Share

03

Pagi-pagi sekali saat sang fajar belum mau menunjukan sinarnya. Bahkan sayup-sayup masih terdengar suara Iqomah untuk subuh berjamaah. Mia, gadis yang lebih cocok berambut pendek dengan poni itu sudah bersiap pergi ke sekolah barunya. Dengan bibir manyun lima senti, Mia terlihat panik sendiri. Kendati seluruh keperluannya sudah dipersiapkan Ibunda, tetap saja Mia merasa keki.

"Apa lagi yang harus dibawa Mia?" tanya ibu. "Coba dicek lagi, sebentar lagi sudah harus berangkat, lho."

Mia tidak menjawab. Dia benar-benar nervous berat.

Uughh ... Nyesel deh milih sekolah disitu. Gerutu Mia dalam hati.

Mia sedikit menyesal setelah mengetahui bahwa ia harus berangkat subuh, karena akan menempuh jarak sejauh empat belas kilometer untuk tiba di sekolahnya. Mia lupa bahwa jalanan antara Tangsel dengan Jaksel selalu padat, terutama di pagi hari. Ditambah dengan dimulainya hari pertama MOS, membuat Mia semakin uring-uringan seperti sedang PMS pagi ini.

Setelah hampir satu setengah jam melatih kesabaran di perjalnan. Mia dan Ayahnya akhirnya tiba di sekolah pukul setengah 7 lewat 10 menit. Waktu yang cukup untuk memasang atribut konyol, menurut Mia.

"Hati-hati di jalan, ya, Ayah." Mia menyodorkan tangan pada ayahnya saat hendak turun dari mobil.

"Kamu yakin gak mau Ayah temenin?"

"Ya, enggaklah Ayah. Nanti Ayah, kerjanya gimana?"

"Ayah bisa ijin setengah hari dulu kalau kamu mau ditemenin."

"Maksudnya itu, Mia gak mau ditemenin, Ayaaah."

"Tumben, biasanya selalu minta ditemenin."

Mia hanya melirik dan sedikit memanyunkan bibirnya. Sebenarnya Mia ingin sekali ditemani sang ayah seperti biasanya. Bahkan dulu saat masih SMP, Mia pernah meminta ayah untuk menemani nonton film AADC bersama teman-temannya. Waktu itu adalah kali pertama Mia pergi ke bioskop. Beruntung Mia punya ayah yang asyik diajak bergaul, meskipun awalnya sempat jadi bahan cemoohan.

"Ya udah, Ayah ngerti," ucap ayah sambil mengusap pucuk kepala putrinya yang sudah tidak kecil lagi. "Jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang nakal, langsung ke sini aja. Ayah ada di parkiran." Ayah melempar pandangan ke arah jejeran mobil yan telah terparkir rapi di depan mereka.

"Ayaaaahhhh!" seru Mia.

"Hehe, iya enggak."

"Awas, ya, kalo masih nungguin di sini!"

"Iyaaa, enggak. Terus nanti pulangnya gimana? Mau nungguin ayah?"

"Enggak, ah! Lama kalo nungguin ayah, mah."

"Terus?"

"Mia naik angkot aja, Ayah."

"Eh? Emang kamu tahu naik angkot apa? Udah nanti Ayah ijin pulang cepet, biar bisa jemput kamu."

"Enggak Ayah, Mia udah gede. Mia bisa pulang sendiri."

"Tapi kan kamu gak tahu naik angkot apa Miiiaaa."

"Ya, makanya Ayah kasih tahu Mia harus naik angkot apa."

Ayah terdiam. Butuh waktu cukup lama untuk mempertimbangkan keinginan putrinya.

"Ayolah, Ayah ...."

"Hhh ... Ya sudah. Kamu dari sini naik angkot S11 sampe terminal Lebak Bulus. Terus dari siru kamu bisa naik D02 jurusan Ciputat, atau D15 jurusan Pamulang."

"Oke, gampang, kok, itu. Tenang aja, Mia pasti sampai rumah dengan selamat." Mia tersenyum sangat manis agar meyakinkan ayahnya. Mia pun turun setelah berpamitan lagi.

Seorang satpam langsung menyapa dengan sebuah senyum dan anggukan dari kejauhan, ketika melihat Mia turun dari mobil. Mia hanya membalasnya dengan senyum kecil kemudian melihat sekeliing. Sekolah dengan cat dinding berwarna putih gading dan abu-abu itu, entah mengapa terasa berbeda dibandingkan saat Mia pertama kali datang untuk mendaftar. Namun, semuanya masih terlihat sama. Lapangan olahraga yang berada tepat di depan parkiran, juga pohon rindang yang ada di sebelah pos satpam. Tidak ada yang berbeda.

