Share

Chapter 9: Rahasia

"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatakan itu.

"Kakak!" Sekali lagi Ana memanggil Julian. Saat itu Vanessa tertidur di pangkuan Ana.

"Hmmm," Julian terkesan malas membuka mulutnya.

"Selama kau pergi aku mulai menginstropeksi diri."

Julian berpaling ke Ana, ia sadar untuk "kepergian itu" dia belum minta maaf pada Ana.

"Aku minta maaf," ucap Ana mulai meneteskan air matanya.

Julian terkejut dengan kata maaf yang justru keluar dari mulut Ana lebih dulu.

"Pasti berat buatmu untuk menjagaku. Karena aku, banyak waktumu terbuang untuk hal yang tak berarti, aku sungguh menyesal,"lanjutnya.

Saat itu mereka hampir sampai dan Julian sudah melihat titik di mana ia akan menghentikan mobil hitam yang ia sewa.

"Tapi aku senang kau kembali, aku tak tahu untuk alasan apa kau datang kemari. Hanya saja aku punya kesempatan untuk mengucapkan maaf. Rasanya tidak buruk jika kukatakan kau bukan lagi keluarga Segovia, kau bukan lagi suruhan ayah, kau bebas seperti saat kau belum mengenal kami," Ana mengusap air matanya, dengan punggung tangannya. "Biar begitu, aku tetap menganggapmu sebagai orang yang penting buatku. Kau...," penuh Ana menatap Julian, "malaikat yang dikirim Tuhan untukku," katanya.

Ana mendorong pintu mobil, ia menggendong Vanessa dan keluar dari mobil. Sementara Julian diam saja, tangan kanannya menggenggam erat setir mobil, sekadar menyembunyikan getaran kuat yang menyergap tubuhnya. Setiap kata-kata Ana mampu menekan batinnya. Ia kehilangan kemampuan untuk bersuara, sekadar mengatakan "bukan itu alasanku pergi," dan jika seperti itu Ana akan bertanya lagi, "lalu apa alasanmu?" Julian tidak mungkin mengatakan bahwa ia tak tahan dengan perasaannya sendiri.

Pelan-pelan air mata Julian juga menetes. Sekejap mereka merasa menjadi sangat asing. Buat Julian, perpisahan itu sangat menyakitkan, ia tak menyangka kedatangannya kembali ke Indonesia untuk menghadapi hal seperti ini. Namun, lebih menyakitkan membayangkan perasaan Ana yang akan terus salah paham terhadapnya.

Keesokan harinya,

Julian seperti tidak punya harapan lagi ada yang melepas kepergiannya. Tapi, ia melihat Ana. Cantik dan anggun seperti biasa, dan ia melambaikan tangannya pada Julian.

Julian tersenyum, ia sangat yakin bahwa ini sandiwara terakhir mereka sebagai sebuah keluarga.

"Kau datang sendiri?" Julian mencari-cari Vanessa.

Ana mengangguk.

"Ini, kubawakan sesuatu untukmu, untuk dibawa pulang ke Paris. Aku sangat yakin tidak ada yang seperti ini di sana!" kata Ana mencoba ceria dengan matanya yang berkaca-kaca.

Julian mengintip sedikit isi tas yang diberikan Ana. Kerupuk ikan dan beberapa makanan khas daerah mereka.

"Aku benar-benar akan mendoakanmu agar kau mendapatkan semua yang kau inginkan dan bisa hidup bahagia. Sebenarnya, nanti, jika Kakak menikah, tidak perlu berpikir bagaimana mengundangku, Paris dan Jakarta sangat jauh sementara aku tidak suka naik pesawat."

Julian berpura-pura mendengar semua kata-kata Ana. Karena yang sebenarnya ia inginkan adalah melihat wajah Ana. Ana berada di bawah pandangannya dan baik-baik saja adalah satu-satunya yang bisa membuatnya tenang. Dan Julian mungkin tak akan pernah melihat wajah Ana setelah keputusan sepihak Ana kemarin. "Aku pergi dulu," ucap Julian. Dengan enggan ia berbalik dan menjauh dari Ana. Inilah ujung dari cintanya ia kira. Julian tak pernah tahu mana yang terbaik untuk perasaannya, berada di dekat Ana dan mencintainya diam-diam, atau pergi mencoba menghilangkan bayangan kerinduan terhadap wanita itu, dua-duanya menyakitkan. Setidaknya pergi bukan hal baru buat Julian, dia hanya harus berusaha sekali lagi untuk melupakan Ana.

