Share

Chapter 10: Sang Malaikat

Paris...

Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.

 Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seorang model muda papan atas, Isabel terbiasa ditawari untuk menjadi model para desainer terkenal, bahkan dalam pertemuan mereka yang tidak disengaja. 

 "I'am Julian, may I help you?" Julian mencoba bersikap sopan. Saat itu Julian terpaksa turun dari pembaringannya karena dipanggil oleh Mrs. Alena.

"Gaunmu bagus!" Itu kata pertama yang diucapkan Isabel pada Julian. 

Julian terdiam sejenak, ia terkejut mendengar kata dengan bahasa Indonesia yang diucapkan seorang gadis muda, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berada di Paris. 

"Terima kasih," tanggap Julian. 

"Hanya begitu saja?" 

Julian mengerutkan keningnya, ia tak tahu seberapa serius sebenarnya pembicaraan mereka, "Memang, ada apa lagi?" Julian balik bertanya. 

"Kau tak mengenalku?"

Julian memfokuskan perhatiannya pada gadis di depannya sekali lagi. Seperti gadis-gadis lain yang biasa mengunjungi butiknya. "Tentu aku tahu, Anda Isabel, seorang model."

"Bagus. Aku mungkin saja menolak tawaran Anda untuk menjadi model suatu hari nanti," Isabel mencoba mengatakan bahwa Julian seharusnya bersikap baik padanya. 

Julian tersenyum, "Benarkah? Aku pasti sungguh kecewa," katanya terdengar seperti lelucon. Hanya saja Isabel tak menyadarinya. "Anda pilih saja yang Anda suka, maaf aku harus ke atas, masih ada yang harus dikerjakan."

Perlahan Isabel berpaling dari deretan baju yang terpajang, ia melihat ke Julian yang menunduk sopan. "Orang ini mau meninggalkanku?" pikirnya kesal. Isabel mendengus keras sambil berpangku tangan. Sementara Julian sudah menaiki anak tangga dan meminta Mrs. Alena menggantikan posisinya untuk menemani Isabel. 

Baru sampai di pertengahan anak tangga, Julian mendengar Isabel berteriak padanya, "Anda kira begini caranya memperlakukan seorang pelanggan?" katanya. 

Julian heran, ia tak menyadari apa salahnya. Isabel menuju pintu butik saat itu, sepertinya ingin cepat-cepat keluar. Hanya saja, ia kembali ke deretan gaun terpajang, menarik dua potong gaun dan meletakkannya di meja kasir. 

Isabel memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk hal yang disukainya. Bisa saja jika ia pergi, sejam kemudian gaun itu sudah tak terpajang di sana. Isabel tidak mau itu terjadi. 

Setelah membayar, Isabel melontarkan pandangan kekesalannya lagi pada Julian yang masih berdiri di tengah-tengah tangga, kemudian pergi. 

"Ia bahkan tidak mencobanya," pikir Julian tak yakin ukuran gaun itu pas untuk gadis bertubuh mungil. Terakhir yang mengenakan gaun itu adalah seorang model peranakan Rusia. 

Keesokan harinya,

Julian punya banyak waktu hari itu. Hampir dua jam ia berada di lantai dasar, menemani pelanggan-pelanggan wanitanya, atau mereka terlihat seperti teman yang menghabiskan waktu berkumpul di sebuah bar kecil. Julian mendengarkan keluhan mereka tentang penampilan yang dirasa selalu tidak sempurna. Masalah yang sama yang didengar Julian setiap hari. Itu agak klise, Julian bahkan tidak melihat apa yang para wanita itu maksudkan. Bukankah kecantikan mereka di atas rata-rata, mereka bertubuh tinggi dengan berat badan yang diidamkan setiap wanita. "Masing-masing memiliki keunikan tersendiri, sadari itu!" satu-satunya yang bisa diucapkan Julian untuk membuat mereka percaya pada diri mereka sendiri. 

