Share

BAB 7

Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.

“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.

Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.

“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.

Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.

“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.

“Hmm … Hmm …,” gumamku, lebih memilih memperhatikan kuku kaki daripada cerita Ibu.

“Kalau begitu, Ibu akan bersiap-siap dulu, karena banyak hal harus dipersiapkan sebelum berangkat,” kata Ibu sembari beranjak dari sofa.

Astaga, mereka kan berangkatnya sebulan lagi, kenapa harus mempersiapkan diri dari sekarang? Tetapi tentu saja aku tidak mengatakan itu, bisa-bisa aku tidak akan mendapat oleh-oleh.

Setelah kepergian Ibu, aku pun mengirimkan pesan pada Audrey.

‘Malam nanti aku akan ke Red Cage, kau mau ikut?’

Tidak lama setelahnya aku mendapat balasan.

‘Tidak.’

Satu kata padat, jelas, dan singkat.

Ok, sepertinya aku sendiri lagi malam ini.

………………………………………………………..

Sorak-sorai lagi-lagi mengisi ruang bawah tanah Red Cage. Sama seperti sebelumnya, aku meminta Mason untuk memberikan tiket masuk.

“Malam ini, apakah Gavin datang ke klub?” tanyaku pada Mason yang berjalan di depan.

Kami melewati beberapa penjaga gerbang. Dua orang yang kemarin memberiku akses sudah berganti menjadi orang baru sehingga mau tidak mau aku mengulang proses yang sama seperti sebelumnya. Memberi identitas serta tiket dari Mason.

Mason menepuk bahu salah satu penjaga yang memberikan kami jalan.

“Aku tidak tahu, karena biasanya Mr. Caleston suka datang tiba-tiba,” jelas Mason sembari menuntunku ke bangku yang kemarin kududuki.

“Ini kursimu. Tetaplah di sini sampai acara selesai, jangan berpindah karena akan menyulitkan penjaga mengawasimu.”

Aku melihat sekitar, pada penjaga yang tersebar di seluruh arena.

“Baiklah,” kataku patuh.

Dia tersenyum dan mengacak rambutku sebelum akhirnya beranjak pergi.

Perhatianku kembali ke depan. Pada dua pria yang bertarung di tengah arena. Tidak sampai pertunjukan selesai, aku merasa bosan duluan sehingga memutuskan untuk menyudahi saja.

Susah payah aku keluar dari sana, karena banyak pria mesum yang berusaha memegangi tubuhku begitu melewati mereka.

“Minggir!” pekik-ku pada pria berusia tiga puluh yang berusaha melingkarkan lengan ke pinggangku.

Dengan berani aku menepis tangan itu dan mendorong tubuhnya kasar.

“Hey!” hardiknya marah karena dia nyaris terjungkal dan menimpa pria yang berada di belakang.

Lagi-lagi langkahku terhenti oleh tangan-tangan yang berusaha menyentuh di bagian-bagian sensitif.

Orang-orang ini benar-benar tidak mengerti apa itu ruang privasi!

“Kubilang menyingkir!” desisku pada pria berbeda.

Baru saja aku hendak memukul pria itu saat tiba-tiba kurasakan seseorang memeluku dari belakang.

“Apa kau jera, Little Girl,” bisik suara maskulin yang sangat familiar.

Kepalaku menoleh ke belakang. Nyaris saja bibir kami saling menyentuh, tetapi aku tidak keberatan. Bila perlu, selamanya aku akan menempel pada tubuhnya seperti ini.

Aku hendak mengatakan ‘tidak’ saat tiba-tiba pria di depanku ditarik paksa oleh seorang pria berjas hitam yang datang bersama Gavin.

“Jangan memaksa seorang wanita. Seharusnya kau menjaga tanganmu untuk bersikap sopan,” kata pria berjas hitam pada si mesum yang tadi mencoba menggerayangiku.

“Urus pria itu, Fritz, aku ingin mengajak Nona Kecil ini berbicara,” kata Gavin yang langsung mengangkatku ke udara.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku pun mengalungkan kedua lengan di lehernya sembari menyandarkan kepala. Dapat kudengar irama jantungnya yang konstan. Satu tanganku pun turun ke dada perlahan hingga kudapati kancing baju kemeja yang berada di balik jas hitam yang membalut tubuhnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Gavin dengan rahang mengeras.

Tanpa peduli tatapan marah darinya, aku kembali membuka kancing-kancing kemeja putih itu dan meletakan telapak tangan kananku di atas dada pada kulit telanjangnya yang hangat, dimana letak jantung berada hingga tanganku ikut bergetar.

“Kau hangat,” bisiku sembari mengecup permukaan jas hitamnya.

Dia memiliki aroma tubuh yang maskuin, dengan sedikit wangi sandal wood, lemon dan cologne. Benar-benar menyegarkan hingga aku tidak puas mengendus tubuhnya.

“Hentikan, Krista!” desisnya terdengar susah payah menahan napas.

“Kapan lagi aku bisa sedekat ini denganmu,” kataku yang membuat Gavin menjatuhkanku ke tanah begitu kami tiba di luar gedung.

Aku mendelik tajam padanya, karena celanaku pasti kotor!

“Sekarang kau sudah sadar?” tanya Gavin sarkastik.

Aku mendengus sembari berdiri dan mengipasi bokongku yang berpasir.

“Tidak seharusnya kau melempar seseorang ke lantai!” sungutku kesal.

Ujung bibirnya berkedut, seolah aku salah ucap.

“Tidak ada yang melemparmu, Little Girl, aku menurunkanmu dari gendongan,” jelasnya tidak terima.

Aku memilih diam daripada berdebat hal yang tidak penting. Dia bahkan berani menatapku seolah aku adalah pengganggu. Padahal tadi dia sendiri yang mendatangi, bukan aku yang mencarinya.

“Pulanglah, tempat ini bukan untukmu,” kata Gavin yang membuatku tidak terima, karena jelas sekali siapa pun yang usianya melewati delapan belas boleh berada di sini.

“Memangnya tempat seperti apa yang boleh kudatangi? Taman kanak-kanak?” geramku.

Gavin memutar bola mata dan membentangkan kedua tangan ke udara.

“Kau lihat tempat ini! Tidak wajar seorang gadis kecil berkeliaran di tempat penuh darah dan kekerasan! Belum lagi kau sudah rasakan sendiri beberapa pria di dalam sana menyentuhmu sesuka hati! Apa itu yang kau mau? Orang asing memegangmu tanpa izin dan merendahkanmu begitu saja!”

Mendengar ucapannya, aku pun meradang. Berani-beraninya dia mengatakan secara tersirat bahwa aku wanita rendahan!

“Kau tidak seharusnya mengatakan hal itu! Bukankah kau tahu sendiri alasanku datang ke tempat ini!”

Gavin menahan kedua bahuku hingga terasa sakit karena cengkraman kedua tangannya. Tanpa sadar aku meringis dengan sentuhan Gavin yang sedikit kasar.

“Jangan pernah mencariku lagi! Mengapa kau begitu ingin mengikutiku kemana pun?”

Tanpa memdulikan tatapan marah Gavin, aku pun menepis tangan pria itu dari bahu dan mengabaikan nyeri yang tersisa.

“Sudah kukatakan, aku ingin menikah denganmu. Apa kau lupa? Kau sendiri yang berjanji untuk menungguku sampai dewasa. Sekarang aku kembali padamu, tapi kau pura-pura lupa!”

Kepala Gavin menggeleng pelan. Dia menangkup kepalaku di antara kedua tangannya dan mendekatkan wajah kami berdua, membuat jantungku berdegub tidak karuan.

“Dengar,” ucap Gavin dengan suara rendah. “Lupakan janji kosong itu. Kau bahkan tidak mengerti apa maksud dari kata-kata yang kau ucap lima tahun lalu. Sekarang lupakan aku dan jalani hidupmu dengan normal!”

Lama kami bertatapan, tetapi dia lebih dulu memalingkan wajah dan melepas genggamannya.

“Tidak,” kataku pelan hingga menarik perhatiannya lagi. “Aku tidak akan menyerah dengan mudah. Lihat saja, aku akan membuatmu melihat kehadiranku. Sekali janji adalah janji, tidak seharusnya diingkari. Kau bahkan berkata padaku untuk datang padamu bila perasaan itu masih ada dengan nada yang tulus dan sungguh-sungguh. Sampai kapan pun aku tidak akan lupa,” ucapku dengan penuh keyakinan.

Dapat kulihat sekelebat perasaan di balik manik matanya yang jernih hingga untuk sesaat melembutkan parasnya, tetapi secepat itu pula ekspresinya berubah menjadi dingin.

“Pulanglah,” kata Gavin tanpa sedikit emosi. “Pulang, dan jangan lagi ke tempat ini.”

Setelahnya, dia berjalan hendak masuk kembali ke gedung.

Aku menatap punggungnya yang menjauh. Perasaanku campur aduk hendak menahan dia yang akan hilang dari pandangan, tetapi kemudian seorang wanita datang dari arah gedung dan berjalan cepat mendekati Gavin kemudian memeluk priaku dengan gerakan mesra.

Melihat itu, mataku berkabut seketika. Tanpa sempat berpikir, aku menyusul ke arah mereka dan menarik rambut wanita itu kuat hingga terdengar suara jerit kesakitan yang feminim. Merasa tidak puas, aku mengubek-ubek kepalanya keras serta mencakar bahu telanjang si wanita Jalang. Sekilas tadi aku melihat ada darah dari tubuhnya yang tentu saja aku abaikan.

Dalam pengaruh selimut amarah, dapat kurasakan tangan kekar yang melingkari tubuhku hendak menjauhkan dari si Wanita Jalang.

Berani-beraninya dia mendekati dan hendak mencium calon suamiku!

Apa Jalang ini pikir dia akan bisa keluar hidup-hidup setelah melakukannya di depan mataku? Tidak akan kubiarkan wanita mana pun mengambil miliku! Cukup saja kemarin aku diam dan membiarkan wanita lain pergi tanpa ada luka di tubuh.

Kali ini tidak akan kubiarkan!

“Krista, Little Girl, lepaskan dia. Hey,” bisik suara maskulin di telinga. “Ayo, Little Girl. Lepaskan wanita itu, dia tidak salah apa-apa,” bisik suara itu lagi. Kali ini terdengar urgensi sedikit nada frustrasi, tetapi dengan pembawaan tenang dan lembut yang menenangkan.

Seketika genggamanku pada rambut wanita itu terlepas. Untuk sesaat aku melihat segumpal rambut blonde berada dalam genggaman. Tanpa memedulikan rambut itu, aku pun melemparnya ke tanah.

Saat itulah aku menyadari sedang berada dalam pelukan Gavin. Dadanya yang bidang menyangga punggungku, sedang kakiku sudah tidak menapak tanah, karena kedua lengan Gavin yang melingkar di tengah tubuh, mengangkatku seketika.

Bahkan wanita yang setengah rambutnya ada dalam genggaman terlihat berdarah-darah di beberapa bagian. Dia menangis histris di tanah dengan tubuh menggigil sedang seorang pria membantunya berdiri.

“Bawa dia menjauh,” kata Gavin dengan menahan marah.

Tanpa peduli penonton sekitar, aku semakin merapatkan tubuh dengan Gavin. Mencari posisi nyaman untuk bersandar.

“Apa kau puas?” desis Gavin di telingaku.

Dari nadanya bicara, aku tahu dia marah.

“Puas,” ucapku penuh keyakinan, membuat Gavin mendengus dan membawaku menjauh dari sana.

Dia menurunkanku di depan mobilku yang terparkir dan lagi-lagi tatapannya begitu tajam.

Kapan dia akan melihatku dengan pandangan lembut?

“Pulang, dan jangan membuat masalah! Cukup malam ini saja kau melakukan hal seperti ini,” katanya dengan gigi beradu, tetapi tetap masih dengan suara rendah.

Bahkan sejak tadi, dia tidak pernah meninggikan suara, membuatku sadar bahwa Gavin masih peduli.

Aku memberi senyum terbaik yang membuat Gavin terdiam sesaat. Tanpa mengatakan apa-apa, dia pun berbalik, menjauh tanpa menungguku masuk ke mobil lebih dulu. Membuatku sedikit kecewa, tetapi setidaknya hari ini aku tahu bahwa masih ada harapan untuk membuat dia menepati janji di masa depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status