Share

Chapter 7: Pertemuan Kembali

Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.

Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi.

"Ya. Ada apa?" sahut Julian.

"Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!"

"Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir bagaimana mengatakan bahwa ia ingin sendiri sekarang. Ia tak ingin berspekulasi tentang siapa yang datang. Apakah keluarganya, atau teman lamanya. Tidak. Julian tak punya hal-hal seperti itu. Selain Ana, hanya Nara yang tahu keberadaannya. Sudah seharusnya Julian tak menolak siapa pun sekarang, karena tidak akan banyak waktu ia habiskan di Indonesia.

Daun pintu berderak, "Ana!" Julian tampak terkejut.

Ana mencoba tersenyum meski agak canggung, "Maaf, kukira reaksiku tadi terlalu berlebihan. Dan aku hanya ingin memastikan Kakak sudah makan," Ana memperlihatkan sesuatu yang ia bawa. Sebuah kotak makanan.

"Masuklah!" Julian melebarkan daun pintu dan membiarkan Ana masuk ke dalam kamarnya. Julian menyesal tidak menanyakan pada resepsionis soal siapa yang datang. Ia akan berpikir tujuh kali untuk membiarkan perempuan masuk ke wilayah paling pribadi seorang laki-laki. Ada baiknya jika mereka bertemu di lobi saja. Tidakkah perempuan selalu protes jika melihat sesuatu yang berantakan. Dan lebih dari itu, Julian takut orang-orang berprasangka buruk pada Ana, meski status Ana adalah adiknya sendiri.

"Duduklah! Sebentar aku ambil baju dulu!"

Ana mengangguk saja. Ia kemudian meletakkan kotak makanan di meja dan melihat-lihat sekelilingnya. Ada koper hitam di sudut tempat tidur, dari besar koper itu Ana mengira Julian tidak akan bertahan lebih dari tiga hari di kota itu. Dan benar saja, ada sebuah tiket menuju Paris. Lusa Julian akan terbang ke Paris.

"Bagaimana kau bisa tahu aku di sini? Padahal di sini ada puluhan hotel," Julian mengusap wajahnya yang basah.

"Apa aku mengganggu istirahat Kakak?" Ana malah balik bertanya. Seakan-akan Ana tak peduli dengan apa yang dikatakan Julian dan itu membuat Julian melongo.

Julian tertawa kecil, "Kau ini," katanya. Ia kira Ana tak pernah berubah, gadis itu tak bisa fokus dengan suara, dan hanya peduli dengan apa yang ia lihat. Julian berusaha menghilangkan sayu matanya dan membuat Ana percaya bahwa dirinya samasekali tidak terganggu dengan kehadiran Ana.

"Aku tidak tahu kenapa Kakak datang kemari? Tapi, apa tidak terlalu cepat?" tanya Ana lagi. Ada kesedihan yang coba ia sembunyikan dengan senyumnya.

Julian berpaling ke Ana, ia ingin tahu jawaban apa yang diharapkan adik perempuannya itu. Ana yang memperlihatkan sebuah tiket dan menggoyang-goyangkannya.

"Apa yang Kakak lakukan di Paris?"

Kali ini Julian dibuat heran. Ia kira Ana yang menelpon ke kantornya beberapa hari lalu.

"Apa Paris kota yang indah?" tanya Ana lagi. "Apa kau akan mengajakku ke sana?"

Julian diam saja. Ia merasa tak ada yang penting dari dirinya untuk dibahas, dan entah kenapa ia merasa Ana tak benar-benar ingin mendengar jawaban darinya. "Katakan! Apa ada sesuatu?" Itulah yang sebenarnya ingin ditanyakan Julian pada Ana, yang membuatnya datang ke Indonesia. Tapi, jika itu benar-benar bukan Ana, seharusnya Julian bersyukur karena tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada Ana. Julian sampai pada kesimpulan bahwa dia sudah gila dengan kerinduannya selamanya ini, reaksinya terlalu berlebihan hanya karena sebuah telepon. Sia-sia, sejenak kata-kata itulah yang terlintas di benaknya. Namun, kemudian semua itu akan menjadi lebih buruk. Enam tahun tidak cukup untuk memalingkan pikirannya dari Ana. Dan sekali lagi mereka bertemu, Julian mengira tak akan cukup seumur hidup mengeluarkan Ana dari pikirannya.

"Kau ingin ke sana?" Julian menengadah pada Ana yang saat itu berdiri di bawah lukisan abstrak besar yang menempel di dinding kamar hotel.

Ana berpikir sejenak. Ia tak tahu apa ia benar-benar ingin ke Paris. Tapi kemudian Ana menggelengkan kepalanya. "Aku tak mau jauh-jauh dari Vanessa," katanya.

"Tapi, aku akan tetap membawamu ke Paris," sahut Julian.

Mata Ana membulat. Ia melihat Julian beranjak dari tempat duduknya dan menghampirinya. Seketika Julian meraih tangan kanan Ana dan melingkarkan tangan satunya di pinggang Ana. "Tutup matamu!" perintah Julian. "Dengarkan hanya suaraku!" kata Julian lagi.

"Bayangkan kau berada di sebuah restoran yang indah dengan dihujani cahaya lampu jingganya. Seseorang memutar musik, dan seorang pria mengulurkan tangan padamu, memintamu untuk berdansa. Kau mulai menari, menari dengan sangat indah. Semua mata tertuju padamu. Dan orang-orang yang berada luar, di jalanan yang basah karena sisa-sisa hujan, juga bisa melihatmu dari jendela besar restoran itu."

Julian melakukannya. Ia membuat Ana menari dengan mata terpejam. Wanita itu terlihat bahagia dengan senyumnya yang indah. Julian kira Ana mengerti apa yang ia maksudkan, tentang Paris dan keindahannya. Julian sering berhenti di pinggir jalan kemudian menengadah ke sisi jendela kaca besar di sebuah restoran terkenal di Paris. Hanya ada kebahagiaan di sana, yang hanya bisa dilihat Julian dari sudut yang sepi. Sesuatu yang membuatnya pesimis, bahwa ia akan merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan pasangan di atas sana.

Saat itu Julian bisa memandangi Ana dengan leluasa. Rambut cokelat yang tergerai indah, bibir Ana yang merah, bahkan tubuhnya yang putih dan berisi, dibalut dengan sifon berwarna hijau muda yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya, semuanya tak lepas dari perhatian Julian. Bahkan desahan napas hingga denyut nadi perempuan itu, Julian bisa merasakannya. Untuk sesaat Julian bisa menjadi sangat jahat, ia ingin sekali memeluk Ana dan melepaskan hasratnya pada wanita itu.

"Paris yang indah! Aku pasti sudah gila!" pikir Julian yang tiba-tiba saja menghempaskan Ana ke dadanya dan semua tentang Paris tiba-tiba saja runtuh seperti menara Pentagon.

"Ada apa?" tanya Ana heran.

"Sudah hampir malam. Nara dan Vanessa mungkin menunggumu di rumah," kata Julian yang sebenarnya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Tidak apa-apa, aku di sini saja. Boleh, ya!"

Kening Julian mengerut. Kata-kata Ana barusan terdengar seperti rengekan.

"Aku tak percaya kau sudah punya suami dan sudah punya satu anak," ungkap Julian kemudian.

Ana hanya tersenyum mendengarnya. Sepertiga hidupnya adalah dididik oleh Julian. Dan sudah seharusnya Julian bertanggung jawab atas sikap manja Ana hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status