Share

BAB 1

Aku menatap gedung di depan dengan penasaran. Selama ini, aku hanya mendengar cerita keseruan pertunjukan tinju di Red Cage melalui gossip terpercaya.

Akhirnya, hari ini aku bisa masuk melewati gerbang. Dua penjaga di sana bahkan tersenyum ramah begitu melihat kedatanganku.

Lima tahun sudah berlalu sejak pertemuan kami waktu itu, tapi aku tidak pernah lupa. Kata Ibu yang namanya janji harus ditepati. Sekarang umurku delapan belas, sudah waktunya menemui calon suami. Dia pasti terlalu lama menungguku menjadi dewasa. Betapa malangnya dia harus bersabar hingga aku berusia delapan belas.

Bahkan rumor yang beredar mengatakan dia belum menikah, pasti menunggu dengan setia.

Benar-benar pria sejati yang menepati janji.

Dengan langkah semangat aku memasuki gedung melewati tangga menuju ruang bawah tanah.

Ya ampun, tempat ini ramai sekali. Tidak mengira sepadat ini. Memangnya seseru apa sampai antrian panjang mengular ke jalan raya. Benar-benar gila. Teriakan memekan telinga membuatku tuli sebelah. Belum lagi sangkar merah di tengah arena, membuat sakit mata.

“Tempat dudukmu ada di depan,” kata Mason yang datang bersamaku.

Dia adalah anggota Red Cage tapi dari pengakuannya hanyalah seorang pesuruh. Bagiku tidak berbeda, karena dia bagian dari organisasi paling ditakuti di Denver. Jika bukan karena Mason, aku juga tidak akan bisa melewati gerbang.

“Wah, aku dapat bangku paling depan?”

Tidak buruk juga, mengingat penonton di belakang tidak diberi kursi. Aku tidak suka berdiri lama-lama, nanti darahku tidak naik ke kepala.

“Anggap saja hadiah ulang tahun ke delapan belas,” jawabnya.

“Ulang tahunku sudah lewat.”

Lebih tepatnya dua bulan lalu.

Mason hanya tersenyum sembari menuntunku ke dekat arena.

“Apa kau akan meninggalkanku sendiri?”

Kepalaku memutar ke sekitar, semua penonton didominasi laki-laki. Bagaimana mungkin aku merasa nyaman bila setiap detik mata-mata mereka tertuju padaku bukannya arena.

“Tidak perlu khawatir, kau lihat penjaga berjas hitam di sekitar?”

Jari telunjuk Mason menandai beberapa pria yang berjaga. Termasuk seorang pria tampan luar biasa di pinggir arena.

“Mereka adalah pengawal di sini, jadi tidak perlu khawatir. Aku sudah menitip pesan untuk menjagamu, mereka sudah mengenal wajahmu. Bila terjadi sesuatu mereka akan segera datang membantu.”

Kepalaku mengangguk mendengar penjelasan Mason, sedang mataku menikmati pemandangan pria berjas hitam yang tampan sedang bertugas. Aduh, mataku selingkuh tanpa sadar.

“Maaf aku tinggal dulu, banyak pekerjaan yang butuh perhatian,” katanya meninggalkanku sendiri untuk mandiri.

Begitu acara dimulai, tanpa sadar perhatianku terfokus pada sangkar. Melihat dua pria saling menggelepar di lantai menjadi tontonan menarik. Pantas saja tempat ini tidak pernah sepi, pertunjukannya sangat menghibur. Terutama salah satu dari kedua petarung napasnya tinggal satu-satu. Tidak sadarkan diri di lantai menandakan pertarungan berakhir.

Aku pun ikut berteriak seru menyemangati pria bernama Joe yang menjadi pemenang. Selain Hercules, Joe adalah super hero terbaru.

Ya ampun, perut six pack-nya benar-benar menggoda. Lihat, lagi-lagi mataku selingkuh. Sepertinya aku harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum hatiku mengikuti jejak mata.

Ketika di parkiran, sesaat tadi aku melihat Gavin yang memasuki mobil. Sayang sekali aku terlambat memanggil.

“Krista!”

Kulihat Mason berlari-lari kecil keluar dari gedung utama.

“Ada apa?” tanyaku yang sudah bersiap pulang ke rumah.

“Kau tidak ingin masuk ke dalam?” tanya Mason menunjuk gedung utama yang terpisah dengan gedung bawah tanah.

“Untuk apa? Pertunjukannya sudah selesai, aku kan sudah bilang hanya penasaran.”

“Ya sudah, lain kali saja. Hati-hati di jalan,” katanya sembari berpamitan.

……………………………………………………………………………

Aku baru saja masuk ke rumah saat Ibu lagi-lagi memanggil.

“Krista! Ya ampun, kemana saja? Mom pikir kau ada di kamar,” katanya, mengikutiku yang berjalan terus ke dapur.

“Aku ingin mencari Gavin, Mom,” kataku terus terang.

Ibu menghela napas dan menatapku simpati.

“Sampai kapan kau memendam mimpi monyet itu? Usiamu sudah delapan belas, tidak seharusnya mengenang masa lalu.”

Aku mengutuk diri yang menceritakan kejadian lima tahun lalu pada Ibu beberapa minggu setelah acara. Konsekuensinya, Ibu jadi menganggap aku terobsesi pada Gavin Caleston, kenyataannya aku hanya ingin menepati janji. Gavin sendiri yang menyuruh untuk menemui dirinya bila aku sudah dewasa. Bagaimana Ibu lupa tentang etika yang dia ajarkan.

“Ini bukan mimpi monyet Mom, tapi nyata. Seharusnya kurekam saja perkataan dia waktu itu, atau membuat perjanjian hitam di atas putih biar Mommy percaya,” sungutku kesal dianggap berbohong.

“Saat itu usiamu tiga belas, tanda tangan saja tidak berlaku, tidak ada guna hitam di atas putih,” katanya dengan ekspresi kesal yang sama.

Aku mendengus dan menengguk air putih. Sepertinya sudah waktunya untuk mencari aprtemen dan pindah dari rumah Ibu dan Ayah.

“Aduh Mom, biarkan waktu yang menjawab. Apa yang bukan milik Krista pasti akan pergi dan apa yang memang untuk Krista pada akhirnya akan mendekat,” kataku dengan percaya diri mengutip quote orang asing yang kulihat di Ingram dua hari lalu.

Ibu hanya mengurut pelipis dan mengangkat kedua tangan ke udara, seolah mengalah.

“Ayahmu akan mengadakan makan malam bersama organisasi Red Cage. Mungkin kau bisa bertemu Gavin di sana, tapi kau harus janji untuk tidak membuat ulah.”

Mendengar perkataan Ibu barusan, aku pun beranjak dari kursi dan memeluknya erat-erat.

“Kapan acaranya?” tanyaku antusias, memikirkan gaun malam untuk menarik perhatian Gavin.

Dia pasti tidak akan memalingkan wajah, sama seperti pria-pria lain yang sudah-sudah.

“Jika kau sengaja mencari masalah, kau dilarang untuk keluar rumah selama sebulan.”

Ibu mengancamku dengan hukuman yang sama. Tidak kusangka Ibu tidak sekreatif itu. Padahal Ibu tahu aku anak rumahan yang lebih suka berbaring daripada jalan-jalan. Tetapi demi menyukseskan peran Ibu, aku pun pura-pura tidak terima.

“Tapi Mom, bagaimana kalau teman-temanku mengajak main ke luar? Mom tega sekali melarang seorang remaja untuk keluar rumah dan memenjaranya di dalam,” protesku dengan bibir manyun yang kuyakini menggemaskan.

“Karena itu jangan membuat ulah, selama kau patuh, hukuman itu tidak terjadi,” ucap Ibu membuat logika.

“Baiklah, tapi jangan larang aku untuk bicara dengannya, janji.” Kelingking kananku terangkat ke udara, Ibu awalnya hanya melihat, namun akhirnya pasrah dan menautkan jemari kami.

“Jadilah anak yang baik selama acara makan malam, kau bebas melakakukan apa saja tanpa ada drama.”

Aku nyaris menari mengingat tidak lama lagi akan berjumpa Gavin di sini. Bahkan kepalaku berulang-ulang memutar adegan pertemuan itu. Mungkin saja dia akan terpesona hingga rahangnya terbuka begitu melihatku tumbuh dewasa. Bisa saja dia langsung bilang pada ayah untuk segera menikahkan kami berdua.

Atau mungkin dia membuat kejutan dengan mengeluarkan cincin berlian di hadapan tamu undangan, lalu bermain ukulele, tidak… ukulele tidak romantic, ganti jadi piano saja. Tapi biola jauh lebih romantis, hmm … sepertinya harmonika jauh lebih romantis. Bagaiaman dengan gitar! Ya ampun, pria yang pandai bermain gitar lebih romantis lagi. Tunggu … sampai dimana tadi.

Aduh, ya ampun aku malah sibuk memilih alat musik.

Baiklah, setelah dia memainkan nyaris semua alat musik itu, dia pun berlutut dan melamarku di hadapan semua orang. Aku pun akan menangis haru dan mengatakan ‘I do’ hingga terdengar tepukan tangan juga ucapan selamat dalam ruangan.

Astaga, rasanya tidak sabar itu menjadi nyata sehingga aku bisa menatap rendah wanita-wanita yang pernah bersamanya dan berteriak lantang; ‘lihat, tidak peduli berapa banyak wanita yang dia tiduri, pada akhirnya akulah yang dia nikahi’.

Aaaah … pasti romantis sekali.

“Krista!”

Aduh Bu, aku sedang memikirkan membuat cucumu di masa depan. Bisa-bisanya Ibu membuyarkan semua.

“Krista, jangan melamun. Habiskan makan malammu, dan langsung tidur. Aku tidak ingin gurumu di sekolah memanggilku hanya karena kau bolos dan tidur di UKS,” hardik Ibu sembari menyodorkan piring yang tidak kusentuh.

Hari kelulusanku dua bulan lagi, dan aku tidak sabar melepas status anak SMA menjadi dewasa. Sayangnya, Ibu sering menanyakan universitas yang akan kumasuki. Jujur saja, aku belum memilih. Kalau bisa langsung menikah dengan Gavin, untuk apa aku buru-buru kuliah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status