Setelah itu, Mia menatap lurus pintu sekolah bertuliskan SELAMAT DATANG DI SMA BAKTI NUSA pada bagian atasnya. Mia membetulakan posisi tas ransel biru muda dengan tali berwarna pink sambil mengembuskan napas kuat-kuat. Lalu memantapkan hati memasuki babak baru, yang ternyata akan merubah hidupnya 180 derajat.

Setibanya di ujung lorong sekolah, Mia menoleh ke belakang sekadar memastikan ayahnya tidak benar-benar menunggu dia di parkiran. Ternyata dugaan Mia tepat sasaran, karena ayahnya masih ada di sana. Dengan kaca mobil terbuka lebar, ayah Mia melambaikan tangan dan tersenyum iseng.

"Iiiishh!" sungut Mia sambil menghentakn kakinya.

Melihat anak gadisnya itu ngambek, ayah malah semakin terkekeh. Kemudian beliau mengemudikan mobil sedan keluaran tahun 90an itu ke belakang, ke depan, putar arah, dan akhirnya meninggalkan Mia sendirian di lorong sekolah.

Semakin masuk ke dalam sekolah, Mia semakin terkesima dengan suasana asri di sana. Meski bukan untuk yang pertama kalinya, tetapi Mia kembli jatuh cinta saat melihat hamparan lapangan rumput di tengah-tengah sekolah, serta pohon rindang yang mengelilingnya. Bau embun di pagi hari dan bendera merah putih yang menari di ujung tiang, mampu mengurai otot-otot Mia yang menegang.

Sekitar sepuluh kaki dari tempat Mia berdiri, terdapat beberapa gerombolan anak-anak seusia Mia saling bercengkrama. Sama seperti Mia, mereka masih mengenakan seragam SMP. Bahkan diantara mereka ada yang mengenakan seragam batik yang sama.

Meski malu-malu, Mia menyeret kakinya mendekati salah satu rombongan yang kelihatannya paling ramah untuk didekati.

"Hai!" sapa Mia, "boleh gabung di sini?" tanyanya pada tiga orang anak perempuan yang duduk bersila di salah satu sudut sekolah depan lapangan rumput.

"Boleh," jawab salah satu dari mereka.

Tanpa ragu, Mia ikut duduk bersila disebelah mereka. "Namaku Hanamia. Panggil aja aku Mia."

"Aku Yunita," Jawab gadis berambut ikal. "Kalau ini Dian, dan ini Martha." Yunita memperkenalkan teman-temannya.

"Kalian dari SMP yang sama, ya?" Tanya Mia.

"Iya, Kita emang satu sekolah dari SD." Dian menjawab sambil tersenyum.

"Wah, berarti kalian udah deket banget, ya?"

Mereka mengangguk. "Kalau kamu Mia?" tanya Martha.

"Aku dari SMP TUNAS MULIA, di Pamulang."

"Pamulang? Wah, jauh banget, dong?" Yunita nampak terkejut. Begitu pula dengan dua sahabatnya.

Belum juga Mia sempat menjawab pertanyaan Yunita. Tiba-tiba saja Dian memotong pembicaraan. "Eh, kita siap-siap, yuk! Sebentar lagi mulai soalnya."

Mia pun setuju dengan ajakan itu. Dia segera mengeluarkan sepasang kaos kaki belang dan nam tag berukuran besar dari dalam tas. Sedetik kemudian, Mia memastikan bahwa tali rafia yang terpasang pada ember hijau berhias rumbai-rumbai itu cukup kuat agar tidak mudah jatuh saat dipakai.

"Duh, deg-degan deh aku," celetuk Dian.

"Sama, nih, aku juga." Martha menimpali pernyataan Dian. "Galak-galak, gak ya, kaka kelasnya?"

"Yang pasti gak semudah MOS waktu kita SMP," jawab Yunita.

Mia terhenyak mendengar jawaban Yunita dan menyadari bahwa ternyata bukan hanya dia sendiri yang merasa takut. Tak sampai sepuluh menit kemudian, di tengah lapangan rumput, satu persatu senior dengan seragam putih abu-abu mulai berdatangan dan terlihat sibuk.

"Perhatian-perhatian! Kepada seluruh siswa baru angkatan 2004 silahkan berkumpul di lapangan upacara!" seru salah seorang senior laki-laki menggunakan toa.

Mia dan tiga orang teman barunya langsung bergegas mengenakan segala atribut yang telah dibawa. Kepanikan jelas terpcancar dari mimik dan gerak gerik mereka berempat.

"Yuk cepetan! Jangan sampe kita telat." Yunita yang telah siap lebih dulu, mengajak teman-temannya. Lantas mereka bertiga pergi begitu saja tanpa menoleh ke arah Mia sedikitpun.

Mia yang sebetulnya juga telah siap hanya bisa menghela napas. "Hhmm, ya udahlah," gumam Mia cuek, sambil membetulkan ember rumbai-rumbai yang posisinya agak miring di atas kepalanya. Dia pun segera berlari kecil menuju lapangan upacara.

Setelah masuk ke dalam barisan ember hijau, Mia menyelisik orang-orang sekitar. Seperti biasa dia tidak bisa fokus jika merasa tidak nyaman. Beruntung Mia termasuk cewek yang bisa menutupi perasaan di balik wajahnya yang masih kekanakan.

"Perkenalkan nama gue Rangga. Gue ketua osis sekaligus ketua kegiatan MOS kali ini." Seseorang yang mengaku Rangga itu memperkenalkan diri di depan ratusan adik kelasnya. "Dan di kanan kiri gue, adalah seluruh panitia pelaksana kegiatan MOS tahun ini." Rangga memperkenalkan lima belas orang temannya yang berjejer rapih di depan, secara satu persatu neserta tugasnya.

"Iih, ganteng banget ya, ketua osisnya," celetuk seorang siswi yang kesemsem melihat ketampanan ketua osis itu.

"Iyaaa, apalagi namanya Rangga," timpal siswi lain yang tak kalah centilnya. Merekapun tertawa genit.

Sedangkan Mia, cewek yang geli dengan kisah percintaan serupa AADC, memutar matanya ketika mendengar nama Rangga meluncur dari senior yang sedari tadi meminpin acara. Dia sudah bisa menebak, Rangga pasti dianggap paling tampan sejagat SMA BAKTI NUSA.

Saking maraknya kisah cinta seperti dalam film AADC. Mia sampai jengah. "Terlalu biasa! Jangan-jangan dia suka baca puisi juga." Mia tersenyum tipis.

Ngomong-ngomong soal tampan, Mia tiba-tiba saja teringat dengan pria yang waktu itu tanpa segan menanyakan namanya kepada ibu Mia. Dimana dia? Kenapa dia belum menampakan batang hidungnya sejak Mia tiba di sekolah? Padahal sudah dua jam Mia berada disini. Mia langsung mengitari pandanganya 360 derajat, mencari keberadaan laki-laki itu hingga ke sudut-sudut sekolah yang paling gelap.

"Sekarang semuanya duduk!" perintah Rangga kepada seluruh adik kelasnya. Wajah-wajah yang masih polos itu, serentak duduk bersila di atas rumput berembun. Kecuali satu cewek yang masih celingukan tidak jelas, yaitu Mia.

"HEI KAMU!" teriak Rangga pada Mia. Rupanya teriakan Rangga menggunakan toa sekalipun, tidak dapat menyadarkan Mia yang tiba-tiba budeg.

"Hei!" panggil seseorang yang duduk bersila di depan Mia. "Duduk!" lanjut anak itu ketika melihat kesadaran Mia sudah kembali entah dari mana. Tanpa pikir panjang Mia langsung duduk.

"SINI KAMU!" perintah Rangga. Mia yang belum sepenuhnya menyadari kesalahan hanya menunjuk hidungnya.

"IYA! SIAPA LAGI EMANG YANG DARI TADI DISURUH DUDUK MALAH BERDIRI AJA?!"

Mia yang akhirnya sadar bahwa riwayatnya sudah tamat, bangkit dari duduk dengan lutut bergetar. Dia jelas ingin nangis dan pulang ke rumah.

Sesampainya di hadapan Rangga, Mia hanya bisa menatap ketua osis yang nampaknya akan dia benci seumur hidup. Namun siapa sangka, ternyata tatapan dari mata Mia yang bulat penuh dan lucu itu, mampu membius siapa saja yang ada di depannya termasuk Rangga. Suatu kelebihan yang baru akan diketahui Mia tidak lama lagi.

Karena tak sanggup menatap lebih lama mata yang berbinar itu, Rangga akhirnya meminta Mia kembali duduk setelah menanyakan nama panggilannya. Bukan, bukan karena Rangga jatuh cinta, tetapi lebih karena tak sampai hati membuat nangis Mia yang masih seperti anak kecil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status