"Kau akan ke Paris?"

Julian baru saja menyerahkan tiketnya ke customer servis untuk diperiksa saat seseorang di sampingnya bicara padanya. Julian berpaling sejenak, laki-laki berkulit putih dan senyumnya terlihat ramah. Julian tidak yakin mengenalnya, juga tidak yakin kalau laki-laki itu bicara padanya, kecuali hanya basa-basi saja.

"Kau akan kembali?"

Sekali lagi Julian menoleh, dia lepas kacamatanya kemudian.

"Maaf?" katanya. Ia berharap kejelasan dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan padanya.

"Boleh kita bicara?"

Julian semakin dibuat heran. Ia melihat sekitarnya, memang tidak ada siapa-siapa di dekat mereka, sudah pasti laki-laki itu bicara padanya. Jakun Julian bergerak saat ia menelan air liurnya. Tenggorokannya memang agak kering, dan dia terlalu malas untuk bicara.

"Hanya tiga menit saja!" laki-laki berkulit putih terlihat memohon.

Julian mulai berpikir bahwa wajahnya yang terpampang di media internasionallah penyebabnya. Dan beberapa hari yang lalu wartawan Indonesia juga sempat mewawancarainya. Orang di sampingnya ini mungkin mengenal Julian sebagai seorang desainer.

"Maafkan aku, aku harus segera chek-in!" ucap Julian berbalik. Ia kira ia tidak coba menghindar, karena panggilan untuk penumpang Air France tujuan Paris telah terdengar.

"Kau akan menyesal jika tidak mendengarnya."

Julian berbalik, entah sejak kapan pembicaraan mereka menjadi sangat serius, "Apa aku mengenalmu?" katanya mulai kesal.

"Tidak," laki-laki berkulit putih mendekat pada Julian, kali ini dia tidak lagi bersikap ramah, "tapi, aku mengenal perempuan yang bersamamu tadi," sambungnya.

Julian menghujani laki-laki di dekatnya dengan kewaspadaan. Mencoba mengenali seperti apa orang di depannya saat itu. Tinggi mereka sama, kulitnya bersih tanpa sedikit pun bekas luka. Jelas dia bukan berandalan. Terlihat dari caranya merawat tubuhnya yang putih itu dan setelan yang ia gunakan, celana jeans dan kemeja kotak-kotak yang tampak cukup elegan. Dan sepertinya dia juga cukup cerdas. Jika yang orang itu maksud adalah Ana, maka itu tentu saja menjadi kartu mati untuk Julian.

"Hanya tiga menit," Julian memperhatikan jamnya. Detik itu sudah dimulai.

Laki-laki berkulit putih kembali tersenyum, ia mempersilakan Julian jalan duluan. Ada sebuah café di dekat mereka. Julian duduk dengan menyilangkan kakinya, sementara orang yang mengajaknya bicara bersikap lebih terbuka.

"Anda mau minum apa?"

"Waktu tiga puluh detikmu sudah terbuang!" Julian memperlihatkan jam tangannya.

Sekali lagi laki-laki berkulit putih tersenyum, tapi sepertinya ia tak punya pilihan saat seorang waiters juga menghampirinya, "Capuccino latte hangat dua, ya!" katanya pada wanita muda yang berdiri di samping mereka.

"Katakan apa yang ingin kau katakan!"

"Anda tidak ingin tahu siapa aku?"

"Jika saja kau punya cukup banyak waktu," sahut Julian.

"Namaku Ruin, aku adalah dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah di kota ini. Aku hanya ingin bertanya," kata-kata Ruin tertahan, "siapa kau?" lanjutnya.

