Ibu baru saja turun ke lantai bawah saat mendengar suara-suara ramai pertanda tamu sudah tiba. Aku mengepas rok dan dress merah muda yang kemarin dibeli khusus untuk acara hari ini. Sembari berputar-putar mematut diri di cermin, aku pun berlatih memberi senyum manis seperti yang Ibu ajarkan.
“Krista!”
Suara ibu yang memanggilku dari luar sontak mengejutkanku.
Membuatku bergegas beranjak dari kamar dan membukakan pintu hanya untuk mendapati Ibu ternyata sudah berdiri di luar.
“Ya ampun Krista, kenapa tidak juga turun ke bawah?” tanya Ibu berkacak pinggang.
Aku hanya mengangkat bahu dan berlalu melewatinya, tetapi Ibu menahan tubuhku dan kami kembali masuk ke kamar.
“Aduh … Krista, lihat rokmu kusut sekali! Ayo, ganti yang baru,” katanya sembari mengacak isi lemariku yang penuh hendak memuntahkan isinya.
“Mom, tidak ada yang salah dengan rok ini,” sungutku kesal karena malas mengganti lagi.
“Tidak bisa, lihatlah betapa berantakan penampilanmu. Apa tidak malu bila tamu Ayah membicarakan kita hanya karena sebuah rok?” balik Ibu yang menjelaskan dengan kesal.
Aku tahu bahwa reputasi itu perlu, tetapi tidak harus membuat semua jadi terlihat sempurna. Apa pun yang kulakukan benar-benar harus diperhatikan, cara berjalan, cara mengunyah, semua pakai aturan.
Ini terjadi sejak dua tahun lalu ketika Ayah dipilih menjadi Mayor di Denver. Sejak itu hidupku berubah. Begitu pula teman-temanku, yang semula aku tidak memiliki banyak teman, tiba-tiba saja mereka mendekat dan bersikap manis.
Sedikit merasa malas akhirnya aku mengganti rok yang Ibu bilang kusut dengan yang baru.
“Ayolah, cepat sedikit. Tamu Ayah sudah berdatangan. Ibu harus ke bawah dan menjamu mereka, rasanya tidak sopan meninggalkan tamu bersama pelayan tanpa tuan rumah,” cerca Ibu sembari memburu-buru diriku.
“Tapi kan ada Ayah yang menyambut mereka,” ucapku mengingat Ayah masih berada di bawah sejak tadi.
“Tidak seharusnya Ayahmu yang menjamu, itu adalah tugas Ibu sebagai istri seorang Mayor. Cepatlah turun, Krista.”
Ibu sedikit menyeretku sampai ke lantai bawah. Dari atas tangga aku melihat para tamu sudah memenuhi ruangan utama. Seluruhnya berpakaian dengan gaya yang sama, membuatku sulit membedakan bapak-bapak di sana. Stelan jas hitam dengan dasi panjang, begitu pula gaya rambut mereka, mirip semua.
Memangnya ada apa dengan tampilan kembar itu, apa mereka sengaja ingin kompak begitu?
“Selamat malam, maaf aku tidak menyambut kedatangan kalian,” kata Ibu pada seorang wanita cantik yang mendekat begitu kami tiba di lantai bawah.
“Tidak apa-apa, Jules. Kau pasti sibuk mengurus hal lain,” balas wanita cantik itu basa-basi. Wanita itu pun menunduk ke arahku dan tersenyum kaku. “Oh, apakah ini putri tunggalmu?”
Ibu memperkenalkanku pada pasangan suami istri tersebut.
“Ya ampun, kau benar-benar diberkati memiliki anak perempuan secantik ini,” pujinya yang terdengar tidak tulus.
Aku hanya menyungging senyum sebagai kesopanan, tidak mau Ibu mencubitku setelah tamu bubar.
“Jangan terlalu dipuji nanti dia besar kepala,” jawab Ibu sama basa-basinya.
Aku benar-benar ingin memutar bola mata.
“Ayo kita pindah ke jamuan makan. Aku sudah menyiapkan hidangan khusus untuk hari ini.”
Ibu menuntun para undangan ke meja makan. Saat itulah aku melihatnya. Pria yang kuanggap pangeran berkuda putih seperti dalam novel romansa koleksi Ibu yang kucuri diam-diam dari lemari terkunci.
Dia sangat tinggi, berbadan tegap, dan maskulin. Ditambah rambut pirang emasnya yang berkilau diterpa lampu kristal di atas lantai dansa ruang utama, belum lagi senyumnya yang menawan menambah ketampanannya berlipat. Jemari lentiknya menggenggam gelas kristal dengan gentle dan hati-hati.