Julian bersandar di sebuah tiang yang dihiasi pernak-pernik berkilau, dua tangannya tertahan di saku celananya. Sesekali senyumnya mengembang mendengar pembicaraan para model cantik itu. Ada yang mulai mengucapkan kalimat "apa kau tahu...?" dan tentu saja pembicaraan menjadi lebih menarik setelah itu. Mereka membicarakan tentang hal-hal yang ramai dibicarakan di berbagai tabloid fashion yang beredar minggu ini, juga skandal-skandal yang menjadi perbincangan international. Julian tidak suka membaca, jarang menonton televisi dan sebenarnya tak tertarik dengan berbagai hal itu. Namun, entah disadari atau pun tidak, Julian tahu informasi itu penting untuknya tetap bertahan di dunia mode. Julian membuat ini menjadi lebih mudah, ia bisa menyerap semua informasi hanya dengan menyimak pembicaraan para model yang kebetulan berkumpul di butiknya. 

Agaknya ada yang mengusik penghuni butik ketika pintu depan butik Julian terbuka. Semua mata tertuju pada seseorang yang baru saja masuk. Seorang wanita yang mengenakan jeans hitam dan kaos ketat berwarna cream. Pinggang dan perutnya sedikit terlihat. Gadis itu juga menggunakan topi berdaun lebar dan stiletto merah yang tingginya tak kurang 10 cm. Julian yakin gadis itu berdandan seperti itu agar tak mudah dikenali, matahari yang meninggi hari itu, juga tak akan langsung mengenai kulit wajahnya karena topi yang ia kenakan. 

Julian tak yakin, gadis itu sepertinya sama dengan gadis yang berkunjung ke butiknya kemarin dan marah padanya dengan alasan yang tidak ia mengerti. Hanya saja, Julian melihat pandangan teduh dari gadis itu. Gadis dengan eye shadow berwarna cokelat dan lipstick berwarna merah muda. Ia kira hari ini Isabel mengurangi make-up di wajahnya, rambutnya juga terurai alami. Ini jauh dari kesan angkuh dan glamor yang selama ini melekat pada Isabel. Itu tak buruk, Julian justru lebih menyukai penampilan Isabel yang seperti itu. 

Isabel menenteng sebuah tas berlogo J d'Art.

Julian menghampiri Isabel. 

"Ikut aku ke atas!" ucapnya ramah. 

Isabel menurut saja. 

Di lantai dua, Isabel menemukan jejeran patung yang dibalut berbagai gaun setengah jadi. Ada meja rias di sana, juga meja kerja Julian yang penuh tumpukan kertas. Meja kerja yang biasa digunakan Julian untuk membuat sketsa rancangannya. Selain itu ia juga bisa menemukan kain bahan yang masih berupa gulungan, berbagai kristal cantik dan pernak-pernik lain yang tidak dimengerti Isabel. Isabel dibuat kagum dengan ruangan itu. 

"Masuklah!" Julian mengarahkan Isabel ke kamar ganti. 

Sementara menunggu Isabel, Julian menyiapkan peralatan yang akan ia gunakan, peniti dan pita pengukur badan. Sudah pasti Isabel punya masalah dengan ukuran gaun yang tidak sesuai.

Saat Isabel keluar, Julian tak memungkiri bahwa Isabel punya pilihan yang bagus. Ia mampu mengenali gaun yang cocok untuk dirinya sendiri. Gaun berwarna orange muda, walaupun ukurannya tidak terlalu pas, gaun yang kontras dengan kulit Isabel yang putih dan itu terlihat cantik. Julian meminta Isabel mendekat padanya. Julian memilih duduk di atas meja kerjanya. Posisi seperti ini memudahkannya untuk mengukur setiap lekuk tubuh Isabel. Isabel sebenarnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang model dan dia lebih rendah dari Julian. Dengan posisi seperti itu, Julian tidak perlu menunduk, dan punggungnya tidak perlu merasa sakit. 

"Bagaimana kau tahu?"

Julian mencoba mencerna arah pertanyaan Isabel. Ia belum menjawabnya. Namun, yang sebenarnya lebih menarik buat Julian adalah mengingat kemarin gadis itu marah padanya. Dan hari ini ia menggunakan bahasa tidak formal, itu terdengar akrab. 

"Aku bisa menebak ukuran pinggangmu sekarang. Dan aku hafal dengan ukuran gaun yang kubuat sendiri. Apa aku belum bilang bahwa inilah pekerjaanku?" Julian menyelipkan satu peniti di bagian pinggang gaun Isabel. Peniti ke delapan yang membuat Isabel terhenyak. Sejak tadi Julian memutar-mutar tubuh Isabel, memperhatikan setiap inci kain yang membalut tubuh gadis muda itu. Itu bukan masalah jika Julian melakukannya dengan lebih lembut. 

"Aku bukan patung," protes Isabel pada akhirnya. "Apa kau tahu aku mengahabiskan banyak uang untuk perawatan kulit. Apa jadinya kalau kulitku tertusuk dan menimbulkan bekas? Kau mau bertanggung jawab?" tambahnya. 

Julian tersenyum, sekali lagi ia memutar tubuh Isabel. Julian hampir membuat Isabel kehilangan keseimbangan saat itu, dia mungkin saja terjatuh, tapi Julian menahannya, "Kalau kau tertusuk, kau boleh menuntutku dengan tuduhan penganiayaan," tanggapya.

"Ok. Aku pasti akan melakukan itu. Cepat selesaikan saja ini, kau membuatku pusing!" 

Hanya butuh tiga puluh menit untuk menjahit kembali dua gaun agar sesuai dengan ukuran Isabel. 

"Aku sungguh terkesan!" ucap Isabel jujur, tapi terlihat tidak ikhlas mengucapkannya. 

Julian merapikan peralatannya. Ini bukan kali pertama ia mendapat pujian untuk hasil kerjanya. 

"Berapa... aku harus membayar?" tanya Isabel agak ragu. 

"Kemarin kau sudah membayarnya, nona! Hari ini aku hanya menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda," jelas Julian. 

Isabel memperhatikan gaun yang ada dalam genggamannya. Gaun indah yang benar-benar ia sukai. Sebenarnya Julian bisa saja tidak menyerahkan gaun itu pada Isabel, tentu saja karena sikap kasarnya kemarin. Bukankah seorang desainer akan berusaha menemukan pemilik yang tepat untuk gaun-gaun rancangan mereka? Mereka akan melihat berbagai aspek dari calon pembeli, untuk menentukan apakah gaun itu cocok atau tidak dikenakan oleh sang pemilik. Bukan semata-mata soal uang, ini soal makna dari sebuah karya. Untuk itu, Isabel merasa malu atas sikapnya kemarin. Hanya saja, gadis itu tidak tahu caranya meminta maaf. Itu sama sulitnya dengan menelan ramuan obat herbal yang sering dibuat oleh ayahnya.

"Baiklah. Kalau begitu aku pergi," kata Isabel canggung. Ia berbalik dan berjalan menjauhi Julian. 

"Setidaknya kau bisa mengucapkan terima kasih," ucap Julian.

Isabel berpaling, ia sadar memang itulah yang harusnya diucapkan. Tapi, yang kemudian keluar dari mulutnya, "Asal kau tahu, aku lebih suka membayar untuk ini," ujarnya. 

Untuk pertemuan mereka selanjutnya, Isabel melewatkan begitu banyak pagelaran busana yang dibuat Julian tanpa sekali pun Julian melibatkan dirinya sebagai model. Sejak Isabel mulai merasa nyaman berada di dekat Julian, ia mencari berbagai alasan untuk bertemu desainer itu. Sekadar berkonsultasi dengan Julian tentang penampilannya, Isabel akan mendiskusikan semua gaun yang ia beli pada Julian, bahkan gaun yang ia beli dari desainer lain. Kini mereka terlihat seperti teman. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk makan siang, kadang-kadang menikmati sore yang indah di café-café tepi jalan, dan tentu saja Isabel membawa banyak majalah fashion saat itu. Isabel juga sering berada di ruang kerja Julian untuk melihat laki-laki itu menyiapkan segala hal yang dibutuhkan di atas cat-walk. Kadang-kadang ia merasa cemburu ketika Julian menangani model-model cantiknya. Suatu ketika Isabel tidak tahan melihat Julian bersama wanita-wanita cantik itu, ia pergi tanpa berpamitan. Julian sempat melihatnya, menuruni anak tangga dengan wajah merengut. Jika saja Julian tahu saat itu Isabel sudah ingin pergi, setidaknya Julian akan mengantarnya hingga pintu mobil. 

"Kau tidak apa-apa?" untuk pertama kalinya Julian menelpon Isabel setelah ia sadar ia tak bisa menemukan Isabel di sudut mana pun di butiknya. 

Isabel tidak menjawab. Ia masih kesal pada Julian. 

"Kenapa tiba-tiba pergi?" Julian bertanya lagi.

"Apa pedulimu? Aku...," Isabel menghela napas, "aku tidak suka cara model-modelmu memandangku aneh dan mereka mulai membicarakanku. 'Isabel' ada di sana, tapi bukan sebagai apa-apa," Isabel menyebut namanya sendiri. 

Julian mengerutkan keningnya, ia mencoba mencerna apa yang sebenarnya yang dipermasalahkan gadis itu.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku bukan siapa-siapa dan tentu saja aku tidak bisa membayarmu bahkan dengan harga minimal yang biasa tertera di majalah. Lagi pula, levelmu terlalu tinggi untuk mendengarkan semua ocehan mereka."

Isabel terdiam sejenak, ia mulai memikirkan kata-kata Julian. Sebenarnya bukan semata-mata ia kesal terhadap model-model Julian. Tapi, Isabel terlalu takut kalau laki-laki itu tergoda dengan salah satu dari mereka. Isabel tak tahu entah sejak kapan ia ingin membuat dinding penghalang yang besar, yang di dalamnya hanya ada dirinya dan Julian. Ini terdengar egois, tapi itulah kenyataannya. 

"Kau punya gaun yang cocok untukku?" Isabel bertanya dengan nada suara rendah. Hampir saja Julian tidak bisa mendengarnya. 

"Maksudmu kau ingin jadi modelku?" Julian balik bertanya.

"Jujur saja, aku hanya ingin memberikan sedikit pengalaman pada model-modelmu itu, mereka harusnya bangga bisa sepanggung dengan model sekelas aku."

Julian tersenyum kaku, ia tak berpikir akan terlibat masalah gengsi para wanita, tidakkah persiapan fashion show sudah sangat membuatnya kerepotan. 

"Sejujurnya aku tidak punya," jawab Julian.

Senyum Isabel lenyap seketika, ia siap meledak lagi. 

"Tapi, kukira aku punya sesuatu di kepalaku, sesuatu yang khusus kubuat untukmu. Kau datanglah besok sore!" ucap Julian sebelum menutup ponselnya. Ia harus siap untuk membuat sesuatu yang sudah ia janjikan pada Isabel, dan malam ini mungkin dia tidak akan tidur.

Saat cahaya fajar memenuhi sudut-sudut Champs-Élysées keesokan harinya, Isabel menemukan Julian tertidur di sofa merah di ruang kerjanya. Cahaya jingga yang menembus jendela kaca besar menyentuh wajah Julian, namun sepertinya ia tak terusik dengan itu. 

Hal lain yang menarik perhatian Isabel adalah gaun hitam dengan detail bulu yang memenuhi setiap inci gaun tersebut. Gaun yang terpajang di patung model, memantulkan cahaya saat sentuhan sinar fajar juga menghujaninya. Isabel baru menyadari bahwa Julian juga menaburkan swarovski hitam ke rancangannya itu. Isabel jatuh cinta pada pandangan pertama pada gaun tersebut. Tanpa bertanya pada Julian, ia mengenakan gaun tersebut. Gaun cutting sederhana dengan bahu terbuka dan hanya dua per tiga menutupi pahanya. Isabel tercenung saat menghadap cermin. Ia merasa mendapat energi baru setelah mengenakan gaun tersebut. 

"Coba kulihat!" Julian meraih pinggang Isabel, memutar tubuh perempuan itu hingga mereka saling berhadapan. Mata Julian masih terlihat sayu saat itu, "Sepertinya sudah tidak perlu ada yang dirubah," katanya seakan mempertegas bahwa gaun itu memang diperuntukan untuk Isabel. 

"Kau membuat ini dalam semalam?" Isabel penasaran. 

Julian menganguk, "Angel" sebut Julian. Ia memutar lagi tubuh Isabel. Menghadapkan Isabel pada sosok Isabel di dalam cermin. 

"Menurutmu, mengapa malaikat tidak boleh jatuh cinta?"

Isabel menggelengkan kepalanya. 

"Karena malaikat ditakdirkan hanya untuk setia pada Tuhan, dan ketika ia jatuh cinta, maka berarti kesetiaannya telah berubah. Tentu saja dia tak bisa dianggap lagi sebagai malaikat. Perlahan sayapnya yang indah akan menghitam dan mulai berjatuhan. Ia akan berubah menjadi manusia yang lemah, manusia yang pada akhirnya tak memiliki daya bahkan untuk menyelimutkan selembar kain pada tubuh mereka yang telanjang, hingga akhirnya mereka mati. Malaikat yang jatuh cinta itu, telah memilih jalannya sendiri untuk tetap mencintai, daripada pergi dan melupakan. Malaikat akan melindungi orang yang dicintainya dengan segenap jiwa dan raganya, dan terakhir ia akan merajut bulu dari sayapnya yang berjatuhan dan ia hadiahkan pada kekasihnya. Sebuah gaun yang menjadi bukti cinta nyata, pengorbanan, dan kesetiaan. Dengan itu semua, ia berharap kekasihnya bisa berdiri dengan lebih kuat dengan mengenakan gaun itu. Kekasihnya harus percaya bahwa sang malaikat akan terus bersamanya, akan terus melindunginya, meski kini mereka telah tak bersama," jelas Julian. Ia melihat bayangan Ana yang menari-nari ceria di sekitarnya. Sampai sekarang Julian masih tetap memilih sebagai malaikat, yang hanya memberikan cintanya diam-diam. Tuhan marah padanya, tapi Julian tak bisa dipersalahkan karena Julian sudah berusaha untuk meredam cintanya. Ia bahkan memilih pergi dan melupakan. 

"Mungkin kau benar. Tapi, buatku aku sudah berusaha sangat keras untuk mencapai posisi ini. Jika menurutmu ini adalah hadiah pengorbanan, maka sudah seharusnya aku berdiri tegak dan menjadi lebih kuat. Dan orang-orang harus melihat itu," Isabel tersenyum kemudian. Setiap jengkal perjuangan bisa ia ingat jelas. Tidakkah tubuhnya lebih kecil dari model-model yang lain, ia sudah dicemooh dan berakali-kali mendapat penolakan karena itu. Tapi, ia bisa membuktikan kemampuannya pada dunia dan ia tetap bertahan. 

"Angel" dan "Julian" menjadi sangat terkenal setelah kemunculan mereka bersama. Mereka mungkin tak akan menjadi perhatian pecinta mode dunia jika saja Isabel tak terlibat. Isabel yang mau bekerja sama dengan desainer muda yang merupakan pendatang baru, menjadi pertanyaan utama wartawan yang meliput mereka saat itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status