Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.
Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!
Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.
Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.
Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.
“Krista, apa yang kau lakukan?” tanya Audrey yang menyadarkanku tiba-tiba dari posisi dahi bersandar di pintu loker.
“Aku sedang berdoa agar bisa membeli mobil sport Buggati Veyron,” kataku asal, malas menjelaskan kepalaku yang penuh.
“Maksudmu mobil dengan harga dua setengah juta dollar itu? Wow, kau masih muda Krista, tidak perlu membuang uang untuk hal seperti itu,” nasihat Audrey yang aku abaikan.
“Ya … ya, aku tahu,” gumamku sembari menghela napas dan mengambil buku-buku dari dalam loker.
“Oh, iya, aku dengar malam tadi kau bertengkar dengan seorang wanita di Red Cage. Bagaimana kejadiannya?” tanya Audrey, menghentikan tanganku dari meraih satu buku tulis.
“Darimana kau tahu?” tanyaku balik.
Tidak mungkin Audrey tahu, karena biasanya apa yang ada di Red Cage akan tetap di Red Cage. Itu sudah peraturan sejak lama, dan tabu sekali bagi orang lain buka mulut lalu menceritakan apa yang mereka lihat di sana, kecuali memang ada manusia bodoh yang ingin bunuh diri dengan menyebar rahasia di Red Cage.
Mungkin harga racun mahal, jadi langkah paling cepat adalah menunggu seorang pembunuh suruhan.
Audrey tampak tersipu sembari memelintir rok dengan gaya sok imut, membuat dahiku berkerut heran.
“Aku dengar dari seseorang yang identitasnya dirahasiakan,” bisik Audrey hingga kepala kami nyaris beradu.
“Siapa itu?” tanyaku masih diliputi penasaran.
“Aku tidak bisa bilang,” katanya sembari menggerakan jempol dan telunjuk membentuk resleting di mulut.
Tanpa memedulikan Audrey yang mulai main rahasia, aku pun menutup loker dan berjalan menuju kelas.
“Ayo, cerita. Aku sangat penasaran apa yang terjadi sebenarnya,” kejar Audrey masih tidak ingin ketinggalan.
Aku pun menarik napas dan membuangnya perlahan sebelum menceritakan dari awal.
“Gavin menolak janji yang sudah kami buat lima tahun lalu. Dia menyuruhku untuk lupa, padahal tidak ada alasan jelas untuk melupakan semua. Dimulai saja belum, tetapi dia bahkan ingin mengakhiri. Dia juga melarangku untuk datang ke Red Cage dan menonton pertunjukan di sana. Padahal aku sudah delapan belas! Dia masih berpikir aku adalah anak-anak dan memanggilku Little Girl! Untung saja hanya Little Girl, bukan Little Kids, bisa-bisa aku menendang selangkangannya dan membuat dia tidak bisa lagi bermain-main dengan wanita lain!” jelasku panjang lebar selama dalam perjalanan menuju kelas.
Tidak kupedulikan tatapan dari beberapa remaja wanita yang mungkin juga sudah mendengar kisah malam tadi. Sepertinya aku sudah sangat terkenal di Denver hingga orang-orang kesulitan mengalihkan pandangan.
“Setelah pertengkaran, dia pergi begitu saja dan tiba-tiba datang seorang wanita dari dalam gedung yang langsung memeluk Gavin begitu saja di depan mataku! Wanita mana yang tidak marah bila calon suaminya dipeluk wanita asing! Bila aku masih mendengar wanita itu mencoba menggoda Gavin, maka aku akan membuat pengumuman di Denver untuk semua wanita yang mendekati dia.”
Kulihat wajah Audrey terpaku seolah baru saja mendengar bahasa alien yang membuatnya tidak mengerti hingga mencerna kata-kataku beberapa kali.
“Lalu?” tanya Audrey, tahu bahwa ceritaku belum selesai.
“Setelah wanita itu menyentuh Gavin-ku, tentu saja aku memberi pelajaran. Semoga saja Jalang itu jera. Dan Gavin pun mengantarku ke parkiran setelah pertengkaran itu, sayangnya dia tidak memberiku salam perpisahan atau pun sebuah kecupan,” desahku kecewa.
Gavin bahkan tampak terburu-buru saat meninggalkanku.
“Astaga, Krista. Itu bukan salah Gavin, dan wanita itu pasti tidak tahu jika kau sedang … masa pendekatan dengan Gavin,” kata Audrey sembari memikirkan kata yang tepat untuk hubunganku dan Gavin.
“Jangan coba-coba membela wanita itu, Audrey,” desisku geram.
Audrey menghela napas dan menepuk pundaku pelan.
“Sebaiknya kau cepat menyadari bahwa ini hanya perasaan sesaat, Krista,” lirihnya sembari berjalan lebih dulu begitu memasuki kelas.
Tidak, ini bukan perasaan sesaat. Aku dapat merasakan bahwa kami adalah pasangan serasi. Tidak mungkin aku menunggu Gavin selama lima tahun bila kami tidak ditakdirkan bersama. Apa pun yang terjadi, aku akan tunjukan pada semua orang bahwa Gavin adalah masa depan Krista.
…………………………………………………………………
Suara hingar bingar musik dalam Klub GC membuat telingaku berdengung, sepertinya aku harus cepat keluar dari sini sebelum menjadi tuli, tetapi sejak tadi pria yang kutunggu masih belum memunculkan diri, sehingga aku menolak untuk pergi.
“Aku minta bir, bukan jus cranberry,” sungutku pada bartender yang sejak tadi menemani.
Pria berwajah imut itu tersenyum dan mengabaikan protesku dengan terus melayani orang-orang yang memesan minuman ke bar.
“Hey, aku mau BIR! B-I-R!” kataku meninggikan suara, mungkin saja tadi dia tidak dengar.
“Usiamu belum cukup untuk meminum sesuatu yang mengandung alcohol,” jelasnya sembari menggoyangkan shaker ke udara.
Tanganku memukul meja bar yang terbuat dari batu granit hitam.
Ouch! Aku tidak tahu bila itu sakit!
Huft, play it cool Krista, play it cool …
Mantraku berulang-ulang dalam hati agar tidak menunjukan kebodohan telah menyakiti diri.
“Apa bedanya usiaku sekarang dengan tiga tahun lagi? Alcohol tidak akan membuatku mati di usia segini,” sengitku tidak terima.
Bartender imut itu pun menghela napas dan menyodorkan gelas jus yang tidak kusentuh sejak tadi.
“Nona manis, bersikaplah sesuai umurmu. Bila hukum mengatakan usiamu belum cukup, maka kau memang belum bisa melakukannya. Jus ini baik untuk kesehatan,” bujuknya masih dengan raut sabar.
Sembari bersungut-sungut, aku pun menenggak jus itu habis.
Tuhan, aku ingin cepat dewasa. Lihat-lah, aku hanya terlambat lahir saja. Tiga tahun adalah waktu yang sebentar, tetapi bagi orang lain seolah-olah itu adalah waktu yang lama sekali.
“Apa kau sendiri di sini?” tanya bartender itu sembari melirik ke segala arah. Mungkin mencari-cari keberadaan orang lain yang datang bersamaku.
“Hmm … hmm,” gumamku diikuti anggukan kepala.
Dari ekor mata, aku dapat melihat Thomas yang melihat ke arah sini sejak tadi. Aku yakin dia pasti diperintahkan oleh Jaxon untuk menjagaku selama di GC.
Om satu itu memperlakukanku seolah aku anak-anak, padahal aku bisa sendiri ke tempat seperti ini dan sepertinya kami perlu untuk berdiskusi soal apa itu arti mandiri.
“Apa kau mengenal Thomas?” tanya si bartender yang mulai terdengar menyebalkan.
Pertama; dia melarangku minum, ke-dua; dia seakan ingin tahu tentangku.
“Tidak juga,” jawabku acuh.
“Beberapa kali dia melihat ke arah sini,” ucap si bartender seolah hal itu merupakan sesuatu yang tidak biasa.
“Dia sering ke rumah dan bertemu dengan Ayahku,” jawabku tanpa menjelaskan bahwa Thomas datang bersama atasannya, Jaxon Bradwood, si pemilik club yang berarti atasan bartender ini juga.
“Ah, jadi kalian adalah keluarga,” asumsi pria itu yang tidak aku luruskan sama sekali.
Bosan mendengar pembicaraan tanpa arah, kepalaku pun berputar ke lantai dansa, dan sekilas tadi aku melihat wanita yang bersama Gavin di hotel waktu itu. Untuk memastikan wanita itu tidak bersama Gavin kali ini, aku pun meninggalkan bartender yang mulai menyebalkan lalu berjalan ke tengah lantai dansa, ke dekat wanita brunet tersebut.
Ternyata dia berdansa dengan pria berbeda, untung saja, karena bila itu Gavin, maka dapat kupastikan wajah wanita itu tidak lagi berbentuk.
Setelah berdansa dengan mengikuti irama musik dari tiga judul berbeda, wanita itu pun akhirnya menyadari kehadiranku yang juga menggoyangkan pinggul di tengah lantai dansa.
Kulihat matanya membulat ketika menyadari siapa aku dalam file ingatan di kepalanya yang loading sangat lama. Bahkan, dia harus mengerjabkan mata berkali-kali untuk meyakinkan bahwa wajahku sesuai dengan file ingatan di kepala.
Ekspresinya berubah kesal begitu mata kami bertabrakan.
“Are you kidding me!” desis wanita itu yang membuat partner dansanya ikut berhenti. “Kemarin aku diam saja, tetapi setelah melihatmu lagi, aku yakin kau sengaja mengikutiku!”
Astaga, sejak kapan aku tertarik dengan wanita? Apa wanita ini memiliki kepribadian narsistik?
“Aku tidak mengikutimu, tetapi pria yang bersamamu kemarin,” kataku acuh masih dengan mengikuti irama musik yang bergema. Bahkan, aku sengaja menggoyangkan pinggul di depan wanita itu hanya untuk memprovokasi seolah kemarahannya adalah candu.
Tidak kupedulikan tatapan tajam wanita tersebut yang berusaha membolongi dahiku.
“Apa kau tahu, butuh waktu berbulan-bulan bagiku untuk bisa bersama Gavin. Tapi karena kau, aku bahkan kehilangan kesempatan itu!” jeritnya kesal sembari menunjuk-nunjuk jari ke arahku.
Pria yang tadi bersamanya bertanya apa yang terjadi, dan serentak kami menjeritkan ‘shut up’ hingga akhirnya pria itu memilih mundur dari lantai dansa.
“Bukan salahku bila dia tidak tertarik denganmu,” kataku polos yang semakin menaikan amarah wanita tersebut.
“Jika kau tidak menginterupsi, kami pasti sudah bersama saat ini!” geramnya sembari menghayalkan hubungan imajinasi.
Aku mencibir wanita itu dengan pandangan sengaja merendahkan. Jelas sekali dia tidak mengerti bahwa Gavin tidak serius dengannya. Bahkan kemarin Gavin sengaja menjadikan wanita itu sebagai umpan agar aku terus mengikuti mereka.
“Apa dia menciummu?” tanyaku sembari menahan gemeretak gigi, seharusnya tidak kutanyakan itu, tetapi rasa ingin tahuku meronta hendak keluar.
Sebelah alis wanita itu terangkat, dengan wajah angkuh dia berucap bangga, “Tentu saja, bahkan dia memujiku cantik.”
Ok, cukup, hanya satu kalimat itu saja sudah cukup menjadi alasan untuk meratakan wajah Jalang ini.
Tanpa banyak pikir, tanganku meraih rambut extensionnya dengan keras, namun secepat itu pula tubuhku diangkat ke udara, membuatku de javu pernah merasakan hal yang sama.
“Sekarang apa lagi, Krista?” desis Gavin dari balik tubuhku.
Mendengar suara maskulinnya, aku pun melepaskan rambut wanita itu yang menjerit kesakitan hingga musik Dj berhenti dan menjadikan kami tontonan.
“Dia menjambak rambutku!” jerit si Jalang dengan air mata membasahi pipi.
Meh, aku bisa lihat itu air mata buaya. Dasar pencari simpati! Tanpa dia bilang saja, semua orang juga bisa melihat bahwa aku menjambaknya tadi.
Kurasakan tubuh Gavin bergetar dan dia menarik napas dalam-dalam.
Duh, apa sesulit itu bila berada di dekatku?
Aku akan menjadi anak baik bila dia bisa menahan benda di balik celananya dan menyetujui rencana masa depan yang sudah kurancang. Bila dia tidak ingin menikah sekarang, aku bisa menunggu setahun lagi, dengan syarat dia tidak bersama wanita mana pun.
“Cukup! Aku sudah mengawasimu sejak tadi, dan tidak seharusnya kau berada di sini,” ucap Gavin dengan suara rendah di telingaku.
Mendengar kata-katanya itu, membuat dahiku berkerut, karena dia tahu aku ada di sini tetapi sengaja tidak menampakan diri! Dan apa-apaan dia melarangku berada di semua tempat ketika kami bertemu.
Dengan kesal aku melepas lilitan lengannya di tubuh, walau harus kehilangan hangat tubuh Gavin yang candu, tetapi aku juga tidak mau dia mengatur-ngatur kemana pun aku berada.
“Wanita itu pantas mendapatkannya,” kataku dengan delikan tajam yang tidak lepas menatap wanita berambut brunet yang bersikap sok rapuh. Kepalaku kembali berputar ke arah Gavin, “Aku sudah bilang tidak akan menyerah. Jadi, jangan pernah bersama wanita lain bila kau tidak ingin kejadian seperti ini terulang.”
Mata kami mengunci.
Tanpa aba-aba, dia pun mengangkat tubuhku ke udara hingga kepalaku berada di bawah, sejajar dengan punggungnya sedang tubuhku di atas bahu. Layaknya karung tepung, dia membawaku tanpa beban.
“Hey!” geramku karena sekitar berputar tiba-tiba.
Kurasakan bokongku yang dipukul Gavin hingga terasa sedikit nyeri.
Ouch! Sakit!
“Diam dan jangan banyak bicara bila kau tidak ingin aku mempermalukanmu di hadapan semua orang!” ancamnya sembari membawaku keluar dari GC, melewati kerumunan yang tadi berkumpul.
Dari ekor mata, aku melihat wajah wanita itu berubah marah dan cemburu. Tanpa peduli dengan orang-orang sekitar, aku tersenyum miring pada si Jalang Brunet sembari menaikan jari tengah ke arahnya.
Sepanjang jalan menuju keluar, dapat kudengar jeritan marah wanita itu yang menyumpah serapah diriku.
Ah, betapa merdunya suara barusan.
Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan
Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilang
“Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”Aku mendelik tajam pada wanita yang tadi bersama Gavin di resturan.Berani-beraniya dia memanggil Gavin dengan Baby.Wanita itu membalas tatapanku sama sengitnya.Melihat ada kemungkinan perkelahian, Gavin mendengus dan menarikku ke sisi tubuhnya, dan dia berkata pada si Jalang di hadapanku dengan suara rendah dan dingin.“Sebaiknya kau masuk ke dalam, urusanku masih belum selesai di sini, Reni.”Kulihat perubahan wajah wanita di hadapanku dengan menakjubkan. Ekspresi bersahabatnya menjadi keruh, dengan kulit wajah berubah merah padam.“Namaku Ralin, bukan Reni!” sergah wanita tersebut dengan kaki menghentak ke tanah sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam restaurant kembali.Kulirik Gavin yang menatap wanita itu tidak peduli, dan baru kusadari bahwa fokusnya masih tetap padaku.“Kenapa kau sengaja merubah nama wanita itu?” tanyaku
Mobil yang Gavin kendarai berjalan mulus di atas aspal.Aku melirik ke arahnya yang terlihat begitu konsentrasi hingga tidak ada waktu menatap ke arahku. Kali ini aku mencoba untuk menyalakan musik dari radio seperti sebelumnya, tetapi sampai dua buah judul lagu diputar, tidak sekali pun dia menyela. Membuatku yakin jika dia membiarkanku berbuat sesuka hati.“Kau mau berkencan denganku besok?”Aku tidak peduli bila melemparkan pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, karena tidak ada salahnya mencoba. Mungkin saja dia menyetujui kali ini.Gavin hanya melirikku sekilas sebelum menatap fokus ke depan. Dia pun menaikan volume suara musik hingga membuat gendang telingaku sedikit berdengung.Astaga, apa dia sengaja agar aku tidak mengajak bicara?Kubiarkan alunan musik dari radio, dan kutoel lengan tangannya yang menyetir.Dia melirikku lagi dengan ekspresi sedikit sebal.Uwu …. Tampannya!Tanpa ped
Aku pulang ke rumah dalam keadaan kecewa karena Gavin meninggalkanku begitu saja. Padahal bila dia mau, aku akan mengundangnya masuk dan mengajak makan malam bersama.Dia rugi sendiri karena pergi tanpa permisi, sehingga tidak sempat mendengar tawaranku makan di rumah.Hhhh … jika dia di sini, aku kan jadi bisa memasak sesuatu dan menunjukan padanya bahwa aku kandidat pasangan hidup yang sempurna, diidamkan banyak pria, serta rebutan para mertua. Cantik, cerdas, berasal dari keluarga yang hangat dengan berlimpah kasih sayang, dan mau belajar untuk memuaskan pasangan.Lihatkan, siapa saja pasti akan melamarku detik ini juga jika saja aku membuat pengumuman di Ingram atau Koran Pagi, tetapi sikap keras kepala Gavin membuat bakatku jadi terbatas di matanya.Ya ampun, mengapa Tuhan tega mengutukku jatuh cinta pada Freezer berjalan seperti dia!Setelah menaruh tas dan kunci di kamar, aku langsung menghubungi Audrey. Mengusir pikiran tentang Gavin
Aku mendengar suara tembakan yang berasal dari luar, dan dengan tenaga yang tersisa, aku pun bersembunyi di antara kumpulan jaket sedangkan kedua tangan penuh memegang sepatu boots berbahan cukup keras untuk membuat kepala seseorang berdarah-darah.Dalam keadaan panik, aku mendengar seseorang memanggil.Ya Tuhan, apakah si pembunuh tahu namaku?Masih diselimuti ketakutan, aku mencoba mengecilkan diri dengan meringkuk di sudut lemari, sedang kedua tangan yang tadi memegang sepatu menahan mulutku yang entah mengapa terisak menahan tangis.“Mommy,” bisikku dengan bulir air mata yang jatuh mendarat di pipi.Kepalaku bersandar pada dinding, dan adrenalin yang tadi menguasai, perlahan melebur dan mengakibatkan tubuhku menjadi lemas tiba-tiba hingga aku kesulitan mengangkat kepala dengan tubuh gemetar, sedang mataku menjadi berat.Kemana para polisi, mengapa mereka tidak kunjung tiba?Keheningan yang tadi kurasakan, berubah menja
Mataku terasa berat saat kami keluar dari mobil. Bahkan Gavin sampai harus memapah setengah jalan dan berakhir dengan menggendongku hingga ke kamar. Kepalaku menyandar dada bidangnya sekaligus mencari kehangatan dikarenakan udara malam yang berhembus dingin.Aku sudah tidak peduli akan tidur dimana, bagiku bisa berada satu atap dengan Gavin saja sudah cukup.Aahhh … lama-lama aku membeli parfum yang dia pakai dan menyebarkan di seluruh ruangan agar terus bisa merasakan kehadirannya di sisiku saat kami berjauhan.“Apa kita akan tidur di kamar yang sama?” tanyaku sembari memainkan dasinya yang sudah tidak berbentuk.Kudengar dia mendengus dan mengabaikan pertanyaanku, karena kurang dari lima menit kemudian pertanyaan tersebut terjawab.Tidak, kami tidak tidur dalam satu kamar yang sama.Ugh! Aku masih belum puas bersamanya!“Krista, lepaskan lilitan di leherku, sesak,” ucapnya dengan wajah memerah, yang ku