Aku melirik ke arah Ibu yang tadi berdiri di samping, hendak menanyakan identitas lelaki berwajah cantik itu, tetapi Ibu sudah pergi ikut bersama rombongan yang tadi ke meja jamuan.
Menghela napas kecewa, kembali kulempar pandangan ke arah pria itu berdiri, tetapi napasku tercekat saat pandangan kami bertabrakan. Dia memiringkan sedikit kepala seakan menilaiku. Rasanya pipiku memanas, tanpa sadar aku menunduk kan wajah dan berpaling menghindari kontak mata.
Ya ampun, apa yang kupikirkan. Usiaku masih tiga belas, dia pasti hanya penasaran melihat ada remaja dalam kumpulan orang dewasa. Dan aku adalah satu-satunya remaja di sini.
Melihat dari wajahnya, dia pasti berusia antara dua puluh dua tahun sampai dua puluh empat. Jarak usia kami sangat jauh, bisa jadi sepuluh tahun lebih.
“Hey, apa kau tersesat Sweetheart.”
Tubuhku membeku mendengar suara masukulin yang terdengar begitu dekat. Aku menoleh ke arah suara yang dimiliki oleh si lelaki cantik. Dari jarak sedekat ini, dia bahkan jauh lebih cantik. Bisa-bisanya tuhan menciptakan makhluk secantik ini tetapi dari gender laki-laki. Kurasa tuhan sedang mabuk saat menciptakan pangeran kuda putihku.
Bulu matanya lentik sekali, dengan manik mata biru pekat, bibir merah natural, dan hidung mancung alami. Seharusnya itu semua ada di wajah wanita bukan pria. Membuat iri saja.
“Aku tidak tersesat,” kataku saat tersadar dia tidak menggunakan sihir.
“Dimana orang tuamu?” tanya dia lagi.
Aku menunjuk Ayah yang menuntun seorang pria muda menuju meja makan. Dari gesturnya, Ayah terlihat merendah dan memperlakukan pria itu istimewa.
“Kau puteri Levi Reid?” tanya dia dengan alis bertaut dan kening berkerut, terkejut.
Nyaris saja aku memutar bola mata, karena terbiasa mendapat reaksi barusan.
Semua orang tidak mengira aku lahir dari bibit Levi Reid melalui Rahim Jules Reid. Orang-orang berpikir aku adalah anak adopsi karena katanya aku sangat cantik, jauh lebih cantik dari orang tuaku. Ayah bilang aku mirip neneknya saat masih muda. Rambut pirang strawberry mendekati merah muda, lurus dan berkilau. Bermata kuning madu bercampur ungu, sangat langka dan tidak biasa, kulit putih bagai porselin china. Bahkan orang sangat betah berlama-lama memandangku hingga terasa risih.
Wajar saja jika aku selalu menjadi kebanggan mereka, selalu dipajang setiap acara bagai thropi.
Ugh! Aku kesal hidupku.
“Dia ayahku,” jawabku.
Lama dia memerhatikan wajahku, seperti yang sudah-sudah.
“Berapa umurmu?” tanya dia.
“Akan kuberi tahu bila kau memberiku namamu,” balasku tidak mau terlihat murahan.
Dia tertawa padahal tidak ada yang lucu.
“Namaku Gavin, Gavin Caleston.”
Aku mengulang nama itu di kepala dan mencobanya di lidah. Sangat mudah diingat.
“Aku tiga belas tahun,” jawabku jujur. Padahal aku ingin bilang lima belas, tetapi takut nanti Ibu mengoreksi dan membuatku malu.
Gavin menyunggingkan senyum padaku, yang membuatku terpana. Rasanya aku ingin menyentuh lesung pipinya itu.
“Paman cantik sekali. Setelah besar nanti, aku ingin menikah denganmu,” kataku terus terang.
Mata Gavin seperti hendak keluar mendengar pengakuan romantisku barusan. Sudut bibirnya bahkan bergetar menahan senyum.
“Jika usiamu dua puluh lima tahun baru aku mau denganmu. Jangan cepat-cepat dewasa, kau akan menyesal kemudian,” katanya sembari mengusap rambutku.
“Kau tidak ingin aku cepat besar agar tidak menikah denganmu? Orang bilang aku cantik, kau beruntung sekali aku memilihmu,” pujiku pada diri sendiri. Ibu bilang percaya diri itu perlu.
Dia berjongkok menyamakan tinggi kami.
Sembari tertawa dia berkata; “Kau memang cantik, tetapi terlalu muda untuk-ku. Jika kau sudah dewasa dan perasaan itu masih ada datang padaku, barulah aku percaya perasaanmu tulus. Tetapi percayalah, kau tidak akan mau pada paman cantik ini setelah lewat masa remaja.”
Aku tahu dia tidak menganggap perkataanku serius, tetap saja aku tidak terima.
“Bagaimana kalau aku tetap ingin menikahimu?”
Tawa Gavin membahana hingga menarik perhatian beberapa kepala.
“Aku akan menunggu saat kau dewasa. Tapi jangan berjanji, nanti kau akan lupa.”
Lesung pipinya timbul kembali, membuat tanganku gatal ingin menyentuh.
“Krista!”
Lihatkan, belum lima belas menit berpisah, Ibu kembali mencariku lagi.
Gavin tertawa saat mendapatiku sedang memutar bola mata.
“Jangan begitu adik kecil, Ibumu hanya khawatir saja,” gumam Gavin yang hanya kudiamkan.
“Ya ampun Krista, dari tadi Ibu mencarimu!” Ibu menggeram di dekat telingaku.
Issshh! Padahal aku tidak kemana-mana, jelas-jelas Ibu yang meninggalkanku, tapi sayangnya aku tidak bisa mengatakan itu. Bisa-bisa Ibu menjewerku begitu tamu undangan terakhir melewati pintu.
“Aku sedang berbicara dengan Gavin, Mom,” jawabku sembari menunjuk Gavin yang jelas-jelas berada di depan kami.
Ibu yang baru menyadari kehadirannya tampak terkejut hingga manik matanya membulat nyaris menutupi separuh wajah.
“Astaga, maaf aku tidak melihatmu. Aduh, maaf jika puteriku berbuat nakal. Terkadang dia tidak bisa menahan ucapannya,” jelas Ibu tanpa tahu duduk perkara.
Gavin mengibaskan tangan ke udara. “Tidak ada yang terjadi, Jules. Puterimu bahkan tidak berbicara banyak.”
Tentu saja, karena Ibu mengancamku untuk diam selama acara.
“Oh, untunglah. Kalau begitu ayo kita ke meja jamuan.” Lagi-lagi Ibu mengambil alih keadaan dan menuntun Gavin menuju meja makan, sedangkan aku mengekor di belakang menikmati pemandangan bokong pria itu.
Tidak kusangka dia juga memiliki bokong yang indah. Tuhan benar-benar berlebihan membuat adonan tubuhnya.
“Krista, jangan mendengus, wanita tidak pernah mendengus,” tegur Ibu sebelum kami sampai di meja.
Gavin hanya tertawa mendengar itu, sedangkan aku malu luar biasa.
Begitu acara jamuan selesai, para undangan dipersilahkan untuk dansa. Aku yang bukan bagian dari orang dewasa hanya mengawasi dari balkon.
Sejak tadi Gavin tidak pernah berhenti berdansa dengan banyak wanita berbeda. Bahkan tanpa dosa dia memegang bokong wanita-wanita itu sengaja, atau menyentuh sana-sini tanpa bersalah. Wajar saja wanita-wanita itu tidak keberatan, dengan wajah seperti itu siapa yang menolak.
Aku memilih sudah, daripada sakit hati tidak bisa berdansa dengannya karena belum cukup usia. Mungkin nanti jika usiaku delapan belas, di acara prom night misalnya.
Berjalan-jalan keluar meninggalkan balkon, aku singgah di taman mawar yang Ibu rawat, lalu duduk di bangku buatan Ayah. Malam ini langit sangat cerah, kuharap tidak ada orang dewasa mesum bersembunyi di semak-semak hanya untuk membuktikan berhubungan panas di tempat outdor itu nikmat.
Apa mereka tidak takut serangga, atau semut, nyamuk mungkin. Dimana letak menyenangkannya.
“Hei, kenapa kau di luar sendiri?”
Jantungku nyaris melompat mendengar suara berat baritone dari arah belakang. Aku pun menoleh mencari tahu siapa gerangan.
“Usiaku belum cukup untuk berdansa.”
Pria itu terkekeh dan duduk di sebelah tanpa permisi.
“Dansa itu tidak ada batas usia,” jelasnya. Aku tahu tapi pura-pura saja. “Apa kau tidak kedinginan malam-malam di luar memakai dress tipis begitu?”
“Aku sudah terbiasa,” jawabku sekenanya.
“Tidak baik anak perempuan di luar sendiri.”
“Ini rumahku, dan aku mengenal tempat ini sejak lahir.”
Pria itu menggeleng tidak setuju.
“Kejahatan dapat terjadi dimana saja. Percaya padaku, aku sudah melihat banyak hal di luar sana,” jelasnya. Dia lalu memperhatikanku cukup lama. “Berapa usiamu?”
Aku menatap pria itu malas, lagi-lagi orang-orang ingin tahu usiaku. “Tiga belas.”
“Kau terlihat lebih tua, lima belas mungkin.”
“Tadinya aku mau bilang segitu, tapi nanti Ibu mengoreksi hanya akan membuatku malu.”
Pria itu terkekeh, lalu mengeluarkan ponsel dari balik saku celana.
“Siapa namamu,” tanyaku basa-basi. Salahkan Ibu yang mengajariku. Jujur saja, aku tidak peduli nama pria ini.
“Jaxon Bradwood,” jawabnya dengan mata melekat pada ponsel. “Padahal aku sedang ada acara, tetapi bawahanku tidak mau mengerti. Mereka masih sering meminta bantuan dariku.”
Aku hanya mendengarkan pria itu berbicara, sepertinya dia tidak ingin aku menjawab. Lagi pula tahu apa aku urusan orang dewasa.
“Kulihat Ayah selalu merendah di hadapanmu,” kataku mengingat perlakuan Ayah tadi pada pria ini. “Memangnya setinggi apa jabatanmu?”
Pria itu hanya nyengir mendengar pertanyaan barusan.
“Tidak lebih tinggi dari ayahmu. Aku hanya orang biasa di sini.”
“Aku tidak percaya.” Jelas sekali dia berbohong.
Jaxon menyembunyikan ponselnya dan mengelus rambutku pelan, takut mengacak dandanan Ibu.
“Kalau begitu percayalah pada apa yang ingin kau percayai. Kau terlalu muda untuk mengetahui banyak hal. Kujelaskan pun kau tidak akan mengerti.”
“Kau bicara seperti Ayah, banyak sandi. Kita tidak sedang pramuka.”
“Kuharap kau tidak cepat dewasa, akan ada banyak pria patah hati sejauh kau berjalan nanti.”
Apa-apaan dia merubah topik pembicaraan.
“Aku ingin cepat dewasa, biar bisa berdansa dengan Gavin Caleston,” sungutku sembari merapikan rambut yang berantakan. Bisa-bisa Ibu marah bila melihat sehelai rambutku menyulur.
“Kau bilang apa?” tanya Jaxon tak percaya hingga mata hitamnya membulat tidak biasa. “Ulang lagi yang kau katakan tadi.”
“Ya ampun, Om. Aku bilang ingin cepat dewasa biar bisa dansa dengan Gavin Caleston.”
Rasanya aku ingin berteriak di telinganya yang budek.
Jaxon menatapku dengan mulut ternganga, seolah ucapan tadi begitu tabu hingga terdengar gila. Dia bahkan tidak sadar aku memanggilnya Om.
“Ya tuhan, Gavin apa lagi yang kau lakukan kali ini,” gumamnya pada diri sendiri.
Dia mengusap wajah dan mendongak ke langit seakan berdoa pada tuhan, lalu menatapku lagi tepat di mata. “Nak, dengarkan aku baik-baik. Ketika kau dewasa, pria pertama yang harus kau jauhi adalah pria seperti Gavin Caleston. Jika dia mendekat kau lari ke arah sebaliknya. Jika dia merayu dengan ucapan manis, telan pahit-pahit dan lupakan.”
Sekarang giliranku yang menatap dia gila.
“Bagaimana jika aku menolak nasihat sesat itu?”
“Ini bukan sesat, aku hanya ingin menyelamatkan hatimu yang rapuh. Kau terlalu muda untuk patah hati, apa lagi pada pria seperti Gavin. Dia tidak pantas dicintai.”
“Bagaimana jika hatiku tidak rapuh?”
Jaxon menatapku lama, seolah berpikir.
“Baiklah, Jika Gavin membuatmu menangis sebelum acara dansa prom night impianmu, datang padaku. Aku akan memberinya pelajaran hingga dia mendapat luka yang sama.”
“Apa kau Bapak peri?”
“Bukan, aku cucunya.”
Kami hanya saling senyum, sepakat dengan disahkan melalui jabat tangan.
“Beri aku uang satu sen bila itu terjadi. Aku akan tahu kau membutuhkan bantuan dari kode satu sen.”
“Tenang saja, itu tidak akan terjadi. Akan kubuktikan hatiku tidak rapuh, cucu peri.”
Aku menatap gedung di depan dengan penasaran. Selama ini, aku hanya mendengar cerita keseruan pertunjukan tinju di Red Cage melalui gossip terpercaya.Akhirnya, hari ini aku bisa masuk melewati gerbang. Dua penjaga di sana bahkan tersenyum ramah begitu melihat kedatanganku.Lima tahun sudah berlalu sejak pertemuan kami waktu itu, tapi aku tidak pernah lupa. Kata Ibu yang namanya janji harus ditepati. Sekarang umurku delapan belas, sudah waktunya menemui calon suami. Dia pasti terlalu lama menungguku menjadi dewasa. Betapa malangnya dia harus bersabar hingga aku berusia delapan belas.Bahkan rumor yang beredar mengatakan dia belum menikah, pasti menunggu dengan setia.Benar-benar pria sejati yang menepati janji.Dengan langkah semangat aku memasuki gedung melewati tangga menuju ruang bawah tanah.Ya ampun, tempat ini ramai sekali. Tidak mengira sepadat ini. Memangnya seseru apa sampai antrian panjang mengular ke jalan raya. Benar-benar gila.
Baru saja aku keluar dari toilet saat teman dekatku, Audrey Jewel memanggil dari arah kantin. Ya ampun Audry, aku sedang tidak ingin bertemu denganmu. Bukannya kemarin dia sendiri yang bilang untuk tidak menyapa, mengapa selalu dia yang lebih dulu melanggar.“Krista!” pekiknya hingga menarik perhatian seisi kantin dan koridor.Duh, sekarang semua orang memperhatikan kami seperti sirkus.“Ada apa kau memanggilku?” kataku berusaha ketus, tetapi Audrey malah nyengir kuda tanpa dosa.“Ada berita baik yang ingin kusampaikan,” katanya dengan mata berbinar.“Maksudmu, berita baik untukmu tetapi buruk untukku?” sindirku tidak halus sama sekali.Senyum Audrey semakin lebar yang mana semakin membuatku yakin dia benar-benar ingin mengajak pertengkaran.“Ya ampun, kau sensitif sekali,” sungutnya sembari melingkarkan tangan ke lenganku. Dan begitu saja, pertengkaran kami yang tadi terlupa
Malam ini Ayah dan Ibu bersiap untuk menyambut tamu. Mereka bahkan mewanti-wanti agar aku tidak membuat masalah dan menasihati panjang lebar apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Karena kata Ayah dia mengundang hampir seluruh anggota Red Cage, jadi aku tidak boleh mempermalukan mereka. Ibu bahkan berpesan, kelakukanku adalah cerminan Ayah sebagai seorang Mayor, sehingga aku harus jadi anak manis walau hanya semalam.Duh, memangnya kapan aku pernah bikin malu mereka?Ehm … padahal dua minggu lalu aku hanya tidak sengaja menyiram wajah Natasha dengan wine karena dia membuka mulutnya terlalu lebar dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas hingga tanganku bergerak sendiri menyiramkan wine ke wajahnya.Sebulan yang lalu aku juga tidak sengaja menendang kemaluan Austin Walker si tuan rumah acara amal karena dia bilang tidak sengaja saat menyentuh payudaraku.Nah, see, aku hanya tidak sengaja.Kali ini aku akan berusaha bersikap manis agar membe
Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus ‘Mencari Cinta Gavin’, dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.“Krista, jangan memainkan makananmu,” bisik Ibu yang duduk di sebelah.“Aku tidak lapar,” balasku sama berbisik.“Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita.”Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring,
Setelah kejadian makan malam waktu itu, aku bertekad untuk menunjukan pada Gavin bahwa aku tidak pernah ingkar dengan janji yang telah dibuat. Kami bahkan sudah melakukan Pinky Promise dan mengesahkannya dengan saling menautkan jemari.Perduli setan dengan Si Jalang Nayla, Karena pada akhirnya aku yang akan memiliki Gavin dengan utuh!Baiklah, pertama-tama aku harus menyusun strategi agar memudahkan hubungan kami berdua.Selama ini aku membiarkan Gavin hidup bebas tanpa peduli kabar tentang kehidupan dia di luar sana, tetapi kali ini aku tidak akan duduk manis dan menunggu Gavin menyadari perasaannya. Bisa-bisa dia menemukan wanita lain dan posisi-ku digantikan orang lain.Tidak akan kubiarkan!Begitu jam pelajaran terakhir selesai, aku mencari Audrey yang sudah menunggu di parkiran. Dia menatapku dengan pandangan heran karena jelas sekali masih ada sisa-sisa kemarahan malam kemarin yang tidak sengaja dibawa ke sekolah.“Ada apa dengan
Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” ka
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku
Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa