Share

Chapter 6: Orang Asing

"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana.

"Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.

Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.

Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana.

"Boleh paman duduk di sini?"

Seseorang berpakaian serba hitam duduk di samping Vanessa. Sontak membuat Vanessa terkejut, tapi laki-laki itu membawakan semangkuk besar apa yang ia mau.

"Syukurlah kau datang!" Ana yang sedari tadi asyik mengacak-acak tasnya mengira itu adalah Nara. Hanya saja suaranya agak berbeda, dan "paman"? Ana menengadahkan kepalanya.

Laki-laki dengan celana denim, kemeja, dan blezzer hitam. Ya. Seseorang ini memang amat menyukai warna hitam. Dia juga suka menyembunyikan sudut matanya yang tajam dibalik rambutnya yang agak panjang dan terkuncir setengah. Seketika angin bertiup cukup kencang, helayan rambutnya tersibak dan wajahnya terlihat jelas.

"Bagaimana? Kau suka?" Sekali lagi laki-laki itu bertanya pada Vanessa.

Ana mengalihkan pandangannya pada Vanessa. Berharap gadis kecil itu mampu menyadarkannya dari mimpi yang panjang. Bahwa yang ia lihat kali ini hanyalah bayangan kerinduan yang dalam. Ana ingin semuanya kembali seperti biasa, di mana hanya ada dia dan Vanessa di café terbuka itu.

Dan sekali lagi Ana menggeser pandangannya, bayangan itu masih berada di tempatnya. Dengan mata berbinar dan senyum yang melebar. Namun, senyum itu berubah saat laki-laki yang ia sebut bayangan kerinduan, balik menatapnya. Senyum Julian seperti tertahan, dan laki-laki itu ragu untuk menatap Ana lebih lama.

"Bagaimana kabarmu? Lama tidak bertemu!" ucap Julian.

Ana tak menjawab. Ia terus meratapi Julian. Ana tak tahu bagaimana caranya menghadapi Julian. Ada perasaan kecewa dan marah mengingat Julian yang menghilang begitu saja dan hari ini muncul tiba-tiba. Orang seperti itu, apakah pantas untuk dirindukan kehadirannya?

"Mama!"

Ana tersentak. Gadis kecil itu ternyata bereaksi karena kehadiran Nara. Nara yang berjalan menghampiri mereka.

Langkah Nara melambat sambil memperhatikan laki-laki di sebelah Vanessa. Pada akhirnya ia pun tersenyum, "Julian!" sebutnya nyaring.

Julian berdiri. Nara langsung memeluknya saat itu. "Sudah lama sekali, kemana aja?"

"Eh...," Julian tampak ragu untuk menjawab. Sesekali ia menoleh ke Ana yang berdiri di sampingnya. Seakan-akan Analah yang membuat ia tak leluasa untuk berbicara tentang dirinya.

"Kapan datang?"

"Baru saja."

"Nginap di mana? Nginap di rumah kami ya!" Nara yang amat bersemangat.

Ana mengerutkan keningnya, mengisyaratkan sesuatu pada Nara agar tak melakukan hal yang membuat kebenaran tentang perceraian mereka terungkap di hadapan Julian.

"Tidak usah. Aku tinggal di hotel dekat bandara."

"Kau seharusnya tidak perlu tinggal di hotel," ucap Nara sambil melirik pada Ana. Nara sadar, Julian akan sangat kecewa ketika mendengar Ana bukan istrinya lagi. Karena Julianlah yang memperjuangkan benar hubungan mereka. Tapi, Nara juga berusaha agar Ana mengerti bagaimana seharusnya memperlakukan satu-satunya keluarganya. Atau Ana sudah memutuskan untuk tidak membebani Julian. Setelah enam tahun, baru saja mereka bertemu lagi. Mungkin jika kali ini Julian pergi lagi, dua belas tahun kemudian baru mereka akan bertemu kembali. Terlebih untuk Ana, sangat mungkin mereka tidak akan bertemu untuk selamanya. Dan untuk itu, Nara bersedia saja jika Ana ingin bersandiwara bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Walaupun sulit untuk tidak jujur, jika saja Julian bertanya bagaimana sebenarnya keadaan Ana.

"Ok. Waktu istirahat makan siang sudah hampir habis. Aku ke sini hanya ingin menjemput Vanessa dan kukira aku akan meninggalkan kalian berdua," Nara memperhatikan jamnya. "Sayang!" sebut Nara sambil memandang Ana, "sampai jumpa di rumah!" Dan "Julian! Kutunggu kau di rumah! Jangan lupa!"

Ana tersenyum getir, ungkapan "sayang" itu, ia kira terlalu berlebihan.

"Aku senang keluargamu baik-baik saja. Dan Vanessa...," Julian tak yakin ia mengucapkan nama yang benar.

"Ya. Vanessa," tegas Ana.

"Dia lebih manis dari ibunya," senyum Julian melebar. Ia ingat, sehari lalu jiwanya seperti tertarik tak tentu arah. Ada rasa sakit dan kekhawatiran yang memuncak yang membuat kakinya kembali berpijak di Indonesia. Itu karena Ana. "Aku senang kau baik-baik saja!" ucapnya dalam hati. "Mau makan sesuatu?" kata Julian lagi.

Ana diam saja sambil memperhatikan Julian. Butuh waktu untuk membuatnya yakin ini bukanlah mimpi, suatu saat dia terbangun dan mimpi itu menghilang. Saat ini, Ana merasa sedang dipermainkan oleh Tuhan. Ana tak pernah mengerti kenapa Julian enam tahun lalu pergi diam-diam dan sekarang tiba-tiba datang dengan alasan yang juga tak bisa dimengerti Ana. Julian, yang sebenarnya bukan orang asing, tapi hari itu Ana ingin bertanya "siapa kau?" Julian yang hari itu duduk bersamanya, tapi Ana merasa tak bisa menggapainya. Sekadar untuk mengatakan sesuatu, amatlah sulit.

"Tidak ada yang ingin kau bicarakan denganku?"

Ana tetap diam. Bahkan hingga dua puluh menit kemudian dan makanan yang dipesan Julian sudah tersaji di hadapan mereka.

"Ayolah! Setidaknya temani aku makan. Aku sangat lapar," Julian tampak memohon.

"Makan?" Ana ingin meneriakkannya. Perutnya bahkan mual, bagaimana mungkin ia bisa makan. Dan Ana terlalu muak dengan sikap Julian yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Ana beranjak dari tempat duduknya sambil menarik tasnya. Ia sudah tak tahan berada di sana. Air matanya menetes setelah itu.

Namun, Julian menarik tangan Ana.

Saat Ana berbalik, satu tamparan mendarat di pipi Julian.

"Kau bukan keluarga kami lagi!" ucap Ana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status