Malam ini Ayah dan Ibu bersiap untuk menyambut tamu. Mereka bahkan mewanti-wanti agar aku tidak membuat masalah dan menasihati panjang lebar apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Karena kata Ayah dia mengundang hampir seluruh anggota Red Cage, jadi aku tidak boleh mempermalukan mereka. Ibu bahkan berpesan, kelakukanku adalah cerminan Ayah sebagai seorang Mayor, sehingga aku harus jadi anak manis walau hanya semalam.
Duh, memangnya kapan aku pernah bikin malu mereka?
Ehm … padahal dua minggu lalu aku hanya tidak sengaja menyiram wajah Natasha dengan wine karena dia membuka mulutnya terlalu lebar dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas hingga tanganku bergerak sendiri menyiramkan wine ke wajahnya.
Sebulan yang lalu aku juga tidak sengaja menendang kemaluan Austin Walker si tuan rumah acara amal karena dia bilang tidak sengaja saat menyentuh payudaraku.
Nah, see, aku hanya tidak sengaja.
Kali ini aku akan berusaha bersikap manis agar memberi kesan pertama pada calon suamiku. Mungkin dengan begitu dia akan langsung mengajak kami ke pelaminan.
Nah, Ibu puas kan aku akan jadi anak baik. Tenang saja, aku juga tidak ingin mengusir satu-satunya kandidat suami masa depanku.
“Pokoknya kau harus bersikap baik, Krista. Jangan mempermalukan Ibu dan Ayah seperti yang sudah-sudah,” bisik Ibu saat menyambut tamu pertama.
Tanpa disuruh, aku pun memasang senyum sumringah hingga membuat pria pertama yang memasuki ruangan nyaris menabrak patung hias dekat voyer, dan beberapa tamu yang menyusul sesudahnya menabrak pelayan yang sedang memegang nampan hingga gelas-gelas minuman berhamburan ke udara, lalu menjadi puing di lantai, menimbulkan suara bising pecahan kaca.
Lihatkan, aku sangat manis hingga membutakan tamu yang hadir.
Ibu menggamit lenganku untuk menyudahi senyum manis itu.
Ya ampun, Ibu jangan plin-plan. Bukan salahku memiliki wajah silau hingga membuat orang-orang mematung. Salah Ayah dan Ibu yang sudah menciptakanku jadi begini.
Apa saat mengandung Ibu makan berlian sehingga melahirkan kristal?
“Jules, aku tidak mengira puterimu semakin hari semakin cantik saja, seperti ibunya,” puji Grayson, hakim di Denver.
Aku ingin memutar bola mata mendengar kebohongan dalam suara pria empat puluh lima tahun itu.
“Terkadang aku juga tidak mengira melahirkan gadis secantik Krista,” balas Ibu terlihat bangga.
“Kau harus lihat prestasinya di sekolah, dia gadis yang sangat cerdas,” kata Ayah menambahkan.
Duh, lihatkan aku kembali jadi pajangan lagi. Ayah dan Ibu membicarakan Krista yang begini Krista yang begitu seolah tidak ada topik menarik lain, lalu keduanya akan mendapat balasan pujian sudah membesarkan anak jenius.
Terkadang aku iri pada teman-teman yang memiliki saudara, karena bila tidak ada persaingan juga tidak enak. Tidak ada yang bisa jadi kambing hitam, tidak ada teman gulat, tidak ada teman untuk berbohong. Mungkin nanti aku bisa usulkan pada Gavin untuk membuat banyak anak biar mereka tidak kesepian. Kudengar Gavin juga tumbuh tanpa saudara.
Kami benar-benar pasangan serasi.
“Levi, Jules,” panggil suara berat baritone yang familiar.
Aku mengangkat kepala dan mendapati Jaxon yang juga melihat ke arahku.
Ya ampun, tidak kusangka Om-om ini menjadi semakin tampan. Senyum yang dia arahkan padaku juga luar biasa membuat silau sampai Ibu dan beberapa wanita kesulitan mengalihkan mata.
“Mr. Bradwood,” sapa Ayah dan Ibu bersamaan.
Hakim Grayson juga melakukan hal yang sama, sedangkan aku memilih untuk tidak tersenyum atau mengatakan apa-apa.
Ingat, tadi Ibu yang menyuruh begitu, nanti aku salah lagi, tapi cubitan di lengan dari Ibu mengatakan sebaliknya, maka dengan berat hati aku memasang senyum yang lagi-lagi terdengar suara gelas pecah setelahnya.
