Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.
Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.
Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.
“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.
Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.
“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.
Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di dashbor, pengganti suara keheningan yang sengaja Gavin ciptakan di antara kami.
Dia tampak kesal mendengar suara yang kubuat.
Huh, siapa suruh dia mematikan radio. Padahal jika dia membiarkanku, kami bisa mendengarkan lagu romansa yang akan menjadi lagu kenangan berdua.
Apa dia tidak mengerti arti kata romantis, dan suasananya juga sangat mendukung.
“Hentikan,” geramnya sembari melirik ke arah jemari lentiku yang bercat merah muda di atas dashboard.
“Kenapa sih kau selalu kesal setiap berada di sekitarku?” gumamku sembari memancing isi kepalanya.
Bahkan aku sengaja memasang tampang imut dan polos untuk menarik perhatiannya. Sejak tadi dia sangat serius berkonsentrasi pada jalanan di depan, tidak sekali pun menatap ke arahku yang duduk di sebelah, seolah aku hanya pajangan tidak berguna.
Bukannya luluh dengan sikap polosku yang pura-pura, dia malah semakin mengeraskan tatapan mata serta mengetatkan rahang seperti sedang menahan sesuatu.
Hufft ... Susah sekali menarik perhatian lelaki ini.
Apa aku harus bersikap genit seperti wanita-wanita sebelumnya agar dia tertarik?
“Apa kau benar-benar tidak tahu apa itu arti kata ‘tidak’ dan ‘berhenti mengikuti’?” tanya Gavin masih dengan intonasi dingin.
“Kan sudah kubilang aku tidak bisa melupakan janji kita lima tahun lalu,” sungutku sama kesalnya.
Dia menghela napas dalam-dalam dan menghembuskan kuat-kuat.
“Krista, berapa kali harus kukatakan untuk melupakan hal bodoh itu! Kau masih delapan belas, dan nikmati hidupmu!”
Kedua lenganku menyilang di dada, tanpa memedulikan wajahnya yang menahan marah, aku terus membela diri.
“Aku sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri! Apa susahnya menerimaku, dan kita mencoba untuk menjalin hubungan dari level terbawah.”
Lagi-lagi dia melemparkan tatapan tajam.
“Tidak …! Tidak … !Dan tidak!” geram Gavin sembari memacu laju mobil hingga melewati batas kecepatan yang diperbolehkan lalu menyalip beberapa roda empat yang ada di depan.
Jantungku pun berpacu melihat cara Gavin yang membawa mobil dengan kecepatan tinggi, hingga tanpa sadar aku mengeratkan pegangan pada handle pintu dan juga seat belt yang terpasang di tubuh. Rasa takut membuatku sulit menelan saliva, bahkan dapat kurasakan napasku tertahan ketika nyaris saja bumper depan mobil yang kami kendarai mengenai bagian belakang mobil yang berada di hadapan.
“Apa kau mau mati!” jeritku saat Gavin mengerem mendadak hingga tubuhku terdorong ke depan.
Untungnya aku memakai seat belt sehingga tubuhku tidak terlempar ke luar dari mobil! Caranya mengendarai mobil seakan sengaja untuk membuatku takut.
Setelah mobil benar-benar berhenti, napasku memburu sembari menatap sekitar. Bahkan tidak kurasakan tubuhku yang kebas tiba-tiba karena semua darah berpusat ke jantung.
Tubuhku terlonjak kaget saat mendengar suara klakson dari arah belakang, yang menyadarkanku seketika. Gerakan kepalaku pelan ketika menoleh ke arah Gavin yang berekspresi dingin seolah tidak terjadi apa-apa.
Dia bahkan dengan santai melajukan mobil lagi setelah jalanan di depan lapang kembali.
“Apa kau sengaja untuk menakutiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Perasaan takut menyergabku tiba-tiba hingga aku merasa ingin cepat keluar dari mobil.
“Jika kau ingin perjalanan ini mulus sampai ke rumah, sebaiknya kau diam dan tutup mulut,” ucapnya dengan suara rendah sembari memacu laju mobil seperti tadi.
Kupejamkan mata erat-erat karena aku benar-benar takut.
Mengapa dia begitu tega membuatku berada dalam posisi ini, padahal aku tidak melakukan apa pun yang melukainya.
Dapat kurasakan mataku basah dan dengan cepat aku menghapusnya sebelum benar-benar jatuh dan membuatku terlihat lemah.
Selama perjalanan hingga ke rumah, Gavin bahkan tidak mengatakan apa-apa, padahal aku tahu bahwa dia melihatku tadi menangis. Sikapnya yang dingin semakin membuatku ragu untuk terus mengejarnya, tetapi aku sudah terlanjur berjanji pada Jaxon Bradwood dan juga diriku yang berusia tiga belas saat itu untuk menaklukan hati Gavin dan tidak akan menyerah dengan mudah.
Keheningan yang menyelimuti di antara kami membuatku sangat tersiksa, hingga lima menit kemudian kami pun tiba di rumahku.
Setelah sampai di depan halaman, Gavin turun dari mobil dengan gerakan terburu-buru sedangkan aku hanya diam mematung di kursi dengan perasaan campur aduk. Tidak tahu harus bersikap bagiamana karena semua begitu tiba-tiba.
Rasanya aku ingin benar-benar menangis, tetapi aku tidak mau Gavin menganggapku gadis cengeng yang manja.
“Turun,” kata Gavin dari samping begitu membukakan pintu untuk-ku.
Mendengar nada bicaranya yang dingin serta tatapan matanya yang datar, aku pun turun dengan langkah gontai, tetapi menolak untuk meraih tubuhnya yang hanya berjarak dua langkah di dekatku dan tanpa mentakan apa-apa aku berlalu meninggalkan Gavin begitu saja.
Tidak perlu berharap akan mendapat ciuman, bahkan aku yakin dia pasti tidak sabar untuk pergi dari sini dan menjauh secepat mungkin.
Langkahku lurus memasuki foyer hingga ke pintu depan yang kubuka dengan kunci.
Begitu memasuki rumah, aku disambut oleh Ayah yang duduk di depan TV. Dia hendak menyapa kedatanganku dengan senyum biasa yang terukir di wajah, tetapi senyumnya membeku ketika melihat ke balik tubuhku.
Saat itu-lah aku yakin bahwa sejak tadi Gavin mengikuti dari belakang.
Tanpa memedulikan dia dan juga Ayah, aku pun berjalan ke lantai dua dimana kamarku berada. Dari atas tangga, aku bisa mendengar suara keduanya yang bergumam sedang membahas sesuatu.
Merasakan atmosfir sekitar yang tegang dan berat, aku yakin topik pembicaraan keduanya adalah diriku.
Sengaja aku mengunci pintu kamar, agar tidak ada satu orang pun masuk dan mengganggu, termasuk Ibu.
Aku benar-benar ingin sendiri dan meratapi diri yang mendapat penolakan dari Gavin.
Setelah menghempaskan tubuh ke atas kasur tanpa mengganti baju lebih dulu, aku pun mulai melepaskan kontrol diri dan menangis sepuas hati.
Masih sangat jelas bayangan tadi ketika kami bersama.
Bahkan dari caranya membawa mobil, jelas sekali dia ingin mengatakan bahwa dia tidak memedulikan keselamatanku.
Seharusnya dia mengendarai dengan hati-hati dan menjagaku layaknya puteri saat bersama pangerannya, bukan bersikap kasar dan dengan sengaja menakuti serta membuatku menangis.
Tanpa kusadari isakanku lolos dari bibir, dan kubenamkan wajah di atas bantal untuk meredam suara agar Ibu atau Ayah tidak mengetuk pintu lalu tahu keadaan hatiku yang terluka.
Selama delapan belas tahun usiaku, ini adalah kali pertama seseorang menunjukan ketidaktertarikan, padahal banyak pria di luar sana yang mengagumi kecantikanku, tetapi mengapa hatiku hanya tertarik pada Gavin seorang.
Andai saja dia lebih lembut sedikit, mungkin akan mudah bagi kami untuk saling mengenal.
Atau aku harus berjuang lebih keras lagi dan membuat dia menyadari bahwa aku adalah pasangan terbaik?
Bila saja Jaxon Bradwood melihat wajahku yang menangis tersedu, dia pasti akan bilang ‘kubilang juga apa, dia bukan untukmu, cari saja pria lain. Ternyata kau tidak sekuat yang kau katakan’ dan tentu saja aku tidak ingin mendengar Jaxon mengatakan itu kemudian berpikir aku mudah menyerah.
Lihat saja, aku akan membuka mata Gavin bahwa aku ini sangat berharga, dan dia beruntung aku memilihnya.
…………………………………….
Baru saja aku turun ke lantai bawah, saat kulihat Ayah duduk dengan kepala menunduk di meja makan.
Dia mengangkat kepala begitu mendengar langkah kakiku saat menapak lantai kemudian menatapku dengan pandangan frustrasi.
“Apa kau akan berhenti mengganggu Gavin mulai hari ini?” tanya Ayah tiba-tiba yang seketika menghentikan langkahku menuju kulkas.
Kulirik Ayah yang menghela napas dan berusaha duduk tenang di bangku.
“Aku mendengar apa yang terjadi di Red Cage beberapa waktu lalu, dan Krista …,” katanya menjeda ucapan untuk membuat suasana menjadi lebih serius. “Jangan melakukan hal yang membuat Ayah malu, please.”
Mendengar itu, aku pun menatap Ayah dengan terluka.
“Tidak salahku bila wanita itu bersikap genit pada Gavin,” kataku membela diri.
Walau aku tidak benar-benar tahu berita apa yang beredar di luar sana, tetapi aku ingin Ayah berpihak padaku.
Namun, ternyata Ayah sangat tidak setuju.
“Gavin mengatakan kau selalu membuat masalah dengannya beberapa hari belakangan. Dan dia meminta agar kau tidak lagi mengikuti kemana pun dia pergi. Cukup sampai hari ini dia membiarkanmu, Krista. Bila hal sama terulang kembali, dia sendiri yang akan mengambil alih,” jelas Ayah dengan tatapan kecewa. “Ayah benar-benar tidak ingin kau terluka.”
Mendengar ada kekhawatiran dari suaranya, aku tahu Ayah menganggap serius ucapan Gavin dan itu akan semakin menyulitkanku untuk melakukan hal-hal bebas di luar.
“Aku tidak bermaksud membuat masalah,” bisikku dengan bibir bergetar hendak menangis.
Selama ini Ayah jarang memarahiku, dia bahkan tidak mau meninggikan suara, tetapi melihat Ayah yang gelisah, aku juga menjadi tidak tega.
Kudekati Ayah yang masih duduk di bangku.
“Aku benar-benar tidak ingin membuat masalah,” ulangku lagi diikuti air mata yang jatuh bergulir di pipi.
Melihat tangisku yang hendak pecah, Ayah pun berdiri dari kursi dan memeluku dengan perasaan sayang.
Dia menepuk punggungku pelan.
“Ayah tahu, Krista, Ayah tahu,” bisiknya mencoba menenangkan. “Dan jangan mengulangi hal ini lagi.”
Kepalaku hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
“Kembalilah ke kamar, dan jangan keluar rumah selama beberapa hari, kecuali jika kau sekolah dan langsunglah kembali pulang begitu jam pelajaran selesai.”
Tanpa menyuarakan protes, aku pun menjauhi dapur.
Untuk saat ini, aku akan membiarkan situasi membaik dan tentu saja aku tidak janji untuk beberapa hari setelahnya.
Kuharap, selama aku tidak mengikuti Gavin, dia berubah menjadi pria baik dan sibuk dengan organisasi Red Cage, bukannya para wanita di luar sana.
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan
Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilang
“Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”Aku mendelik tajam pada wanita yang tadi bersama Gavin di resturan.Berani-beraniya dia memanggil Gavin dengan Baby.Wanita itu membalas tatapanku sama sengitnya.Melihat ada kemungkinan perkelahian, Gavin mendengus dan menarikku ke sisi tubuhnya, dan dia berkata pada si Jalang di hadapanku dengan suara rendah dan dingin.“Sebaiknya kau masuk ke dalam, urusanku masih belum selesai di sini, Reni.”Kulihat perubahan wajah wanita di hadapanku dengan menakjubkan. Ekspresi bersahabatnya menjadi keruh, dengan kulit wajah berubah merah padam.“Namaku Ralin, bukan Reni!” sergah wanita tersebut dengan kaki menghentak ke tanah sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam restaurant kembali.Kulirik Gavin yang menatap wanita itu tidak peduli, dan baru kusadari bahwa fokusnya masih tetap padaku.“Kenapa kau sengaja merubah nama wanita itu?” tanyaku
Mobil yang Gavin kendarai berjalan mulus di atas aspal.Aku melirik ke arahnya yang terlihat begitu konsentrasi hingga tidak ada waktu menatap ke arahku. Kali ini aku mencoba untuk menyalakan musik dari radio seperti sebelumnya, tetapi sampai dua buah judul lagu diputar, tidak sekali pun dia menyela. Membuatku yakin jika dia membiarkanku berbuat sesuka hati.“Kau mau berkencan denganku besok?”Aku tidak peduli bila melemparkan pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, karena tidak ada salahnya mencoba. Mungkin saja dia menyetujui kali ini.Gavin hanya melirikku sekilas sebelum menatap fokus ke depan. Dia pun menaikan volume suara musik hingga membuat gendang telingaku sedikit berdengung.Astaga, apa dia sengaja agar aku tidak mengajak bicara?Kubiarkan alunan musik dari radio, dan kutoel lengan tangannya yang menyetir.Dia melirikku lagi dengan ekspresi sedikit sebal.Uwu …. Tampannya!Tanpa ped
Aku pulang ke rumah dalam keadaan kecewa karena Gavin meninggalkanku begitu saja. Padahal bila dia mau, aku akan mengundangnya masuk dan mengajak makan malam bersama.Dia rugi sendiri karena pergi tanpa permisi, sehingga tidak sempat mendengar tawaranku makan di rumah.Hhhh … jika dia di sini, aku kan jadi bisa memasak sesuatu dan menunjukan padanya bahwa aku kandidat pasangan hidup yang sempurna, diidamkan banyak pria, serta rebutan para mertua. Cantik, cerdas, berasal dari keluarga yang hangat dengan berlimpah kasih sayang, dan mau belajar untuk memuaskan pasangan.Lihatkan, siapa saja pasti akan melamarku detik ini juga jika saja aku membuat pengumuman di Ingram atau Koran Pagi, tetapi sikap keras kepala Gavin membuat bakatku jadi terbatas di matanya.Ya ampun, mengapa Tuhan tega mengutukku jatuh cinta pada Freezer berjalan seperti dia!Setelah menaruh tas dan kunci di kamar, aku langsung menghubungi Audrey. Mengusir pikiran tentang Gavin
Aku mendengar suara tembakan yang berasal dari luar, dan dengan tenaga yang tersisa, aku pun bersembunyi di antara kumpulan jaket sedangkan kedua tangan penuh memegang sepatu boots berbahan cukup keras untuk membuat kepala seseorang berdarah-darah.Dalam keadaan panik, aku mendengar seseorang memanggil.Ya Tuhan, apakah si pembunuh tahu namaku?Masih diselimuti ketakutan, aku mencoba mengecilkan diri dengan meringkuk di sudut lemari, sedang kedua tangan yang tadi memegang sepatu menahan mulutku yang entah mengapa terisak menahan tangis.“Mommy,” bisikku dengan bulir air mata yang jatuh mendarat di pipi.Kepalaku bersandar pada dinding, dan adrenalin yang tadi menguasai, perlahan melebur dan mengakibatkan tubuhku menjadi lemas tiba-tiba hingga aku kesulitan mengangkat kepala dengan tubuh gemetar, sedang mataku menjadi berat.Kemana para polisi, mengapa mereka tidak kunjung tiba?Keheningan yang tadi kurasakan, berubah menja
Mataku terasa berat saat kami keluar dari mobil. Bahkan Gavin sampai harus memapah setengah jalan dan berakhir dengan menggendongku hingga ke kamar. Kepalaku menyandar dada bidangnya sekaligus mencari kehangatan dikarenakan udara malam yang berhembus dingin.Aku sudah tidak peduli akan tidur dimana, bagiku bisa berada satu atap dengan Gavin saja sudah cukup.Aahhh … lama-lama aku membeli parfum yang dia pakai dan menyebarkan di seluruh ruangan agar terus bisa merasakan kehadirannya di sisiku saat kami berjauhan.“Apa kita akan tidur di kamar yang sama?” tanyaku sembari memainkan dasinya yang sudah tidak berbentuk.Kudengar dia mendengus dan mengabaikan pertanyaanku, karena kurang dari lima menit kemudian pertanyaan tersebut terjawab.Tidak, kami tidak tidur dalam satu kamar yang sama.Ugh! Aku masih belum puas bersamanya!“Krista, lepaskan lilitan di leherku, sesak,” ucapnya dengan wajah memerah, yang ku
Setelah menangis hingga mataku berubah menjadi bengkak, Gavin pun membawaku ke dapur dan kami makan es krim bersama. Eerrrr … lebih tepatnya hanya aku yang makan es krim, karena sejak tadi dia tidak menyentuh mangkuknya sedikit pun.Gavin hanya duduk diam di seberang meja sedangkan aku menikmati es krim rasa vanilla yang dia ambilkan dari kulkas. Dia bilang es krim itu dibeli oleh asisten rumah tangga yang selalu datangs etiap tiga kali seminggu. Katanya, dia perlu meluruskan agar aku tidak berpikir bahwa Gavin suka es krim.Padahal aku tidak peduli bila dia suka atau tidak, karena aku akan menghabiskan semua setiap kali berkunjung ke sini di masa depan nanti.Mmm … aku tidak tahu kalau es krim merek eskimo rasanya bisa seenak ini.Apa karena berasal dari kulkas Gavin jadi rasanya berbeda?Tanpa sadar aku juga menjilati lelehan es yang mengalir di jari, dan saat itulah aku mendengar suara menggeram yang asalnya dari pria di hadapan.