Julian cukup terkejut dengan klasifikasi pekerjaan yang disebutkan orang di depannya. Terdengar luar biasa, tapi "Ada urusan apa Ana dengan seorang dokter?"

"Aku selalu bertanya pada Ana tentang apakah dia punya keluarga? Tentu saja bukan Vanessa yang kumaksud. Dan dia selalu menjawab 'tidak'," Ruin berharap ada penjelasan tentang itu dari Julian. Ia kira ia cukup mengenal Ana. Kecuali dirinya, Vanessa dan Nara, Ana tak pernah terlihat bersama orang lain sebelumnya.

"Jawabannya tidak sepenuhnya salah."

"Maksudmu, juga tidak sepenuhnya benar," sanggah Ruin. Ruin tidak melepaskan pandangannya pada Julian. Ia sadar Julian mulai tidak nyaman dengan pertanyaan yang ia lontarkan.

"Maksudku kau bisa mencari Nara jika...,"

"Maksudmu mantan suaminya? Kupikir Nara mendapat penolakan cukup besar dari Ana," sekali lagi Ruin menyanggah. Kali ini ia membuat Julian menantang pandangannya.

Tangan kanan Julian mengepal erat di atas pahanya. Sepanjang ingatan Julian, Ana tidak mengatakan apa-apa soal pernikahannya. Dia terlihat bahagia saja. Atau yang sebenarnya yang ia lihat hanyalah bentuk sandiwara.

Sekali lagi terdengar panggilan untuk penumpang yang akan diberangkatkan ke Paris pada pukul sembilan. Julian menyadari waktu mereka bicara memanjang dari kontrak sebelumnya. "Apa kau ingin membuatku membatalkan penerbanganku?" tanya Julian berat.

"Jika itu bisa, aku akan mencobanya," Ruin berdiri, ia mengeluarkan selembar uang dan kartu nama. Ia meletakkan uang di atas meja.

"Katakan padaku jika kau tahu sesuatu. Aku hanya mencari orang yang bisa mendorong Ana untuk menjalani pengobatan dan kemoterapi. Ini untuk kebaikannya sendiri," Ruin menyerahkan kartu namanya pada Julian. "Semoga perjalananmu menyenangkan," katanya sebelum pergi.

"Panggilan terhadap Tuan Julian Andreas, agar segera memasuki ruang tunggu bandara pintu tiga!"

Berkali-kali nama Julian disebut dalam kalimat yang sama. Entah apakah telinga Julian terhalang sesuatu, ia hanya bisa merasakan kesunyian di antara dentuman kaki para pengunjung dan riuh rendah suara mereka semakin menenggelamkan Julian dalam lamunan. Ia masih duduk di tempat yang sama. Pandangannya hampa pada selembar kartu nama yang ditinggalkan Ruin di dekatnya. Julian tak tahu apa yang ingin ia lakukan sekarang. Dia tidak bisa percaya begitu saja kata-kata Dokter Ruin, atau lebih memilih tidak mempercayainya. Ia ingin Ana baik-baik saja. Ia ingin percaya bahwa Ana tidak berbohong padanya. Dan ia percaya wanita itu bisa hidup lebih lama darinya.

"Lalu bagaimana jika aku harus mempercayainya?" Julian mengusap wajahnya. Tiba-tiba ia merasakan lelah yang hebat. Sudah cukup sulit untuk berkompromi dengan perasaan sendiri soal Ana. Selama ini ia bertahan dengan memastikan Ana baik-baik saja di mana pun ia berada. Namun, jika harus melihat Ana menderita, ia tidak ingin membayangkannya.

Saat desingan pesawat menggema nyaring, kemudian perlahan suaranya menghilang di kejauhan, Julian beranjak dari tempat duduknya. Julian samasekali tak berpikir kembali ke Paris dengan perasaan seperti itu. Tapi, ia juga tak punya rencana akan kemana setelah ini, ia kira ia akan menemukan Ana, entah di mana pun ia berada.

Café taman kota pukul 11 siang, tidak salah jika Julian bisa menemukannya di sana. Julian tak ingat kapan terakhir kali ia mengintai Ana dari kejauhan. Tapi, Julian tak pernah lupa Ana yang selalu menuliskan sesuatu di buku cokelatnya saat sedang sendirian. Ana memasukkan buku cokelat ke dalam tasnya saat Vanessa berlari ke arahnya. Tak lama sebuah mobil berhenti di dekat mereka, itu Nara. Hanya saja Nara tak sendirian, dia bersama seorang perempuan, cantik dengan potongan rambut pendeknya. Itu fakta pertama yang harus diterima Julian. Cukup menyakitkan karena dulu ia pernah benar-benar berharap pada Nara untuk menjaga satu-satunya harta yang ingin dijaga Julian di dunia ini.

Sungguh lucu, Ana menyambut hangat perempuan yang dibawa Nara dengan sebuah pelukan dan tentu saja senyum yang lebar. Tapi, sebenarnya Julian tak peduli dengan perempuan itu. Ia hanya ingin melayangkan satu tinjunya pada Nara, jika perlu ia akan menyayat leher orang itu dan meninggalkan mayatnya di hutan.

Julian ingin tahu lebih banyak, apa lagi yang disembunyikan Ana darinya. Ana sendirian sekarang, mobil Nara berlalu begitu saja dengan membawa Vanessa. Entah sejak kapan Julian merasa Vanessa satu-satunya yang akan membuat Ana tersenyum. Sekarang wanita itu tenggelam dalam kesendiriannya, wajahnya mulai memucat dan dengan garis mata yang sendu ia mulai berjalan lagi. Ana menatap kosong segala sesuatunya. Ia mengabaikan cahaya yang terang di hari itu, mengabaikan desiran angin yang menggoyangkan ranting-ranting pohon dan mengabaikan dirinya sendiri yang berkali-kali tak sengaja bertabrakan dengan orang lain. Ia hampir tersungkur tapi ia sendiri yang meminta maaf. Julian pernah melihat Ana yang seperti itu ketika baru saja Ana kehilangan ayahnya. Tentu saja itu membuat Julian khawatir. Perlu waktu sangat lama mengembalikan senyum Ana, dan tak ada yang bisa membayangkan betapa beratnya menghadapi itu.

Ada lebih banyak pertanyaan yang kemudian muncul di benak Julian, apakah selama ini Ana masih memakan makanan yang disukainya? Atau dia mengabaikannya juga? Dan selimut yang menemaninya tidur? Tidakkah itu terbuat dari bulu halus yang terurai lembut saat Ana merebahkan diri di atasnya? Julian mengikuti setiap jejak yang ditinggalkan Ana. Ia semakin takut saat tak bisa menebak kemana sebenarnya Ana akan pergi. Tempat yang Ana tuju terlihat seperti rumah susun. Dari kejauhan terlihat anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan tanpa rumput, tanahnya yang jingga, kering dan terurai menjadi debu. Teriakan ibu-ibu terdengar dari mana-mana, sekadar menyuruh anak-anak yang bermain itu berhenti atau mereka protes karena debu-debu mulai mengotori jemuran mereka. Tapi, semua itu tak membuat anak-anak itu berhenti. Mereka malah semakin bersemangat untuk membuat satu gol. Langkah Julian tertahan saat bola melayang ke arahnya, Julian menangkapnya. Julian sempat terkejut, anak-anak yang bermain bola mulai berteriak, "paman, lemparkan bolanya!" Julian khawatir Ana berpaling dan menyadari keberadaannya. Ana bisa saja lari darinya seperti yang pernah ia lakukan dulu. "Aku tidak suka diikuti," katanya. Tapi, tidak. Ana menaiki anak tangga dengan tidak terusik pada sesuatu apa pun, seakan inderanya telah mati, dia mengabaikan semua hal di sekitarnya.

Setidaknya Julian tahu di mana ia akan mencari Ana setelah ini, tak tahu apakah itu bisa disebut rumah, atau hanya sebuah kamar bernomor 06. Untuk selanjutnya, Julian akan membuat Ana tidak bisa lagi menghindar darinya.

Dari kejauhan aku melihatnya berlari kecil. Laki-laki itu gelisah, seperti sedang mencari sesuatu. Aku tertawa saja, jika tidak begitu Julian tidak akan meninggalkan pekerjaannya.

"Aku di taman depan sekolah," kataku setengah jam sebelumnya saat aku menelponnya.

"Kau bersama teman-temanmu?" Julian bertanya lagi.

Aku tidak menjawab. Kuputuskan sambungan dengan Julian. Untuk selanjutnya Julian terus menelpon dan kuabaikan panggilan itu. Sekarang, sesuai yang kuharapkan, Julian sendiri yang datang mencariku.

Julian menemukanku di bawah pohon besar di tengah taman. Pohon itu dihiasi lampu-lampu kecil berwarna-warni. Aku tersenyum padanya.

Aku tahu Julian pasti lupa malam ini malam tahun baru, seperti ia melupakan hari-hari lainnya dan hanya sibuk mengurusi pekerjaannya. Dalam ingatanku, Julian sekitar dua puluhan tahun waktu itu. Usia seperti itu semestinya Julian membawa pasangannya ke pesta tahun baru, bukan bekerja lembur sendirian di ruangan sempit yang hanya diterangi cahaya putih remang-remang. Lihatlah kemeja yang ia kenakan, dan dasi yang mengikat lehernya, sudah terlihat berantakan. Ada kerutan sedikit di kening Julian saat berhasil menemukanku. Biar begitu, aku tahu, apa pun yang terjadi, Julian tidak akan marah padaku.

"Kau datang?" senyumku semakin lebar. Sekadar ingin mengatakan bahwa diriku sebenarnya tidak apa-apa dan ini sengaja kulakukan.

"Kau sendirian?" Julian balik bertanya.

Aku mengangguk. "Maaf, untuk memaksamu datang kemari."

"Kau seharusnya tidak perlu melakukan hal seperti ini, kau tinggal meminta...,"

"Kau akan menyuruh Nara menemaniku jika kau tahu aku sendirian."

Julian terdiam. Bahwa sebenarnya dirinyalah yang begitu kuharapkan. Aku akan berdandan lebih cantik untuknya. Kudekatkan diriku padanya dan kuraih lengan kiri laki-laki itu. Layaknya seorang kekasih, aku ingin bermanja-manja dengannya. tidakkah kebanyakan saudara menjadikan hubungan mereka untuk ajang berkelahi. Aku selalu bersikap seperti itu sebelumnya, sampai kusadari pelan-pelan aku mulai mencintai Julian. Pantas tidak pantas, sadar tidak sadar, aku berharap suatu hari nanti Julian akan melihat dirinya sebegai seorang perempuan, bukan sebagai adiknya.

Julian punya daya tarik yang besar bagi perempuan. Banyak pertanyaan yang datang padaku, apakah Julian sudah punya pacar? Dan pada akhirnya mereka memintaku mengenalkan mereka pada Julian. Mereka semua membuatku cemburu. Dan malam itu, aku bangga bisa berjalan di samping Julian, menggenggam erat tangannya. Aku merasa tatapan semua orang mengarah padaku, dan mereka iri terhadap kebersamaanku dan Julian. Aku senang saat Julian memperhatikan setiap langkahku, sekadar mencegah hal-hal yang bisa membuatku terjatuh. Aku senang saat Julian merangkulku dengan hangat, menyuapiku dengan makanan-makanan kecil dari stand-stand yang berdiri malam itu, membantuku memilihkan pernak-pernik yang lucu dan aku senang saat Julian memuji diriku. Kebahagiaan mencintai yang belum pernah kurasakan sebelumnya, malam itu bisa kurasakan bersama Julian. Walaupun itu akan berakhir sesaat setelah kembang api diluncurkan ke langit pekat dan menciptakan warna-warni yang indah. Tanpa disadari Julian, bukan kembang api yang kuperhatikan, tapi wajah Julian yang membuatku merasa damai. "Kak, aku kedinginan!" lirihku

Ekspresi Julian berubah, ia tahu ia tak punya apa-apa untuk diselimutkan. Kecuali tubuhnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status