Tuh kan Bu, jangan plin-plan. Jadinya bisa kacau.
Jaxon Bradwood terkekeh melihat-ku yang kedapatan memutar bola mata, untungnya Ibu tidak lihat.
“Kau sangat cantik Krista, rasanya lama sekali aku tidak melihatmu. Kapan terakhir kali aku ke sini, Lev?” tanya Jaxon tiba-tiba mengingatkan lima tahun lalu.
“Sepertinya empat tahun? Aku juga sudah lupa,” jawab Ayah sembari berpikir. Aku ingin mengoreksi saat kudengar suara masukulin menenangkan hati datang dari arah samping.
“Jax, aku mencarimu ke mana-mana. Rey memanggilku dan menyuruhmu mengangkat telepon ini.”
Aku tidak berani berputar menghadap calon suamiku yang berdiri sangat dekat di sebelah, tetapi rasa penasaran selangkah lebih maju sehingga aku bersiap bergerak anggun sembari berputar, menghadap pada Gavin yang matanya tertuju pada Jaxon.
Awalnya dia tidak memedulikan aku yang berada tepat di hadapannya, tetapi kemudian sesuatu yang sangat majestic bagai sihir terjadi. Aku bisa merasakan kembang api meletup-letup di sekitar, mengirimkan gelombang listrik hingga ke seluruh ruangan. Suara gumaman di hening seketika, yang terdengar hanya detak jantungku dan dia yang memiliki irama sama. Matanya tidak melepas mataku, kami bertatapan cukup lama, hingga terdengar suara deheman dari Jaxon dan ngilu cubitan dari Ibu di pinggang.
Ouch! Kulitku terasa terbakar!
Ibu benar-benar tega, padahal itu tadi pertemuan pertama kami yang spesial.
Baru saja aku hendak mengkode Ibu untuk tidak ikut campur, saat mataku menangkap sosok seorang wanita menggelayut manja di lengan Gavin … sejak tadi, dan kemudian suasana majestik barusan buyar seketika. Ternyata gumaman tidak pernah hening, aliran listrik dan kembang api itu hanya dalam imajinasi, yang nyata hanyalah detak jantungku juga tatapan kami yang hanya … sesaat bertabrakan sebelum Gavin mengalihkan perhatian pada Jaxon dan melanjutkan pembicaraan seolah aku tidak ada di depan mata.
Ouch! Ini kali pertama aku diabaikan, rasanya sakit luar biasa, terutama oleh pria yang akan kunikahi.
“Krista!” panggil Ibu yang memfokuskan aku kembali pada dunia nyata.
“Ya, Mom,” tanyaku walau kesulitan mengalihkan pandang dari wajah Gavin yang rupawan.
“Ayo berkenalan dengan Miss Quinn,” katanya menunjuk ke arah wanita yang tangannya masih bergelayut manja pada Gavin. Rasanya aku ingin menarik paksa jemari lentik itu, memisahkan keduanya, lalu menyeret wanita itu keluar dengan jambakan rambutnya.
Aku menyembunyikan wajah terluka, dan menatap malas pada Miss Quinn, tapi demi kesopanan senyumku pun merekah … setengah, tapi malah mendapat balasan delikan tajam tak suka dari si pemilik nama.
“Perkenalkan aku Krista,” kataku mengulurkan tangan yang disambut enggan si wanita berwajah biasa.
“Nayla Quinn,” jawabnya dengan suara melengking seperti tikus kejepit.
Aku ingin memerhatikan wanita itu dari kaki hingga kepala, tapi urung karena Ibu pasti memberikan ceramah panjang lebar sebelum tamu-tamu pulang tentang etika melihat orang terang-terangan. Ya ampun Bu, setiap saat orang-orang juga melihatku dengan pandangan terang-terangan, Ibu saja yang tidak lihat. Korbannya kan aku, bukan Ibu. Tetapi aku tidak bisa bilang, karena aku pasti diseret menjauhi calon suamiku, Gavin.
Padahal sudah lima purnama dan enam mentari aku menunggu, tidak sudi dipisahkan lagi. Walau ada wanita bergelayut manja di tangannya, aku tetap tidak akan menyerah. Genderang perang belum berbunyi, pantang untuk mundur.
Kini Gavin menatapku seperti lima tahun lalu dia melihatku, kepala sedikit miring ke samping dan wajah berpikir mencari dokumen tentang Krista Reid dalam file sebelas Januari lima tahun sebelumnya.
Ya ampun, ingatannya tidak mungkin sependek itu. Aku juga tidak tumbuh berbeda dari usia tiga belas kemarin, hanya tambahan pada bagian dada, bokong, dan pinggul, serta tinggi saja. Cepatlah menemukan file tentangku sebelum aku habis kesabaran lalu melamar di tengah keramaian.
“Oh,” kata Gavin seolah sudah mengingatku.
Ya Baby, ini aku gadis tiga belas yang pernah melamarmu. Kataku padanya dari mata ke mata.
“Grayson, aku tidak mengira kau punya anak remaja,” kata Gavin yang membuat hatiku hancur berkeping.
Grayson? Hey, Ayahku Levi Reid bukan Grayson.
Tatapku geram pada Gavin yang benar-benar lupa!
“Aku tidak punya anak Gavin, menikah saja belum. Ini puterinya Levi Reid,” kata Grayson meluruskan.
Benar, aku ini puteri Levi Reid, Gavin. Mengapa kau lupa? Tuhan, aku merasa malu padamu!
Suara Jaxon yang terkekeh membuat wajah merah scarletku memanas seketika. Pria itu bahkan tidak berhenti memegangi perutnya, hingga Grayson mengikuti jejak. Good, sekarang ada lebih dari tiga orang dewasa tertawa menganggapku lelucon.
“Maaf … maaf … habisnya dia memiliki sedikit kemiripan denganmu,” bela Gavin yang membuat suasana awkward, karena semua orang tahu aku tidak mirip dengan Ayah atau pun Ibu.
Ayah berdehem dan mengendalikan suasana agar kondusif.
“Sepertinya, kita bisa memulai acara makan malam ini. Mari ikut,” ajak Ayah pada tamu undangan.
Aku yang masih mematung di tempat menonton punggung Gavin yang menjauh, masih bersama wanita dalam genggamannya. Bahkan tidak sekali pun dia melihatku sejak mata kami bertabrakan pertama kali tadi.
“Hey, wajah cemberut itu tidak cocok denganmu,” kata Jaxon tiba-tiba yang berada di sebelah.
Aku menekuk wajah dan mengibas gaun malamku, merapikan lipatan yang tadi tidak ada.
“Dia lupa padaku,” kataku sedikit kecewa. “Atau hanya pura-pura,” desahku yang mendapat kekehan dari Jaxon Bradwood.
“Dari luar dia memang suka bersikap seperti orang bodoh dan tidak peduli, tetapi sebenarnya dia sangat cerdas. Jangan mau tertipu dengan kepolosannya.”
Kami hanya tersenyum, mengingat aku pernah bilang saat usia tiga belas bahwa aku tidak akan menyerah.
“Kau janji akan menghukum dia bila hatiku terluka?” tanyaku mengingatkan janji yang pernah kami buat.
“Tentu saja, asalkan kau tidak menyerah pada sikap masa bodohnya itu, aku akan mendukungmu.”
Lalu, Jaxon mengeluarkan uang satu sen dan memberikannya padaku.
“Sebagai tanda pembicaraan ini pernah terjadi,” katanya kemudian berlalu menyusul Gavin dan Ayah.
Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus ‘Mencari Cinta Gavin’, dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.“Krista, jangan memainkan makananmu,” bisik Ibu yang duduk di sebelah.“Aku tidak lapar,” balasku sama berbisik.“Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita.”Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring,
Setelah kejadian makan malam waktu itu, aku bertekad untuk menunjukan pada Gavin bahwa aku tidak pernah ingkar dengan janji yang telah dibuat. Kami bahkan sudah melakukan Pinky Promise dan mengesahkannya dengan saling menautkan jemari.Perduli setan dengan Si Jalang Nayla, Karena pada akhirnya aku yang akan memiliki Gavin dengan utuh!Baiklah, pertama-tama aku harus menyusun strategi agar memudahkan hubungan kami berdua.Selama ini aku membiarkan Gavin hidup bebas tanpa peduli kabar tentang kehidupan dia di luar sana, tetapi kali ini aku tidak akan duduk manis dan menunggu Gavin menyadari perasaannya. Bisa-bisa dia menemukan wanita lain dan posisi-ku digantikan orang lain.Tidak akan kubiarkan!Begitu jam pelajaran terakhir selesai, aku mencari Audrey yang sudah menunggu di parkiran. Dia menatapku dengan pandangan heran karena jelas sekali masih ada sisa-sisa kemarahan malam kemarin yang tidak sengaja dibawa ke sekolah.“Ada apa dengan
Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” ka
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku
Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa
Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan
Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilang