngusap rambutnya yang masih basah. Entah kapan ia datang, aku tak menyadarinya.

Sesaat kemudian ia keluar lagi, dan kembali dengan membawa potongan triplek, palu dan beberapa paku.

"Apa menurutmu makhluk-makhluk itu akan datang jika kau memanggilnya? ...Apa ini?" Julian merampas balokan kayu di tanganku, "Kau ini bodoh sekali!" tambahnya.

"Kakak!" Entah apa aku harus menyebutnya seperti itu. Dia memang seperti seorang Kakak. Yang bisa kuandalkan untuk melindungiku. Tak pernah mengeluh dan senantiasa membuatku nyaman. Aku tak pernah melihatnya sedekat itu. Atau aku sendiri tak pernah mencoba sedekat itu dengan Julian. Alis tebalnya yang sedikit meruncing di ujung dan sudut matanya yang tajam kuperhatikan sejenak. Siapa dia dan apa yang dia lakukan bersamaku di sini? Masih banyak hal yang tidak kumengerti hingga membuat keningku mengerut setiap kali memikirkannya.

Kuusap wajah Julian, ada butiran air yang barusan turun dari ujung rambutnya.

Julian balas memandangiku.

"Apa? Kenapa?" tanyaku saat melihat tatapannya itu. Tapi, hanya sampai dalam hati saja. Tak kubuat ia mendengar pertanyaan itu.

Aku ingin menjelaskan padanya agar tak salah paham. Bahwa itu spontan, tetesan air itu mungkin saja mengganggunya. Tapi, seperti nasib pertanyaanku, penjelasan pun tak kukeluarkan dari mulutku.

"Ini mau diapakan?" kualihkan perhatianku ke potongan triplek.

Julian menempelkan triplek ke dinding, menutup lubang hitam misterius yang menggangguku sepanjang malam.

...]

"Benar kamu akan membayar lebih tinggi untuk tempat ini? Aku terpaksa berbohong pada penyewa sebelumnya soal kamar ini."

Ana tersenyum. Bibi yang bersamanya, tentu ia kenal. Masih orang yang sama yang ia temui hampir enam tahun lalu. Hanya saja, bibi itu sepertinya lupa pada Ana. "Tentu saja," jawabnya.

Tangan Ana menyusuri tempelan triplek di dinding. Tak menyangka benda itu masih ada, bahkan tulisan tangannya dulu, "Ana memang bodoh, tapi Julian lebih bodoh," masih bisa terbaca. Mencari tempat yang bisa membuatnya tenang, buat Ana bukan lagi sebuah rumah di mana ada orang di sana, atau yang memiliki peralatan medis terlengkap, tapi tempat di mana kenangan tentang Julian itu hidup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status